Senin, 23 Januari 2012

Apa Kabar?


Led handphone berkedip-kedip menandakan ada email atau mention baru yang masuk. Kulirik sekilas handphone yang tergeletak diatas meja, lalu kembali berkonsentrasi ke kertas-kertas yang bertebaran diatas meja. Mendekati deadline membuat kepalaku nyaris pecah seperti harus memasuki suatu ruangan yang dipenuhi dengan halang rintang dan di rintangan terakhir kaca yang seharusnya dengan mudah di pecahkan tidak bisa pecah mendekati tenggat waktu.

Rambutku sudah acak-acakkan sejak tadi, tapi tangan kananku masih berusaha membuatnya terlihat lebih berantakkan.

“Heh! Re, istirahat sana udah kucel banget muka lu,” tawar Janu sembari membawa segelas kopi dari pantry menuju biliknya yang berada di depan bilikku. Kami hanya terpisahkan kaca yang cukup tebal. Aku hanya mengangguk tak peduli dia bisa melihatnya atau tidak, bisa kudengar dari biliknya suara kenikmatan menyesap kopi
panas.

Apa sebaiknya aku istirahat dulu?

Kurenggangkan tubuhku, ke kiri, ke kanan. Setelah meraih handphone kulangkahkan kaki menuju pantry, mengecek ada mention atau email yang masuk. Ternyata email.

From : Ditas@gmail.com
Subject : Kabar.
Apa kabar Rey? Kamu gak lagi lembur kerja dan lupa istirahat kan? Walaupun deadline di depan mata jaga kesehatan. Kamu punya maag akut kan? Jangan sampai kamu nyaris pingsan kayak dulu.

Setelah membaca kalimat terakhir, tak ada niat untuk membalas email yang selalu datang itu. Buat apa dibalas.

“Mas, kopi satu ya. Kayak biasanya,” pintaku pada seorang OB yang memang biasanya melayani kami. Seorang OB berumur 20 tahun—4 tahun lebih muda dariku— dengan tampilan sederhana, logatnya pun masih terasa medhok di telinga orang jawa sepertiku sekalipun.

Setelah meletakkan segelas kopi diatas meja ia menatapku sebentar. “Mas lagi ngejar deadline ya?”

Kuanggukkan kepala dan tersenyum. Menyesap kopi yang masih terasa hangat di lidah.
“Iya nih mas, biasalah,” ucapku dengan tawa. Entah menertawakan apa.
“Jaga kesehatan mas. Biasanya kalau lagi pada ngejar deadline banyak yang minta obat maag. Maag itu dari stress tho mas?”

Pertanyaan OB itu tak langsung kujawab sampai kemudian dia pamit keluar untuk membelikan seorang temanku obat maag.

Kuperhatikan mug putih diatas meja yang asapnya mengepul dengan aroma kopi keluar dari isinya, tapi pikiranku sudah melayang ke email yang baru saja kubaca. “Obat maag ya—“
..

“Reya!”

Kulirik penumpang disebelah, seorang cowok yang sepertinya geram melihatku tidak mendengarkannya berbicara. “Kamu dengerin gak sih Rey?”

Kugelengkan kepala sembari memperhatikan jalanan kota Bandung yang gelap dan air hujan yang jatuh tak terhentikkan. Sudah 2 jam berlalu dan hujan tak juga reda, mereka sudah 15 menit berada di dalam mobil tapi Heru sepertinya sudah tidak tahan bersamaku.

Heru bukan orang yang tahu suasana. Dia terus mengoceh sementara pikiranku melayang diantara hujan dan wiper yang bergerak ke kiri dan kanan. Hujan memantulkan cahaya lampu di malam hari suasana ini benar-benar membuatku harus mengingat kembali sebuah email yang masuk pagi tadi. Email entah keberapa di minggu ke dua bulan November.

From : ditas@gmail.com
Subject : Kabar
Apa kabar Rey? Akhir-akhir ini sering hujan kan? Kamu jangan ngebut ya kalau pulang pas hujan. Jangan sampai ada apa-apa. Jaga kesehatan di musim kayak gini. Jangan ngejar target terus. Kamu butuh istirahat juga kan?

Email itu adalah email yang semakin lama membuatnya semakin terbiasa untuk tidak membalas. Hanya membuka isinya dan kembali menutup. Membiarkannya bergabung dengan email notification facebook dan twitter lalu tenggelam di dalamnya.

Kalau dingat-ingat email pertama masuk di minggu pertama September dengan subject yang sama dan pengirim yang sama.

From : ditas@gmail.com
Subject : kabar
Halo Rey. Jangan kaget ya nerima email ini. Aku cuma pengen tahu kabar kamu kok, gimana? Kamu gak lagi ngerjain kertas kerja di tengah malam kan? Kamu gak lagi berusaha untuk menyibukkan diri kan? Jangan tenggelamkan diri kamu dalam pekerjaan Reya. Aku khawatir.

Email pertama itu membuat jantungku berdebar kencang. Bukan sms yang biasanya ia kirimkan sebelum kami putus dulu tapi hanya sebuah email yang segera kubalas saat itu juga dengan panjang lebar. Aku juga menanyakan kabarnya tapi tak berbalas. Kemudian ada email lagi masuk di minggu kedua pada bulan yang sama.

Email itu masuk dengan subject yang sama. Awalan yang sama, selalu menanyakan kabarku mengoreksi kebiasaan burukku. 1 setengah bulan berlalu dengan email yang masuk tiap minggunya. Kemudian berjarak menjadi 2 minggu sekali.

From : ditas@gmail.com
Subject : kabar
Apa kabar rey? Kamu gak lagi ngelamun di eskalator lagi kan? hahaha—jangan sampai kamu kesandung di eskalator kayak dulu, kan malu-maluin. Jangan baca email ini kalau kamu lagi eskalator dan—jangan mikirin hal yang berat-berat nanti kepalamu botak sebelum umur 40 lho.

Email itu sudah mulai tak kubalas. Karena email yang kukirim padanya pun tak berbalas. Hanya sebuah email yang sepertinya sudah terpogram masuk ke inbox ku setiap 2 minggu sekali dan tidak dibutuhkan balasan.Kemudian email itu menjadi setiap 3 minggu sekali.

From : ditas@gmail.com
Subject : kabar
Apa kabar Rey? Ini hari ulangtahun mama kamu kan? Cepetan beli kado! Tante pernah ngeluh ke aku kalau kamu gak perhatian sama beliau. Sekali-kali pulang ke Semarang, orang rumah kangen sama kamu. Oke?

Email itu awalnya tak ku acuhkan. Tapi setelah melihat angka di kalender yang dilingkari spidol merah, ku kirimkan sebuah dompet menuju kota Semarang. Mengirimkan ucapan selamat melalui telepon. Dia—benar-benar membuatku merasa walaupun hubungan kami sudah berakhir kehadirannya masih sangat berarti diantara keluargaku.

“Siapa yang ngingetin kamu ulang tahun mama? Dita? Kamu itu kenapa putus sama dia sih?”

Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama.

“Kami—cuma udah gak cocok ma. Dita gak mau LDR terlalu lama.”

“Kalau gitu kamu cari kerja di Semarang biar Dita mau balik sama kamu.”

Ku hela napas panjang. Mengusap wajah dengan tangan. Rasanya lelah memberi alasan yang sama. “Pekerjaan Reya disini belum selesai ma.”

Setelah itu pembicaraan melalui telepon berakhir.

Email kembali masuk dengan jeda yang berbeda 4 minggu sekali. Tanggal terakhir di bulan januari, email itu masuk.

From : Ditas@gmail.com
Subject : Kabar
Selamat ulang tahun Reya! Sudah 25 tahun! Ingat janji kita tentang umur 25 tahun dan sesuatu yang lebih matang. Aku harap kamu begitu, sifatmu, perilaku, pikiran aku yakin semuanya sudah lebih matang. Kalau kamu sudah menemukan cewek yang baik perlakukan dia dengan baik pula. Jangan ngambek kalau sms mu gak kebalas, jangan diam kalau kamu lagi marah karena itu bakal bikin dia bingung, jangan buat dia cemas karena kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan, jangan lupa sms dia setiap hari dan katakan kalau kamu baik-baik saja, jangan sampai dia mengkhawatirkanmu karena rasa khawatir seorang cewek itu kadang berlebihan dan itu bisa membuatnya panik, jangan lupa ulangtahun papa dan mama mu ya Rey, sering-seringlah pulang mereka sangat rindu pada anak bungsu mereka.
Kamu sudah 25 tahun Rey. Dan seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi. :)

Itu email terakhir bukan hanya di bulan Januari tapi di bulan Februari pun tak ada lagi email yang masuk. Itu membuatku bingung sekaligus cemas. Tapi nomor handphone nya pun tidak bisa di hubungi. Jadi kuputuskan untuk tidak peduli. Mengabaikannya mungkin saja ia sudah menemukan seorang cowok yang tidak gila kerja sepertiku.

Aku mengambil cuti di kantor yang bertepatan dengan libur hari kejepit nasional jadi kalau dijumlah, aku bisa menghabiskan satu minggu untuk istirahat setelah di bebankan berbagai macam deadline. Sebenarnya tujuan pulang pun bukan hanya itu tapi menjenguk mama yang baru saja mengalami kecelakaan kecil tapi tetap harus menjalani rawat inap.

Kulangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong rumah sakit dengan bau khasnya yang menyeruak ke udara. Hari ini giliranku pulang ke rumah untuk sekedar berganti baju dan istirahat sebentar besok kembali lagi dan bertukar jaga dengan Mas Radit.

Papa, kami minta untuk tidak ikut menjaga mama karena kami lebih khawatir beliau bisa sakit karena menjaga mama. Setelah sepakat untuk mengambil cuti Mas Radit dan aku memilih untuk bergantian menjaga mama.

Perjalanan pulang tak semulus dugaanku belum sempat keluar dari rumah sakit, aku melihat seorang cewek duduk di ruang tunggu dengan pakaian rumah sakit, wajahnya sangat familiar hingga tak terasa jantungku berdebar semakin kencang begitu menyadari matanya pun melihat ke arahku.

Tapi mata itu seperti tidak mengenalku, dia hanya melihat sekilas lalu berdiri meninggalkan kursi. Kembali ke lorong-lorong rumah sakit.

Kubatalkan niat untuk pulang. Mengikuti langkahnya berusaha untuk tidak ketahuan hingga kemudian aku bisa melihat seorang cewek menghampirinya.

“Dita! Kamu kemana sih? Aku kan udah bilang mau datang.”

Aku mengenal dia. Cewek dengan rambut panjang yang tergerai itu Cegi sahabat Dita. Cegi menggandeng tangan Dita memasuki sebuah kamar inap dan aku memilih untuk menunggu Cegi atau Dita yang keluar dari sana.

Beberapa menit berlalu dan ternyata Cegi yang keluar lebih dulu. Aku menangkap ekspresi terkejut dari matanya sebelum ia melambaikan tangan pada Dita yang tak mempedulikan kehadiranku. Setelah menutup pintu kamar inap Dita, Cegi menghampiriku dengan ekspresi tidak percaya.

“Kamu—Reya kan?”

“Dita-- dia kenapa?

Cegi terlihat cemas seperti tidak ingin menjelaskan semuanya karena suatu hal.

“Please Ceg, dia ngeliat aku dua kali tapi dia kayak gak kenal aku. Sekarang kenapa Dita bisa kayak gitu, apa dia bukan Dita?”

“Dia—Dita Rey tapi ingatannya udah beda.”

“Beda?” ulangku kemudian “Beda gimana?”

Setelah itu cerita Cegi mengalir. Tentang penyakit yang bahkan sulit kueja namanya yang menyebabkan Dita tidak bisa mengingat sesuatu dengan baik dan kehilangan ingatannya perlahan-lahan dan itu adalah alasan sebenarnya yang membuat kami putus bukan karena LDR bukan juga karena kegilaanku terhadap pekerjaan.

Rasanya ada yang menimpa kepalaku seketika, seperti sebuah beban yang dijatuhkan dari langit paling tinggi dan dijatuhkan ke kepala. Rasanya sakit bukan cuma di kepala tapi diseluruh badan begitu mendengar cerita Cegi yang membuat hatiku nyeri.

“Dia sempat bilang ke aku. Jangan kasih tahu ke kamu, karena dia rasa kamu gak perlu tahu semuanya. Tahu dia lupa siapa kamu apa hubungan kalian cuma bakal bikin kamu sakit.”

Kusandarkan tubuh pada tembok. “Tahu dia bohong juga lebih sakit Ceg, dia ngirim aku email setiap minggu nanyain kabar dan berhenti gitu aja. Dia itu bener-bener—“ kuhentikan kalimatku. “dan ternyata sekarang dia lupa soal aku?”

“Bukan cuma soal kamu Rey soal masa kecil, SD, SMP, SMA, Kuliah. Dia nyaris lupa semuanya. Momen-momen penting pun. Karena itu aku harus sering datang buat ngeliat dia kalau gak dia juga bakal lupa kalau punya sahabat bernama Cegi,”

Aku tersenyum sinis. “Dia selalu tidak tega melihatku sakit, kelelahan, sedih, marah, kecewa. Dia—benar-benar bodoh.”

Cegi menatapku dengan tatapan kasihan aku bisa melihat itu dari bola matanya yang berlapis lensa kontak berwarna biru. “Kamu tahu dia benar-benar sayang sama kamu. Sebelum dia lupa semuanya dia memperhatikan twittermu setiap hari walaupun kamu jarang banget update status, dia perhatikan facebookmu walaupun kamu jarang upload foto, dia selalu bilang kalau kamu orang yang gila pekerjaan dan mencemaskan kesehatanmu. Tapi pada akhirnya dia hapus nomor handphonemu. Mengganti nomor handphonennya melupakanmu perhalan-lahan karena penyakitnya. Dan dia juga pernah bilang ke aku lebih baik membiarkan orang yang kamu cintai salah paham daripada membiarkannya menanggung rasa sakit. Dan itu yang dia lakukan buat kamu,”
Kata-kata itu—aku ingat sekali kalau Dita pernah mengatakannya pada ku. Sebuah quotes yang berasal dari film favoritnya, dan ternyata dari sanakah inspirasinya untuk membohongiku masalah penyakitnya.

“Ceg—“

“Rey. Jangan paksa dia untuk mengingatmu karena itu hal yang sulit baginya. Mungkin ingatannya hilang tapi bisa saja rasa cintanya padamu tidak bisa kan?”

Aku tertawa kecil. Menertawakan kenaifan yang masih dipelihara Cegi entah sejak kapan. “Ceg—cinta itu berasal dari ingatan dan kenangan. Dari mana rasa cinta itu kalau dia lupa tentang aku?”

Cegi hanya tersenyum entah apa arti senyumnya. “Rey. Dita juga pernah bilang ke aku kalau kamu adalah cowok yang penakut kalau sudah berurusan dengan perasaan. Karena itu kamu gak mau mencoba kan?”

Setelah itu hening aku tidak bisa menjawab dan Cegi tak ingin melanjutkan pembicaraan ini lalu pamit pulang meninggalkanku di depan ruangan Dita, dengan beban yang mulai menyesakkan dada.

Kadang ketidaktahuan adalah penyelamat yang paling ampuh dari rasa bersalah.

Pintu kamar terbuka Dita keluar dari ruangannya. Dia menatapku yang terkejut lekat-lekat, matanya besar dan bulat serta berwarna hitam. Tapi sepertinya dia tidak peduli dengan kehadiranku dan memilih untuk menelusuri lorong-lorong rumah sakit.

Aku mengikuti langkahnya. Disana dia dan seorang anak kecil sedang berada di lorong yang sama.

Dita mendekati anak itu dan menggodanya, tertawa bersamanya.
Lalu kembali melanjutkan perjalanan. Berhenti membeli sesuatu di sebuah toko kecil di dekat ruang tunggu rumah sakit. Sebuah permen gulali dengan asam ditengahnya. Kemudian melanjutkan langkahnya.

Dia menyapa seorang perawat dengan riang dan memuji wajah perawat itu yang kelihatan cerah hari ini kemudian mereka tertawa bersama.
Dita tak berubah dia masih menyukai anak kecil, permen gulali dengan asam di tengahnya dan sering memuji orang serta mengobrol.
Dia tidak berubah.

Langkah Dita terhenti di taman rumah sakit, duduk di sebuah gazebo dengan sebuah bola kasti yang ia pantul-pantulkan ke tanah berulang-ulang kali. Entah dari mana bola kasti itu tapi apa yang dilakukannya adalah kebiasaan Dita ketika sedang menunggu.

Kuhampiri dia, berdiri didepannya, kuambil bola kastinya ketika melayang di udara sebelum kembali ke tanah.
Dia memperhatikanku yang kemudian berlutut di hadapannya.

“Reya—“ ku berikan bola itu padanya.

Dita tersenyum. “Aku juga suka kamu—“ kemudian ia menutup mulutnya dengan ekspresi terkejut, begitu juga denganku yang baru menyadari kalau posisinya, posisiku dan bola kasti yang kusodorkan padanya persis dengan peristiwa ketika aku menyatakan perasaan padanya.

“Sorry aku—“

“Gak masalah. Mungkin ingatan kamu cuma kecampur-campur. Aku Reya kamu?”

Dia memperhatikanku. Memiringkan kepalanya ke kanan dengan tatapan menyelidik. Kemudian tangan kanannya menerima bola dari tanganku lalu tersenyum. “Dita."

6 komentar :

Hanin at: 25 Januari 2012 pukul 17.31 mengatakan... Reply

VANEEEEZ! AAAAAA hihihi. Cerpennya manis bangeeeeet. Manis getir sih, soalnya Dita sakit :'(
.
Idenya keren deh. Dari awal sih aku udah ngira kalo email dari Dita tuh kayak email yang sengaja dikirim di saat-saat tertentu. Kupikir Dita nya udah meninggal, ternyata sakit. Hohoho.
Tapi penyelesaiannya terlalu cepat nez, menurut aku. Aku tau sih ini cerpen, tapi aku rasa keren deh kalo dijadiin multichapter(?) lol. Kayak adegan waktu Dita keinget pas Reya nembak, tapi ga ngerti apa yang dia maksud. Itu aku pikir kurang greget deskripnya. Jadi agak nggantung...
.
Maaf ya, banyak ngoceh T.T tapi bener deh cerpennya bagus banget. :') ayo terus berkarya! XD

Vanessa Praditasari at: 29 Januari 2012 pukul 19.17 mengatakan... Reply

@Hanin Haniiiin udah aku bales di twitter tapi tetep harus dibales disini ya :)

Makasih udah komeeeen *peluk* aku gak dapet ide buat ngasih deskripsi lebih lanjut. Kalau ada deh mungkin aku lanjutin :D

Hanin juga ayo bikin cerpen :))

chococyanide at: 30 Januari 2012 pukul 05.58 mengatakan... Reply

Ah..cerita sedih.. Oiya, keadaan si Dita mengingatkan aku sama film '50 First Dates', hampir sama keadaannya, tapi beda ceritanya.

Kasian juga ya si Dita. Meskipun berusaha melupakan, ternyata malah beberapa hal dia ingat di bawah sadarnya. Eh, aku mau tanya, kalau si Dita itu emang kesulitan mengingat, bagaimana bisa dia ingat untuk e-mail Reya setiap minggu, kemudian ingat untuk mengurangi 'frekuensi'-nya sedikit demi sedikit? Maaf kalo terlalu kritis, just curious aja sih..hehe..

Masih ada beberapa kurang tanda baca nih..tapi kalo tau kamu nge-post ini sama 'Poni' hampir sama waktunya, kayaknya emang waktu itu bener2 terburu2 ya?

Komentar sebelumnya juga mungkin bener. Cerita ini bisa dilanjutin, apalagi dengan Reya dan Dita yang 'kenalan ulang', siapa tau ini memulai cerita baru yang bisa jadi lebih indah.. Oya, menurutku cerita tentang sakitnya Dita kok kurang mengena ya? Kayaknya kalo yang cerita dari sudut pandangnya Dita sendiri bakal lebih 'mendramatisir' deh...mungkin...

Nevertheless, masih tetap satu cerita yang bagus. =)
Meminjam kata2 dari Narcissu Side 2nd, "Their long summer has just begun..."

33/40

Vanessa Praditasari at: 30 Januari 2012 pukul 20.39 mengatakan... Reply

@chococyanide Makasih lagi udah mau komen. Seneng deh ada yang sering ngasih komen di cerpenku hehehe :D

Soal bagaimana cara Dita mengurangi frekuensinya sebenarnya di sengaja dari awal. Pernah dengar situs yang bisa mengirim email terjadwal? Bisa dibilang Dita memang memakai sistem seperti itu jadi dia tidak mengirimnya disaat yang sama saat email itu terkirim tapi sudah terjadwal sebelumnya. Kira-kira begitulah.

Tanda baca ya ._. Kayaknya itu jadi masalah baruku selain deskripsi yang kurang hehehe. Makasih udah ngasih tahu ya, memang perlu diperbaiki nih keterburu-buruan yang ceroboh -_-

Memang bisa dilanjutin tapi belum dapet jalan ceritanya yang pas, mungkin lain kali kalau ide sudah mengalir deras :)

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 14.59 mengatakan... Reply

sepertiga cerita ini harusnya bisa lebih panjang lagi..
dan tahu ini cerpen, bikin kesel karena ga ada lanjutannya lagi.

Vanessa Praditasari at: 24 Oktober 2013 pukul 18.10 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita Kalau gitu, kamu aja yang manjangin ceritanya mas, bidangmu kan itu, romance :3

Posting Komentar

Beo Terbang