Minggu, 15 Oktober 2017

Diary


Alasan pertama kami berada di kosnya adalah lokasinya yang terdekat di antara kos kami dan alasan kedua adalah kamar kosnya yang paling layak untuk diisi oleh tiga orang secara bersama-sama—total empat dengan dirinya. Kamar yang ia tempati memang terhitung luas dibandingkan dengan kamar kos pada umumnya, maklum kosan eksklusif yang dihuni para pemilik roda empat.

Seorang satpam membukakan pintu gerbang, menyapa ramah pemilik mobil dan menutup kembali pagarnya. Teman kami—si penghuni kos, mengambil lahan parkir yang telah diberi kanopi dan papan penanda dengan namanya, Ardian Tanusudibyo.

Bangunan kosnya berbentuk U, dengan halaman parkir di tengah. Selain Ardian sudah ada dua mobil yang menghuni masing-masing lahan parkir mereka dan masih ada lima lahan parkir lain yang kosong. Dengan posisi lahan parkir seperti ini, setiap orang sebenarnya bisa mengawasi mobil yang keluar masuk bahkan memastikan apakah penghuni kamar tertentu sudah kembali ke kamar kos. Tapi siapa yang peduli, sudah ada satpam yang menjaga di depan pagar 24 jam tanpa perlu khawatir ada kendaraan yang hilang ataupun terjebak jam malam.

Kamar Ardian berada di lantai 2. Tepat di sebelah tangga.

Sorry ya, agak berantakan.”

Dia jelas berbasa-basi ketika mengatakannya.

Ardian Tanusidbyo merupakan lelaki yang paling tampan dan murah hati di antara dua lelaki yang bersamaku dalam kelompok ini. Dan sebenarnya aku sempat merasa beruntung karena berada dalam satu kelompok dengan Ardian yang terkenal sebagai pangeran kampus Ekonomi.

 “Berantakan apanya Di? Kamar lu mending banget dibanding kamar gue,” candaku sembari melepaskan sepatu di depan pintu. Memasuki kamarnya yang begitu minimalis. Dalam arti yang sebenarnya.

Hanya sebuah kasur, kursi dan meja yang dihuni oleh laptop, printer dan rak buku yang menempel di dinding. Berderet-deret buku perkuliahan tersusun rapi, dari buku dengan ukuran terbesar hingga terkecil. Di sebrang tempat tidur terdapat sebuah televisi yang menempel di dinding dan sebuah rak tempel tempat Ardian menaruh gelas air minum bersama beberapa makanan kecil.

 Ardian menggelar karpet yang ia simpan di sudut dinding. Menawarkan kami untuk duduk dan memulai apa yang harus kami kerjakan. Tanpa banyak basa-basi Ardian membagi tugas dan secara tidak langsung memaksa kami menyelesaikan pekerjaan kelompok seefektif mungkin. Tak ada pembagian materi yang membuat sakit hati ataupun topik pembicaraan yang mengalihkan inti berkumpulnya kami di sini.

Semua tugas selesai tepat ketika azan magrib berkumandang. Ardi meminta ijin ke kamar mandi, meninggalkanku dan dua orang lain—yang asik berdiskusi tentang sebuah game yang tak kumengerti. Sembari menunggu, kuperhatikan isi kamar Ardian yang benar-benar tak banyak, kuamati potret keluarganya yang hanya terdiri oleh ibu, ayah dan Ardian sendiri.

Ayahnya tampak seperti ayah yang tegas, membentuk Ardian menjadi anak lelaki yang tampak sempurna dan ibunya memiliki tatapan yang teduh, seperti penyeimbang di antara ketegasan dua lelaki yang menatap kamera dengan tajam.

Kualihkan pandanganku ke rak buku yang menempel di dinding. Sebagian besar adalah buku yang kukenal—buku perkuliahan, yang jelas aku pun memilikinya. Sisa yang lain adalah novel-novel dengan judul yang tak familiar.

Di antara semua buku tebal itu, terselip sebuah buku tulis yang tak biasa. Tak berada di urutan yang tepat, diapit oleh dua buku materi perkuliahan.  Tanganku tergelitik untuk menarik buku itu dari tempatnya. Membuka halaman pertamanya yang bertuliskan.

“Diary?”

“Saras?”

Suara Ardian mengusik fokusku dari buku yang terbentang di atas tangan. Terbuka lebar pada halaman pertama, mengundang senyuman dan gelengan kepalanya.

Tangan Ardian meraih buku yang berada di tanganku. Menutupnya lalu mengembalikannya ke tempat semula. Masih dengan senyuman, ia pandangi rak buku itu sekali lagi dan berpaling. “Kalian mau makan dulu atau langsung aku antar ke kampus?”

“Boleh sih kalau mau makan dulu.”

“Ngikut aja deh. Lu gimana Ras?”

“Eh—“ terkejut, kukembalikan fokusku kepada dua orang teman yang menunggu jawaban. “Boleh sih. Gue laper,” ujarku kemudian sambil tertawa hambar. Mataku berusaha menangkap ekspresi Ardian, sepertinya aku sudah berbuat lancang dengan menyentuh ruang pribadinya, haruskah aku meminta maaf atau—.

“Ya udah kalau gitu. Makan dulu.”

Kuanggukkan kepala mengikuti langkah Ardian yang sudah didahului dua temanku yang lain. Sekedar memastikan, kupanggil namanya. Hendak kuucapkan kata maaf sebelum ia bertanya,” Lu mau makan apa Ras?”

“Ah—apa aja boleh sih.”

“Yang searah kampus aja Di, biar nggak kejauhan balik kampusnya.”

“Lagian udah magrib juga, sekarang kan kampus ada jam malamnya segala.”

“Eh, sejak kapan?” tanyaku kemudian. Kulupakan niatku untuk meminta maaf, cara Ardian mengalihkan topik seolah tidak ingin membahasnya. Kuanggap saja tidak terjadi apa-apa toh—aku belum membaca apapun.

“Sejak kasus pembunuhan berantai itu, lu seriusan nggak tau Ras?”

Kugelengkan kepala. “Berantai? Sejak kapan kok berantai?”

“Sejak tiga bulan lalu. Korbannya anak kampus kita, polanya sama. Katanya sih kalau sesuai urutan kampus, bulan depan anak fakultas—“

“Ekonomi.”

Ardian memotong pembicaraan kami tepat ketika ia menutup pintu mobil. “Kalau dari pintu masuk kampus, fakultas  Hukum, FISIP, Psikologi, Ekonomi—“ dia menekan tombol start engine dan mengatus suhu pendingin sebelum menekan pedal gas,”katanya sih gitu.”

“Serius? Kok serem.”

“Makanya jam 10 malam satpam kampus ngeronda muterin kampus. Mastiin nggak ada lagi mahasiswa setelah jam segitu.”

“Ah—“ kuanggukkan kepala ragu, entah perasaanku saja atau memang Ardian sempat melirikku dari spion dalam ketika hendak berbelok keluar dari kawasan kosnya.

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi tentang pembunuhan berantai yang terjadi di kampus kami. Presentasi yang akan dimulai di bulan berikutnya lebih menjadi topik utama pembicaraan, tapi entah bagaimana topik itu menarik rasa penasaran membuatku mencari tahu berita tentang pembunuhan berantai itu di malam setelah kepulanganku dari kos Ardian.

Hari demi hari berlalu berita yang kubaca di malam itu hanya menjadi memori. Menginjak hari pertama bulan September terjadi sedikit masalah yang membuatku kembali lagi ke kos Ardian setelah  terakhir kali dan pertama kali kami mengerjakan tugas kami bersama.

Kamarnya masih tampak sama, tak ada yang berubah. Ketika Ardian hendak mengambil laptopnya dari atas meja dan membereskan kopian tugas yang harus kami kumpulkan, ponselnya berbunyi nyaring. Sejenak ia melihat nama penelponnya sebelum memintaku mempersiapkan semuanya untuk presentasi, terburu-buru Ardian keluar dari kamarnya untuk menjawab telepon.

Laptop sudah kumasukkan. Kertas-kertas di atas meja pun sudah kusiapkan dalam map. Ardian tak kunjung kembali, tak ada pula di beranda lantai dua ketika kulongokkan kepala melewati pintu. Kuputuskan untuk menunggu di dalam kamar dan memerhatikan kembali potret keluarganya, lalu rak buku, termasuk buku tulis yang masih tampak ganjil di antara buku-buku lainnya.

Rasa penasaran menggelitik, tentang bagaimana isi buku diary seorang anak cowok. Apakah sama dengan diary anak cewek yang penuh dengan kisah cinta dan perasaan mereka atau bagaimana—dan ini diary seorang Ardian, lelaki yang tampak begitu sempurna.

Jariku menarik buku tulis itu keluar dari rak. Membuka halaman pertamanya. Halaman keduanya lalu halaman ketiganya yang kosong. Dahiku mengkerut, kutempelkan ibu jari di sisi buku dan kulepaskan dengan cepat hingga tampak halaman yang berisi tulisan.

Kubaca isinya dengan sebuah judul nama di atasnya.

Thalia Dara G. Fakultas FISIP.

Kartu perpustakaan seorang perempuan berkulit sawo matang dengan rambut sebahu tertempel di sana. Dahiku mengkerut memastikan nama yang terdengar familiar. Tapi siapa, aku tak merasa mengenal seseorang dari jurusan FISIP.

Halaman selanjutnya bertuliskan nama lain.

Yunita Chandra. Fakultas Psikologi.

Kali ini kartu mahasiswa yang tertempel di halaman buku, dari fotonya tampak seorang perempuan berjilbab yang mengenakan kacamata. Bukan wajah yang familiar tapi nama ini begitu familiar.

Entah bagaimana begitu familiar.

Kubalik halaman-halaman sebelumnya. Tampak sebuah nama lain dari Fakultas Hukum. Sebuah kartu perpustakaan kembali tertempel di halaman.

Aku berusaha mengingat siapa orang-orang ini.

Korban pertama Fakultas Hukum, kedua Fakultas FISIP, ketiga Psikologi. Thalia Dara G, Yunita Chandra. Selalu ada identitas korban yang raib, sehingga polisi menyimpulkannya sebagai—

“Menurut kamu gimana Ras?”

Buku di tanganku terjatuh, kubalikkan badan. Kurasakan dingin menyergap hingga tanganku gemetar, ketika sosok Ardian berdiri tepat di hadapanku. Secara tiba-tiba dadaku sesak, kamar kosnya yang kukira luas terasa menyempit, mengecil, hingga membuatku seolah tersudut, ciut.

Ardian tersenyum, seperti senyuman ketika aku menemukan buku itu pertama kali. Ataupun senyuman ketika mengembalikan buku itu ketempatnya. Senyuman yang seolah memberitahuku apa yang akan diperbuatnya.


  
Senin, 24 April 2017

#knottystory


Sepasang kekasih memasuki cafe, tampak serasi dengan penampilan masing-masing. Sang Perempuan mengenakan crop tee yang membuat kulit perutnya tampak, Sang Lelaki mengenakan kemeja lengan panjang yang dikaitkan hingga lubang teratas. Keduanya mengambil meja tersudut, duduk bersebelahan membelakangi jendela, menyambut pramusaji dengan senyum cerah. Sajian telah dipesan, menu dikembalikan, obrolan di mulai lalu terhenti pada satu titik, di mana keduanya menyentuh handphone masing-masing. Hening disela oleh suara dari seseorang yang mereka kenal, menembus speaker handphone. Bercerita tentang dirinya yang berada di sebuah konser, semalam.

Semalam, konser itu dipenuhi manusia-manusia yang menginginkan hiburan. Alunan musik bercampur dengan bau keringat. Meringsek maju, seseorang mengangkat handphonenya tinggi-tinggi, menutupi pandangan manusia-manusia lain di belakang. Dirinya tak menyadari hal itu dan manusia di belakangnya pun hanya sekedar berteriak, “Woi! Handphonenya turunin!” Entah kepada siapa, tanpa ada yang merasa.

Selesai merekam dan mengambil gambar, dirinya menikmati kembali konser yang memekakkan telinga, sembari sesekali mengecek handphone ketika kenalannya mengirimkan komentar, “sama siapa lu kesana?” atau hanya sekedar gumaman, “asik bener lu nonton konser, besok kerja.”

Dia tersenyum, menekan layar handphone tanpa khawatir gadgetnya terjatuh dan terinjak kaki-kaki tanpa mata. Memang tak ada yang terjadi maka tak ada yang perlu dikhawatirkan.  Penuh rasa penasaran jari tangannya menekan cuplikan kehidupan lainnya, di pantai. Siang tadi.

Siang tadi, cuaca sempat semuram wajah tukang parkir yang hanya diberi uang Rp 1000 oleh pengendara roda empat. Perjalanan di dalam mobil bagai menit-menit akhir sebelum salah satu tim membobol gawang lawan.

“Jangan hujan-jangan hujan, jangan hujan” begitu yang digumamkan.

Gumaman mereka terwujud, mendung tertiup awan dan hujan tak mengusik kedamaian di pantai tempat mereka menikmati birunya air di ujung sana, birunya langit di atas sana dan putihnya pasir yang mereka injak. Beberapa dari mereka berlari, berteriak seperti orang tak waras. Sisanya mengeluarkan handphone, menceritakan apa yang sedang terjadi, di mana mereka dan mengobrol singkat dengan siapapun yang ada di dalam jangkauan kamera.

Setelah yakin cerita yang mereka sampaikan terkirim, handphone masuk ke dalam saku dan sisa dari mereka menyusul. Berteriak seperti orang tak waras.

Sore menjelang, matahari mulai menghilang. Lelah, mereka duduk menikmati pasir, tangan masing-masing merogoh saku. Mengeluarkan handphone. Menceritakan kegelapan pantai dan sunset yang tak tampak. Dalam perjalanan pulang, hujan turun, musik berputar dan beberapa dari penghuni mobil menyanyikan lagu, beberapa yang lain tertawa setelah mendengar suara fals sambil memegang handphone memantau media sosial.

Pagi tadi seseorang memamerkan diri dalam balutan cocktail dress berwarna biru tua. Berputar lalu kembali berputar dan kembali ke awal. Seperti siaran rusak, berputar lalu kembali dan berputar lagi. Mengintip dari jendela kamar, langit masih tampak cerah pagi tadi.

Pagi tadi, kebingungan dia memilih pakaian yang tepat untuk datang ke pernikahan seorang teman. Teman dekat yang pernah ia taksir tapi menikah dengan orang lain. Dirinya tak menggandeng lawan jenis maka minimal harus tampil mengesankan. Batik tampak biasa, sebuah A line dress membuat dirinya tampak seperti bocah. Singkat cerita ia menemukan cocktail dress di sudut gantungan pakaian. Tampak pas di badan ketika bercermin, katanya tepat ketika ia tanyakan pada seseorang dan ia coba pamerkan di media sosial. Mungkin banyak yang berpendapat sama. Berputar sekali, menghasilkan putaran berulang kali. Ia sudah memutuskan akan mengenakan apa esok.

Esoknya dengan senyum merekah ia menghadiri pernikahan seorang teman, yang pernah ia taksir tapi menikah dengan orang lain. Dia tidak datang sendiri, tapi tidak juga berdua, berempat lebih tepatnya dengan rombongan sahabat. Terkekeh-kekeh mereka bertanya kapan giliran mereka berada di atas pelaminan tiba. Tak ada yang memberi jawaban sekalipun mereka bergunjing di media sosial,

“Gue dulu lah, masak lu dulu.”

“Nggak lah. Gue.”

“Yaelah lu belum punya pacar, ngapain gue, gue juga.”

Lalu tertawa.

 Bersalaman dengan mempelai sudah, menikmati makanan yang disajikan sudah, maka keempatnya memilih untuk berpindah ke sebuah cafe  yang tak jauh dari acara pernikahan.

Mengambil tempat di sudut, duduk membelakangi jendela, keempatnya memesan minuman, mengembalikan menu dan memulai obrolan sambil sesekali mengecek handphone masing-masing.
Mata mereka berempat fokus sampai salah satu berujar, “Ternyata adek gue habis dari sini.”

“Kok tahu?”

“Nih,” handphone berputar, layar menampilkan seorang perempuan mengenakan crop tee dan 
seorang lelaki mengenakan kemeja lengan panjang yang kancingnya dikaitkan hingga lubang teratas. 
Mereka duduk membelakangi jendela, bercerita tentang di mana mereka. Pojok kanan layar menampilkan angka 2 dan h.

“Itu pacarnya? Pinter juga adek lu nyari pacar.”

Sang Kakak hanya tertawa. Entah menertawai apa.

“Eh yuk instastory dulu.”

Kemudian beberapa dari mereka tertawa dan melambaikan tangan di depan kamera.


Sabtu, 03 Desember 2016

Cerita Bersambung "Benang Merah"




Benang Merah adalah sebuah cerita pendek awalnya, yang kemudian menjadi sebuah novel. Sejak dua tahun lalu novel ini sudah selesai dan pernah mengalami penolakan dari sebuah penerbit, pengeditan, pengangguran hingga akhirnya saya putuskan untuk mengeditnya kembali per chapter untuk di post ke wattpad.

Lalu kenapa wattpad? Karena saya sedang mencoba sebuah tempat baru untuk mengepakkan sayap. Terkadang sang beo bosan berada di tempat yang sama.

Novel ini bahkan sempat mendapatkan cover buatan Icho—thanks to him. Dibaca beberapa beta reader pula namun sayangnya entah kenapa bisa menganggur di dalam folder yang sama berbulan-bulan.

Sedikit sinopsis, Benang Merah bercerita tentang Akako Ashadewi dan Juni Baskara yang mendapatkan hukuman karena telah merusak benang takdir orang lain. Mereka berdua terpaksa bekerja sama untuk menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dan semua tugas yang berhubungan dengan benang merah takdir. Sementara bergulat dengan hukuman , masing-masing dari mereka pun harus menghadapi permasalahan yang menjadi alasan mengapa mereka berani merusak benang takdir orang lain.

Yak itu sinopsisnya—

Sisanya bisa anda baca di link ini dan insyaAllah setiap minggu akan diperbaharui hingga chapter terakhir.


Sekian. 

Kumpulan Cerita Pendek "Apa yang Membuatmu Jatuh Cinta"




Sebenarnya beberapa bulan lalu pernah ngepost masalah buku ini. Kumpulan cerita pendek “Apa yang Membuatmu Jatuh Cinta”, konsepnya dulu masih preorder yang diurus sendiri alias nyari tempat cetak sendiri, ngedit sendiri dan lain sebagainya sendiri. Sayangnya—setelah dicoba beberapa kali pemesanan belum cocok sama tempat cetaknya dan masih ngerasa bahwa isi tulisan di dalamnya agak berantakan.

Sampai akhirnya berkat bantuan mbak Sofi Kumala Fatma—thanks to mentor EYD the best sepanjang masa, isi kumcer ini berhasil di edit dan tulisannya menjadi lebih baik. Serta diputuskan pula untuk menerbitkan buku ini melalui nulisbuku, masih selfpublishing. Agar proses percetakan sampai hasilnya pun bisa berjalan tanpa perlu di handle terlalu banyak.

Jadi setelah penjelasan panjang lebar di atas, saya ingin kembali mempromosikan buku ini kepada anda semua.

Terdiri dari 13 cerita pendek yang masing-masing akan menceritakan kepada anda tentang apa yang membuat masing-masing tokoh jatuh cinta. Apakah karena rupanya, kelakukannya, sifatnya, hal-hal kecil yang luput di mata orang lain tapi begitu besar hingga menyita isi hati masing-masing tokoh—tssah.

Kumcer ini memang awalnya proyek iseng-iseng, dari satu cerpen menjadi 13 dengan tema yang sama. Melalui komentar beberapa beta reader, edit sana-sini dari mbak editor terkece—mbak Sofi dan dihias dengan cover yang simpel tapi pas dari Denisa. Lumayan lama prosesnya dua tahunan mungkin, karena sibuk, kurang bersemangat, dan lain sebagainya sampai akhirnya berbentuk sebuah buku.

Kalau ditanya di antara 13 cerita di dalam buku ini mana yang paling berkesan, cerpen pertama yang saya tulis, “Aku Tidak Akan Mencintainya Lagi”. Yap itu adalah cerpen di buku ini dengan sedikit modifikasi dan yap— saya menyukai adegan dramatis ketika sang tokoh utama perempuan menerbangkan undangan pernikahan sang tokoh laki-laki seolah berkata i can’t love you anymore.

Akhir kata saya ingin menjelaskan bagaimana cara anda membeli buku ini—semoga kalimat panjang di atas menggelitik rasa penasaran anda.

Anda bisa membelinya melalui link ini, di dalam link itu pun ada sampel buku yang bisa anda baca.

Dan jika anda kebingungan mengenai cara pemesanan atau pembayaran anda bisa menghubungi saya melalui email di vanessa.praditasari@gmail.com


Benar-benar terakhir dari post ini, terimakasih kepada kalian yang telah membaca postingan ini sampai akhir dan semoga blog ini tidak akan berisi sarang laba-laba lagi.
Minggu, 03 Juli 2016

Workaholic


Aku bekerja di loket penanganan keluhan. Tempat di mana orang-orang mengeluhkan hidup mereka. Berceracau sesuka hati dan meminta solusi. Seringkali mereka yang datang melempar amarah bertubi-tubi atau tangisan tak henti-henti. Caci maki masih bisa kami toleransi tapi permainan fisik, jangan ditanya bagaimana hasilnya nanti.

Tujuh hari, 24 jam, 20 loket terbuka tak pernah kosong. Selalu dipenuhi oleh mereka yang mengeluhkan hidup, meminta saran dan solusi. Secepat mungkin. Sementara kami akan menjawab — 3 x 24 jam paling lambat, jika keluhan anda belum terselesaikan bisa kembali datang kepada kami.

Aku selalu menempati loket nomor 14, setelah loket nomor 12. Tak ada loket nomor 13, alasannya jangan ditanya. Semua orang tahu alasannya.

Kadang mengambil shift pagi atau setelah jam makan siang, bisa jadi shift malam setelah tengah malam. Kapanpun shift  yang kuambil tak boleh ada tanda-tanda kelelahan yang terlihat. Mata sayu, bibir melengkung ke bawah, tatapan tak bersahabat, nada ketus,  tak ada toleransi untuk semua hal itu

Hari ini aku mengambil shift pagi, menggantikan mereka yang bekerja sejak tengah malam. Setelah mengucapkan terimakasih pada penghuni loket 14 sebelum diriku—sedikit mengundang tawa, mengusir penat di wajahnya. Kutempatkan diri di loket, memastikan semua yang di atas meja telah tertata rapi lalu memanggil salah satu dari mereka yang telah menunggu.

Antrian selalu diulang kembali setelah melewati tengah malam dan menginjak pukul enam pagi antrian telah menginjak angka 156.

Yang datang pertama kali adalah laki-laki tua yang datang mencari anak lelakinya. Anak lelaki yang ternyata telah meninggal satu tahun lalu. Sepeninggal anaknya, laki-laki tua itu menjadi sebatang kara. Tak memiliki keluarga inti lagi maka kuminta dinas terkait untuk menjemputnya.

Negara memiliki kewajiban untuk merawat mereka yang telah tua dan tidak memiliki keluarga. Tak pernah ada kelalaian atas hal itu dan kurasa, petugas yang datang menjemput lelaki tua tadi tampak bahagia mendapatkan penghuni baru—mereka akhirnya memiliki alasan untuk menambah anggaran bulan berikutnya.

Selanjutnya, yang datang adalah lelaki paruh baya berwajah merah padam—karena amarah, bukan secara harfiah. Dia bercerita padaku tentang isterinya yang ternyata telah berselingkuh. Dia mengatakan padaku bahwa dirinya telah memberi pelajaran pada wanita jalang itu—aku hanya mengutip sebutan yang diberikannya.

Laki-laki di hadapanku ini tampaknya tidak meminta solusi, hanya ingin melepaskan amarahnya. Entah apa yang dia lakukan pada isterinya aku tak mungkin bertanya, tak mungkin pula melaporkannya pada dinas terkait. Kerahasiaan adalah inti dari pekerjaan ini, termasuk merahasiakan bibit-bibit tindak kriminal.

Laki-laki itu pergi setelah memukul meja sepuluh kali. Setelah cerita panjang lebarnya, sempat kuingatkan dia tentang undang-undang perlindungan perempuan. Setiap kali kalimatku mengenai salah satu pasal mencapai titik, ia balas bertubi-tubi dengan caci maki kepadaku sebagai perempuan. Berlindung dibalik negara lah, tak bisa menahan selangkaannya lah, jalang, pelacur dan semua kata-kata menjijikan yang sudah kulupakan.

Tapi dia tetap pergi dengan wajah puas, seolah dosanya baru saja diampuni. Ya—memang loket keluhan terkadang berubah menjadi kotak pengakuan dosa.

 Kemudian klien silih berganti dengan permasalahan mereka. Mengeluhkan single menahun, bos yang kejam, kehidupan yang miskin, kesialan yang terus datang. Beberapa keluhan terselesaikan saat itu juga, beberapa yang lain harus menunggu 3 x 24 jam dan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa surat laporan.

“Anda bisa mengkonfirmasikan keluhan anda kembali setelah 3 x 24 jam. Apakah ada yang kurang jelas?”

“Dengan begini saya pasti jadi kaya lagi mbak?”

Senyumku mengembang. “Semua tergantung usaha bapak dalam menjalankan saran kami. Negara telah memberi bantuan berupa modal dan kami harapkan bapak dapat memanfaatkannya dengan baik. Jika ada masalah bapak dapat menyampaikannya kembali pada kami.”

Laki-laki di hadapanku mengangguk-anggukan kepala. Penampilannya lusuh, wajahnya sayu walaupun bajunya bermerek, jam tangannya pun masih tampak bagus. Sesuai dengan ceritanya, orang kaya yang baru saja bangkrut.Yang tertinggal hanyalah kekayaan yang melekat.

Antrian berganti, seorang perempuan datang padaku. Aku mengenalnya. Dia pun pegawai di sini, penghuni loket 12. Kadang kami berada di shift  yang sama, kadang berpapasan ketika bertukar shift namun kali ini tampaknya dia mengambil libur bulanannya.

Kami diijinkan untuk mengambil libur selama 4 hari dalam satu bulan. Diijinkan pula untuk menjadi klien ketika kami memiliki masalah, dilayani seperti klien pada umumnya dengan solusi paling lambat 3x24 jam seperti biasanya.

“Selamat pagi nona. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin bunuh diri.”

Seketika hening. Bukan hanya hening di loket 14 tapi juga di loket 12 dan loket 15. Tak ada yang menoleh memang, tapi bisa kurasakan lirikan mata keterkejutan yang tertuju padaku, pada kami.

“Apakah anda memiliki masalah? Anda bisa menceritakannya pada saya, nona.”

Kepalanya yang semula tertunduk, terangkat. Aku bisa melihat lebam di ujung mata dan di ujung bibir, sklera matanya bernoda merah. Dia belum menjelaskan tapi aku bisa menebak ke arah mana cerita ini berlanjut.

“Kau sudah lama bekerja di sini kan? Pasti kau tahu alasannya. Kenapa aku ingin mati saja,” dia menepuk-nepuk dadanya. “Kenapa aku ingin mati saja,” suaranya berubah dari erangan menjadi desisan. “Aku lelah bekerja di sini, mendengarkan keluhan orang-orang. Menjadi samsak tinju mereka. Tapi bagaimana aku bisa bertahan hidup tanpa bekerja? Suamiku selalu meminta uang setiap aku pulang lalu kembali dalam keadaan mabuk. Sudah kulaporkan dia ke dinas terkait, aku sempat hidup bebas tanpanya, tapi dia keluar dari penjara dan menghajarku. Seperti ini,” tangannya menunjuk wajahnya berkali-kali. Kemudian bibirnya terkatup. Kukira dia tak akan melanjutkan kalimatnya. Hendak kujawab keluhannya, hendak kubuka mulutku memberi saran.

“Apa? Kau mau menyarankan apa padaku? Perceraian? Melaporkannya kembali?”

Diam. Dia pasti sudah tau prosedurnya, kurasa percuma membuka mulut untuk menepis pertanyaannya.

“Aku lelah dengan pekerjaanku. Aku lelah dengan suamiku. Negara tak akan bisa membunuhnya, menyingkirkan dia dari hidupku selamanya. Kalau begitu bukankah lebih baik kalau aku saja yang membunuh diriku sendiri? Atau kau ada saran lain?”

“Kenapa tidak kau bunuh saja dia?”

Kalimat itu terlontar begitu saja. Terlepas seperti anak panah, melesat, menimbulkan keterkejutan di matanya dan di mataku juga.

“Kau menyarankan itu sebagai petugas di loket ini atau sebagai kenalan?”

Aku berdehem sekali. Gajiku bisa dipotong jika kulanjutkan pembicaraan ini.

“Bunuh diri bukanlah pilihan yang tepat nyonya—“

“Ponny. Kau tak perlu pura-pura lupa namaku.”

“Nyonya Ponny saya sarankan anda untuk membuat laporan ke dinas terkait. Jika anda mengijinkan, saya bisa membantu anda untuk membuat laporannya saat ini dan paling lambat—“

“3 x 24 jam masalah anda dan suami anda akan terselesaikan,” Ponny memotong kalimatku, dia menatap wajahku lekat-lekat. Bisa kutangkap perasaan muak yang melekat hebat di matanya. Dia muak denganku sebagai perwakilan dari pekerjaannya.

Kupilih untuk bungkam. Kuputar otak untuk masalahnya yang lain, sesuai prosedur. “Permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan anda—“

“Saya sarankan anda untuk keluar dari pekerjaan anda, kami akan mengusulkan daftar pekerjaan yang mungkin bisa anda coba lamar atau mungkin anda membutuhkan liburan, ambillah cuti. Kami bisa menyarankan tempat yang sesuai untuk liburan anda.”

Dia kembali memotong kalimatku. Skakmat. Kami jelas membaca buku panduan yang sama.

 “Jadi bagaimana nyonya Ponny ? Apakah anda ingin membuat laporan? 

Dia mengibaskan tangannya. “Sudahlah, bodoh sekali aku datang kesini. Kukira kau akan memberikan solusi. Kau yang terbaik kan? Tapi ternyata sama saja, solusimu serupa buku panduan. Ah tapi—solusi yang sebelumnya sangat jenius.”

Kutelan ludah. Sial, dia membahasnya lagi.

“Ah itu—“

“Sudah cukup. Terimakasih. Semoga kau berbahagia selalu.”

Ponny, perempuan paruh baya yang mengenakan kemeja hitam itu menyingkir dari mejaku.

Meninggalkanku yang sempat tergugu sebelum mengucapkan satu kalimat penutup di setiap akhir pelayanan.

“Semoga anda berbahagia selalu.”

Dua kata seperti bunuh diri adalah kata yang paling dihindari. Setiap kali seorang klien datang dengan kata tersebut dan pulang merealisasikannya maka kami—siapapun yang melayani klien tersebut. Akan mendapatkan hukuman karena telah gagal menjalankan tugas, pemotongan gaji adalah hukuman yang paling ringan. Yang paling berat adalah penanaman rasa bersalah.

Manajemen akan meminta kami untuk membaca biografi kehidupan dari mereka yang bunuh diri. Menyusuri lingkungan yang mereka tinggali, menuliskan esai tentang saran apa yang seharusnya kami berikan padanya untuk membuat hidupnya lebih baik.

Beberapa dari kami bertahan menghadapi hukuman itu, beberapa yang lain memilih  untuk menyusul sang klien. Tak tahan dihantui rasa bersalah. Sedangkan bagiku hukuman itu terlalu merepotkan. Tak pernah memang kualami tapi lebih baik tidak. Pemotongan gaji akan menghambat pelunasan beberapa kredit yang ku ambil.

Maka kuputuskan untuk mengawasi Ponny. Mencegah pemotongan gaji ataupun pembacaan biografi.

Ponny tinggal di sisi kumuh kota. Padahal dengan gaji yang kami miliki, sebuah apartemen di tengah kota bukanlah hal yang sulit. Mungkin suaminya menghabiskan tumpukan gaji itu atau dia memang memilih untuk menumpuk uang di bawah kasur.

Kakiku menapaki tangga, melewati dua lantai, menyusuri ruangan demi ruangan hingga tiba di nomor 33. Kuketuk pintunya, kupastikan yang bersangkutan berada di rumah atau tidak. Tak ada jawaban. Kutarik gagang pintunya, kupastikan pintunya benar-benar terkunci. Terbuka.

Ponny duduk di sebuah sofa di depan televisi yang menyala, tangannya memegang sebuah botol pembersih lantai. Matanya terbelalak. Terbata-bata ia menanyakan alasan keberadaannku, kutangkap ketakutan di wajahnya.

Lebamnya bertambah, bahkan darah masih mengucur di dahinya. Baru dua jam berlalu dan kehidupannya sudah menjadi lebih buruk.

“Kau pasti takut aku benar-benar bunuh diri kan? Kau tak mau repot menulis laporan, menelusuri kehidupanku ataupun gajimu dipotong kan?”

Kulangkahkan kaki mendekat. “Begitulah.”

Kulirik box bayi yang tak jauh darinya. Bayi yang mulutnya berbusa.

“Kukira kau berencana mati sendirian.”

Dia tertawa terbahak-bahak. “Yang benar saja, laki-laki bejat itu akan membuang anakku ke jalanan.”

Kuhela napas. Kutelengkan kepala. “Ngomong-ngomong kau tidak penasaran kenapa aku disebut sebagai yang terbaik?”

“Kenapa kau membahas itu sekarang?” Ponny meletakkan botol di tangannya kembali ke atas meja.

“Aku akan memberikan solusi untuk keluhanmu. Setuntas-tuntasnya.”

**
Kututup pintu loker, kupastikan tak ada yang tertinggal. Shift ku berakhir, waktunya menjadi manusia normal.

“Ra, kudengar Ponny pernah datang ke loketmu ya?”

 “Ah—iya, kenapa?”

“Udah kelar kasusnya? Suaminya udah ditangkap?”

“Udah, udah kelar kasusnya.”

“Kamu nggak dipanggil manajemen?”

Aku tertawa sekilas. “Ya nggaklah, ngapain?”

“Ah iya sih—“perempuan yang mengajakku berbicara menelengkan kepalanya. “Bukan kasus bunuh diri ya tapi pembunuhan. Nggak nyangka juga akhirnya Ponny dibunuh sama suaminya.”

Kuanggukkan kepalaku sekali. “Ya—siapa yang nyangka,” kusampirkan tas. “Oke balik dulu ya. Semoga berbahagia.”

Rekan kerjaku itu tertawa menggeleng-gelengkan kepala. Memintaku menghentikan kalimat itu di luar jam kerja.

Ya bagaimanapun, aku memang terbiasa bekerja ekstra.






Beo Terbang