Minggu, 15 Oktober 2017

Diary


Alasan pertama kami berada di kosnya adalah lokasinya yang terdekat di antara kos kami dan alasan kedua adalah kamar kosnya yang paling layak untuk diisi oleh tiga orang secara bersama-sama—total empat dengan dirinya. Kamar yang ia tempati memang terhitung luas dibandingkan dengan kamar kos pada umumnya, maklum kosan eksklusif yang dihuni para pemilik roda empat.

Seorang satpam membukakan pintu gerbang, menyapa ramah pemilik mobil dan menutup kembali pagarnya. Teman kami—si penghuni kos, mengambil lahan parkir yang telah diberi kanopi dan papan penanda dengan namanya, Ardian Tanusudibyo.

Bangunan kosnya berbentuk U, dengan halaman parkir di tengah. Selain Ardian sudah ada dua mobil yang menghuni masing-masing lahan parkir mereka dan masih ada lima lahan parkir lain yang kosong. Dengan posisi lahan parkir seperti ini, setiap orang sebenarnya bisa mengawasi mobil yang keluar masuk bahkan memastikan apakah penghuni kamar tertentu sudah kembali ke kamar kos. Tapi siapa yang peduli, sudah ada satpam yang menjaga di depan pagar 24 jam tanpa perlu khawatir ada kendaraan yang hilang ataupun terjebak jam malam.

Kamar Ardian berada di lantai 2. Tepat di sebelah tangga.

Sorry ya, agak berantakan.”

Dia jelas berbasa-basi ketika mengatakannya.

Ardian Tanusidbyo merupakan lelaki yang paling tampan dan murah hati di antara dua lelaki yang bersamaku dalam kelompok ini. Dan sebenarnya aku sempat merasa beruntung karena berada dalam satu kelompok dengan Ardian yang terkenal sebagai pangeran kampus Ekonomi.

 “Berantakan apanya Di? Kamar lu mending banget dibanding kamar gue,” candaku sembari melepaskan sepatu di depan pintu. Memasuki kamarnya yang begitu minimalis. Dalam arti yang sebenarnya.

Hanya sebuah kasur, kursi dan meja yang dihuni oleh laptop, printer dan rak buku yang menempel di dinding. Berderet-deret buku perkuliahan tersusun rapi, dari buku dengan ukuran terbesar hingga terkecil. Di sebrang tempat tidur terdapat sebuah televisi yang menempel di dinding dan sebuah rak tempel tempat Ardian menaruh gelas air minum bersama beberapa makanan kecil.

 Ardian menggelar karpet yang ia simpan di sudut dinding. Menawarkan kami untuk duduk dan memulai apa yang harus kami kerjakan. Tanpa banyak basa-basi Ardian membagi tugas dan secara tidak langsung memaksa kami menyelesaikan pekerjaan kelompok seefektif mungkin. Tak ada pembagian materi yang membuat sakit hati ataupun topik pembicaraan yang mengalihkan inti berkumpulnya kami di sini.

Semua tugas selesai tepat ketika azan magrib berkumandang. Ardi meminta ijin ke kamar mandi, meninggalkanku dan dua orang lain—yang asik berdiskusi tentang sebuah game yang tak kumengerti. Sembari menunggu, kuperhatikan isi kamar Ardian yang benar-benar tak banyak, kuamati potret keluarganya yang hanya terdiri oleh ibu, ayah dan Ardian sendiri.

Ayahnya tampak seperti ayah yang tegas, membentuk Ardian menjadi anak lelaki yang tampak sempurna dan ibunya memiliki tatapan yang teduh, seperti penyeimbang di antara ketegasan dua lelaki yang menatap kamera dengan tajam.

Kualihkan pandanganku ke rak buku yang menempel di dinding. Sebagian besar adalah buku yang kukenal—buku perkuliahan, yang jelas aku pun memilikinya. Sisa yang lain adalah novel-novel dengan judul yang tak familiar.

Di antara semua buku tebal itu, terselip sebuah buku tulis yang tak biasa. Tak berada di urutan yang tepat, diapit oleh dua buku materi perkuliahan.  Tanganku tergelitik untuk menarik buku itu dari tempatnya. Membuka halaman pertamanya yang bertuliskan.

“Diary?”

“Saras?”

Suara Ardian mengusik fokusku dari buku yang terbentang di atas tangan. Terbuka lebar pada halaman pertama, mengundang senyuman dan gelengan kepalanya.

Tangan Ardian meraih buku yang berada di tanganku. Menutupnya lalu mengembalikannya ke tempat semula. Masih dengan senyuman, ia pandangi rak buku itu sekali lagi dan berpaling. “Kalian mau makan dulu atau langsung aku antar ke kampus?”

“Boleh sih kalau mau makan dulu.”

“Ngikut aja deh. Lu gimana Ras?”

“Eh—“ terkejut, kukembalikan fokusku kepada dua orang teman yang menunggu jawaban. “Boleh sih. Gue laper,” ujarku kemudian sambil tertawa hambar. Mataku berusaha menangkap ekspresi Ardian, sepertinya aku sudah berbuat lancang dengan menyentuh ruang pribadinya, haruskah aku meminta maaf atau—.

“Ya udah kalau gitu. Makan dulu.”

Kuanggukkan kepala mengikuti langkah Ardian yang sudah didahului dua temanku yang lain. Sekedar memastikan, kupanggil namanya. Hendak kuucapkan kata maaf sebelum ia bertanya,” Lu mau makan apa Ras?”

“Ah—apa aja boleh sih.”

“Yang searah kampus aja Di, biar nggak kejauhan balik kampusnya.”

“Lagian udah magrib juga, sekarang kan kampus ada jam malamnya segala.”

“Eh, sejak kapan?” tanyaku kemudian. Kulupakan niatku untuk meminta maaf, cara Ardian mengalihkan topik seolah tidak ingin membahasnya. Kuanggap saja tidak terjadi apa-apa toh—aku belum membaca apapun.

“Sejak kasus pembunuhan berantai itu, lu seriusan nggak tau Ras?”

Kugelengkan kepala. “Berantai? Sejak kapan kok berantai?”

“Sejak tiga bulan lalu. Korbannya anak kampus kita, polanya sama. Katanya sih kalau sesuai urutan kampus, bulan depan anak fakultas—“

“Ekonomi.”

Ardian memotong pembicaraan kami tepat ketika ia menutup pintu mobil. “Kalau dari pintu masuk kampus, fakultas  Hukum, FISIP, Psikologi, Ekonomi—“ dia menekan tombol start engine dan mengatus suhu pendingin sebelum menekan pedal gas,”katanya sih gitu.”

“Serius? Kok serem.”

“Makanya jam 10 malam satpam kampus ngeronda muterin kampus. Mastiin nggak ada lagi mahasiswa setelah jam segitu.”

“Ah—“ kuanggukkan kepala ragu, entah perasaanku saja atau memang Ardian sempat melirikku dari spion dalam ketika hendak berbelok keluar dari kawasan kosnya.

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi tentang pembunuhan berantai yang terjadi di kampus kami. Presentasi yang akan dimulai di bulan berikutnya lebih menjadi topik utama pembicaraan, tapi entah bagaimana topik itu menarik rasa penasaran membuatku mencari tahu berita tentang pembunuhan berantai itu di malam setelah kepulanganku dari kos Ardian.

Hari demi hari berlalu berita yang kubaca di malam itu hanya menjadi memori. Menginjak hari pertama bulan September terjadi sedikit masalah yang membuatku kembali lagi ke kos Ardian setelah  terakhir kali dan pertama kali kami mengerjakan tugas kami bersama.

Kamarnya masih tampak sama, tak ada yang berubah. Ketika Ardian hendak mengambil laptopnya dari atas meja dan membereskan kopian tugas yang harus kami kumpulkan, ponselnya berbunyi nyaring. Sejenak ia melihat nama penelponnya sebelum memintaku mempersiapkan semuanya untuk presentasi, terburu-buru Ardian keluar dari kamarnya untuk menjawab telepon.

Laptop sudah kumasukkan. Kertas-kertas di atas meja pun sudah kusiapkan dalam map. Ardian tak kunjung kembali, tak ada pula di beranda lantai dua ketika kulongokkan kepala melewati pintu. Kuputuskan untuk menunggu di dalam kamar dan memerhatikan kembali potret keluarganya, lalu rak buku, termasuk buku tulis yang masih tampak ganjil di antara buku-buku lainnya.

Rasa penasaran menggelitik, tentang bagaimana isi buku diary seorang anak cowok. Apakah sama dengan diary anak cewek yang penuh dengan kisah cinta dan perasaan mereka atau bagaimana—dan ini diary seorang Ardian, lelaki yang tampak begitu sempurna.

Jariku menarik buku tulis itu keluar dari rak. Membuka halaman pertamanya. Halaman keduanya lalu halaman ketiganya yang kosong. Dahiku mengkerut, kutempelkan ibu jari di sisi buku dan kulepaskan dengan cepat hingga tampak halaman yang berisi tulisan.

Kubaca isinya dengan sebuah judul nama di atasnya.

Thalia Dara G. Fakultas FISIP.

Kartu perpustakaan seorang perempuan berkulit sawo matang dengan rambut sebahu tertempel di sana. Dahiku mengkerut memastikan nama yang terdengar familiar. Tapi siapa, aku tak merasa mengenal seseorang dari jurusan FISIP.

Halaman selanjutnya bertuliskan nama lain.

Yunita Chandra. Fakultas Psikologi.

Kali ini kartu mahasiswa yang tertempel di halaman buku, dari fotonya tampak seorang perempuan berjilbab yang mengenakan kacamata. Bukan wajah yang familiar tapi nama ini begitu familiar.

Entah bagaimana begitu familiar.

Kubalik halaman-halaman sebelumnya. Tampak sebuah nama lain dari Fakultas Hukum. Sebuah kartu perpustakaan kembali tertempel di halaman.

Aku berusaha mengingat siapa orang-orang ini.

Korban pertama Fakultas Hukum, kedua Fakultas FISIP, ketiga Psikologi. Thalia Dara G, Yunita Chandra. Selalu ada identitas korban yang raib, sehingga polisi menyimpulkannya sebagai—

“Menurut kamu gimana Ras?”

Buku di tanganku terjatuh, kubalikkan badan. Kurasakan dingin menyergap hingga tanganku gemetar, ketika sosok Ardian berdiri tepat di hadapanku. Secara tiba-tiba dadaku sesak, kamar kosnya yang kukira luas terasa menyempit, mengecil, hingga membuatku seolah tersudut, ciut.

Ardian tersenyum, seperti senyuman ketika aku menemukan buku itu pertama kali. Ataupun senyuman ketika mengembalikan buku itu ketempatnya. Senyuman yang seolah memberitahuku apa yang akan diperbuatnya.


  

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang