Minggu, 03 Juli 2016

Workaholic


Aku bekerja di loket penanganan keluhan. Tempat di mana orang-orang mengeluhkan hidup mereka. Berceracau sesuka hati dan meminta solusi. Seringkali mereka yang datang melempar amarah bertubi-tubi atau tangisan tak henti-henti. Caci maki masih bisa kami toleransi tapi permainan fisik, jangan ditanya bagaimana hasilnya nanti.

Tujuh hari, 24 jam, 20 loket terbuka tak pernah kosong. Selalu dipenuhi oleh mereka yang mengeluhkan hidup, meminta saran dan solusi. Secepat mungkin. Sementara kami akan menjawab — 3 x 24 jam paling lambat, jika keluhan anda belum terselesaikan bisa kembali datang kepada kami.

Aku selalu menempati loket nomor 14, setelah loket nomor 12. Tak ada loket nomor 13, alasannya jangan ditanya. Semua orang tahu alasannya.

Kadang mengambil shift pagi atau setelah jam makan siang, bisa jadi shift malam setelah tengah malam. Kapanpun shift  yang kuambil tak boleh ada tanda-tanda kelelahan yang terlihat. Mata sayu, bibir melengkung ke bawah, tatapan tak bersahabat, nada ketus,  tak ada toleransi untuk semua hal itu

Hari ini aku mengambil shift pagi, menggantikan mereka yang bekerja sejak tengah malam. Setelah mengucapkan terimakasih pada penghuni loket 14 sebelum diriku—sedikit mengundang tawa, mengusir penat di wajahnya. Kutempatkan diri di loket, memastikan semua yang di atas meja telah tertata rapi lalu memanggil salah satu dari mereka yang telah menunggu.

Antrian selalu diulang kembali setelah melewati tengah malam dan menginjak pukul enam pagi antrian telah menginjak angka 156.

Yang datang pertama kali adalah laki-laki tua yang datang mencari anak lelakinya. Anak lelaki yang ternyata telah meninggal satu tahun lalu. Sepeninggal anaknya, laki-laki tua itu menjadi sebatang kara. Tak memiliki keluarga inti lagi maka kuminta dinas terkait untuk menjemputnya.

Negara memiliki kewajiban untuk merawat mereka yang telah tua dan tidak memiliki keluarga. Tak pernah ada kelalaian atas hal itu dan kurasa, petugas yang datang menjemput lelaki tua tadi tampak bahagia mendapatkan penghuni baru—mereka akhirnya memiliki alasan untuk menambah anggaran bulan berikutnya.

Selanjutnya, yang datang adalah lelaki paruh baya berwajah merah padam—karena amarah, bukan secara harfiah. Dia bercerita padaku tentang isterinya yang ternyata telah berselingkuh. Dia mengatakan padaku bahwa dirinya telah memberi pelajaran pada wanita jalang itu—aku hanya mengutip sebutan yang diberikannya.

Laki-laki di hadapanku ini tampaknya tidak meminta solusi, hanya ingin melepaskan amarahnya. Entah apa yang dia lakukan pada isterinya aku tak mungkin bertanya, tak mungkin pula melaporkannya pada dinas terkait. Kerahasiaan adalah inti dari pekerjaan ini, termasuk merahasiakan bibit-bibit tindak kriminal.

Laki-laki itu pergi setelah memukul meja sepuluh kali. Setelah cerita panjang lebarnya, sempat kuingatkan dia tentang undang-undang perlindungan perempuan. Setiap kali kalimatku mengenai salah satu pasal mencapai titik, ia balas bertubi-tubi dengan caci maki kepadaku sebagai perempuan. Berlindung dibalik negara lah, tak bisa menahan selangkaannya lah, jalang, pelacur dan semua kata-kata menjijikan yang sudah kulupakan.

Tapi dia tetap pergi dengan wajah puas, seolah dosanya baru saja diampuni. Ya—memang loket keluhan terkadang berubah menjadi kotak pengakuan dosa.

 Kemudian klien silih berganti dengan permasalahan mereka. Mengeluhkan single menahun, bos yang kejam, kehidupan yang miskin, kesialan yang terus datang. Beberapa keluhan terselesaikan saat itu juga, beberapa yang lain harus menunggu 3 x 24 jam dan kembali ke rumah masing-masing dengan membawa surat laporan.

“Anda bisa mengkonfirmasikan keluhan anda kembali setelah 3 x 24 jam. Apakah ada yang kurang jelas?”

“Dengan begini saya pasti jadi kaya lagi mbak?”

Senyumku mengembang. “Semua tergantung usaha bapak dalam menjalankan saran kami. Negara telah memberi bantuan berupa modal dan kami harapkan bapak dapat memanfaatkannya dengan baik. Jika ada masalah bapak dapat menyampaikannya kembali pada kami.”

Laki-laki di hadapanku mengangguk-anggukan kepala. Penampilannya lusuh, wajahnya sayu walaupun bajunya bermerek, jam tangannya pun masih tampak bagus. Sesuai dengan ceritanya, orang kaya yang baru saja bangkrut.Yang tertinggal hanyalah kekayaan yang melekat.

Antrian berganti, seorang perempuan datang padaku. Aku mengenalnya. Dia pun pegawai di sini, penghuni loket 12. Kadang kami berada di shift  yang sama, kadang berpapasan ketika bertukar shift namun kali ini tampaknya dia mengambil libur bulanannya.

Kami diijinkan untuk mengambil libur selama 4 hari dalam satu bulan. Diijinkan pula untuk menjadi klien ketika kami memiliki masalah, dilayani seperti klien pada umumnya dengan solusi paling lambat 3x24 jam seperti biasanya.

“Selamat pagi nona. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin bunuh diri.”

Seketika hening. Bukan hanya hening di loket 14 tapi juga di loket 12 dan loket 15. Tak ada yang menoleh memang, tapi bisa kurasakan lirikan mata keterkejutan yang tertuju padaku, pada kami.

“Apakah anda memiliki masalah? Anda bisa menceritakannya pada saya, nona.”

Kepalanya yang semula tertunduk, terangkat. Aku bisa melihat lebam di ujung mata dan di ujung bibir, sklera matanya bernoda merah. Dia belum menjelaskan tapi aku bisa menebak ke arah mana cerita ini berlanjut.

“Kau sudah lama bekerja di sini kan? Pasti kau tahu alasannya. Kenapa aku ingin mati saja,” dia menepuk-nepuk dadanya. “Kenapa aku ingin mati saja,” suaranya berubah dari erangan menjadi desisan. “Aku lelah bekerja di sini, mendengarkan keluhan orang-orang. Menjadi samsak tinju mereka. Tapi bagaimana aku bisa bertahan hidup tanpa bekerja? Suamiku selalu meminta uang setiap aku pulang lalu kembali dalam keadaan mabuk. Sudah kulaporkan dia ke dinas terkait, aku sempat hidup bebas tanpanya, tapi dia keluar dari penjara dan menghajarku. Seperti ini,” tangannya menunjuk wajahnya berkali-kali. Kemudian bibirnya terkatup. Kukira dia tak akan melanjutkan kalimatnya. Hendak kujawab keluhannya, hendak kubuka mulutku memberi saran.

“Apa? Kau mau menyarankan apa padaku? Perceraian? Melaporkannya kembali?”

Diam. Dia pasti sudah tau prosedurnya, kurasa percuma membuka mulut untuk menepis pertanyaannya.

“Aku lelah dengan pekerjaanku. Aku lelah dengan suamiku. Negara tak akan bisa membunuhnya, menyingkirkan dia dari hidupku selamanya. Kalau begitu bukankah lebih baik kalau aku saja yang membunuh diriku sendiri? Atau kau ada saran lain?”

“Kenapa tidak kau bunuh saja dia?”

Kalimat itu terlontar begitu saja. Terlepas seperti anak panah, melesat, menimbulkan keterkejutan di matanya dan di mataku juga.

“Kau menyarankan itu sebagai petugas di loket ini atau sebagai kenalan?”

Aku berdehem sekali. Gajiku bisa dipotong jika kulanjutkan pembicaraan ini.

“Bunuh diri bukanlah pilihan yang tepat nyonya—“

“Ponny. Kau tak perlu pura-pura lupa namaku.”

“Nyonya Ponny saya sarankan anda untuk membuat laporan ke dinas terkait. Jika anda mengijinkan, saya bisa membantu anda untuk membuat laporannya saat ini dan paling lambat—“

“3 x 24 jam masalah anda dan suami anda akan terselesaikan,” Ponny memotong kalimatku, dia menatap wajahku lekat-lekat. Bisa kutangkap perasaan muak yang melekat hebat di matanya. Dia muak denganku sebagai perwakilan dari pekerjaannya.

Kupilih untuk bungkam. Kuputar otak untuk masalahnya yang lain, sesuai prosedur. “Permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan anda—“

“Saya sarankan anda untuk keluar dari pekerjaan anda, kami akan mengusulkan daftar pekerjaan yang mungkin bisa anda coba lamar atau mungkin anda membutuhkan liburan, ambillah cuti. Kami bisa menyarankan tempat yang sesuai untuk liburan anda.”

Dia kembali memotong kalimatku. Skakmat. Kami jelas membaca buku panduan yang sama.

 “Jadi bagaimana nyonya Ponny ? Apakah anda ingin membuat laporan? 

Dia mengibaskan tangannya. “Sudahlah, bodoh sekali aku datang kesini. Kukira kau akan memberikan solusi. Kau yang terbaik kan? Tapi ternyata sama saja, solusimu serupa buku panduan. Ah tapi—solusi yang sebelumnya sangat jenius.”

Kutelan ludah. Sial, dia membahasnya lagi.

“Ah itu—“

“Sudah cukup. Terimakasih. Semoga kau berbahagia selalu.”

Ponny, perempuan paruh baya yang mengenakan kemeja hitam itu menyingkir dari mejaku.

Meninggalkanku yang sempat tergugu sebelum mengucapkan satu kalimat penutup di setiap akhir pelayanan.

“Semoga anda berbahagia selalu.”

Dua kata seperti bunuh diri adalah kata yang paling dihindari. Setiap kali seorang klien datang dengan kata tersebut dan pulang merealisasikannya maka kami—siapapun yang melayani klien tersebut. Akan mendapatkan hukuman karena telah gagal menjalankan tugas, pemotongan gaji adalah hukuman yang paling ringan. Yang paling berat adalah penanaman rasa bersalah.

Manajemen akan meminta kami untuk membaca biografi kehidupan dari mereka yang bunuh diri. Menyusuri lingkungan yang mereka tinggali, menuliskan esai tentang saran apa yang seharusnya kami berikan padanya untuk membuat hidupnya lebih baik.

Beberapa dari kami bertahan menghadapi hukuman itu, beberapa yang lain memilih  untuk menyusul sang klien. Tak tahan dihantui rasa bersalah. Sedangkan bagiku hukuman itu terlalu merepotkan. Tak pernah memang kualami tapi lebih baik tidak. Pemotongan gaji akan menghambat pelunasan beberapa kredit yang ku ambil.

Maka kuputuskan untuk mengawasi Ponny. Mencegah pemotongan gaji ataupun pembacaan biografi.

Ponny tinggal di sisi kumuh kota. Padahal dengan gaji yang kami miliki, sebuah apartemen di tengah kota bukanlah hal yang sulit. Mungkin suaminya menghabiskan tumpukan gaji itu atau dia memang memilih untuk menumpuk uang di bawah kasur.

Kakiku menapaki tangga, melewati dua lantai, menyusuri ruangan demi ruangan hingga tiba di nomor 33. Kuketuk pintunya, kupastikan yang bersangkutan berada di rumah atau tidak. Tak ada jawaban. Kutarik gagang pintunya, kupastikan pintunya benar-benar terkunci. Terbuka.

Ponny duduk di sebuah sofa di depan televisi yang menyala, tangannya memegang sebuah botol pembersih lantai. Matanya terbelalak. Terbata-bata ia menanyakan alasan keberadaannku, kutangkap ketakutan di wajahnya.

Lebamnya bertambah, bahkan darah masih mengucur di dahinya. Baru dua jam berlalu dan kehidupannya sudah menjadi lebih buruk.

“Kau pasti takut aku benar-benar bunuh diri kan? Kau tak mau repot menulis laporan, menelusuri kehidupanku ataupun gajimu dipotong kan?”

Kulangkahkan kaki mendekat. “Begitulah.”

Kulirik box bayi yang tak jauh darinya. Bayi yang mulutnya berbusa.

“Kukira kau berencana mati sendirian.”

Dia tertawa terbahak-bahak. “Yang benar saja, laki-laki bejat itu akan membuang anakku ke jalanan.”

Kuhela napas. Kutelengkan kepala. “Ngomong-ngomong kau tidak penasaran kenapa aku disebut sebagai yang terbaik?”

“Kenapa kau membahas itu sekarang?” Ponny meletakkan botol di tangannya kembali ke atas meja.

“Aku akan memberikan solusi untuk keluhanmu. Setuntas-tuntasnya.”

**
Kututup pintu loker, kupastikan tak ada yang tertinggal. Shift ku berakhir, waktunya menjadi manusia normal.

“Ra, kudengar Ponny pernah datang ke loketmu ya?”

 “Ah—iya, kenapa?”

“Udah kelar kasusnya? Suaminya udah ditangkap?”

“Udah, udah kelar kasusnya.”

“Kamu nggak dipanggil manajemen?”

Aku tertawa sekilas. “Ya nggaklah, ngapain?”

“Ah iya sih—“perempuan yang mengajakku berbicara menelengkan kepalanya. “Bukan kasus bunuh diri ya tapi pembunuhan. Nggak nyangka juga akhirnya Ponny dibunuh sama suaminya.”

Kuanggukkan kepalaku sekali. “Ya—siapa yang nyangka,” kusampirkan tas. “Oke balik dulu ya. Semoga berbahagia.”

Rekan kerjaku itu tertawa menggeleng-gelengkan kepala. Memintaku menghentikan kalimat itu di luar jam kerja.

Ya bagaimanapun, aku memang terbiasa bekerja ekstra.






0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang