Minggu, 26 Juni 2016

Tamu


Seorang ibu datang padaku. Mengenakan kacamata hitam, menyembunyikan bengkak di matanya. Menunjukkan setumpuk uang yang ia sembunyikan dalam saputangan.
  
Pertama, ia letakkan tumpukan uang itu di hadapanku, di atas meja yang memisahkan kami. Tanpa penjelasan ia minta padaku untuk membunuh orang yang memerkosa dan membunuh anak semata wayangnya.

“Lebih baik aku tersiksa di neraka setelah melihat mereka meregang nyawa daripada menelan dendam yang menyiksaku di dunia dan menjerumuskanku ke neraka.”

Kutuangkan segelas teh untuknya, masih hangat, baru saja kutuangkan dari teko. Kudorong perlahan cangkir yang tak pernah ia sentuh kemudian.

Perhatianku beralih pada uang yang dibawa perempuan itu. Memang tampak banyak namun jumlahnya tak seberapa—dibandingkan dengan bayaran yang kuterima untuk permintaan lain. 
Tumpukan uang itu penuh dengan uang-uang lusuh yang kurasa ia dapatkan dari pekerjaan yang pantas. Tak seperti uang kotor yang biasa kuterima untuk pekerjaan kotor.

“Siapa saja mereka yang memerkosa anakmu?”

Perempuan itu mengeluarkan dua lembar foto dari tasnya. Sebuah foto anak berseragam SMA dan foto lain, seorang anak berpakaian bebas.

“Kau tahu—mereka kakak beradik. Orangtua mereka orang hebat. Polisi hanya memintaku melupakan saja apa yang pernah terjadi, menerima uang santunan dari orangtua mereka,” perempuan itu tertawa, terbahak-bahak. “Mana bisa aku lupa waktu 16 tahun yang kugunakan untuk merawat anak perempuanku. Mana bisa,” tangan perempuan itu menepuk-nepuk dada, seolah melampiaskan rasa sakit hati yang terpendam.

“Aku tidak peduli. Bagaimana caranya, jika uangnya tidak cukup kau bisa mengatakannya padaku. Kau pembunuh yang hebat, begitu kata orang-orang. Kau selalu berhasil.”

Kuanggukkan kepala.

“Kalau begitu, lakukanlah. Bunuh mereka. Mereka yang telah menyakiti dan membunuh anakku,” perempuan itu mengerang di akhir kalimatnya. “Kumohon. Bunuh mereka.”

Kuperhatikan uang di atas meja lalu wajah di hadapanku. Perempuan paruh baya yang tampak lelah, berwajah lusuh. Rambutnya hanya dikuncir sekenanya. Mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans. Menenteng tas kain kumal tempat ia menyimpan setumpuk uang di dalam sapu tangan.

Kudorong sapu tangan di atas meja. “Maaf bu, saya tidak bisa menerimanya. Saya sudah berhenti dari pekerjaan ini.”

Bola mata perempuan itu melebar, tangannya membelah angin. “Omong kosong! Bagaimana kau bisa berhenti? Kau membutuhkan uang kan? Kau membutuhkannya! Kenapa kau berhenti di saat aku membutuhkan bantuanmu? Kenapa?” nadanya meninggi, amarahnya memuncak. Perempuan itu menangis di akhir kalimatnya. Menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Kubiarkan saja tangisnya, kudengarkan saja ceracaunya, hingga ia memutuskan untuk pergi membawa dua lembar foto dan setumpuk uang di dalam sapu tangan. Dia meminta maaf lalu berterimakasih. Pergi melalui pintu dan menutupnya perlahan.

Berpindah, kuhidupkan televisi. Kuperhatikan tahun yang tertera di sana—2016. Sudah berapa tahun aku berhenti dari pekerjaan kotor itu—9 tahun. Dan perempuan itu tetap datang padaku seolah baru kemarin. Seolah kematian anaknya baru terjadi kemarin.

Televisi membahas kasus pemerkosaan yang kembali terjadi, heboh membahas hukuman apa yang sebaiknya diberikan kepada para pelaku. Kuganti saluran televisi, kuganti lagi, tak ada yang membahas keluarga para korban. Tak ada yang membahas perempuan itu, dari kasus 10 tahun lalu.

Perempuan itu selalu datang setelah 10 tahun berlalu, meminta hal yang sama, bereaksi dengan jawaban yang sama. Tak ada yang pernah berubah, dari caraku menanggapinya, dari caranya pergi sekalipun.

Mungkin akan lebih baik jika aku pindah saja. Mungkin jika aku pindah, perempuan itu tak akan mencariku untuk meminta hal yang sama setiap tahun, di tanggal yang sama— satu minggu setelah kematian anak perempuannya.

Ide yang bagus, tapi merepotkan.

Kuhela napas, kuganti channel televisi. Tak ada yang bisa menyadarkan perempuan itu, tak terkecuali aku yang mengetahui kisahnya. Mungkin bagi perempuan itu, hidupnya telah berakhir di hari kematian anak perempuannya.

Di saat polisi mengetuk pintu rumahnya dan berkata, anak perempuan semata wayangnya ditemukan tewas tanpa busana. Ketika polisi memintanya untuk melupakan saja kasus itu dan menerima uang santunan dari keluarga pelaku.

“Bukankah itu salah anakmu juga, yang pulang demikian malam?”

“Itu keteledoranmu juga, bagaimana bisa anak perempuanmu kau biarkan pulang selarut itu?”

Entah bagaimana memori ketika perempuan itu datang pertama kali, menceritakan semuanya terputar jelas di kepala. Dan aku, seolah kaset rusak, mengulang pertanyaan yang sama dan menjelaskan hal yang sama pada perempuan itu setiap kali ia datang di tahun-tahun berikutnya.

Ketika pertama kali perempuan itu datang padaku, kupenuhi permintaannya, kuterima uangnya.
Kujalankan rencana sebelum kudengar berita bahwa kakak beradik yang membunuh anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kusampaikan berita itu padanya, kukembalikan uangnya. Dia kemudian pergi seperti hari ini sebelum berkata padaku—

“Kalau begitu bunuh aku—ibu yang tak mampu membalaskan dendam anaknya.”

Pintu diketuk, masa kini memanggilku kembali. Kulangkahkan kaki untuk membuka pintu.

Seorang perempuan muda mengunjungiku, tersenyum memanggilku ayah. Kukecup kepalanya, berterimakasih atas bingkisan yang dibawanya.

“Aku sengaja datang hari ini. Apa perempuan yang biasa datang setiap tahun sudah kemari?”

“Begitulah,” jawabku pendek.

Anak perempuanku mengangguk-anggukkan kepala. Langkahnya melewati meja tamu tempat dua cangkir teh terhidang. “Kau menghidangkan minum untuknya?”

“Tentu saja. Dia tamu.”

Tanganku meraih kedua cangkir di atas meja. Kupalingkan perhatian dari dua cangkir di tangan pada anakku yang berdiri terdiam memandangiku keheranan.

“Bukankah ayah bercerita bahwa perempuan itu sudah mati 10 tahun lalu?”

Tak ada jawaban. Kuputuskan untuk tak menjawab pertanyaannya.






0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang