Seorang ibu datang padaku. Mengenakan kacamata hitam,
menyembunyikan bengkak di matanya. Menunjukkan setumpuk uang yang ia sembunyikan dalam saputangan.
Pertama, ia letakkan tumpukan uang itu di hadapanku, di atas
meja yang memisahkan kami. Tanpa penjelasan ia minta padaku untuk membunuh
orang yang memerkosa dan membunuh anak semata wayangnya.
“Lebih baik aku tersiksa di neraka setelah melihat mereka
meregang nyawa daripada menelan dendam yang menyiksaku di dunia dan
menjerumuskanku ke neraka.”
Kutuangkan segelas teh untuknya, masih hangat, baru saja
kutuangkan dari teko. Kudorong perlahan cangkir yang tak pernah ia sentuh
kemudian.
Perhatianku beralih pada uang yang dibawa perempuan itu. Memang
tampak banyak namun jumlahnya tak seberapa—dibandingkan dengan bayaran yang
kuterima untuk permintaan lain.
Tumpukan uang itu penuh dengan uang-uang lusuh
yang kurasa ia dapatkan dari pekerjaan yang pantas. Tak seperti uang kotor yang
biasa kuterima untuk pekerjaan kotor.
“Siapa saja mereka yang memerkosa anakmu?”
Perempuan itu mengeluarkan dua lembar foto dari tasnya.
Sebuah foto anak berseragam SMA dan foto lain, seorang anak berpakaian bebas.
“Kau tahu—mereka kakak beradik. Orangtua mereka orang hebat.
Polisi hanya memintaku melupakan saja apa yang pernah terjadi, menerima uang
santunan dari orangtua mereka,” perempuan itu tertawa, terbahak-bahak. “Mana
bisa aku lupa waktu 16 tahun yang kugunakan untuk merawat anak perempuanku.
Mana bisa,” tangan perempuan itu menepuk-nepuk dada, seolah melampiaskan rasa
sakit hati yang terpendam.
“Aku tidak peduli. Bagaimana caranya, jika uangnya tidak
cukup kau bisa mengatakannya padaku. Kau pembunuh yang hebat, begitu kata
orang-orang. Kau selalu berhasil.”
Kuanggukkan kepala.
“Kalau begitu, lakukanlah. Bunuh mereka. Mereka yang telah
menyakiti dan membunuh anakku,” perempuan itu mengerang di akhir kalimatnya.
“Kumohon. Bunuh mereka.”
Kuperhatikan uang di atas meja lalu wajah di hadapanku.
Perempuan paruh baya yang tampak lelah, berwajah lusuh. Rambutnya hanya
dikuncir sekenanya. Mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans.
Menenteng tas kain kumal tempat ia menyimpan setumpuk uang di dalam sapu
tangan.
Kudorong sapu tangan di atas meja. “Maaf bu, saya tidak bisa
menerimanya. Saya sudah berhenti dari pekerjaan ini.”
Bola mata perempuan itu melebar, tangannya membelah angin.
“Omong kosong! Bagaimana kau bisa berhenti? Kau membutuhkan uang kan? Kau
membutuhkannya! Kenapa kau berhenti di saat aku membutuhkan bantuanmu? Kenapa?”
nadanya meninggi, amarahnya memuncak. Perempuan itu menangis di akhir
kalimatnya. Menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Kubiarkan saja tangisnya, kudengarkan saja ceracaunya,
hingga ia memutuskan untuk pergi membawa dua lembar foto dan setumpuk uang di
dalam sapu tangan. Dia meminta maaf lalu berterimakasih. Pergi melalui pintu
dan menutupnya perlahan.
Berpindah, kuhidupkan televisi. Kuperhatikan tahun yang
tertera di sana—2016. Sudah berapa tahun aku berhenti dari pekerjaan kotor
itu—9 tahun. Dan perempuan itu tetap datang padaku seolah baru kemarin. Seolah
kematian anaknya baru terjadi kemarin.
Televisi membahas kasus pemerkosaan yang kembali terjadi,
heboh membahas hukuman apa yang sebaiknya diberikan kepada para pelaku. Kuganti
saluran televisi, kuganti lagi, tak ada yang membahas keluarga para korban. Tak
ada yang membahas perempuan itu, dari kasus 10 tahun lalu.
Perempuan itu selalu datang setelah 10 tahun berlalu,
meminta hal yang sama, bereaksi dengan jawaban yang sama. Tak ada yang pernah
berubah, dari caraku menanggapinya, dari caranya pergi sekalipun.
Mungkin akan lebih baik jika aku pindah saja. Mungkin jika
aku pindah, perempuan itu tak akan mencariku untuk meminta hal yang sama setiap
tahun, di tanggal yang sama— satu minggu setelah kematian anak perempuannya.
Ide yang bagus, tapi merepotkan.
Kuhela napas, kuganti channel
televisi. Tak ada yang bisa menyadarkan perempuan itu, tak terkecuali aku
yang mengetahui kisahnya. Mungkin bagi perempuan itu, hidupnya telah berakhir
di hari kematian anak perempuannya.
Di saat polisi mengetuk pintu rumahnya dan berkata, anak
perempuan semata wayangnya ditemukan tewas tanpa busana. Ketika polisi
memintanya untuk melupakan saja kasus itu dan menerima uang santunan dari
keluarga pelaku.
“Bukankah itu salah
anakmu juga, yang pulang demikian malam?”
“Itu keteledoranmu
juga, bagaimana bisa anak perempuanmu kau biarkan pulang selarut itu?”
Entah bagaimana memori ketika perempuan itu datang pertama
kali, menceritakan semuanya terputar jelas di kepala. Dan aku, seolah kaset
rusak, mengulang pertanyaan yang sama dan menjelaskan hal yang sama pada
perempuan itu setiap kali ia datang di tahun-tahun berikutnya.
Ketika pertama kali perempuan itu datang padaku, kupenuhi
permintaannya, kuterima uangnya.
Kujalankan rencana sebelum kudengar berita
bahwa kakak beradik yang membunuh anaknya meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Kusampaikan berita itu padanya, kukembalikan uangnya. Dia kemudian pergi
seperti hari ini sebelum berkata padaku—
“Kalau begitu bunuh
aku—ibu yang tak mampu membalaskan dendam anaknya.”
Pintu diketuk, masa kini memanggilku kembali. Kulangkahkan
kaki untuk membuka pintu.
Seorang perempuan muda mengunjungiku, tersenyum memanggilku
ayah. Kukecup kepalanya, berterimakasih atas bingkisan yang dibawanya.
“Aku sengaja datang hari ini. Apa perempuan yang biasa
datang setiap tahun sudah kemari?”
“Begitulah,” jawabku pendek.
Anak perempuanku mengangguk-anggukkan kepala. Langkahnya
melewati meja tamu tempat dua cangkir teh terhidang. “Kau menghidangkan minum
untuknya?”
“Tentu saja. Dia tamu.”
Tanganku meraih kedua cangkir di atas meja. Kupalingkan
perhatian dari dua cangkir di tangan pada anakku yang berdiri terdiam
memandangiku keheranan.
“Bukankah ayah bercerita bahwa perempuan itu sudah mati 10
tahun lalu?”
Tak ada jawaban. Kuputuskan untuk tak menjawab
pertanyaannya.
0 komentar :
Posting Komentar