Selasa, 15 Maret 2016

Karena


Cafe ini buka begitu pagi. Saat cahaya matahari belum mampu menggapai jendela. Saat teriknya belum menyengat kulit, membuat gerah, mengundang keluhan demi keluhan. Cafe ini menjadi tempat singgah bagi mereka yang mencari sepiring nasi goreng dan segelas chamomile tea hangat di saat cafe lain masih menempelkan tulisan closed di pintu mereka.

Cafe ini adalah cafe favorit perempuan itu, perempuan yang duduk di sofa bersisian dengan jendela. Menempelkan telinganya pada handphone dengan dahi berkerut dan jari yang mengetuk meja berulang kali. Sesekali dirinya mendesis, menghela napas lalu menjawab pendek-pendek dengan enggan.

Sementara laki-laki di hadapannya, yang sedang menikmati segelas black tea hanya mengamati setiap gerak-gerik perempuan itu. Lalu berpaling memperhatikan pemandangan di luar sana. Jalanan yang hanya sesekali dilewati kendaraan ketika lampu lalu lintas berwarna hijau, hanya disebrangi beberapa orang ketika lampu lalu lintas berganti merah.

Laki-laki itu menguap, melemparkan kembali perhatian pada perempuan di hadapannya. Terpisah meja dan segelas kopi.

“Oke, aku ngerti. Nggak, aku nggak marah. Fine, it’s ok. Ya, sampai ketemu,” sesaat setelah perempuan itu menutup sambungan telepon, ia melanjutkan dengan gumaman, “entah kapan.”  

Tak ada yang bersuara kemudian. Seolah memberi ruang, laki-laki itu membiarkan perempuan berambut pendek di hadapannya mengusap wajah, memijat pangkal hidung.

Diakhiri sebuah helaan napas berat perempuan itu akhirnya memulai obrolan, “Kau tidak ingin bertanya ada masalah apa lagi?” pancing perempuan itu, tangannya memutar pegangan cangkir sebelum menyesapnya kopinya perlahan.

“Haruskah? Kukira kalian selalu bertengkar.”

Perempuan itu menelengkan kepala ke kiri dan kanan. “Ya memang,” dia menghela napas sekali lagi, menoleh ke arah jendela cafe. “Mungkin aku perlu memesan sandwich untuk menaikkan mood ku.”

“Kau baru saja memesan french fries.”

“Terserah,” perempuan itu mengangkat tangan, memanggil seorang pramusaji yang datang lalu mencatat menu. Sandwich dan jus apel.

“Jus apel dan kopi, huh?”

Perempuan itu terdiam sejenak, sesaat setelah sang Pramusaji pergi. “Mungkin seharusnya take away saja. Hei, kau benar-benar tidak penasaran dengan apa yang membuatku kesal padanya kali ini?”

“Ceritakan saja, aku mendengarkan.”

Tangan perempuan itu bertepuk sekali, “Kau tahu? Dia tidak pulang minggu ini, sesuai janjinya dua minggu lalu. Dia belum pulang sejak beberapa bulan lalu padahal kau tahu jarak Surabaya dan Semarang tak terlalu jauh. Dia bisa menempuh kereta atau pesawat atau getek atau apalah—“ perempuan itu mengibaskan tangannya. “Aku tak peduli.”

“Mungkin dia sibuk.”

“Dia selalu sibuk,” jari perempuan itu menyusuri mulut cangkir. “Selalu. Kau tahu, hubungan ini mulai menyulitkanku. Mungkin seharusnya aku tidak terlibat hubungan ini sejak awal, LDR selalu membunuhku,” lanjutnya kemudian, kedua tangannya mengepal geram.“Menurutmu aku kekanak-kanakan ketika mengeluh dia tidak bisa pulang?” perempuan itu memajukan posisinya, menempel pada sisi meja dengan tangan terlipat. Persis anak kecil yang mendesak orangtuanya untuk mengabulkan sebuah permintaan.

“Lumayan.”

Perempuan itu mendesah, menempelkan punggungnya pada sandaran sofa, melipat kedua tangan di depan dada lalu bergumam, “Kalau aku jatuh cinta padamu sepertinya tak akan serepot ini.”

Laki-laki itu, yang sempat mengaduk isi cangkir, menghentikan gerakan. Mengerutkan dahi, lalu mengabaikan niat untuk menambahkan sedikit lagi gula cair pada tehnya. “Bagaimana bisa?”

“Ya—kau bekerja di kota ini, aku pun. Kita tidak satu kantor jadi tidak perlu cemas harus ribut dengan alasan bosan bertemu. Kau mengenal keluargaku dengan baik, aku pun. Kau tahu segala jelek-jeleknya aku dan baik-baiknya,” perempuan itu menjelaskan panjang lebar sebelum mengakhiri dengan tepukan. “Nah! Pas kan, semua akan lebih mudah sepertinya jika aku jatuh cinta padamu.”

Hening, laki-laki itu menatap perempuan lawan bicaranya lekat-lekat. Tubuhnya maju menempel meja dengan tangan kiri yang menopang dagu, “Maksudmu, tahu jelek-jelekmu itu. Tahu kalau kamu nggak bisa berenang, takut serangga, sering ngambek nggak jelas dan nggak punya fashion sense?”

Daftar yang dibuat laki-laki itu membuat perempuan di hadapannya mengerutkan bibir. Kepalanya menunduk dengan mata yang memperhatikan pakaiannya hari ini. Kaos oblong lusuh dan celana jeans belel, tidak ada yang salah dengan apa yang ia kenakan. “Maksudku bukan itu. Ya—menghadapiku di saat aku ngambek, sedih, senang yang berlebihan. Kau tahu tips dan triknya, kau bisa mengatasinya”

“Butuh sepuluh tahun untuk mencapai hal itu.”

“Dan aku tahu segala jelek-jelekmu, “ lanjut perempuan itu mengabaikan gumaman lawan bicaranya.
“Sifat pelupamu yang parah, cuekmu yang akut ataupun ketakutanmu pada binatang berbulu. Aku pun bisa menghadapinya sampai sepuluh tahun ini. Nah, kenapa aku tidak jatuh cinta padamu saja?”

Obrolan mereka terhenti tepat di saat pramusaji membawakan pesanan, dua potong sandwich, sepiring kecil french fries  dan segelas jus apel. Segelas Jus apel yang akhirnya kembali ke nampan pramusaji untuk dipindahkan ke cup plastik, menjadi pesananan take away.

Tangan perempuan itu segera mengambil sepotong sandwich, menikmati satu gigitan lalu melempar pertanyaan dengan mulut yang masih mengunyah,”Ya kan? Gimana menurutmu?”

Laki-laki berambut ikal di hadapannya menyodorkan kotak tisu, kemudian menggapai potongan sandwich lain lalu menikmatinya segigit. “Entahlah, aku bukan tipemu, kau pernah berkata begitu kan.”

“Ah—“ perempuan itu mengangkat jari telunjuknya. “Setelah sekian lama kupikir-pikir tipe bukanlah prioritas.”

“Kau pernah bilang juga, sahabat lebih bertahan lama daripada pacar.”

“Kenapa tidak keduanya?”

Laki-laki itu mengerutkan dahi. “Sebenarnya apa maksud pertanyaanmu sejak tadi, aku tidak mengerti.”

“Tidak ada,” perempuan itu mengunyah french fries. “Aku hanya berandai-andai. Sayangnya aku tidak jatuh cinta padamu kan. Kalau aku jatuh cinta padamu semuanya tampak lebih mudah, sepertinya. Hanya itu,” tangannya kembali menggapai sepotong french fries tanpa berhenti mengunyah.

“Jadi, kau mulai menyesal karena tidak jatuh cinta padaku? Sahabatmu sejak sepuluh tahun ini?”

Pertanyaan yang dilemparkan, menghentikan gerakan perempuan itu. Membuat tangannya kembali ke atas meja sebelum menggapai sepotong french fries lagi. “Tidak juga,” perempuan itu menelengkan kepala, bibirnya mengerucut ke satu sisi. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau kita pacaran.”

“Kalau begitu kenapa tidak kita coba saja?”

Perempuan itu mengerutkan dahi ketika mata laki-laki di hadapannya menatap lekat-lekat. Mata berwarna gelap yang sangat ia kenal lurus-lurus memandangnya.  
Seolah terhipnotis perempuan itu tak bersuara, laki-laki di hadapannya pun. Selama beberapa detik mereka membisu hingga perhatian perempuan itu teralih pada handphone yang tak berada dalam jangkauannya, bergetar-getar menampilkan tulisan ‘sayang’.

“Coba diangkat dulu telepon dari Ane. Baru kita obrolkan lagi pertanyaanmu tadi,” ucapnya kemudian sembari menahan tawa. Ekspresi laki-laki di hadapannya yang terkejut lalu panik—cepat-cepat mengangkat telepon, benar-benar menggelitik kotak tertawanya.

Kemudian laki-laki itu sibuk menjawab telepon, perempuan itu sibuk memerhatikan lalu lalang jalanan. Menit demi menit berlalu, hingga obrolan melalui telepon berakhir dan perempuan itu berpaling dari jendela. Memerhatikan sejenak laki-laki di hadapannya lalu terkekeh. “Sepertinya aku menemukan jawaban kenapa aku tidak jatuh cinta padamu?”

“Kenapa?” tanya laki-laki di hadapannya.

“Karena kau pun tidak.”





1 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang