Cafe ini buka begitu pagi. Saat cahaya
matahari belum mampu menggapai jendela. Saat teriknya belum menyengat kulit,
membuat gerah, mengundang keluhan demi keluhan. Cafe ini menjadi tempat singgah
bagi mereka yang mencari sepiring nasi goreng dan segelas chamomile tea hangat di
saat cafe lain masih menempelkan tulisan closed
di pintu mereka.
Cafe ini adalah cafe favorit
perempuan itu, perempuan yang duduk di sofa bersisian dengan jendela. Menempelkan
telinganya pada handphone dengan dahi
berkerut dan jari yang mengetuk meja berulang kali. Sesekali dirinya mendesis,
menghela napas lalu menjawab pendek-pendek dengan enggan.
Sementara laki-laki di hadapannya,
yang sedang menikmati segelas black tea
hanya mengamati setiap gerak-gerik perempuan itu. Lalu berpaling memperhatikan
pemandangan di luar sana. Jalanan yang hanya sesekali dilewati kendaraan ketika
lampu lalu lintas berwarna hijau, hanya disebrangi beberapa orang ketika lampu
lalu lintas berganti merah.
Laki-laki itu menguap, melemparkan kembali
perhatian pada perempuan di hadapannya. Terpisah meja dan segelas kopi.
“Oke, aku ngerti. Nggak, aku nggak
marah. Fine, it’s ok. Ya, sampai ketemu,” sesaat setelah perempuan itu menutup
sambungan telepon, ia melanjutkan dengan gumaman, “entah kapan.”
Tak ada yang bersuara kemudian. Seolah
memberi ruang, laki-laki itu membiarkan perempuan berambut pendek di hadapannya
mengusap wajah, memijat pangkal hidung.
Diakhiri sebuah helaan napas berat
perempuan itu akhirnya memulai obrolan, “Kau tidak ingin bertanya ada masalah
apa lagi?” pancing perempuan itu, tangannya memutar pegangan cangkir sebelum
menyesapnya kopinya perlahan.
“Haruskah? Kukira kalian selalu
bertengkar.”
Perempuan itu menelengkan kepala ke
kiri dan kanan. “Ya memang,” dia menghela napas sekali lagi, menoleh ke arah
jendela cafe. “Mungkin aku perlu
memesan sandwich untuk menaikkan mood ku.”
“Kau baru saja memesan french fries.”
“Terserah,” perempuan itu
mengangkat tangan, memanggil seorang pramusaji yang datang lalu mencatat menu. Sandwich dan jus apel.
“Jus apel dan kopi, huh?”
Perempuan itu terdiam sejenak,
sesaat setelah sang Pramusaji pergi. “Mungkin seharusnya take away saja. Hei, kau benar-benar tidak penasaran dengan apa
yang membuatku kesal padanya kali ini?”
“Ceritakan saja, aku mendengarkan.”
Tangan perempuan itu bertepuk sekali,
“Kau tahu? Dia tidak pulang minggu ini, sesuai janjinya dua minggu lalu. Dia belum
pulang sejak beberapa bulan lalu padahal kau tahu jarak Surabaya dan Semarang tak
terlalu jauh. Dia bisa menempuh kereta atau pesawat atau getek atau apalah—“
perempuan itu mengibaskan tangannya. “Aku tak peduli.”
“Mungkin dia sibuk.”
“Dia selalu sibuk,” jari perempuan
itu menyusuri mulut cangkir. “Selalu. Kau tahu, hubungan ini mulai
menyulitkanku. Mungkin seharusnya aku tidak terlibat hubungan ini sejak awal,
LDR selalu membunuhku,” lanjutnya kemudian, kedua tangannya mengepal geram.“Menurutmu
aku kekanak-kanakan ketika mengeluh dia tidak bisa pulang?” perempuan itu memajukan
posisinya, menempel pada sisi meja dengan tangan terlipat. Persis anak kecil
yang mendesak orangtuanya untuk mengabulkan sebuah permintaan.
“Lumayan.”
Perempuan itu mendesah, menempelkan
punggungnya pada sandaran sofa, melipat kedua tangan di depan dada lalu
bergumam, “Kalau aku jatuh cinta padamu sepertinya tak akan serepot ini.”
Laki-laki itu, yang sempat mengaduk
isi cangkir, menghentikan gerakan. Mengerutkan dahi, lalu mengabaikan niat
untuk menambahkan sedikit lagi gula cair pada tehnya. “Bagaimana bisa?”
“Ya—kau bekerja di kota ini, aku
pun. Kita tidak satu kantor jadi tidak perlu cemas harus ribut dengan alasan
bosan bertemu. Kau mengenal keluargaku dengan baik, aku pun. Kau tahu segala
jelek-jeleknya aku dan baik-baiknya,” perempuan itu menjelaskan panjang lebar
sebelum mengakhiri dengan tepukan. “Nah! Pas kan, semua akan lebih mudah
sepertinya jika aku jatuh cinta padamu.”
Hening, laki-laki itu menatap
perempuan lawan bicaranya lekat-lekat. Tubuhnya maju menempel meja dengan tangan
kiri yang menopang dagu, “Maksudmu, tahu jelek-jelekmu itu. Tahu kalau kamu
nggak bisa berenang, takut serangga, sering ngambek nggak jelas dan nggak punya
fashion sense?”
Daftar yang dibuat laki-laki itu
membuat perempuan di hadapannya mengerutkan bibir. Kepalanya menunduk dengan
mata yang memperhatikan pakaiannya hari ini. Kaos oblong lusuh dan celana jeans
belel, tidak ada yang salah dengan apa yang ia kenakan. “Maksudku bukan itu. Ya—menghadapiku
di saat aku ngambek, sedih, senang yang berlebihan. Kau tahu tips dan triknya,
kau bisa mengatasinya”
“Butuh sepuluh tahun untuk mencapai
hal itu.”
“Dan aku tahu segala jelek-jelekmu,
“ lanjut perempuan itu mengabaikan gumaman lawan bicaranya.
“Sifat pelupamu
yang parah, cuekmu yang akut ataupun ketakutanmu pada binatang berbulu. Aku pun
bisa menghadapinya sampai sepuluh tahun ini. Nah, kenapa aku tidak jatuh cinta
padamu saja?”
Obrolan mereka terhenti tepat di saat
pramusaji membawakan pesanan, dua potong sandwich,
sepiring kecil french fries dan segelas jus apel. Segelas Jus apel yang
akhirnya kembali ke nampan pramusaji untuk dipindahkan ke cup plastik, menjadi pesananan take
away.
Tangan perempuan itu segera
mengambil sepotong sandwich,
menikmati satu gigitan lalu melempar pertanyaan dengan mulut yang masih
mengunyah,”Ya kan? Gimana menurutmu?”
Laki-laki berambut ikal di hadapannya
menyodorkan kotak tisu, kemudian menggapai potongan sandwich lain lalu menikmatinya segigit. “Entahlah, aku bukan
tipemu, kau pernah berkata begitu kan.”
“Ah—“ perempuan itu mengangkat jari
telunjuknya. “Setelah sekian lama kupikir-pikir tipe bukanlah prioritas.”
“Kau pernah bilang juga, sahabat
lebih bertahan lama daripada pacar.”
“Kenapa tidak keduanya?”
Laki-laki itu mengerutkan dahi. “Sebenarnya
apa maksud pertanyaanmu sejak tadi, aku tidak mengerti.”
“Tidak ada,” perempuan itu
mengunyah french fries. “Aku hanya
berandai-andai. Sayangnya aku tidak jatuh cinta padamu kan. Kalau aku jatuh
cinta padamu semuanya tampak lebih mudah, sepertinya. Hanya itu,” tangannya
kembali menggapai sepotong french fries tanpa
berhenti mengunyah.
“Jadi, kau mulai menyesal karena
tidak jatuh cinta padaku? Sahabatmu sejak sepuluh tahun ini?”
Pertanyaan yang dilemparkan, menghentikan
gerakan perempuan itu. Membuat tangannya kembali ke atas meja sebelum menggapai
sepotong french fries lagi. “Tidak
juga,” perempuan itu menelengkan kepala, bibirnya mengerucut ke satu sisi. “Aku
tidak bisa membayangkan bagaimana kalau kita pacaran.”
“Kalau begitu kenapa tidak kita
coba saja?”
Perempuan itu mengerutkan dahi ketika
mata laki-laki di hadapannya menatap lekat-lekat. Mata berwarna gelap yang sangat
ia kenal lurus-lurus memandangnya.
Seolah terhipnotis perempuan itu
tak bersuara, laki-laki di hadapannya pun. Selama beberapa detik mereka membisu
hingga perhatian perempuan itu teralih pada handphone yang tak berada dalam
jangkauannya, bergetar-getar menampilkan tulisan ‘sayang’.
“Coba diangkat dulu telepon dari
Ane. Baru kita obrolkan lagi pertanyaanmu tadi,” ucapnya kemudian sembari menahan
tawa. Ekspresi laki-laki di hadapannya yang terkejut lalu panik—cepat-cepat
mengangkat telepon, benar-benar menggelitik kotak tertawanya.
Kemudian laki-laki itu sibuk
menjawab telepon, perempuan itu sibuk memerhatikan lalu lalang jalanan. Menit demi
menit berlalu, hingga obrolan melalui telepon berakhir dan perempuan itu berpaling
dari jendela. Memerhatikan sejenak laki-laki di hadapannya lalu terkekeh. “Sepertinya
aku menemukan jawaban kenapa aku tidak jatuh cinta padamu?”
“Kenapa?” tanya laki-laki di
hadapannya.
“Karena kau pun tidak.”
1 komentar :
Aha, aku mengerti!
Posting Komentar