Di sebuah dapur mewah, ada peralatan dapur mahal dan berbagai jenis panci bermerk, wajan dengan pegangan anti panas, piring-piring kaca yang dibeli di luar negeri dengan motif-motif serupa ukiran, serta beberapa sendok yang juga berasal dari mana piring berasal. Semuanya barang-barang yang digunakan dengan baik tanpa cela oleh para pembantu di rumah itu.
Ada beberapa pisau disana, tapi ada sebuah pisau yang berasal dari sebuah pasar tradisional, berbeda dengan pisau-pisau lain. Pisau itu adalah pisau yang dibeli secara tiba-tiba, ketika pisau-pisau mahal mulai menumpul karena tidak pernah di asah. Maka pisau itulah yang menjadi andalan para pembantu untuk memotong daging, ikan ataupun ayam. Pisau-pisau lain hanya digunakan untuk sayuran, buah-buahan dan lainnya.
Pisau bosan dengan kehidupannya yang penuh darah, ketika ia harus berhadapan dengan bau amis ikan dan darahnya, atau dengan darah daging yang baru saja di beli di supermarket, atau darah ayam yang baru saja di potong.
Pisau gerah dengan semua darah yang ia temui hingga kemudian ia memilih untuk menghindari darah, yang berarti menghindari pekerjaan utamanya untuk memotong segala benda hidup. Ia menceritakan hal itu pada panci, mahluk dapur yang paling bijak dan paling lama tinggal di dapur. Panci memang berasal dari sebuah mall besar, tapi berbeda dengan alat masak lain panci tidak pernah merendahkan pisau ataupun alat dapur lain. Ia selalu bersedia memberikan saran pada alat-alat dapur yang mulai bosan dengan tugas mereka, termasuk pisau.
Pisau bercerita tentang kebenciannya terhadap darah yang selalu ia temui dimana-mana, di ikan, di daging, di ayam. Semuanya. Ia benci itu dan lebih ingin berfungsi seperti teman-teman pisau mahalnya, hanya memotong sayur ataupun buah.
Panci hanya terdiam waktu pisau bercerita dengan menggebu-gebu. Kemudian dirinya hanya memberikan satu saran pada pisau. Lakukanlah sesukamu kalau memang kamu tidak ingin bertemu dengan darah lagi.
Pisau merasa kalau keputusannya untuk tidak bertemu dengan darah lagi di dukung oleh panci, jadi ia kemudian menyamar menjadi pisau sayur dan selalu bersembunyi ketika para pembantu mencarinya untuk memotong daging, hingga kemudian para pembantu mengeluh karena sulitnya memotong daging-daging itu tanpanya.
Tapi pisau bahagia karena ia tidak bertemu dengan darah, hanya sayur dan sayur. Sesekali ia memotong cabai yang panas dan bawang yang tidak enak baunya, tapi itu lebih baik baginya daripada harus berhadapan dengan bau amis darah ataupun warna merahnya yang pekat.
Tapi pisau lain mengeluh karena ternyata para pembantu sudah mulai membeli batu asah dan mulai menggosokkan pisau-pisau mahal itu ke batu asah agar lebih tajam. Mereka protes pada pisau, memintanya agar kembali dan tidak bersembunyi, karena itu satu-satunya cara agar mereka tidak perlu di asah lagi, tidak perlu beradu dengan batu yang keras ataupun merasakan gesekan yang keras dan memekakkan telinga.
Pisau menolak. Ia bahagia dengan pilihannya. Pisau lain memusuhinya dan memilih menjauh. Pisau merasa itulah resiko dari segala pilihannya dan ia yakin mampu menghadapinya, ia tidak peduli dengan sikap pisau-pisau mahal itu, yang terpenting dirinya terbebas dari bau amis dan darah, biarlah mereka merasakan muaknya menjadi alat pembunuh, walaupun masih dalam taraf membunuh hewan untuk dijadikan bahan makanan.
Kemudian pisau mencoba bersembunyi diantara roti-roti tawar dan roti yang terhidang diatas meja makan. Pisau bahagia disana, karena ia hanya perlu mengeluarkan sedikit tenaga untuk memotong roti, sama seperti sayur dan sangat berbeda dengan daging ataupun ikan, seperti ketika ia harus memotong urat-urat daging yang baru saja keluar dari lemari es atau leher ayam yang masih hidup, melewati bulu-bulunya hingga menyentuh leher , menyentuh saluran makan dan pernapasannya. Mendengar suara ayam yang setengah mati dan jatuh ke tanah, menerima seprotan warna merah dari sana dan berada di wastafel untuk kembali digunakan.
Pisau bahagia dengan kehidupan barunya tanpa darah ataupun bau amis.
Tapi karena terlalu tajam dan tidak dianggap cocok untuk memotong roti pemilik pisau memindahkannya kembali ke dapur, di dapur pisau kembali bergerilya melawan para pembantu yang mencarinya ketika daging baru saja dibeli dari supermarket atau ikan segar yang juga dari supermarket datang. Dan ia selalu berhasil bersembunyi di dalam panci ataupun piring-piring, mengabaikan suara protes mereka.
Kemudian pisau tertarik dengan buah dan menyusup menjadi pisau buah. Disana ia juga merasa bahagia karena ia hanya perlu memotong apel yang tidak terlalu keras ataupun kiwi yang lembut di dalamnya. Hanya semangka satu-satunya buah yang cukup membuatnya mengeluarkan tenaga, sisanya hanyalah pir ataupun strawberry, jeruk Sunkist dan beberapa buah lain.
Ia juga suka rasa manis yang ditinggalkan buah-buahan setelah dipotong, kadang rasa kecut tapi menyenangkan, setidaknya bau amis tidak akan tertinggal pada pisau seperti dulu. Ia merasa bahagia disini.
Pisau tinggal selama berhari-hari bersama buah-buahan yang terus berganti setiap harinya. Ia menjadi alat yang sering dipakai untuk mengupas kulit apel dan membelah buah semangka, hanya berpindah sesekali ke wastafel dan sesekali memamerkan ceritanya pada pisau-pisau mahal.
Akhirnya pun ada sebuah pisau mahal yang mampu menggantikan tugasnya, pisau yang sering diasah dan semakin tajam bahkan lebih tajam dari pisau. Sehingga pisau merasa kalau tugasnya sudah selesai, ia bisa berbahagia diantara buah-buahan.
Lakukan apa yang kamu inginkan. Tapi tanggunglah resikonya. Karena kadang ketika kamu akan berubah pada akhirnya kamu akan kembali awal tanpa bisa kamu cegah karena disanalah takdirmu.
Pisau tak pernah mendengar kata-kata panjang itu dari panci. Karena kata-kata itu adalah kata yang tertinggal pada panci dan hanya menjadi kata yang terucap.
Ada sebuah kejadian besar di rumah mewah tempat pisau digunakan.Sebuah pertengkaran antara suami isteri pemilik rumah mewah. Pisau mendengarnya, karena posisi pertengkaran mereka berada di ruang makan. Ada teriakan dan isakan tangis, ada kata maaf yang diucapkan dengan nada tinggi, ada teriakan frustasi dan ada segala hal yang tak pernah ia saksikan secara langsung atau ia lihat ketika memotong daging-daging yang sudah kehilangan nyawa.
Pisau tidak pernah tahu kalau suami pemilik rumah mewah akan mengambilnya, mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas, disusul dengan teriakan isteri pemilik rumah. Pisau merasakan kembali darah, berkali-kali masuk, keluar, masuk, keluar, penuh dengan darah dan teriakan. Lunaknya daging manusia dan darahnya yang berwarna merah, bau amis yang sama.
Terakhir, pisau merasa kalau ia telah berhenti tapi tidak berada di tempat yang ia inginkan. Menancap pada dada isteri pemilik rumah mewah dan menghentikkan teriakan isteri pemilik rumah mewah.
Teriakan frustasi suami pemilik rumah yang terdengar setelahnya. Pisau ditarik dari dada isteri pemilik rumah, berpindah ke leher suami pemilik rumah. Lalu lepas dari sana, bersama darah yang menetes dan memancar.
Bersama kebencian pisau kepadanya.
2 komentar :
Aih, kayaknya ide dasarnya dateng dari iklan sabun cuci piring ya? :P
Sebenernya, aku ga begitu suka cerita yang jenisnya kayak begini (tokohnya bukan makhluk hidup gitu), karena entah kenapa, rasanya susah ngebayangin gimana rasanya jadi pisau. :s
Nevertheless, tetep aja, ini satu tulisan yang kreatif. :)
Gaya tulisanmu juga lumayan bagus untuk bagian tengah sampai akhir cerita, mengingat sepertinya kamu jarang nulis 'slasher' kayak begini. Tapi kalo mau lebih bagus lagi, there's still some room for improvement :). Mungkin kalo sering-sering nonton Psycho, Saw, The Texas Chainsaw Massacre atau semacamnya, jadi lebih ahli mendeskripsikan 'kejadian' seperti itu...hehe
Keep up the good work!
(ln 2 + 0.11) / 1.00
@chococyanide : Mungkin dari sana ya idenya hahaha. gak tau idenya tiba-tiba datang aja.
Wah gak tega nonton yang begituan ._.
Makasih ya buat komennya
Posting Komentar