Kamis, 26 Januari 2012

Poni


“Ya pokoknya harus ke salon, udahlah santai aja, pasti ada lah—“ aku sibuk menjawab telepon Yayuk yang terdengar begitu cerewet disebrang sana. “Iya, udah ya aku mau berangkat dulu,” ucapku menutup pembicaraan sekaligus sambungan telepon, tidak peduli suara Yayuk memanggilku dengan nada protes.

Jadi sekarang aku disini mengendarai scoopy biru diantara sepinya jalanan dan lampu jalan yang menerangi, mencari salon yang buka. Bagaimanapun harus ke salon, besok ketemu Farid di reuni kelas penampilanku harus secantik mungkin, minimal rambut gak keliatan berantakan berlebih kayak biasanya lah.

Sebagian toko sudah tutup, sebenarnya bukan sebagian tapi hampir semuanya. Hanya beberapa mini market 24 jam yang buka dan pastinya tidak menyediakan jasa potong rambut. Sepertinya sudah hampir 15 menit berlalu dan tak ada salon yang bertuliskan tanda open di pintu ataupun menyala lampunya.

“Mungkin bener kata Yayuk,” ujarku pada diri sendiri sembari memperhatikan jalanan yang sepi. Melirik ke kiri dan kanan, hanya sesekali sebuah sepeda motor lewat dengan kecepatan tinggi. “Pulang aja kali ya,” kuelus tengkukku sendiri yang mulai merasakan dinginnya malam.

Jadi kembali disini di jalanan sepi, diatas motor scoopy biru dengan arah putar balik kembali ke kos-kosan, setelah putus asa tidak menemukan salon yang buka di pukul 11 malam. Tapi seperti sebuah keberuntungan ada sebuah salon yang buka di pinggir jalan, lampunya masih menyala dan pintunya masih terbuka.

Setengah bertanya-tanya kenapa aku tidak melihat salon itu ketika berangkat. Kuparkirkan motor didepannya dan melangkahkan kaki masuk.

Salon itu serupa rumah hanya saja yang membedakannya adalah ketika masuk ke dalam, ada sebuah sofa tempat menunggu, 2 buah kaca dan 2 buah tempat duduk, sebuah tempat untuk mencuci rambut dan sebuah meja kecil berwarna coklat yang sepertinya di peruntukkkan tempat pembayaran.

Di meja kasir seorang cewek duduk, rambutnya panjang dengan poni menyentuh alis, rambutnya hitam legam dan senyumnya membuatku sedikit merinding. Dia berdiri menyambutku. “Mau potong mbak?”

Sempat ada keraguan. Mungkin sebaiknya aku lari dan segera memacu sepeda motor ke kos-kosan, bersembunyi di balik selimut atau membangunkan Rani dan mengajaknya ngobrol untuk melupakan semuanya. Tapi untuk langkah pertama sebaiknya perhatikan kakinya dulu, kalau kata orang-orang hantu itu bisa dilihat dari kakinya kalau menyentuh tanah—

“Mau potong mbak?” tanyanya lagi

Aku tersentak, dia sudah berjarak hanya beberapa meter dari wajahku. Oke. Kakinya ada, jarinya lengkap yang paling penting menyentuh lantai.

“Iya mbak—hehehe” jawabku dengan tawa datar.

Cewek berponi itu tersenyum. “Kalau begitu ayo mbak,” tangannya mengarah ke tempat pencucian rambut, kuikuti langkahnya dan segera duduk sekaligus merebahkan kepala.

Pelan-pelan rambutku terasa basah oleh air. “Kok potong rambut jam segini mbak?” tangannya memijat-mijat kepalaku setelah menuangkan sampo ke tangannya.

“Oh—kan biar mbak ada pelanggannya malam-malam gini,” jawabku asal sembari tertawa, di tanggapi tawa juga olehnya.

Mataku sibuk meneliti langit-langit ruangan ini yang hanya berwarna putih, tidak ada yang spesial kecuali jika ada cewek dengan rambut panjang menempel di dinding dengan jubah panjang berwarna putih dan—

“Halo mbak!”

“HUA!” aku melompat dari tempat duduk, tanpa mempedulikan rambutku yang basah menciprati orang yang mengagetkanku. Dengan napas terputus-putus kuperhatikan cewek berambut pendek dengan poni menyentuh alis yang menatapku heran. Kemudian kulihat cewek berambut panjang yang masih berdiri di belakang tempat pencucian rambut dengan ekspresi terkejut, tangannya masih menyentuh shower dengan air yang menyala.

“Maaf mbak, gak maksud ngebuat mbak kaget tadi,” ujar cewek itu sembari meletakkan tas nya di atas kursi. Dia tertawa kecil. Tapi rasa kagetku belum bisa diselesaikan begitu saja untuk membalas tawanya. Sial. Kalau saja wajahnya tidak seperti menempel di wajahku aku tidak akan berteriak seperti tadi.

Jadi tak kupedulikan lagi si cewek berambut pendek . Rasanya teriakan tadi menguras tenaga. Setelah menyelesaikan sesi pencucian rambut dengan handuk di kepala, aku berpindah dari tempat pencucian rambut ke tempat duduk tepat di sebelah cewek iseng yang tadi mengagetkanku.

Kulirik dia sekilas. Memasang senyum penuh permintaan maaf. Aku pun hanya membalas sekedarnya dan segera meraih sebuah majalah dari atas meja. Kebetulan majalah disana cuma satu dan entah keberuntungan atau bukan majalah yang tergeletak disana adalah majalah misteri. Aku tidak perlu menjelaskan isinya lebih lanjut.

“Kok potong malam-malam gini mbak?”

Kulirik cewek berambut pendek tadi. “Gakpapa mbak, pengen aja,” jawabku asal.

Dia mengangguk-angguk mengerti. Kemudian meraih majalah diatas meja dan membacanya.

Terdengar suara pintu dibuka, kemudian dengan sigap cewek disampingku berdiri dan terdengar suara selamat datang serta tawaran untuk potong rambut.

Aku tak mendengar jawaban hanya derap langkah menuju ke tempatku. Karena tak bisa berbalik jadi aku bisa melihat seseorang yang datang melalui kaca.

Untuk kali ini adalah sebuah keajaiban aku tidak berteriak.

Sosok cewek itu memiliki rambut panjang sepunggung kira-kira—aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau rambutnya lebih panjang lagi—dengan poni? Aku bahkan tidak bisa menyebut itu poni, sejak kapan poni bisa melewati mata. Apa tidak sulit melihat dibalik rambut yang sepanjang itu. Yang membuatnya terlihat seperti wanita normal adalah kemeja berwarna putih dan celana jeans yang dikenakannya.

Kaki. Kaki. Mana kakinya?

“Mbak? Mbak?”

Aku tersentak dan memperhatikan cewek yang sejak tadi melayaniku. “Mau dipotong gimana?”

“Ha? Oh—pendek aja sebahu, gak usah pake poni ya?”

Aku melihat ekspresi cewek berambut panjang itu, dahi mengkerut, kepala miring ke kanan. Seperti boneka. Tapi kalaupun diberi gratis aku tidak mau memiliki boneka seperti itu.

“Yakin mbak gak mau pakai poni?”

Aku menggeleng. “Gak mbak—“

“Wah mbak, padahal kayaknya mbak bakal lucu lho kalau pakai poni,” timpal cewek berambut pendek yang sekarang berdiri disebelahku berada di belakang cewek berambut panjang dengan poni yang menutupi wajahnya sedang duduk dan membuka majalah.

Astaga. Bagaimana caramu membaca majalah dengan poni seperti itu mbak?

“Masak?” tanyaku sembari memperhatikan pantulan wajahku di depan kaca. Dengan muka bulat seperti ini dan rambut sebahu nanti ditambah poni.

“Gak mbak. Yakin.”

Setelah itu proses memotong rambut dimulai. Dan aku berusaha untuk berpikir positif kalau semua kejadian ini hanya kebetulan. Dan kalau kejadian ini terjadi di siang hari aku tidak akan separno ini, pasti ini hanya karena semua ini terjadi di malam hari.

Tapi bukankah hal-hal aneh memang selalu terjadi di malam hari?

Kulirik sosok disampingku. Anehnya walaupun bagian belakang rambutnya dijepit dan mulai dipotong tapi bagian poni—masih bisakah rambut panjang yang menutupi mata disebut poni— tetap dibiarkan begitu saja. Apa ada request dari mbak itu untuk membiarkan rambut-panjang-melebihi-mata itu dibiarkan begitu saja.

“Mbak agak nunduk sedikit ya?”

Aku menuruti perintah tanpa jawaban. Kemudian tiba-tiba ada bebauan aneh menusuk hidung. Kemenyan kah?

Dengan ragu kutanyakan saja. Siapa tahu ini cuma bau parfum merk terbaru buatan luar negeri. Bukan—bukan buatan kuburan.

“Mbak, ini—bau apa ya?”

“Oh—“ ada jeda di ucapannya, mungkin si mbak mengendus-ngendus terlebih dulu memastikan bau yang ada. “Aroma terapi kita yang baru, enak kan baunya?”

Aku tertawa saja. Tertawa datar. Yang benar saja sejak kapan bau kemenyan menjadi aroma terapi?

Waktu berjalan begitu lambat. Sampai kemudian aku mengangkat wajah dan memperhatikan pantulan wajahku. Baru sebagian yang terpotong. Dan si cewek yang memotong rambutku tadi ijin berhenti memotong sebentar untuk mengangkat telepon, jadi aku disini berdua dengan mbak-mbak yang wajahnya tertutup poni. Cewek lainnya yang memotong rambut pun pergi entah kemana.

Jadi mungkin ini kesempatan untuk memperhatikan kakinya—

“Mbak.”

“Ah iya!” kuangkat wajahku dengan cepat hingga terasa seperti tertarik kebelakang. Sial. Sejak kapan aku jadi kagetan begini.

“Mbaknya nyari apa?” tanya cewek dengan poni melebihi alis tangannya masih memegang majalah. Tapi tanpa bisa kulihat matanya aku yakin dia sedang melihat ke arahku.

Aku menggeleng cepat. “Gak kok hehehe—sepatunya bagus mbak,” tebakku asal.

“Sepatu? Saya gak pake sepatu kok.”

Hmm—kalau gak pake sepatu berarti gak punya kaki ya? Kayaknya tadi jalan deh—apa melayang ya? Hmm—

Kemudian hening. Hening ini membunuhku. Jadi aku meraih handphone berpura-pura ada telepon, tidak mungkin kabur begitu saja. Katanya kalau kabur gitu aja nanti hantunya tahu, kalau hantunya tahu nanti dikejar kalau dikejar bisa-bisa aku diikuti sampai kos-kosan gak tenang seumur hidup terus bunuh diri.

Err—

“A—halo? Apa eyang meninggal?” kutempelkan handphone di telinga. “Innalillahi—aku kesana sekarang ma, tenang aja ma aku langsung pulang sekarang. Aku mau ketemu eyang untuk terakhir kalinya, iya ma—“ kemudian dengan memasang ekspresi sesedih mungkin aku menutup telepon. Mbak berponi panjang disebelahku menoleh.

“Turut berduka cita ya mbak—“

Aku mengangguk dengan ekspresi sesedih mungkin. Bibir dikulum, hidung menyedot-nyedot ingus, kemudian tangan yang menutupi mulut, sayangnya aku sulit menangis kalau tidak mungkin aku sudah berakting menjerit-jerit dengan air mata bercucuran.

“Iya mbak. Saya harus pergi sekarang.”

“Mau saya temenin mbak? Kebetulan saya bawa mobil.”

Oh no! Kalau yang mbaknya maksud adalah kendaraan semu yang mengantarkan kuburan. Maaf.

“Gak usah mbak, saya bawa motor sendiri,”

Lalu dengan segera kuraih tas menuju meja kasir membayar. Walaupun cewek yang tadi memotong rambutku melihat dengan tatapan heran dan terkejut, dan memintaku untuk duduk melanjutkan pemotongan rambut yang belum selesai aku tetap menolak dan beralasan bahwa aku harus terburu-buru pulang apapun yang terjadi.

“Kamu sudah tahu atau mau pergi?”

Kemudian hening memutus perdebatanku dan si mbak yang memotong rambutku tadi. Desir angin menggelitik tengkuk. Sial. Sial.

Entah dari manapun suara itu aku mau pulang.

Jadi setelah mengucapkan terimakasih aku segera keluar memasang helm memutar motor memacu gas dan berharap tidak ada seorang pun tambahan penumpang di bangku belakang.

Sial.sial.

“Jadi? Makanya rambutmu akhirnya kayak gini?”

Aku menganggukkan kepala, memegang rambut yang sebagian pendek dan panjang itu, rasanya mau berharajuku tapi gagal. Yayuk tertawa terbahak-bahak mendengar cerita yang benar-benar dia anggap aneh. “Makanya siapa yang nyuruh kamu nyari salon malam-malam?”

“Ya—ah tau ah. Udah kejadian ini.”

“Terus, itu beneran salon hantu?”

“Gak tau. Pokoknya hawanya malam itu pengen kabur aja.”

Lalu yayuk memperhatikan rambutku lagi yang mulai kuikat dengan ikatan ekor kuda. “Oh ya, ternyata kamu bagus lho pakai poni.”

Rasanya aku ingin menertawainya.

5 komentar :

chococyanide at: 29 Januari 2012 pukul 12.52 mengatakan... Reply

Hahaha..ini cerita horor apa komedi sih? Aku kira nakutin, tapi ternyata malah ada kejadian-kejadian yang menurutku lucu karena ketakutan si protagonis itu.

Yang menarik disini menurutku settingnya. Agak jarang juga, sebuah salon, yang meskipun sering jadi tempat menggosip, bisa jadi latar untuk cerita (komedi) kayak gini. Thumbs up!

Kekurangannya..kok kayaknya ada beberapa kalimat yang agak aneh ya? Trus juga ada yang kekurangan tanda baca. Mungkin sepele ya, tapi kalo misalnya kurang tanda koma gitu, bisa jadi aneh lho bacanya. Sebelumnya kayaknya enggak ada masalah kayak gini deh? Apa kamu terburu-buru ngerjainnya?

Ditunggu karya berikutnya ya~ =)

16/20

Vanessa Praditasari at: 29 Januari 2012 pukul 19.14 mengatakan... Reply

@chococyanide sebelumnya makasih udah ninggal komen yaaa :)
Awalnya sih mau horor soalnya ide awal emang kesitu tapi setelah diketik kok kayaknya ending horornya gak dapet, akhirnya aku milih ke agak komedi gitu deh hehehe.

Soal penempatan tanda baca emang iya setelah aku baca ulang banyak yang kurang ._. maaf ya ngetiknya memang agak buru-buru takut idenya hilang entah kemana hahaha.

Hilwy Al Hanin at: 28 Februari 2012 pukul 17.55 mengatakan... Reply

NAH! Aku suka ini, Nez!

Hihihi... entah kenapa aku malah lebih seram baca cerita ini dibandingkan Hunting yang tadi. Ngga tahu... semuanya berasa nyata. Monolog-monolog si pemeran utama yang ketakutan juga menarik, aku jadi ngebayangin sendiri panik mencari-cari si kaki. :p

Komedi segarnya juga ngga kalah menarik. Pas walau tema cerita ini horor. Jadi bisa membuat yang baca juga tawa-tawa miris ketakutan... (itu aku :p)

"Kamu sudah tahu atau mau pergi?" itu kata-kata favoritku di cerpen ini. Klimaks dari semua rangkaian ketakutan si tokoh utama.

Ah, ya. Seperti kata komentar di atas, tanda baca yang 'hilang' jadi agak mengganggu. Karena aku jadi sering mengulang dua kali membaca untuk bisa lebih mengerti. Lain kali, dicek ulang ya ^^

Keep writing... :)

Vanessa Praditasari at: 20 Maret 2012 pukul 16.12 mengatakan... Reply

@Hanin : Makasih ya hihihi~ padahal aku kira ini ceritanya abal-abal lho soalnya agak aneh .___.

Iya nanti aku usahain tanda bacanya gak bermasalah lagi deh :3

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 14.48 mengatakan... Reply

ahahaha... ini kan rumor yg sering beredar di perpus undip..
setannya kan bilang, "kamu udah selese atau udah tahu.."

Posting Komentar

Beo Terbang