Dia perempuan yang aneh. Aku hanya mengenalnya satu tahun
ketika kami bersama dalam satu kelas, sebelum itu mendengar namanya saja aku
tak pernah, wajahnya terasa asing tapi mungkin saja kami pernah berpapasan
suatu hari di suatu tempat, tanpa kami berdua sadari atau lebih tepatnya—tanpa
aku sadari.
Dia tertawa lebar hari ini, lebar sekali. Menertawakan soal
yang dipegang di tangan kanan dan berkata bahwa ia tidak bisa mengerjakan soal
sama sekali, tapi ia mengatakan itu sambil tertawa, sambil melipat kertas soal
baik-baik dan memasukkannya ke dalam tas. Sementara seorang temanku memilih
untuk membuang soal itu langsung ke tempat sampah dan aku, hanya memasukkannya
begitu saja tanpa peduli apakah soal itu kusut atau sobek ketika kutemukan
nanti.
Aku masih mendengar tawanya setelah beberapa menit kami
keluar dari kelas, ia berkata bahwa ia tidak bisa mengerjakan soal itu tapi
masih saja membahasnya. Sementara teman-teman kami yang lain sudah memilih
untuk melupakannya ia masih saja menertawakan jawabannya.
“Coba bayangin, aku sampe ngitung kancing baju buat milih
pilihan gandanya,” kemudian dia tertawa lagi. Aku hanya mendengar tawanya,
tanpa melihat ekspresi wajahnya, tak jauh darinya diantara obrolan mengenai
pertandingan bola semalam .
Dia perempuan yang aneh. Karena tawa dan diamnya bisa berada
sangat dekat dalam hari-harinya. Pagi tadi aku mendengar tawanya yang luar
biasa dan siang ini aku duduk berdua bersamanya karena pasangan duduknya sudah
merampok pasangan dudukku dan memaksanya untuk belajar bersama.
Aku tidak ingin membangun topik apapun, karena sepertinya kami
tidak berada di jalan yang sama untuk sebuah topik pembicaraan. Yang aku tahu
dia suka tertawa, dia suka matematika, dia suka menepuk bahu orang lain dengan
keras, dia sering berbicara dengan suara keras tapi tak pernah membuat yang
lain terganggu.
Aku mengangkat kepala ketika dia melakukan hal yang sama,
mata kami bertemu sedetik dan aku bisa melihat senyum serta tawa kecilnya yang
menular. Aku ikut tertawa bersamanya dan dia mulai membangun topik dengan
sebuah pertanyaan, walaupun aku menangkap keraguan dalam pertanyaannya. Atau lebih
tepatnya ketakutan.
“Mau mengajariku kimia?”
Saat itu aku menjawabnya dengan anggukan, hanya sebuah
anggukan yang membuat senyumnya semakin lebar.
Dia perempuan yang aneh, hingga aku merasa harus
menghindarinya. Walaupun tawanya menular, senyumnya membuatku terpaku sejenak
dan diamnya membuatku menebak-nebak isi pikirannya. Karena kecanggungannya
ketika berada di dekatku, tidak seperti bersama teman sekelas kami yang lain,
dia selalu berusaha mengoper-ngoper hal apapun jika berhubungan dengan diriku,
walaupun aku sudah mengajarinya kimia beberapa hari lalu dan dia tampak biasa
saja saat itu.
“Nih.”
Aku melirik seorang teman sekelas yang menyodorkan sebuah
buku tulis bersampul plastik padaku.
“Bukannya—“ aku berusaha untuk mencerna bagaimana buku
catatan kimia ku bisa berpindah tangan begitu saja, mencari dia diantara seisi
kelas.
“Tadi dititipin ke aku, katanya minta di kembaliin ke kamu.”
Aku hanya mengucapkan terimakasih ketika menerimanya, tapi
mataku tertarik untuk mencari dimana dia sampai harus menitipkan sebuah buku
catatan kepada orang lain untuk dikembalikan. Kenyataannya dia baru saja masuk
ke dalam kelas, membawa makanan, ketika mata kami bertemu dia segera
mengalihkan pandangan dan dengan kecepatan kilat membangun topik dengan teman
yang berjalan disampingnya dan tertawa.
Dia perempuan yang aneh,
dan masih aneh walaupun aku harus bermain dalam sebuah drama bersamanya,
menjadi pasangannya. Dia jauh lebih banyak diam dan menurut saja ketika salah
satu teman kami yang cerewetnya bukan main mengarahkan segala bentuk
gerak-gerik ,setiap detailnya dan terus menerus menggerutu karena akting kami
berdua.
“Kalian itu, kayak robot deh! Kaku banget.”
Aku bisa melihat dia memalingkan wajahnya, tak menjawab
apapun dan aku hanya sanggup tertawa kecil sambil meminta maaf.
Berbeda sekali ketika ia harus berakting dengan teman kami
yang lain, mereka tidak kunjung memulainya dan hanya tertawa-tawa entah apa
yang lucu dari adegan saling menampar satu sama lain, karena hingga setengah
jam berlalu mereka hanya mengulang dialog dan tertawa-tawa.
Perempuan yang aneh itu, aku meliiriknya hari ini,
membutuhkan jawaban, dia memiliki tipe soal yang sama denganku tapi suasana
saat itu membuatku tidak yakin kalau ia akan memberikan jawaban. Hari ini
adalah mata pelajaran keahliannya dan aku rasa ia sudah selesai sejak setengah
jam lalu, karena saat ini ia sedang memainkan pensilnya, menempel diantara
bibir atas dan hidung.
Dia melihatku, aku melihatnya. Aku memainkan jari,
megirimkan kode nasional yang dimengerti seluruh anak sekolah di seluruh
negeri, meminta jawaban darinya, dia melirik kertas jawabannya sedetik lalu
menatapku lagi dan memamerkan jari telunjuknya.
Aku menatap lembar soalku, menyilang pilihan A, dan mulai
menghitung ulang. Hanya mencoba meyakinkan diri.
Dia masih tampak aneh di mataku, terutama hari itu, ketika seluruh
anggota kelas bermain ke sebuah tempat bermain yang dilengkapi oleh sebuah
kolam. Dia menjadi salah satu dari beberapa orang yang tak beruntung yang
diceburkan ke dalam kolam dan mengejar orang yang bertanggung jawab atas
pakaian dan rambutnya yang basah untuk balas dendam.
Aku tertawa-tawa melihat tingkah mereka dan nyaris menjadi
korban sebelum aku berlari menjauh dan kembali lagi dengan tawa bersama beberapa
anak lain yang masih kering. Ketika itu aku melihat dia seperti mencari
sesuatu, menanyai orang satu persatu, beberapa di sambut gelengan dan beberapa
yang lain menunjuk ke seseorang lain.
Aku bisa mendengar pertanyaannya pada seorang teman yang
masih kering.
“Pinjemin jaket dong—“
Aku memperhatikan jaket biru tua yang kukenakan. Dia melewatiku
tanpa bertanya.
Dia perempuan yang aneh, masih aneh walaupun di pertemuan
pertama kami setelah 3 tahun berlalu.Matanya membulat ketika menemukanku,
ketika menyapa dirinya yang duduk menunggu di sebuah café sendirian, sebenarnya
kalau tidak terpaksa aku ragu untuk menyapanya karena bisa saja dia
mengacuhkanku, karena hubungan diantara kami tidak pernah benar-benar baik.
Canggung memang ketika aku memanggil namanya dan menangkap
keterkejutan yang sangat. Aku seperti melihatnya sedang melihat seseorang yang
mati dan dibangkitkan kembali di depannya. Tapi aku memilih tidak peduli dan mengambil tempat di
depannya, duduk dihadapannya dan bertanya apakah boleh duduk disana karena aku
sedang menunggu seorang teman yang memang sudah sangat sering terlambat.
Dia tidak menjawab, dia hanya diam, kedua tangannya
masih memegang sampul buku yang terbuka lebar. Saat itu aku berusaha untuk
tidak terlalu peduli, karena aku tidak suka menunggu sendirian, kalau dia ingin
mengusir seharusnya dia melakukannya sejak tadi.
Aku mengalihkan perhatian dari jam tangan ke dirinya, ke
perempuan aneh itu. Ketika kulihat dia mengusap matanya pelan.
“Kenapa kau muncul lagi—“
Suaranya sengau. Dan aku masih belum mengerti. Bagaimana perempuan
ini bisa begitu aneh di mataku.
1 komentar :
aku pun segera beranjak pergi. aku tak ingin semua menjadi lebih buruk. tapi ada sesak dalam dadaku. aku rasa hari ini aku harus tahu apa yang ada diantara kami. tak sampai dua langkah menjauh, aku berbalik dan duduk di hadapannya.
terlihat matanya mulai berkilat. aku semakin merasa bersalah tapi aku harus menyelesaikan semua ini.
"maaf. jujur. aku nggak ngerti kenapa kamu gini tiap liat aku. kamu tertawa sama semua orang, kamu bisa bercanda ke semua orang, kamu terlihat nyaman ke semua orang. tapi tidak denganku." kuhela nafas. kupandangi mata birunya.
"apa salahku?" tanyaku
"gimana aku nggak sedih, aku suka sama kamu, taoi cerita sama banyak orang kalo aku aneh. cerita sama guru-guru kalo aku aneh. bahkan kamu nulis blog tentang keanehanku. kamu pikir aku apa?! alien?!"
dan seketika orange juice di gelasnya berpindah ke mukaku..
Posting Komentar