Selasa, 27 Agustus 2013

Kaos Kuning


Siang itu tak terik seperti biasanya, matahari hanya mengintip dari balik awan dan angin mempermainkann pucuk-pucuk daun, membuat dahan menari-nari. Ucap syukur menyeruak ke udara, tak perlu payung ataupun banyak berteduh, tak perlu berkeringat ataupun merindukan pendingin ruangan, obrolan basa-basi berkisar pada cuaca yang tak terik, angin yang bertiup sepoi-sepoi dan langit yang tak tampak mendung.

Sementara seorang remaja berjongkok di depan jemurannya, berharap matahari menunjukkan kekuatannya hari ini, seperti hari-hari biasanya, seperti yang ia keluhkan setiap kali harus menunggu di halte bis ataupun ia risaukan setiap kali hendak keluar rumah.

Tangannya menopang dagu, sementara sikunya bertumpu pada lutut, menatap kaos berwarna kuning yang seharusnya ia kenakan malam nanti. Mungkin sudah 30 menit berlalu sejak ia mengeluarkan pakaiannya dari mesin cuci, menjemurnya bersama pakaiannya yang lain dan memandanginya seperti orang bodoh.

Ya—dia memang sudah merasa bodoh sekali, sejak dua hari lalu dia dang geng kesayangannya berjanji akan mengenakan baju dengan warna yang sama ke reuni SMP. Dan pagi tadi dia baru ingat kalau hanya ada satu pakaian berwarna kuning yang ia punya dan bahkan sempat ia cari kemana-mana dan ditemukannya di belakang lemari baju, entah bagaimana kaos itu bisa sampai kesana.

Ia tidak pernah berpikir untuk membeli pakaian berwarna kuning lebih banyak, karena dengan lemari pakaian yang di dominasi warna peach saja sudah membuatnya bahagia. Sekarang mungkin dia harus mulai berpikir untuk menambah stok warna kuning lebih banyak, biru tua juga, hitam dan ungu mungkin.

“Raya! Ngapain kamu jongkok disitu? Nggak panas apa?”

Teriakan itu tak membuat remaja yang dipanggil Raya itu berbalik. Hanya menjawab dengan teriakan yang  sama kencangnya. “Nggak ma. Hari ini nggak panas.”

Kemudian Raya kembali menggerutu, mengeluhkan matahari yang sedang mengerjainya.

Suara langkah mendekati Raya, seorang wanita paruh baya yang dipanggil mama oleh Raya menunduk di samping anak bungsu perempuannya, mengarahkan pandangan pada arah yang sama, kaos berwarna kuning yang tergantung di jemuran. “Kamu nungguin jemuran Ray?”

Raya menganggukkan kepala, kedua tangannya menangkup pipi.

“Kenapa nggak kamu cuci dari kemarin sih Ray?”

“Ini aja nemu di belakang lemari baju ma. Kotor, jadi harus Raya cuci.”

Mama Raya berbalik meninggalkan Raya sambil bergumam. “Kamu tuh, makanya jangan ceroboh—“

“Jangan suka mepet-mepet kalau mengerjakan sesuatu,” Raya mengikuti kalimat mamanya, lalu mendengus, ia sudah sangat-sangat terbiasa.

“Mana Raya tahu kalau hari ini nggak panas, Raya juga nggak tahu kalau kaosnya ada di belakang lemari dan kotor,” Raya membenamkan kepalanya di antara kedua tangan yang terlipat, membiarkan angin memainkan anak rambutnya, menjatuhkan beberapa kaos kaki yang tak tergantung benar.

“Kamu ngapain Ray?” suara bass yang dikenal Raya membuatnya mengangkat kepala, memfokuskan pandangan pada kakak tertuanya yang memungut kaos kaki yang jatuh lalu menggantungkannya kembali ke jemuran.

“Nungguin jemuran,” jawab Raya tak acuh, membenamkan kembali kepalanya di antara lipatan tangan. Kakak laki-laki Raya yang masih mengepit bola basket diantara lengan menatap adik semata wayangnya itu dengan tatapan heran. “Ngapain kamu nungguin jemuran? Kehabisan baju?”

“Bukan kak—“ Raya mengangkat kepalanya lagi, menjawab lamat-lamat dengan kesal. “Aku tuh harusnya nanti malam pakai baju warna kuning buat acara reuni, tapi ternyata aku cuma punya satu, jadi—“

“Kenapa kamu nggak pinjam baju kakak aja?” bola memantul berkali-kali, membuat mata Raya tak fokus  antara kakaknya dan pantulan bola.

“Nggak mungkin lah kak,” Raya mendesis kesal. “Udah sana masuk, mandi. Kakak bau!”

 Kakak laki-laki Raya hanya mengangkat bahu, meninggalkan Raya sambil memantul-mantulkan bola sampai teriakan dari dalam rumah terdengar lagi.

“Rey! Jangan mainan basket di dalam rumah!”

Raya tak peduli, walaupun suara pantulan bola itu pun sempat mengganggunya dan memang badan kakaknya selalu bau setelah bermain basket, terlebih angin bertiup ke arahnya tadi. Sekarang yang menjadi kepedulian terbesarnya adalah kaos berwarna kuning yang tak kunjung kering juga. Tangannya baru saja memeras baju itu satu menit yang lalu dan masih lembab—atau bahkan basah—, Raya hanya berusaha menenangkan diri.

Dari halaman rumahnya yang kecil samar-samar Raya bisa mendengar dentang jam, sudah satu jam ia berjongkok di depan jemuran. Dan kaos itu belum kering juga.

“Raya! Ayo makan! Jemuran kamu nggak bakal cepet kering walaupun kamu pelototin!”

Teriakan itu menarik Raya masuk ke dalam rumah, menuruti perintah mama dan perutnya yang sudah mulai berbunyi, sejak beberapa menit lalu.

“Kenapa hari ini nggak panas sih!” Raya kembali mengeluhkan hal yang sama, sama seperti 10 menit lalu sebelum ia memulai makannya sama seperti saat ini setelah ia menyelesaikan makannya, menuju ke dapur untuk mencuci piring.

“Bukannya kemarin kamu ngeluh ya? Kenapa panas banget sih?” Rey kakak laki-laki Raya meletakkan piring di dalam bak cuci piring sembari menirukan suara Raya, di hari yang lalu ketika Raya memohon mohon pada kakak laki-lakinya untuk mengantarnya pergi naik mobil.

“Kemarin, kemarin. Sekarang ya sekarang. Aku butuh panas yang kemarin buat hari ini,” Raya mengoleskan spons berbusa perlahan, sembari memandangi jendela. “Kayaknya ada yang lagi ngerjain aku."

Terdengar tawa mama Raya tangannya terjulur menitipkan beberapa mangkuk kosong ke bak cuci piring.  “Siapa yang bisa ngerjain kamu pakai matahari Ray?”

“Ya—tapi kan. Mataharinya. Ah—“ Raya mendengus lagi, menggosok spoonsnya lebih cepat lalu menyelesaikan tugas mencuci piringnya, beranjak dari dapur menuju halaman samping berjongkok di depan kaos kuningnya yang tergantung dan berayun-ayun tertiup angin.

“Udah mama bilangin, kaosnya nggak akan jadi cepat kering walaupun kamu pelototin,” mama Raya menyusul anak perempuannya ke halaman samping lalu meremas kaos kuning yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Raya. “Masih agak lembab, coba di setrika aja terus di jemur lagi, siapa tau cepat kering.”

“Mama bilang, nggak boleh nyetrika pakaian basah?” Raya mendongakkan kepalanya.

“Ya—sekali inilah. Cepat sana di setrika dulu sebentar,” mama Raya berbalik meninggalkan anak perempuannya yang segera menarik kaos kuningnya, berlari menuju ke ruang setrika.

Sebenarnya ruang setrika adalah sebuah ruang kecil yang pengap—tanpa jendela—dan sempit karena di penuhi pakaian yang sudah dan belum di setrika dan hanya mampu menampung sebuah kursi membelakangi pintu, satu meja setrika, dan beberapa tumpuk pakaian di bawah meja setrika. Raya biasanya paling malas kalau mendapat tugas menyetrika karena ia selalu berkeringat walaupun hanya  beberapa menit di ruang setrika, tapi kali ini dia bisa bersiul-siul sembari menyalakan setrikanya dan mulai menggosok kaos kuningnya.

“Ray, tunggu sampai panas dulu setrikaannya!”

Teriakan dari sisi lain rumah membuat Raya mengerutkan dahi, mamanya memang selalu tahu apa yang sedang ia lakukan. Setrika kembali berpindah ke tempat semula dengan sangat tak sabar Raya memandangi 
sinar lampu di setrika menunggunya mati.

Setelah terdengar bunyi klik pelan Raya segera menempelkan sisi panas setrikaan ke atas kaos kuningnya hingga terdengar bunyi mendesis, bekas setrika berwarna lebih gelap daripada sisi yang lain. Raya menekan setrikanya dengan perasaan senang setiap kali terdengar suara mendesis dan uap keluar dari sisi-sisi panas setrika . Raya menggosok kaos kuningnya dengan perlahan mencegahnya dari kusut bekas cucian ataupun lembab yang berlebihan sampai suara mendesis itu hilang dan kaos kuningnya seolah berubah warna— Raya yakin kalau tadi warnanya tidak setua sekarang—.

“Ayo cepat, cepat kering—“ seolah mantera Raya mengulangi kata-kata itu berkali-kali, sampai ia menyadari bahwa kaos kuningnya masih terasa lembab dan memang butuh di jemur lagi.

Rey yang baru saja keluar dari dapur mengintip ruang setrika dan mendapati adik perempuannya masih mengurusi kaos kuning yang tak kunjung kering,  sambil berlalu ia berucap. “Coba pakai hair dryer.”

Rey tak sungguh serius soal itu dan ia pikir Raya tak akan melakukan usul bodohnya, sampai kemudian Rey mendengar suara hair dryer—yang sungguh lebih berisik dari pada pantulan bolanya di dalam rumah— membahana menembus dinding-dinding rumah mereka yang kecil.

“Ray! Kamu pakai hair dryer beneran?”

“Lho, tadi kak Rey yang bilang gitu kan.”

Raya masih memainkan hair dryernya berputar-putar di atas kaos kuning yang kemudian dibalik, lalu di dekatkan hair dryer . Lalu dibalik, di dekatkan lagi, berkali-kali, hingga membuat Rey yang berkacak pinggang sejak tadi di belakang adik perempuannya memilih untuk pergi.  

Kemudian secara tiba-tiba hairdryer Raya mati bersamaan dengan menghilangnya suara TV.

Raya sempat kebingungan memperhatikan tombol daya yang tidak menyala, memperhatikan TV yang tidak  menampilkan gambar atapun bunyi, lalu menekan saklar lampu yang tak berfungsi.

“Mati lampu?” Rey bertanya sembari memasuki ruang keluarga dengan majalah di tangan kanan, ia sempat  mencoba tombol lampu yang sama yang dicoba Raya sebelumnya, ketika pertanyaannya terjawab ia  menempatkan diri di sofa ruang keluarga dan tampak tak peduli.

“Kok mati lampu sih!”

“Mati lampu ya Ray?” mama Raya keluar dari kamarnya, melihat ke TV yang tidak menyala, lalu menatap  anak perempuannya yang tampak lesu.

Raya menganggukkan kepala. Kaos kuning yang masih terasa sedikit lembab ada di tangan kirinya, terseret menyentuh lantai. Mama Raya tersenyum kecil melihat anak bungsunya yang tampak sudah kesal sekali mengurusi sebuah kaos kuning yang tak kunjung kering.

“Coba kamu jemur lagi. Siapa tahu di luar panas.”

“Sebelum Raya masuk rumah masih teduh kayak gitu,” bibir Raya maju entah berapa senti, dahinya berkerut  dan raut wajahnya kusut, lebih kusut daripada kaos kuning yang sempat ia setrika tadi.

“Coba di cek dulu sana,” mama Raya mengarahkan pundak anaknya menuju pintu keluar ke halaman  samping.

Raya mendongakkan kepala, memperhatikan langit, matahari bersinar terik sekali saat itu.

“Panas!”

Senyum Raya tak kunjung hilang walaupun kakinya yang telanjang terasa terbakar walaupun terik menerpa wajahnya, walaupun tak ada angin sepoi-sepoi yang memainkan anak rambutnya dengan bersenandung ia menggantungkan kaos kuningnya di jemuran dan selesai.

Pasti jemurannya akan kering sebelum sore tiba.

...

Raya sudah siap dengan kaos kuning berpadu dengan cardigan peach dan celana jeans berwarna hitam, 
listrik baru menyala beberapa menit lalu, tapi ia sudah sempat mandi diantara gelapnya kamar mandi karena lampu emergency rumahnya sudah lama tidak di charge lagi. Sembari meraih tasnya dan bersiap berangkat 

Raya baru menyadari handphonenya mati, entah sejak kapan, tapi tidak penting juga bagi Raya, ia sudah cukup sibuk mengurusi kaos kuningnya sejak siang, apa yang harus dikhawatirkan dari handphone yang mati seharian.

Dengan handphone menempel di charger, Raya menghidupkan handphonenya, hanya sekedar mengecek saja.

5 sms masuk.

Sebuah sms dari provider, sebuah sms penipuan, sebuah sms penawaran togel—Raya masih tidak mengerti kenapa nomor handphonenya menjadi sasaran penawaran togel— dan dua sms dari Tanya.

Ray, reuni SMP hari ini batal. Tuan rumahnya tiba-tiba ada urusan keluarga. Pamannya meninggal.

Raya membaca sms itu berulang kali. Sms yang sama terkirim dua kali.

Raya menumbangkan tubuhnya di atas kasur.

“Inalilahi wainalilahi rojiun.”

...

Sebenarnya ini mau dijadiin dari seri baru yang mau aku bikin. Pagi-Siang-Malam. Tapi waktu ngetik cerita ini, tiba-tiba dapat ide lain untuk seri Siang. Jadi, ya begitulah--hahahaha~

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang