Siang
itu tak terik seperti biasanya, matahari hanya mengintip dari balik awan dan
angin mempermainkann pucuk-pucuk daun, membuat dahan menari-nari. Ucap syukur
menyeruak ke udara, tak perlu payung ataupun banyak berteduh, tak perlu
berkeringat ataupun merindukan pendingin ruangan, obrolan basa-basi berkisar
pada cuaca yang tak terik, angin yang bertiup sepoi-sepoi dan langit yang tak
tampak mendung.
Sementara
seorang remaja berjongkok di depan jemurannya, berharap matahari menunjukkan
kekuatannya hari ini, seperti hari-hari biasanya, seperti yang ia keluhkan
setiap kali harus menunggu di halte bis ataupun ia risaukan setiap kali hendak
keluar rumah.
Tangannya
menopang dagu, sementara sikunya bertumpu pada lutut, menatap kaos berwarna
kuning yang seharusnya ia kenakan malam nanti. Mungkin sudah 30 menit berlalu
sejak ia mengeluarkan pakaiannya dari mesin cuci, menjemurnya bersama
pakaiannya yang lain dan memandanginya seperti orang bodoh.
Ya—dia
memang sudah merasa bodoh sekali, sejak dua hari lalu dia dang geng kesayangannya
berjanji akan mengenakan baju dengan warna yang sama ke reuni SMP. Dan pagi
tadi dia baru ingat kalau hanya ada satu pakaian berwarna kuning yang ia punya
dan bahkan sempat ia cari kemana-mana dan ditemukannya di belakang lemari baju,
entah bagaimana kaos itu bisa sampai kesana.
Ia tidak pernah berpikir untuk membeli pakaian berwarna kuning lebih banyak, karena dengan lemari pakaian yang di dominasi warna peach saja sudah membuatnya bahagia. Sekarang mungkin dia harus mulai berpikir untuk menambah stok warna kuning lebih banyak, biru tua juga, hitam dan ungu mungkin.
“Raya!
Ngapain kamu jongkok disitu? Nggak panas apa?”
Teriakan
itu tak membuat remaja yang dipanggil Raya itu berbalik. Hanya menjawab dengan
teriakan yang sama
kencangnya. “Nggak ma. Hari ini nggak panas.”
Kemudian
Raya kembali menggerutu, mengeluhkan matahari yang sedang mengerjainya.
Suara
langkah mendekati Raya, seorang wanita paruh baya yang dipanggil mama oleh Raya
menunduk di samping anak bungsu perempuannya, mengarahkan pandangan pada arah
yang sama, kaos berwarna kuning yang tergantung di jemuran. “Kamu nungguin
jemuran Ray?”
Raya menganggukkan kepala, kedua tangannya menangkup pipi.
“Kenapa
nggak kamu cuci dari kemarin sih Ray?”
“Ini
aja nemu di belakang lemari baju ma. Kotor, jadi harus Raya cuci.”
Mama
Raya berbalik meninggalkan Raya sambil bergumam. “Kamu tuh, makanya jangan
ceroboh—“
“Jangan
suka mepet-mepet kalau mengerjakan sesuatu,” Raya mengikuti kalimat mamanya,
lalu mendengus, ia sudah sangat-sangat terbiasa.
“Mana
Raya tahu kalau hari ini nggak panas, Raya juga nggak tahu kalau kaosnya ada di
belakang lemari dan kotor,” Raya membenamkan kepalanya di antara kedua tangan
yang terlipat, membiarkan angin memainkan anak rambutnya, menjatuhkan beberapa
kaos kaki yang tak tergantung benar.
“Kamu
ngapain Ray?” suara bass yang dikenal Raya membuatnya mengangkat kepala,
memfokuskan pandangan pada kakak tertuanya yang memungut kaos kaki yang jatuh
lalu menggantungkannya kembali ke jemuran.
“Nungguin
jemuran,” jawab Raya tak acuh, membenamkan kembali kepalanya di antara lipatan
tangan. Kakak laki-laki Raya yang masih mengepit bola basket diantara lengan
menatap adik semata wayangnya itu dengan tatapan heran. “Ngapain kamu nungguin
jemuran? Kehabisan baju?”
“Bukan
kak—“ Raya mengangkat kepalanya lagi, menjawab lamat-lamat dengan kesal. “Aku
tuh harusnya nanti malam pakai baju warna kuning buat acara reuni, tapi
ternyata aku cuma punya satu, jadi—“
“Kenapa
kamu nggak pinjam baju kakak aja?” bola memantul berkali-kali, membuat mata
Raya tak fokus antara
kakaknya dan pantulan bola.
“Nggak
mungkin lah kak,” Raya mendesis kesal. “Udah sana masuk, mandi. Kakak bau!”
Kakak
laki-laki Raya hanya mengangkat bahu, meninggalkan Raya sambil
memantul-mantulkan bola sampai teriakan dari dalam rumah terdengar lagi.
“Rey!
Jangan mainan basket di dalam rumah!”
Raya
tak peduli, walaupun suara pantulan bola itu pun sempat mengganggunya dan
memang badan kakaknya selalu bau setelah bermain basket, terlebih angin bertiup
ke arahnya tadi. Sekarang yang menjadi kepedulian terbesarnya adalah kaos
berwarna kuning yang tak kunjung kering juga. Tangannya baru saja memeras baju itu satu menit yang lalu dan masih lembab—atau bahkan basah—, Raya hanya
berusaha menenangkan diri.
Dari
halaman rumahnya yang kecil samar-samar Raya bisa mendengar dentang jam, sudah
satu jam ia berjongkok di depan jemuran. Dan kaos itu belum kering juga.
“Raya!
Ayo makan! Jemuran kamu nggak bakal cepet kering walaupun kamu pelototin!”
Teriakan
itu menarik Raya masuk ke dalam rumah, menuruti perintah mama dan perutnya yang
sudah mulai berbunyi, sejak beberapa menit lalu.
“Kenapa hari ini nggak panas sih!” Raya kembali mengeluhkan hal yang sama, sama seperti 10 menit lalu sebelum ia memulai makannya sama seperti saat ini setelah ia menyelesaikan makannya, menuju ke dapur untuk mencuci piring.
“Bukannya
kemarin kamu ngeluh ya? Kenapa panas banget sih?” Rey kakak laki-laki Raya
meletakkan piring di dalam bak cuci piring sembari menirukan suara Raya, di
hari yang lalu ketika Raya memohon mohon pada kakak laki-lakinya untuk
mengantarnya pergi naik mobil.
“Kemarin,
kemarin. Sekarang ya sekarang. Aku butuh panas yang kemarin buat hari ini,”
Raya mengoleskan spons berbusa perlahan, sembari memandangi jendela. “Kayaknya
ada yang lagi ngerjain aku."
Terdengar
tawa mama Raya tangannya terjulur menitipkan beberapa mangkuk kosong ke bak
cuci piring. “Siapa
yang bisa ngerjain kamu pakai matahari Ray?”
“Ya—tapi
kan. Mataharinya. Ah—“ Raya mendengus lagi, menggosok spoonsnya lebih cepat
lalu menyelesaikan tugas mencuci piringnya, beranjak dari dapur menuju halaman
samping berjongkok di depan kaos kuningnya yang tergantung dan berayun-ayun
tertiup angin.
“Udah
mama bilangin, kaosnya nggak akan jadi cepat kering walaupun kamu pelototin,”
mama Raya menyusul anak perempuannya ke halaman samping lalu meremas kaos kuning
yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Raya. “Masih agak lembab, coba di
setrika aja terus di jemur lagi, siapa tau cepat kering.”
“Mama
bilang, nggak boleh nyetrika pakaian basah?” Raya mendongakkan kepalanya.
“Ya—sekali
inilah. Cepat sana di setrika dulu sebentar,” mama Raya berbalik meninggalkan
anak perempuannya yang segera menarik kaos kuningnya, berlari menuju ke ruang
setrika.
Sebenarnya
ruang setrika adalah sebuah ruang kecil yang pengap—tanpa jendela—dan sempit
karena di penuhi pakaian yang sudah dan belum di setrika dan hanya mampu
menampung sebuah kursi membelakangi pintu, satu meja setrika, dan beberapa
tumpuk pakaian di bawah meja setrika. Raya biasanya paling malas kalau mendapat
tugas menyetrika karena ia selalu berkeringat walaupun hanya beberapa
menit di ruang setrika, tapi kali ini dia bisa bersiul-siul sembari menyalakan
setrikanya dan mulai menggosok kaos kuningnya.
“Ray,
tunggu sampai panas dulu setrikaannya!”
Teriakan
dari sisi lain rumah membuat Raya mengerutkan dahi, mamanya memang selalu tahu
apa yang sedang
ia lakukan. Setrika kembali berpindah ke tempat semula dengan sangat tak sabar
Raya memandangi
sinar
lampu di setrika menunggunya mati.
Setelah
terdengar bunyi klik pelan Raya segera menempelkan sisi panas
setrikaan ke atas kaos kuningnya hingga
terdengar bunyi mendesis, bekas setrika berwarna lebih gelap daripada sisi yang
lain. Raya menekan setrikanya
dengan perasaan senang setiap kali terdengar suara mendesis dan uap keluar dari
sisi-sisi panas setrika
. Raya menggosok kaos kuningnya dengan perlahan mencegahnya dari kusut bekas
cucian ataupun lembab
yang berlebihan sampai suara mendesis itu hilang dan kaos kuningnya seolah
berubah warna— Raya yakin
kalau tadi warnanya tidak setua sekarang—.
“Ayo
cepat, cepat kering—“ seolah mantera Raya mengulangi kata-kata itu
berkali-kali, sampai ia menyadari
bahwa kaos kuningnya masih terasa lembab dan memang butuh di jemur lagi.
Rey
yang baru saja keluar dari dapur mengintip ruang setrika dan mendapati adik
perempuannya masih mengurusi
kaos kuning yang tak kunjung kering, sambil berlalu ia berucap. “Coba
pakai hair dryer.”
Rey
tak sungguh serius soal itu dan ia pikir Raya tak akan melakukan usul bodohnya,
sampai kemudian Rey mendengar
suara hair dryer—yang sungguh lebih berisik dari pada pantulan
bolanya di dalam rumah— membahana
menembus dinding-dinding rumah mereka yang kecil.
“Ray!
Kamu pakai hair dryer beneran?”
“Lho,
tadi kak Rey yang bilang gitu kan.”
Raya
masih memainkan hair dryernya berputar-putar di atas kaos kuning
yang kemudian dibalik, lalu di dekatkan hair
dryer . Lalu dibalik, di dekatkan lagi, berkali-kali, hingga membuat
Rey yang berkacak pinggang
sejak tadi di belakang adik perempuannya memilih untuk pergi.
Kemudian
secara tiba-tiba hairdryer Raya mati bersamaan dengan menghilangnya suara TV.
Raya
sempat kebingungan memperhatikan tombol daya yang tidak menyala, memperhatikan
TV yang tidak menampilkan
gambar atapun bunyi, lalu menekan saklar lampu yang tak berfungsi.
“Mati
lampu?” Rey bertanya sembari memasuki ruang keluarga dengan majalah di tangan
kanan, ia sempat mencoba
tombol lampu yang sama yang dicoba Raya sebelumnya, ketika pertanyaannya
terjawab ia menempatkan
diri di sofa ruang keluarga dan tampak tak peduli.
“Kok
mati lampu sih!”
“Mati
lampu ya Ray?” mama Raya keluar dari kamarnya, melihat ke TV yang tidak
menyala, lalu menatap anak
perempuannya yang tampak lesu.
Raya
menganggukkan kepala. Kaos kuning yang masih terasa sedikit lembab ada di
tangan kirinya, terseret menyentuh
lantai. Mama Raya tersenyum kecil melihat anak bungsunya yang tampak sudah
kesal sekali mengurusi
sebuah kaos kuning yang tak kunjung kering.
“Coba
kamu jemur lagi. Siapa tahu di luar panas.”
“Sebelum
Raya masuk rumah masih teduh kayak gitu,” bibir Raya maju entah berapa senti,
dahinya berkerut dan
raut wajahnya kusut, lebih kusut daripada kaos kuning yang sempat ia setrika
tadi.
“Coba
di cek dulu sana,” mama Raya mengarahkan pundak anaknya menuju pintu keluar ke
halaman samping.
Raya
mendongakkan kepala, memperhatikan langit, matahari bersinar terik sekali saat
itu.
“Panas!”
Senyum
Raya tak kunjung hilang walaupun kakinya yang telanjang terasa terbakar
walaupun terik menerpa wajahnya,
walaupun tak ada angin sepoi-sepoi yang memainkan anak rambutnya dengan
bersenandung ia menggantungkan
kaos kuningnya di jemuran dan selesai.
Pasti
jemurannya akan kering sebelum sore tiba.
...
...
Raya sudah siap dengan
kaos kuning berpadu dengan cardigan peach dan celana jeans
berwarna hitam,
listrik baru menyala beberapa menit lalu, tapi ia sudah sempat mandi diantara gelapnya kamar mandi karena lampu emergency rumahnya sudah lama tidak di charge lagi. Sembari meraih tasnya dan bersiap berangkat
listrik baru menyala beberapa menit lalu, tapi ia sudah sempat mandi diantara gelapnya kamar mandi karena lampu emergency rumahnya sudah lama tidak di charge lagi. Sembari meraih tasnya dan bersiap berangkat
Raya baru menyadari
handphonenya mati, entah sejak kapan, tapi tidak penting juga bagi Raya, ia
sudah cukup sibuk mengurusi kaos kuningnya sejak siang, apa yang harus
dikhawatirkan dari handphone yang mati seharian.
Dengan
handphone menempel di charger, Raya menghidupkan handphonenya, hanya sekedar
mengecek saja.
5
sms masuk.
Sebuah
sms dari provider, sebuah sms penipuan, sebuah sms penawaran togel—Raya masih
tidak mengerti kenapa nomor handphonenya menjadi sasaran penawaran togel— dan
dua sms dari Tanya.
Ray,
reuni SMP hari ini batal. Tuan rumahnya tiba-tiba ada urusan keluarga. Pamannya
meninggal.
Raya
membaca sms itu berulang kali. Sms yang sama terkirim dua kali.
Raya
menumbangkan tubuhnya di atas kasur.
“Inalilahi
wainalilahi rojiun.”
...
Sebenarnya ini mau dijadiin dari seri baru yang mau aku bikin. Pagi-Siang-Malam. Tapi waktu ngetik cerita ini, tiba-tiba dapat ide lain untuk seri Siang. Jadi, ya begitulah--hahahaha~
0 komentar :
Posting Komentar