“Ger, buruan keburu telat nih!”
“Iya, iya bentar,” tanganku masih sibuk mengecek kertas-kertas. Seharusnya kertas ini lengkap dan tak kurang satu apapun, kalau tidak, bisa hancur mukaku di depan dosen killer satu itu.
Yuda melongokkan kepalanya ke dalam kamar, sementara tanganku masih sibuk menghitung kertas-kertas yang sudah mencapai angka 25. “Ger, kalau kamu mau ngitungin kertas itu nanti aja sekalian jalan. Kamu tahu kan kita mau ngadepin siapa?”
“Iya, iya. Cuma mastiin aja. Eh bentar kertas sampulnya mana ya?” tanganku berhenti di kertas terakhir, seharusnya di halaman pertama ada halaman sampul. Kenapa tidak masuk hitungan.
Mataku sibuk menelusuri meja belajar yang sudah tertutup buku-buku tebal, beberapa kertas-kertas kosong dan kertas gagal lainnya. Bingo! Kertas yang kucari berada di tempat yang mudah ditemukan. “Nah ini dia.”
“Buruan Ger. Udah jam segini!” Yuda sudah tidak memperhatikan kamarku yang mungkin tampak tak indah di matanya sebagai pecinta kerapian. Pakaian berceceran di mana-mana, buku yang ikut terdampar di berbagai tempat sampai terakhir benda paling penting—laptop— pun tergeletak di atas lantai bersama printer. Sekali tertendang bisa bermasalah dua benda berharga itu.
Kertas sampul yang sempat kucari-cari sudah masuk ke dalam map, dan tepat di bawah kertas itu kutemukan kotak seukuran mug yang membuatku berhenti sejenak, sekedar mengingat-ingat.
Ah benar—aku baru ingat isinya memang mug. Titipan seseorang. Bagaimana aku bisa melupakannya.
“Geri! Hitungan ke 5 kamu udah keluar atau nggak?”
Ah! Lupakan dulu masalah mug itu sekarang waktunya keluar dari kamar dan memasang wajah memelas di depan Yuda. Semoga saja tebengan hari ini hingga pulang nanti tidak dibatalkan.
“Siap bro!”
. . .
Yuda sibuk dengan setir dan jalanan. Sementara otakku sibuk bertanya-tanya tanggal berapa sekarang. Apa sudah waktu yang tepat mug itu berpindah tangan. “Yud, inget nggak ini tanggal berapa?”
Lagu yang terdengar dari radio adalah lagu Indonesia dengan lirik yang mendayu-dayu. Tentang seseorang yang ditinggal pacarnya dan memohon-mohon dengan lirik penuh ancaman. Aku tak bisa hidup tanpamulah, kaulah nafasku, aku mati tanpamu.
Kuhela napas sebelum lagu itu selesai dengan lirik akhir, jangan pergi.
Separah itukah hidup tanpa pacar?
“Tanggal? 2 kayaknya. Kenapa ada yang ulang tahun?”
Tebakan Yuda pas banget. “Tau Refan kan? Hari ini dia ulangtahun.”
Yuda menoleh sejenak, memperhatikanku dengan dahi berkerut. “Aku kira ulangtahun gebetan atau pacar mu Ger. Malah Refan, sejak kapan kalian berdua jadi pasangan maho?” di akhir kalimatnya dia tertawa lebar, entah menertawakan leluconnya yang terkesan garing atau ekspresiku yang setengah tak percaya dituduh homo.
Menjomblo bukan berarti punya kelainan orientasi seksual kan?
“Ngawur banget nih anak. Mentang-mentang udah punya cewek aja, semua cowok jomblo dianggap maho. Jangan-jangan kamu tuh yang maho Ger. Si Indah cuma tumbal buat nutupin ke maho an mu,” tuduhku sembarangan, diakhiri dengan tawa yang sama lebarnya, Yuda pun ikut tertawa, sama sekali tak tersinggung dan memang seharusnya begitu.
Yuda memperhatikan spion kiri, mencoba menempatkan mobilnya di tempat yang tepat. “Terserah deh. Lha terus kalau hari ini Refan ulangtahun kamu mau ngapain?”
Kuangkat bahuku, antara tak mengerti dan tak ingin menjelaskan terlalu panjang. “Bukan aku yang mau ngapa-ngapain tapi orang lain.”
“Oh, jadi mak comblang ceritanya? Mau-maunya kamu Ger. Sendirinya jomblo malah jadi mak comblang.”
Tawaku meledak. Tebakan Yuda memang mengena tapi istilah mak comblang baru terpikir saat ini. “Biasanya kan mak comblang emang jomblo Yud.”
Setelah posisi mobil dirasa pas kami pun keluar dari mobil. Yuda sempat melirik jam tangannya, sementara aku hanya menunggu instruksinya haruskah lari atau jalan santai saja. Setelah melihatnya menarik napas lega dan berjalan dengan langkah biasa saja, aku bisa mengambil kesimpulan. Kami tidak terlambat, kami masih aman, kami tidak perlu berlari seperti orang yang dikejar anjing seperti minggu lalu.
Beruntung sekali bersama Yuda yang terkenal tepat waktu. Seperti bersama jam weker hidup.
Ah iya. Mug tadi. Setelah pulang kuliah mungkin aku harus menelepon Refan untuk memberikan benda itu padanya. Sudah hampir satu bulan bungkusan kado itu disana, setelah memberikannya tidak akan ada titipan yang tertinggal lagi.
Cukup melegakan.
. . .
Hari itu bukan hari yang begitu cerah, bahkan aku yang tidak tahu bedanya awan columbus dan cirus bisa tahu kalau hujan akan turun sebentar lagi. Entah itu 15 menit atau 20 menit lagi. Tapi sepertinya tidak sampai setengah jam hujan akan turun.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 4 sore. Seharusnya sudah ada orang yang kutunggu, orang yang menelepon secara tiba-tiba dan meminta untuk bertemu. Padahal aku dan orang itu tidak punya hubungan yang terlalu dekat, sahabat bukan, teman baik pun bukan.
“Ger!”
Kusipitkan mataku mencoba memastikan bahwa orang yang memanggilku benar-benar orang yang kutunggu.Dan sepertinya memang tidak salah lagi, perempuan yang mengenakan kemeja putih dan rok hijau itu adalah Yeza, orang yang cukup asing dan tiba-tiba menjadi begitu familiar.
“Nunggu lama?”
Aku menggeleng. Dan bisa kulihat senyum diwajahnya mengembang. Seolah-olah kalau aku mengangguk dia akan merasa sangat bersalah. Padahal keterlambatan adalah hal yang biasa di negara ini.
“Maaf ya tiba-tiba manggil kamu kayak gini. Aku mau nitipin sesuatu sama kamu,” tangan Yeza sibuk merogoh-rogoh tas berwarna biru yang dikenakannya.
“Titip?” ulangku memastikan apa yang aku dengar tidaklah salah. Sejak kapan aku buka jasa penitipan barang?
Yeza mengangguk sembari mengeluarkan sebuah bungkusan berbentuk balok dengan pita berwarna hitam yang membentuk simpul di tengah balok. Seperti kado ulangtahun, tapi untuk siapa?
Ia mengambil satu barang lagi setelah mengeluarkan kado itu. sebuah buku yang aku kenal dan belum sempat kubeli karena harganya yang cukup mencekik leher.
“Aku titip buat ulangtahunnya Refan bisa? Kamu kan satu kota sama dia.”
Ah bisa kutebak. Perempuan ini ternyata menyukai Refan. “Terus buku itu imbalannya?”
Yeza mengangguk mantap menyodorkan buku bersampul merah yang masih terbungkus plastik bening. Bahkan harganya pun masih tercantum di halaman buku. “Kenapa nggak kamu kasih langsung?”
Perempuan itu menggeleng. Hingga rambutnya yang sebahu ikut bergoyang seiring dengan gerakan kepalanya. “Nggak ah. Nggak enak juga," dia menyelipkan anak rambut di balik telinga, aku bisa melihat rasa gugup yang muncul di raut wajahnya. "Lagian aku nggak mungkin ngasih pas hari ulangtahunnya.”
Ku bolak-balik buku idaman yang sudah di tangan. Tinggal bilang iya, menyimpan kado itu dan memberikannya pada Refan di hari ulangtahunnya buku idaman itu akan berpindah kepemilikan. Tawaran yang menarik.
“Oke. Makasih ya buat bukunya, sebenarnya nggak sebanding lho dengan biaya pengiriman lewat pos terpercaya kayak gini,” candaku setelah memasukkan buku ke dalam tas, begitu juga kado berbungkus pita hitam.
Yeza terkikik pelan. “Kamu jelas lebih dari jasa pos. Oh ya, kalau udah bisa kamu kasih. Sms aku atau nggak Hera ya.”
“Hera? Kenapa?”
Dia tersenyum. “Aku cuma takut kalau aku gak bisa balas smsmu. Siapa tahu pulsaku habis.”
Setelah itu Yeza pamit pulang, jam sudah menunjukkan pukul 4.30 dan menurutnya ia tidak boleh berlama-lama karena ada urusan. Aku menurut saja dan memilih untuk pulang juga karena besok sudah harus kembali merantau sebagai anak kos-kosan.
“Ah iya! Ger!”
Suara Yeza memecah keheningan sore waktu itu. Hingga beberapa anak kelas 1 yang sibuk memantul-mantulkan bola basket pun ikut berbalik.
“Hati-hati ya itu isinya mug. Jaga baik-baik!”
Aku mengacungkan jempol ke udara. Dan bisa kulihat tangannya melambai.
Ucapan Yeza waktu itu seperti memintaku untuk menjaga hatinya. Jangan sampai pecah.
Kemudian aku memacu sepeda motor memecah jalanan. Kembali pulang dengan buku baru dan titipan dari tema untuk teman lainnya.
. . .
“Ref?”
Suara di ujung telepon sana terdengar sengau. Seperti orang flu. Kasian sekali di hari spesial begini harus terserang penyakit seluruh umat.
“Kamu ulang tahunkan? Selamat ya. Hari ini kamu ada kuliah gak?”
Rambutku yang tidak gatal pun ikut kena getahnya hari ini sibuk kugaruk. Terasa ganjil menanyakan rutinitas seorang teman laki-laki, seperti akan mengajaknya ngedate gitu.
“Ha, bagus kalo gitu habis ini aku kos anmu ya. Ada titipan nih.”
“Oke.”
Kuhela napas panjang sembari memandangi balok berbungkus kertas warna warni dan pita hitam.
. . .
Kos-kosan Refan jelas lebih bagus dari milikku. Lebih tertata rapi dan luas, dengan halaman depan berumput ditemani pohon-pohon rindang serta bagian tengah bangunan yang sengaja dikosongkan, untuk tempat menjemur pakaian atau berjemur sekalipun. Tidak ada sepatu berserakan di depan pintu kamar, berbeda sekali dengan kamarku dan sepatu-sepatu plus kaos kaki yang berterbaran hingga tertukar dengan penghuni kamar sebelah.
Kamar Refan ada di lantai 1. Seingatku kamar no 5, jika salah tak apalah, pikirku.
Setelah mengetuk pintu, Refan keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan suara sengau yang menyuruhku masuk ke dalam kamar yang sama berantakannya dengan kamarku. Yah walaupun tampak rapi di luar dalamnya sama saja ternyata.
“Titipan apa Ger?”
Kuletakkan bungkusan itu di atas mejanya. Tangan Refan sibuk dengan bungkusan berbentuk balok itu. menebak-nebak apa isinya.
“Wah, dari siapa nih?”
“Jangan kaget ya kalau aku sebut namanya. Ternyata kamu punya fans pas kita sekelas Ref.”
Refan melepas pita hitamnya dan meletakkan pita itu diatas meja. Tampak penasaran dengan isi didalamnya. “Siapa?”
“Yeza, inget kan?”
Bisa kulihat kerutan di dahi Refan dan tangannya yang bergerak cepat menyobek bungkus kertas kotak itu. “Yeza? Yakin?”
Kuanggukkan kepala setelah melihat kotak lain yang ada di dalam bungkusan kado itu. Sebuah kotak kardus putih polos.
“Yeza—“
Kalimat itu terdengar mengambang di udara. Refan tidak melanjutkan kalimatnya tapi terlihat dari wajahnya kalau dia sedang berpikir keras.
Refan meletakkan kotak itu di atas meja sebelum mengeluarkan isinya. Meraih handphone secepat kilat dan menempelkannya di telinga setelah menyentuh layarnya.
Aku hanya memperhatikan gerakan cepat beberapa detik itu dengan heran. Ada apa dengan cowok ini. Mau langsung mengucapkan terimakasih?
Dan setelah itu semuanya berlangsung begitu cepat. Seperti sebuah drama FTV. Refan menanyakan apa benar benda itu dari Yeza dan kenapa ia memberikannya. Aku jelas tidak mendengarkan jawabannya dengan jelas karena bukan mode speaker yang dipakai Refan. Tapi kemudian aku bisa mendengar sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan dari cowok itu.
“Kamu tahu kalau aku suka sama kamu Yez?”
Dan ternyata rasa cinta itu terasa begitu sempit.
0 komentar :
Posting Komentar