Jumat, 07 Oktober 2011

Yeza: Pemendam Rasa


Aku memilih untuk tidak beranjak dari sofa, tetap di sana dengan televisi yang tak menyala dan keheningan yang membuat pikiranku melambung entah kemana. Jauh sekali, tapi tetap saja menyentuh bagian terdekat yang selalu mengganggu.


Bagaimana kabar Refan.


Kurebahkan tubuh di sofa, sementara hari mulai gelap dan baru saja pembantuku menutup tirai serta jendela tanpa menghidupkan lampu. Mulai terasa gelap di tempat ini, tapi rasanya menghidupkan lampu pun berat sekali. Mungkin ini yang disebut sedang merenung.

Suara langkah kaki menuju ruang tamu terdengar. Lalu lampu menyala, ruangan kembali terang. Sementara posisiku tidak berubah, tetap berada di atas sofa, memandangi langit-langit yang bercat putih.

Semoga saja mbak Saras tidak terlalu heran melihat anak majikannya yang menjadi lebih kalem sejak pagi tadi. Ah ya—sepertinya sejak melihat kalender yang menunjukkan angka 1, rasanya seperti ada beban yang sempat terlupakan muncul lagi.

Geri masih ingat nggak ya kalau ada titipanku yang masih di dia. Jangan-jangan mug nya pecah pas dibuka Refan. Atau jangan-jangan Refan nggak mau nerima hadiah itu dan balikin ke Geri, atau jangan-jangan pas Refan nerima kado itu dia udah dapet kado lain dari cewek lain.

Kuubah posisi dari rebahan ke duduk dengan cepat, lalu berdiri, lalu duduk lagi. Rasanya benar-benar mengganjal di hati.

Kuhela napas panjang.Terlalu banyak dugaaan jangan-jangan, hanya menyiksa hati.

Apa menitipkan kado ke Geri adalah kesalahan, atau tidak menitipkannya juga kesalahan. Lagipula sebenarnya apa niatku memberikan kado itu padanya?

Argh! Kenapa pada saat ini baru terasa kalau mungkin saja keputusanku salah?

Lalu kalau besok Refan menerima kado itu. Dan menyadari kalau aku menyukainya, apa yang akan terjadi. Dia akan menjauh? Atau apa?

Setelah berdiri beberapa menit, aku kembali duduk. Memikirkan jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan tadi. Terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab ternyata hanya membuat kadar ketenangan berkurang.

“Tenang Yeza, semua akan baik-baik saja,” kukatakan hal itu pada diriku sendiri di ruangan yang sepi dan hanya meninggalkan keheningan setelahnya. Berbicara pada diri sendiri kadang terdengar aneh memang, tapi mungkin ini salah satu trik untuk menenangkan diri.

Handphone di atas sofa bergetar. Handphone malang yang sudah bertahun-tahun tersiksa dan bertahan dengan pemilik ceroboh yang teledor 

From : Hera
Bos. Gimana? Si Geri udah ngabarin kamu?

Kutepuk dahi. Hera punya kebiasaan yang sama sejak SMA kelas 1. Selalu melakukan kesalahan dalam mengingat tanggal-tanggal penting. Entah ulangtahunku, ulangtahun pacarnya, orangtuanya, teman-temannya. Dan yang paling parah adalah tanggal dimana ia harusnya menjalani UTS.

Kali ini. Ia pasti mengira kalau ulangtahun Refan tanggal 1 Maret bukan tanggal 2.

To : Hera
Ulangtahunnya baru besok Heraaa - -‘’

Kalau diingat-ingat kembali, reaksi Hera saat dia tahu kalau aku menitipkan kado ke Geri untuk Refan. Benar-benar bisa membuat semua orang yang berada disekitarnya panik. Termasuk aku. Hingga di hari itu, aku nyaris membatalkan niatku dengan menelepon Geri, sebelum semua niat itu  menjadi kenyataan sms dari Hera membatalkan niatku
Tapi Yez, mending saranku tadi pagi kamu abaikan deh. Aku baru nyadar, kamu emang butuh tau reaksi dia buat diri kamu sendiri.

Sebenarnya masih ada waktu untuk membatalkan rencana, tapi sepertinya membatalkan rencana pun hanya membuatku terus bertanya-tanya soal perasaannya padaku terus, menerus.

Dan itu menyakitkan.

. . .

Malam itu sudah gelap, jelas gelap karena sudah malam. Dan kami berdua duduk di rumput bersama dengan beberapa anak-anak lain yang sibuk dengan jagung dan alat bakar mereka. Tapi kami berdua berbeda, aku dan dia sibuk dengan kembang api yang tidak kunjung menyala. Angin membuat api berkali-kali mati dan aku tertawa setiap kali wajahnya berubah dari benar-benar bersemangat menjadi cemberut dengan cepat ketika api kembali padam.

“Udah, tempelin ke punyaku sini, biar bisa nyala,” tawarku mendekatkan kembang api yang tinggal setengahnya menyala. Ia menggeleng dan tetap berkutat dengan batang korek api yang gagal menyala.

Setelah entah batang korek keberapa, Refan berhasil membuat kembang api miliknya menyala. Ia berdiri dengan cepat dan tertawa bangga. Seperti anak kecil. Dan aku pun ikut tertawa melihatnya.

“Kayak anak kecil aja ah. Excited banget,” ujarku melihatnya yang memutar-mutar kembang api yang di udara, membentuk bulatan yang sempat terlihat menyala lalu menghilang.

Dia tertawa. “Kita nggak harus selamanya menjadi orang dewasa kan?”

Kuanggukkan kepala. Benar juga ucapannya. Selama ada waktu untuk tertawa-tawa dan bermain seperti anak kecil, kenapa tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Anak-anak yang sibuk dengan jagung bakar mereka cukup jauh dari posisi duduk kami dan hanya kami berdua yang bermain kembang api. Mungkin bisa dibilang saat itulah, saat yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan, sebelum semuanya berakhir.

“Ref—“

“Ya?” Refan menoleh.

Mungkin sebaiknya tidak.

“Nggakpapa, aku mau bantuin yang bakar jagung aja ya,” ujarku sembari berdiri.

“Jangan. Kembang apinya belum nyala lagi nih,” pintanya sebelum aku benar-benar beranjak dari sampingnya. Membuatku kembali duduk dan memperhatikannya berusaha menyalakan kembang api lagi.

Mungkin tak apa melewatkan kesempatan berharga. Daripada merusak kesempatan lain yang lebih berharga seperti berada disampingnya lebih lama.

Lebih lama lagi—

. . .

“Yeza!”

Kualihkan pandangan dari buku pengantar teori ekonomi yang terbuka lebar sejak tadi. Hanya terbuka lebar, tapi tidak dibaca. Sejak tadi pikiranku sudah melayang ke kota lain dan menanyakan kabar kotak berpita hitam yang kutitipkan.

“Ya?”

“Kamu nggak dengar mas komting bilang apa tadi?” tanya Hera memastikan dimana kesadaranku sejak tadi. 

“Kita pulang?”

“Nggak! Kita disuruh nunggu setengah jam lagi Yez. Tadi ngelamun ya.”

Kuanggukkan kepala. Dan kembali memperhatikan buku tebal diatas meja. Tadi baca nya sampai bagian mana ya?

Hera menepuk-nepuk bahuku. Mungkin ingin menyalurkan semangatnya yang biasanya berlebih hingga membuat dirinya lebih seperti balita hiperaktif.

“Santai aja Yez, kalau misalnya si Refan nggak ngasih respon apa-apa setidaknya apa yang kamu pertanyain selama setahun ini kejawab sudah, iya kan?”

Aku hanya terdiam. Tidak merespon apalagi menjawab. Sebenarnya bukan itu juga yang aku inginkan. Selain memastikan bagaimana jawabannya atas perasaanku aku juga ingin mengetahui apa arti dari semua hal baik yang ia lakukan. Formalitas kah atau sesuatu yang lebih.

Ah—seandainya saja membaca pikiran orang lain adalah hal yang mudah.

“Oh ya Yez. Handphonemu mana?”

“Handphone?” beoku mengulang ucapannya. “Kayaknya aku matiin deh, aku tinggalin di rumah.”

Hera mengepalkan tangannya hendak memukulku. “Ngapain ditinggal segala sih? Kamu nggak nunggu smsnya Geri?”

Kututup buku yang sejak tadi terbuka tanpa dibaca. Menghela napas dan mulai berpikir, kalau ini sebuah drama FTV mungkin ekspresi wajahku sejak pagi tadi patut diacungi jempol.

“Daripada ngecekin handphone terus Her.”

. . . 

Sudah jam 3. Dan handphoneku masih di dalam kamar dalam keadaan mati. Sejak satu jam lalu aku sudah berjanji dalam hati untuk mengambil handphone itu dan menyalakannya kalau drama korea yang kutonton sudah selesai.

Tapi sampai ada drama korea lainnya handphone itu belum kusentuh. Hingga saat ini.

Dengan langkah gontai kudatangi kamar dengan lampu yang tidak menyala dan jendela yang tertutup dengan tirai yang membuat ruangan semakin gelap.Handphone di atas kasur dan sudah kumatikan sejak pagi. Atau sejak tengah malam tadi. Entahlah bahkan akupun lupa.

Kembali ke ruang tamu dengan handphone di tangan. Sekarang, haruskah kuhidupkan handphone ini. Haruskah?

Setelah perdebatan panjang dengan diri sendiri, akhirnya aku memilih untuk menyalakan handphone. Menunggu hingga bar sinyal penuh dan beberapa pesan masuk. Hingga handphone tidak bergetar lagi, kubuka sms satu-persatu.

Hanya ada sms dari beberapa orang dan tak ada nama Geri disana.

Kulemparkan handphone ke sisi sofa yang lain. Seharusnya Geri sudah memberikan kado itu. Atau dia lupa?
Atau karena Refan meminta Geri untuk tidak mengirim sms padaku. Atau karena Refan tidak memberikan reaksi positif.

Seharusnya dulu ia meminta Geri untuk mengirim sms padanya apapun yang terjadi dan apapun reaksi Refan.

Kurebahkan diri diatas sofa. Mencoba fokus memperhatikan akting aktor-aktor tampan dari negeri gingseng. Terserahlah dengan kado itu. Mungkin lebih baik kalau kado itu tidak dititipkan pada Geri.

Belum lama menyalahkan diri atas kado itu. Kurasakan ada sesuatu yang bergetar di atas sofa. Kalau hanya sekali mungkin sms tapi ini berkali-kali seharusnya telepon.

Mungkin dari ayah atau ibu.

Kuraih handphone, di layar muncul nomor asing. Mungkin salah satu teman yang belum ke-save nomor handphonennya.

“Halo?”

Suara disana terdengar sangat familiar. Beberapa kali kujawab pertanyaannya dengan dada yang bergemuruh, hingga ke pertanyaan yang membuat dunia seolah berhenti berputar sedetik saja. 

“Kamu tahu kan kalau aku suka sama kamu Yez?”

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang