Mungkin hidupku adalah bagian dari sebuah FTV. Yang entah bagaimana bisa menjadi nyata seperti mimpi. Yeza baru saja menelepon dengan suara sengau, sempat terlintas dipikiranku kalau Refan menolak hadiah yang dititipkan pada Geri. Tapi ternyata tidak.
“Her, kamu tahu. Tadi Refan nelpon. Dia bilang dia suka sama aku.”
Dan setelah itu aku melonjak kaget seperti baru saja diberi setruman bertegangan listrik tinggi. Menyenangkan mendengarnya, tapi juga mengejutkan. Sangat mengejutkan.
“Selamat Yez. Aku nggak tahu mau ngomong apa lagi. Seriusan.”
Lalu pembicaraan berlanjut ke cerita tentang bagaimana Refan mengira kalau Yeza menyukai orang lain, dan bukan Refan sendiri. Inti dari semua kisah Yeza dan Refan adalah kesalahpahaman tentang perasaan satu sama lain.
“Pasti Yeza seneng banget,” ujar Hendri yang sedang duduk di sebelahku, menikmati mangkok bakso yang hanya tersisa bakso tanpa kuah. Hendri memang selalu menghabiskan kuahnya terlebih dahulu. Kalau katanya karena bagian yang paling enak harus dimakan terakhir.
“Iya. Tadi pagi pas aku ketemu dia. Dia nggak berhenti senyum-senyum persis orang habis jadian,” tambahku lagi sembari menusuk bakso yang tersisa dengan garpu. Sebelum Hendri protes dan memintaku mengembalikan bakso yang sudah terkunyah.
“Dulu pas kamu jadian sama aku, kamu juga kayak gitu?” tanyanya setelah memilih untuk mengikhlaskan bakso yang sudah menjadi serpihan kecil dimulutku. Bisa kulihat senyumnya yang selalu membuatku ingin mendorong wajahnya menjauh dari wajahku.
Dan kulakukan juga, kudorong pipinya kesamping. Terlalu malu untuk menjawab. “Apaan sih. Kita kan ngomongin Yeza.”
Hendri tertawa melihatku memasang wajah cemberut untuk menutupi rasa malu ku. Dia mengangguk-angguk seolah-olah sedang membaca pikiranku.
“Seingatku pas kita jadian dulu kamu gak senyum-senyum terus. Malah cemberut mulu, dikit-dikit ngambek, dikit-dikit ngambek,” Hendri melahap bakso terakhirnya, menunggu reaksiku.
Yah memang benar, entah kenapa setelah jadian dengan Hendri aku lebih sering uring-uringan daripada tidak. Sedikit-sedikit marah ke dia, sedikit-sedikit mengomentari segala hal yang negatif tentang Hendri. Dan untungnya dia tidak terlalu tersinggung dengan segala tingkah kekanak-kanakkanku. Hingga saat ini pun dia begitu memaklumi segalanya.
“Hen—“
“Hmm?”
Kami berdua berhenti di sudut gang dekat rumahku. Dia belum melepas helmnya, sementara aku sudah berada di sampingnya dengan helm di tangan.
Memang dengan keadaan yang ada Hendri tidak akan bisa mencapai halaman depan rumah dan mengantarku hingga benar-benar sampai di rumah. Dan karena itu ketika dia sedang ingin mengantarku pulang, kami berdua hanya bisa berhenti disini. Sudut gang.
“Kamu nggak ngerasa gimana gitu nganter aku sampai sini doang?”
Hendri membuka helmnya, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri, sebelum menjawab pertanyaanku. “Gimana gitu gimana?”
“Ya—nggak enak. Sampai beberapa bulan ini pun kamu masih belum bisa nganter aku sampai ke depan rumah. Cuma sampai sini, ya nggak kayak pasangan lain yang bisa nyapa orangtua ceweknya,” jelasku lagi dengan ragu-ragu. Kami jarang membicarakan hal ini, dan entah kenapa hari ini hatiku tertarik untuk membahasnya dengan Hendri.
Hendri menepuk bahuku, mungkin berusaha menghilangkan raut cemas yang muncul begitu saja ketika masalah lama ini diungkit. Dia tersenyum dan pamit begitu saja sebelum menjawab pertanyaanku.
Tapi senyumnya dan sentuhannya tadi menunjukkan kalau dia tidak pernah keberatan dengan hubungan kami yang harus seperti ini.
Yah--kuharap dugaanku benar.
. . .
“Hari ini kamu kok gak naik motormu Her?”
Kutolehkan kepala ke arah pintu kamar orangtuaku yang terbuka, disana ada ibu yang sedang mengutak-ngatik handphonennya.
“Lagi males bu,” jawabku asal, mana mungkin mengatakan kalau Hendri sedang dalam mood yang sangat baik untuk mengantarku pulang dan menjemput tadi pagi.
“Terus tadi kamu naik apa?”
Aku terdiam. Beberapa detik. Terpaksa berbohong lagi.
“Naik bis.”
Kumatikan televisi dan segera masuk kedalam kamar. Sebelum ibu menanyai hal-hal lainnya yang membuatnya berbohong lagi dan lagi.
Tapi mau bagaimana lagi?
. . .
Tanggal 10, perayaan 10 bulananku dan Hendri. Kebetulan sekali orangtuaku sedang pergi entah kemana dan aku memilih untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar bersama Hendri. Sekali-kali melakukan perayaan bersama dan Hendri jelas saja senang mendengar kalau aku bisa keluar dan merayakan 10 bulanan kami dengan makan berdua.
“Tumben kamu bisa keluar rumah malam-malam,” tanya Hendri setelah kami berdua memesan makanan.
Suasana rumah makan ini cukup ramai, karena makanan yang terkenal enak dan tempatnya yang nyaman.
Kami juga cukup beruntung bisa mendapatkan tempat duduk. Sementara beberapa orang lainnya terlihat keluar dari rumah makan dengan kecewa, setelah mendengar dari pelayan, tidak ada meja yang kosong.
“Ya—bisa dong.”
Hendri mengerutkan dahinya. Masih penasaran. “Kamu ijin ke orangtua kamu?”
Kugelengkan kepala. “Gak lah. Kamu tahu kan orangtuaku kayak apa,” ucapku dengan santai sembari melipat-lipat tisu diatas meja. Kemampuan melipatku hanya sekedar membuat kapal, jadi sebuah kapal dari tisu yang terbentuk.
“Her, yang bener dong. Kalau orangtua kamu nyariin gimana?”
Nada bicara Hendri naik beberapa oktaf. Seperti tidak terima dengan keberadaanku disini. Apa yang salah, aku hanya sedang berusaha untuk merayakan sesuatu yang spesial dengan resiko yang cukup sepadan.
“Kita pulang sekarang. Oke?” Hendri menarik tanganku dan berdiri dari posisi duduknya. Kutepis tangan itu dan ikut berdiri. Protes. Iya aku protes padanya.
“Kenapa harus pulang, aku udah bela-belain kita ketemu, makan dan ngerayain 10 bulanan kita. Tapi tiba-tiba kamu suruh aku pulang? Kamu nggak ngehargain usahaku?” kuusap air mata yang mulai mengalir.
Cengeng. Benar-benar cengeng.
Hendri kembali duduk. Melihatku dengan tatapan bersalah, tapi dia tidak segera meminta maaf, malah menguatkan argumennya yang terdengar tidak menghargai usahaku.
“Her, kamu tahu kan. Aku menghargai apa yang orantuamu pengenin. Dan aku juga menghargai kamu. Tapi dengan cara kayak gini sama aja aku gak ngehargain orangtuamu,” Hendri mengatakannya perlahan-lahan. Seolah-olah setiap perkataannya hanya akan memecahkan hatiku.
Dan benar. Kata-katanya membuat hatiku retak perlahan-lahan.
Kuusap pelan air mata di pipi. Kulihat Hendri tidak berusaha untuk menenangkanku dan tetap dengan pendiriannya memintaku untuk pulang. Sial. Usahaku dianggap apa?
“Oke. Aku pulang. Kamu nggak perlu nganter aku,” kulangkahkan kaki menuju pintu keluar rumah makan, kudengar suara langkah kaki Hendri yang menyusul dengan terburu-buru, memanggilku berkali-kali.
Kami seperti sedang melakukan sebuah adegan dalam sinetron. Beberapa orang melirik kearah kami dengan pandangan heran. Tapi apa peduliku, keluar dari tempat ini adalah hal yang paling kuinginkan.
“Hera—“
Belum sempat kucapai pintu keluar, dan belum sempat Hendri mencegahku untuk tidak pulang sendiri, di pintu keluar yang sekaligus berfungsi sebagai pintu masuk, ada orangtuaku disana. Ibu dan bapak.
Kemudian kami berempat membeku dalam posisi yang sama. Seolah-olah dunia baru saja berhenti berputar.
Sial. Aku benar-benar berada dalam sebuah adegan sinetron.
. . .
Ayah sudah diam selama beberapa menit dan ibu duduk di sebelahnya. Aku berada di single sofa didepan mereka berdua, dengan sebuah meja yang membuat jarak di antara kami.
Diamnya mereka bukan berarti hal yang baik bagiku. Diamnya mereka membunuhku perlahan-lahan.
Setelah kejadian di rumah makan, ayah hanya diam dan masuk ke dalam mobil. Ibu menarikku dan sedikit tersenyum pada Hendri, bisa kulihat Hendri benar-benar shock dengan sebuah kebetulan mengerikan yang terjadi. Dalam perjalanan pulang pun ayah hanya diam seribu bahasa, hingga kami bertiga berada di ruang tamu saat ini.
“Hera. Kamu bisa menjelaskan apa yang terjadi tadi?” tanya ibuku mencairkan keheningan yang ada. Bisa kulihat ibu berusaha untuk mengerti apa yang terjadi tadi. Dan ibu selalu mengerti, tapi tidak dengan ayah.
Ayah masih melarangku untuk berpacaran, keluar malam ataupun membawa teman pria kerumah. Dengan alasan apapun.
“Tadi Hera ngajak Hendri buat makan diluar, jadi ibu sama bapak jangan salah paham. Bukan Hendri yang ngajak Hera kok,” kukepalkan tanganku, lebih erat, perasaan takut dan cemas bercampur menjadi satu. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan ayah setelah ini. Tapi rasa-rasanya masih tidak ingin mendengar kata-kata itu.
“Putuskan dia.”
Ayah hanya mengatakan hal itu. Lalu masuk ke dalam kamar, meninggalkanku yang masih menundukkan kepala dan ibu yang kemudian mengelus punggungku pelan.
“Turuti dulu apa yang ayahmu bilang. Ayahmu jelas punya pemikiran yang lebih panjang daripada yang kamu kira,” ujar ibuku berusaha menenangkan. Menenangkan diriku yang mulai meneteskan air mata.
Rasanya tidak ada lagi kata yang bisa keluar dari bibirku. Ingin rasanya berteriak. Mempertanyakan
pemikiran panjang apa yang diambil ayahku. Sepanjang apa pemikirannya. Sepanjang apa aku harus menunggu ijin.
Sepanjang apa aku harus menunggu.
. . .
“Her?”
Kuangkat kepalaku. Melihat ekspresi wajah Yeza yang benar-benar terlihat cemas, tak ada raut wajah gembira yang biasa ia perlihatkan. Apa wajahku benar-benar sememprihatinkan itu hingga menyedot senyum di wajahnya.
“Kemaren Hendri nelpon aku. Dia ceritain semuanya, dia bingung dan nggak berani nelpon kamu katanya,” jelasnya lagi sebelum aku bertanya.
Kusandarkan punggung, memperhatikan kelas yang mulai terisi beberapa orang. Dosen belum masuk, dan memang biasanya seperti itu.
“Oh itu—kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Iya kemaren aku lagi nggak beruntung hehe—“ kuakhiri kalimat dengan tawa yang terdengar sangat garing, bahkan di telingaku sekalipun.
Yeza tidak merubah tatapannya padaku. Penuh rasa kasihan sekaligus cemas, atau cemas saja tanpa rasa kasihan. Entahlah— kurasa aku belum merasa harus dikasihani dengan ketidakberuntungan ini.
“Terus, orangtuamu bilang apa?”
Aku tertawa sebelum menjawabnya. Pertanyaannya memang terdengar biasa saja, tapi sedikit konyol ditelingaku. “Apa lagi Yez, apa lagi?”
Kemudian Yeza menepuk bahuku pelan. Memintaku untuk tetap tegar. Benar-benar tegar.
. . .
Setelah kejadian malam itu Hendri tidak menghubungiku, dan aku tidak memintanya untuk mengubungiku. Kami lost contact selama seminggu. Memang terasa ganjil, tapi entah kenapa aku merasa lebih tenang karena tidak perlu main petak umpet dengan orang dirumah.
Lalu kemudian setelah satu minggu dalam ketenangan, secara tiba-tiba Hendri sudah menungguku, di depan kelas. Ketika kelas usai dan hendak ku beranjak dari kursi dia mengambil tempat disampingku, menyapa dengan senyuman yang dipaksakan.
Aku tahu ada yang salah dengan senyumannya. Dan ada yang salah dengan keadaan kami berdua saat ini.
“Her, kita putus dulu aja ya?”
Kudengar pernyataan itu darinya. Dengan jelas tanpa keraguan yang tersirat. Kami berdua duduk bersebelahan di dalam kelas yang baru saja bubar. Ramai memang, tapi sepertinya hanya aku yang mendengar kata-kata itu seperti letusan bom, yang membuat pengang lalu tiba-tiba tuli.
“Kita tunggu sampai ayahmu benar-benar udah ngijinin kamu buat pacaran.”
Aku masih terdiam, membiarkan dia menjelaskan semuanya hingga benar-benar jelas. Hingga ia membuatku benar-benar mengerti.
“Aku nggak mau kalau kita maksain hubungan kita sekarang, ayahmu bakal ngecap aku dengan cap yang jelek. Dan setelah itu kita bakal lebih susah buat pacaran.”
Hendri menggenggam tanganku, tangannya hangat. Berbeda sekali dengan tanganku yang sejak tadi semakin dingin. Dan memucat.
“Kita tunggu sampai waktunya tepat. Dan sampai saat itu aku bakal tetap disamping kamu.”
Kuhela napas sebelum kuminta ia untuk pergi. Tersenyum dan mengucapkan terimakasih padanya.terimakasih untuk niatnya yang mau menunggu dan terimakasih untuk 10 bulan yang menyenangkan.
Setelah itu sepertinya semua pemandangan disekitarku hanya berupa mozaik-mozaik.
Lalu kututup mata dengan kedua tangan dan kubiarkan air mata mengalir.
0 komentar :
Posting Komentar