Sabtu, 15 Oktober 2011

Refan: penuh pertimbangan


“Iya, kira-kira bulan depan lah. Tanggalnya? Masih belum pasti juga. Sebenarnya kan aku cuma nemenin si Geri pulang. Iya, iya. Ntar aku kabarin. Walaikumsalam.”

Kuletakkan handphone di atas meja setelah pembicaraan antar kota selama 15 menit, atau lebih mungkin. Disampingku ada Geri dengan handphonennya. Melihatku sekilas lalu kembali ke handphonennya.

“Udah selesai telepon-teleponannya?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Kulirik sekilas, siapa tahu dia sedang mengirim sms ke siapa gitu, bisa jadi bahan tandingan lah kalau-kalau Geri mulai menyindir-nyindir soal aku dan Yeza.

Ternyata isi layar handphonennya hanya game.

Kurebut handphone itu dari tangannya. Sedikit mengobati kekesalanku karena salah dugaan. “Udah. Main game mulu. Cari pacar sana,” ujarku menyindirnya. Kudengar Geri hanya tertawa, kembali merebut handphonennya dan memasukkan ke saku.

“Ogah. Oh ya, tadi kamu bilang aku yang maksa kamu buat pulang ya? Enak aja. Yang ngajak pulang kan  kamu duluan Ref,” Geri bangkit dari sofa. Merenggangkan tubuh sedikit dan kembali duduk.

Beberapa orang lalu lalang di depan kami. Pantas saja, jam kuliah selanjutnya akan dimulai beberapa menit lagi, dan kebetulan saja aku ada urusan di fakultas Geri, jadi kuminta dia menemaniku sekaligus mengarahkan. Malas juga kalau kemana-mana di fakultas yang terasa asing, sendirian pula.

“Tapi kan kamu yang nyaranin pulang kapan. Kamu juga yang mau pesenin tiket dan yang lain-lain. Jadi yang ngebet pulang siapa?” ucapku menyudutkannya. Geri hanya bisa mengumpat dan kembali duduk.

Kucek handphone. Ada sms dari Yeza. Memintaku untuk menanyakan pada Geri suatu hal.

“Heh! Ger, si Yeza tanya nih. Mau minta dicomblangin sama siapa gitu nggak?”

Geri melihatku dengan tatapan heran. “Buat apaan? Dia mau balas budi gitu?”

Kuangkat bahu. Membalas sms. “Nggak tahu juga, tapi mungkin bener juga si Yeza. Niatnya baik kok. Tanggepin aja.”

“Iya, iya yang udah jadi pacarnya Yeza. Pacarnya dibelain mulu,” sindirnya sembari berdiri lagi dari kursi.

Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Mungkin ada benarnya juga perkataan Geri, tapi ada benarnya juga apa yang aku katakan tadi.

Kuperhatikan angka yang menunjukkan tanggal 20, sebentar lagi bulan April. “Ger, kamu ngajak aku pulang masih buat ngunjungin dia?”

Geri menoleh. Tanpa menjawab ia menepuk bahuku, meminta ijin untuk masuk kelas.

Kuhela napas. Sepertinya aku masih harus menolak anjuran Yeza untuk mencomblangkan Geri dengan siapapun. Untuk sementara ini.

. . .

“Gimana rasanya LDR?”

Kuangkat kepala dari buku yang kubaca. Di sebelah, ada Putra yang tumben-tumbenan menanyakan hal bermutu padaku, biasanya kami berdua hanya membicarakan hal-hal tak penting seperti cewek mana yang cantik dan tidak, anggota girlband korea, atau tugas. Ya untuk yang terakhir pengecualian, tugas adalah hal yang sangat bermutu.

“Tumben nanyain beginian Put. Sakit ya?”

Putra melemparku dengan gumpalan kertas. “Sialan. Nanya seriusan jawabnya gitu. Kok kamu bisa jadian sama Yeza sih? Setauku ya pas kelas 3 dulu gak ada isu apa-apa tentang kalian berdua.”

“Kita kan beda kelas, pantes aja lah,” jawabku sembari membalik halaman buku. Putra memukul kepalaku sekarang.

Kupegang kepala yang terkena pukulan Putra dengan wajah protes. “Beneran kan, kita nggak sekelas pantes aja kalau kamu nggak tahu lah.”

Putra mengangkat tangannya mengancam. Kuangkat tangan. Menyerah saja lah.”Iya, iya. Memang nggak ada gosip apa-apa kok. Aku sama Yeza juga dulu nggak deket-deket amat.”

“Terus? Kok bisa jadian?”

Kulirik Putra dengan ekspresi heran. “Kamu kayak nanya kenapa ada bumi deh.”

“Seriusan nih,” pinta Putra dengan ekspresi memohon. Menggeser duduknya semakin mendekat, membuatku yang risih memilih untuk menjauh. Gila saja, dengan situasi seperti ini dan posisi seperti tadi bisa dianggap apa kami.

“Penasaran amat nih anak. Ya jadian gitu aja, aku nembak dia. Dia terima, ya udah,” jawabku simpel. Tak ingin bercerita terlalu panjang. Ribetlah kalau jelasin cerita aslinya ke Putra.

“Gitu doang? Si Geri bilang cerita kalian pantes dimasukin ke novel. Dikira seheboh apa.”

Ternyata si Geri yang bikin Putra kayak wartawan kehabisan berita.

Tuh anak—

. . .

Mungkin ada benarnya juga kalau cerita kami berdua pantas dijadikan sebuah novel. Mungkin tidak juga, mungkin iya. Entahlah, terserah bagaimana orang menilainya. 

Kalau pun dijadikan novel mungkin banyak cewek yang akan sebal dengan tokoh Refan. Dengan segala keraguan yang selalu muncul dibenaknya.

Aku selalu heran dengan apa yang terjadi antara aku dan Yeza. Kami berkenalan ketika kelas 3. Setelah beberapa bulan kami berada di kelas yang sama tanpa alasan yang bisa aku jelaskan mulai ada yang berbeda dari caraku sendiri melihatnya.

Tidak ada alasan khusus ataupun momen khusus. Aku pun bukan pengingat yang baik, sehingga tanggal berapa hal itu terjadi aku pun lupa.

Tapi setelah semua perasaan yang muncul aku tetap bersikap biasa padanya. Bercanda sesekali mengerjakan tugas bersama dengan teman-teman yang lain juga, saling mengejek, memamer-mamerkan nilai dan hal-hal lain sama seperti yang lainnya.

Dan ketika waktu kelulusan semakin dekat, ada keinginan untuk mengungkapkan perasaan. Tapi sepertinya Yeza menyukai orang lain saat itu, seseorang yang sering dia galaukan di twitter, di tuliskan kata-kata untuknya di tumblr.

Setelah semua kenyataan yang aku pikir adalah kebenaran aku memilih untuk diam. Mungkin berada diluar kota akan membuatku melupakannya, menemukan Yeza yang lain.

Mungkin juga tidak—

Waktu itu kami berfoto untuk perpisahan kelas. Yeza sudah ada di barisan depan. Teman kami yang akan memotret belum bersiap-siap dengan kameranya, mulutnya masih memberi perhatian untuk anak-anak lain, meminta mereka memasuki kerumunan.

Dan aku salah satunya.

Kuambil tempat di depan Yeza. Tinggiku jelas lebih darinya dan posisiku yang menghadapnya, bukan menghadap kamera, membuatku bisa melihat ekspresi keheranan yang muncul di wajahnya.

Sempat kupikir itu saat yang tepat. Mungkin penembakan cepat dan kilat akan membuatku merasa lega dan tak perlu menanggapi respon negatif dari Yeza. Tapi sebelum kukatakan semua yang tertatat di pikiranku  Yeza sudah  protes, memegang bahuku, membalik badanku dan menyuruhku menunduk.

Ternyata benar firasatku, dia tidak menangkap apapun dari semua hal yang ada.

Setelah sampai di kota ini pun dengan kesibukan sebagai mahasiswa baru yang berlebihan. Tetap saja Yeza masih sesekali menganggu. Entah ketika aku hanya sekedar membuka twitter dan ada dia disana, atau sekedar membuka sambungan internet dan iseng-iseng membuka tumblrnya.

Dia masih ada disana. Mengganggu pikiranku dengan caranya sendiri.

Walaupun tanpa kontak, sesekali Yeza tetap muncul di dalam pikiran ketika sendiri dan tak ada tugas. Itulah yang disebut kegalauan, ketika apa yang diinginkan tak sanggup tergapai.

Lalu soal mug itu. benar-benar sebuah kejutan, seperti baru saja ada lotre yang kumenangkan tanpa membeli kertas lotre itu sendiri. Keberanian Yeza yang membuatku lebih berani lagi dan mengungkapkan perasaan padanya.

“Kamu tahu kalau aku suka sama kamu kan?”

Waktu itu kudengar kehinngan sesaat. Sepertinya Yeza sama terkejutnya denganku yang tiba-tiba saja tanpa perencanaan matang menanyakan hal ini.

“Nggak Ref. Nggak.”

“Aku suka sama kamu Yez.”

Kudengar keheningan disebrang sana, keheningan yang seperti ingin membunuhku dengan diamnya.

“Aku juga Ref. Aku juga.”

Jawabannya hari itu benar-benar membuatku lega.

. . .

“Heh! Malah senyum-senyum sendiri.”

Putra menyadarkanku dari flash back kilat yang terjadi. Aku hanya tersenyum menanggapinya, memang senyum ini belum bisa hilang kalau memikirkan masa SMA itu.

“Terus gimana rasanya LDR?”

Kuulang kata terakhir. “LDR? Lebih seru dari pacaran satu kota,” jawabku asal.

“Lebih seru gimana?” tanya Putra lagi. Sepertinya temanku yang satu ini sedang kehabisan bahan untuk didiskusikan.

“Pastinya lebih sering dapet sms, telepon, masih bisa cuci mata juga kan,” tawaku lepas untuk alasan terakhir. Cuci mata apa? Di fakultas ini hanya ada beberapa cewek yang sedikit menarik perhatian. Hanya sedikit karena ada Yeza yang lebih banyak menyita perhatian.

Terdengar gombal ya.

“Tapi kan jarang ketemu.”

“Bukannya itu bonus. Nanti kalau kangennya numpuk, sekali ketemu bakal jadi berharga banget kan?”
Putra mengangguk-angukan kepala. “Kamu tahu nggak. Aku kadang sms-an sama Yeza lho.”

Kulirik Putra yang tersenyum-senyum dengan ekspresi heran.

Bagaimana soal cuci mata tadi?

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang