Setelah turun dari kereta yang mengantarkan kami kembali ke Semarang Refan terlihat seperti mencari seseorang. Mungkin seperti katanya tadi, Yeza akan menjemput kami berdua di stasiun. Tapi apa benar yang dijemput kami berdua, bukan salah satu dari kami, aku pun tak tahu.
Refan melambaikan tangan di sampingku. Di sebrang rel kereta ada Yeza yang ikut melambaikan tangannya, menunggu kami berdua menyebrangi rel menuju kearahnya.
“Udah lama?”
Yeza menggeleng. Tersenyum melihat kedatangan kami berdua. Ralat. Kedatangan Refan, aku tak masuk hitungan sepertinya.
Lalu keheningan terjadi. Yang kulihat hanya Yeza dan Refan, berhadap-hadapan tersenyum berdua, canggung sekali, tidak membicarakan apapun. Hanya berdiri berdua berhadapan seolah-olah mereka berbicara dengan bahasa kalbu yang artinya hanya dipahami oleh mereka berdua.
Oh ya. Ngomong-ngomong ini sepertinya pertemuan mereka berdua untuk yang pertama kali setelah mereka jadian. Pantes aja jadi canggung gini.
“Ngiiiing—“ sambil meniru bunyi kendaraan apalah, aku pun tak tahu, kuambil posisi di tempat duduk yang tak jauh dari kami, Refan dan Yeza menyusul sambil tertawa.
Yeza menepuk bahuku. Duduk di sebelah kiri, sedangkan Refan mengambil tempat di sebelah kanan. “Tenang aja, nggak ada yang jadi obat nyamuk disini. Makanya cepetan cari pacar sana. Biar nggak nging, nging mulu.”
Kulirik Yeza dengan ekspresi protes. Didikte soal pacar lagi. Sudah keberapa kalinya ini?
“Jomblo nggak dosa kan?”
Kulihat bola mata Yeza memutar. Memikirkan jawaban yang tepat. “Ya nggak sih, tapi kayaknya kamu butuh cewek deh. Sesegera mungkin.”
Kulirik Refan yang hanya mengangkat bahu. No comment.
“Udah yok. Pulang aja. Kamu nganterin aku sampe rumah kan Yez?” aku mengambil posisi berdiri sambil mengangkat tas berisi beberapa potong pakaian sekaligus oleh-oleh.
Yeza hanya tertawa dan menganggukkan kepala. Mengalihkan topik adalah ide yang bagus. Semoga di dalam mobil nanti topik yang dibahas akan berubah.
Jadi obat nyamuk pun nggak masalah. Yang penting nggak ada yang nyinggung masalah jomblo dan tak jomblo. Lagipula benar kan tadi, jomblo nggak dosa ini.
…
8 April. Baru saja ada sms masuk dari Dewa, biasanya kalau sms dari anak itu isinya ngajak futsalan lah, ngumpul lah, main pokoknya.
Kulirik jam dinding di kamar. Baru menunjukkan pukul 8 pagi, sedangkan Dewa mengajak untuk futsalan nanti sore jam 4. Kuiyakan saja, kesempatan untuk pulang dan bermain dengan teman-teman SMA jarang-jarang ini, jadi manfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.
Apalagi ada tulisan. Futsalan kali ini dibayari Gama. Jelas tak tega kusia-siakan kesempatan bagus ini.
Setelah mandi dan segala hal normal lainnya. Menyapa orangtua yang menonton berita pagi, menikmati teh serta tahu dan pisang goreng yang masih hangat dipiring.
“Mau kemana pagi-pagi gini Ger?” tanya ayah yang baru saja menyelesaikan koran paginya. Ibu ikut menunggu jawabanku, matanya teralihkan dari televisi.
Kulirik jam di dinding, jam 9 pagi. Waktu yang cukup untuk berkunjung. “Mau ke makam Dila pa. Kan udah tanggal 8,” jawabku santai. Tak terlalu mempedulikan ekspresi orangtuaku yang terlihat heran, saling pandang satu sama lain.
“Lho kamu masih ke makam Dila Ger?” mas Fuad bergabung dalam pembicaraan kami, menempatkan diri di samping ibu sembari mencomot pisang goreng yang masih hangat-hangatnya.
Kakak laki-laki yang satu itu memang paling tidak peka dengan situasi, tapi mendengarnya bertanya membuat orangtuaku juga menunggu jawaban. Sulit juga menjelaskannya pada mereka berdua.
“Masih kok, udah ya keburu siang nih. Ntar panas. Aku pinjem motormu ya mas,” ujarku tanpa menunggu persetujuan dari Mas Fuad.
Seharusnya Mas Fuad pun tidak protes, di hari Minggu seperti ini seharusnya dia libur kerja kan?
“Geri! Balikin sebelum magrib aku masih mau ngapel calon kakak iparmu!”
Hanya kuangkat tanganku menandakan persetujuan. Sebelum magrib berarti jam setengah 6 kan. Mepet ini juga nggakpapa.
. . .
Tidak ada yang spesial dari pemakaman tempat Dila beristirahat, sama seperti makam-makam lain. Walaupun hari sudah cukup siang tapi tidak ada keramaian disini, ya namanya juga makam, kalau ramai ya pasar malam.
Aduh. Terdengar garing ya.
Kulangkahkan kaki menuju sebuah makam yang terletak tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Penanda makam Dila adalah sebuah pohon pisang yang tumbuh subur setelah Dila dimakamkan. Entahlah, aku tidak terlalu bisa membaca pertanda. Mungkin saja sebuah kebetulan pohon itu tumbuh subur bahkan hampir menghasilkan buah di sana.
Makam Dila belum kering, sepertinya ada yang menyiraminya dengan air dan bunga. Masih ada taburan-taburan bungan yang basah, dan sekuntum bunga mawar putih di atasnya.
Pasti keluarga Dila juga baru saja berkunjung. Dan aku bersyukur kami tidak bertemu disini, mungkin kalau bertemu dengan mereka hanya membuatku kebingungan.
Sudah dua tahun berlalu dan sepertinya tidak ada yang berubah. Bunga mawar putih yang berada di atas makam hanya akan diberikan oleh Fian. Pacar Dila hingga akhir hayatnya. Dan aku hanya datang sebagai seorang sahabat yang sudah lama memendam rasa.
Hingga saat ini.
Mungkin Dila yang membuatku masih bertahan disini. Dan karena hubunganku dengannya yang membuatku mau membantu Refan dan Yeza. Melihat Yeza waktu itu mengingatkanku pada diriku sendiri dan niatnya untuk menunjukkan perasaannya walaupun mungkin tak terbalas.
Mengingatkanku pada hari ulangtahun Dila 2 tahun lalu.
Kuambil posisi disamping makam Dila, membacakan beberapa doa untuknya. Berharap dia baik-baik saja, tenang dan damai disana.
Angin siang ini bertiup berkali-kali. Seperti mengulang saat-saat 2 tahun lalu. Ketika kuinjakkan kakiku untuk pertamakalinya di makam Dila. Masih dengan perasaan tidak percaya, mengucapkan selamat untuknya.
Selamat ulangtahun. Tanpa ucapan panjang umur.
Setelah mengusap wajah dengan kedua tangan. Menandakan doaku padanya berakhir. Kuperhatikan nisan di makam Dila. Tanggal lahir, bulan lahir, tanggal kematian dan bulan kematiannya sama.
Bagi keluarganya kecelakaan itu bencana. Begitu juga bagiku.
2 tahun lalu Dila meneleponku. Beberapa jam sebelum tengah malam, menceritakan segala kebahagian tentang seseorang yang mengungkapkan perasaan padanya.
“Aku ditembak Fian lho. Menurut kamu aku harus gimana?”
Rasanya ngilu. Saat itu juga aku segera menepi. Memberhentikan mobil, mematikan mesin mobil dan memilih untuk meneruskan telpon tanpa menunjukkan gejolak didalam pikiranku.
“Terima aja. Kamu suka sama dia?”
Dila tidak menjawab. Dia hanya tertawa-tawa diujung telepon.
“Iya—ya, Fian kan baik, ganteng.”
Lalu Dila menutup telepon setelah bertanya aku dimana. Dan aku hanya menjawab, sedang dirumah. Bersiap untuk tidur.
Aku berbohong.
Ada bungkusan besar di kursi penumpang. Isinya boneka sapi dalam ukuran besar kesukaan Dila, aku ingat sekali ada tulisan I Love U disana.
Niatnya aku akan mengantarkan kado itu tepat sebelum tengah malam.
Seperti orang bodoh aku memilih untuk diam beberapa menit. Tidak memikirkan apa-apa, hanya suara lagu dari radio dengan lirik mendayu-dayu yang liriknya pun hanya keluar masuk dari kepala.
Setelah memandangi bungkusan kado itu dan kubanting setir, putar balik untuk pulang.
Hari itu sudah malam. Dan gelap. Ada sebuah kendaraan yang tidak membaca kalau aku baru saja membanting setir untuk putar balik.
Setelah membanting setir ke kanan. Semuanya gelap.
Seharusnya aku yang mati saat itu. Dirumah sakit dalam keadaan tak sadar. Tapi ketika bangun seseorang yang aku kenal sebagai sahabat Dila menangis. Bukan menangisiku, tapi menangisi Dila.
Malam di saat aku terbaring dirumah sakit. Dila mengalami kecelakaan yang menyebabkan kematiannya, disaat dia ingin mengunjungiku di rumah sakit.
Aku baru bisa datang ke makamnya beberapa hari setelah ulangtahunnya setelah Dila dimakamkan. Menangis sendirian setelah mengucapkan selamat ulangtahun dan meninggalkan sekuntum bunga.
Boneka itu. Sampai sekarang masih berada di kamar. Entah mau disana sampai kapan. Aku tak berniat membuangnya apalagi memberikannya pada orang lain.
“
Ger!”
Aku berbalik, melihat Refan yang melambaikan tangannya dari luar makam. Untuk apa dia kesini?
Kuhampiri dia dengan ekspresi wajah keheranan , seharusnya dia membaca ekspresi itu tapi dengan ketidakpekaannya aku yakin dia tidak akan menjelaskan sampai aku sendiri yang bertanya.
“Udah berapa jam?”
Kulihat makam Dila sekali lagi. “Baru setengah jam kayaknya. Kenapa?”
Refan menggeleng. Hanya diam dan memperhatikan makam Dila, aku pun diam menunggu Refan bicara. Mengatakan sesuatu yang bisa menjelaskan kedatangannya kesini.
“Dila pernah cerita ke aku. Dia suka sama seseorang. Aku sempet mikir orang itu Fian. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi orang itu kamu Ger.”
Kuamati wajah Refan. Dia serius. Dan setahuku Refan tidak pernah main-main kalau menyangkut sepupunya Dila, apalagi setelah dia meninggal.
“Makanya aku kaget waktu kamu bilang kamu masih kesini. Setiap ulangtahunnya.”
Lalu semuanya terasa begitu jelas. Nada bicara Dila malam itu, segala perhatiannya, dan ucapannya. Aku kira hanya aku yang berpikir kalau Dila menyukaiku, lebih dari seorang sahabat dan malam sebelum ulangtahunnya menghancurkan segala dugaanku. Membuatku mengambil sebuah kesimpulan kalau dia hanya menganggapku sahabat, tidak lebih.
Refan menepuk bahuku. “Move on. Dila pasti pengen kamu lebih beruntung dari dia. Nggak perlu bohong sama perasaanmu sendiri.”
Aku hanya menganggukkan kepala. “Ref. Duluan aja. Entar aku nyusul,” ucapku memintanya untuk pergi, ada sesuatu yang perlu kukatakan pada Dila.
Refan mengangguk, meninggalkanku yang kembali menghampiri makam Dila. Kembali duduk di posisi yang sama, memandangi nisan yang sama.Kuusap nisan makam Dila. Untuk yang terakhir kalinya, mungkin tahun depan aku tidak akan berkunjung, ini waktunya untuk melangkah lebih maju.
“Kalau kamu belum ngerti waktu itu. Aku kasih tahu kamu sekarang ya.”
Kuhela napas. Meminta diriku sendiri untuk tenang.
“Aku sayang kamu. Lebih dari sahabat.”
“Seandainya kamu tahu itu.”
0 komentar :
Posting Komentar