Senin, 31 Oktober 2011

Memang Butuh Pengorbanan


Aku memang tidak mengenal cowok itu, tidak mengenalnya sebaik sosok yang berdiri disampingku dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. Kami memang satu sekolah, satu almamater, tapi bukan berarti aku juga mengenal siapa cowok itu, aku tidak mengenal semua orang yang seangkatan denganku, jadi wajar saja kalau aku sempat ingin menanyakan siapa dia.

Tapi aku memilih untuk diam. Ekspresi Yuna seperti menjelaskan sesuatu padaku. Campuran antara terkejut dan rasa rindu yang terpancar jelas dimatanya. Cowok itu pasti Gio, seseorang yang pernah ada di hatinya. Dan entah kenapa aku yakin masih ada serpih-serpih tentang Gio di sana.

Kuhela napas panjang, menyenggol Yuna. “Kamu mau gabung sama kelasmu? Nanti kita ketemu di mushola ya?”

Dia menatapku bingung. Terkejut. Baru beberapa detik berlalu dia mengangguk lalu menyusul beberapa anak yang pernah sekelas dengannya di kelas 12. Gio itu termasuk di dalamnya.

Sebelum berbalik dan bergabung dengan Demi dan Karim kutatap sosok yang setengah berlari menuju lapangan basket. Sekilas ada sayap disana.
Sebahagia itukah dia?


“Mau jadi valentine ku?”

Raut mukanya sempat membuatku ragu. Sepertinya aku harus tertawa setelah ini, sebelum terlihat memalukan karena ditolak. Mungkin sengaja dengan tertawa ia tidak akan berpikir kalau aku benar-benar serius.

“Masih jaman ya valentine-valentinenan?” cewek itu sibuk membereskan buku-buku yang akan berpindah dari atas meja kedalam tas. Jam kuliah sudah selesai 10 menit lalu, dan ia pasti berniat untuk pulang.

Bola mataku berputar mencari jawaban. Aku pikir dia bukan tipe orang yang anti dengan hal-hal yang berbau ‘sedikit’ berkebudayaan barat. “Kalau kamu anggap gak, ya gakpapa.”

“Ya, udah kalau gitu,” senyumnya mengembang diakhir kalimat. Mungkin ia ingin menertawaiku, tapi tidak dia hanya tersenyum. Senyuman yang melengkungkan bibirnya hingga berbentuk bulat sabit. Melengkung sempurna.

Buku terakhir masuk kedalam tas hitamnya. Aku belum menjawab apapun. Bukan menjawab karena ia tidak memberi pertanyaan. Tapi sepertinya aku harus memberi tanggapan, apapun itu.

“Udah?”

Senyum itu belum hilang dari wajahnya. Seperti mengisyaratkan sesuatu, tapi otak bebalku seperti kehilangan inderanya. Tidak mengerti. Lalu aku menggeleng, bukan berarti aku ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi aku memberi tanda kalau aku masih belum mengerti.

“Gini lho Sa, kalau jadi valentine kamu berarti cuma pas tanggal 14. Dan aku gak mau cuma jadi orang yang spesial di satu hari itu doang. Jadi—“ ia memotong kalimatnya, yang terdengar seperti sebuah permintaan yang harus aku artikan maknanya. Cewek ini. Memang seperti gudang kode.

Kumajukan badanku tapi jarak kami tetap terjaga. Aku tahu kalau dia tidak suka terlalu dekat dengan cowok. “Kalau gitu, gak cuma hari valentine, setelah hari valentine dan seterusnya.”

Ia tersenyum. “Boleh.”

Tanggal 13 Februari hari itu adalah hari terbaik.



Bola orange kembali berputar diatas ring, sekedar berputar bukan masuk melewati jarring-jaring dibawahnya. Three point yang gagal. Bola itu memantul berkali-kali sebelum Demi mengambilnya dan berdiri disebelahku lalu melakukan tembakan. Three point.

“Tumben Sa, gak biasanya.”

Kukedikkan bahu. Antara tak mengerti dan tidak ada apa-apa. Menjawab sekedarnya.

“Ada masalah sama Yuna?” Demi mengikuti langkahku menuju pinggir lapangan setelah melemparkan bola pada Karim. Membiarkan cowok itu bermain sendirian di lapangan dan sibuk mencetak three point yang entah keberapa kalinya.

Setelah menegak seperempat isi dari botol air mineral aku memilih untuk diam. Hanya memperhatikan Karim dan kemampuannya yang masih sama sejak SMA dulu. Sama-sama mengensankan dan membiarkan pertanyaan Demi menggantung di angan-angan.

Mempersiapkan jawaban yang tidak memperlihatkan kegalauanku.

“Gak ada.”

“Kalau gak ada kok gak gabung sama temen-temennya Yuna aja. Biasanya gitu kan?”

Biasanya memang gitu. Biasanya bergabung diantara sahabat-sahabat Yuna menjadi hal yang sangat biasa. Sebagai orang yang supel bergabung di teman-teman Yuna adalah hal yang mudah.
Tapi kalau ada cowok tadi entah kenapa nyaliku sedikit ciut.

“Males ah.”

Kuarahkan pandangan ke kantin, jendela kantin yang lebih meneyerupai pintu berukuran jumbo membuatku bisa melihat beberapa anak yang berada di dalamnya. Ada Yuna disana dengan beberapa anak kelasnya, dan Gio. Sepertinya Yuna tertawa karena sesuatu, kalau firasatnya benar karena Gio

Pasti cowok itu.

“Lagi jealous ya?”

Kualihkan pandangan dari kantin ke Karim yang baru saja datang dengan keringat yang menetes di wajahnya. Datang-datang tebakannya langsung nujleb dalem banget. Sialan nih anak.

“Ngapain jealous?”

Karim menyambar air mineral dari tangan Demi. “Ya udah kalau gitu,” menegak isinya hingga tak bersisa.

Aku cemburu. HAHAHA. Yang benar saja.

Ok. Mungkin benar. Aku hanya sedikit cemburu.

Sedikit.



Jam ditanganku sudah menunjukkan angka 3. Sudah sore. Karim dan Demi sudah meninggalkan sekolah sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan aku masih harus menunggu Yuna, dia bilang sebentar lagi.

Sepertinya anak-anak kelasnya sudah banyak yang pulang tadi.

Tapi Gio dan swift hitamnya belum beranjak dari sekolah.

Terserahlah. Aku yakin Yuna tidak akan berbuat macam-macam. Dia wanita baik.

Setelah beberapa menit setelah setengah jam berguling-guling di mushola, Yuna menghampiriku dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ekspresi yang hanya muncul disaat ia menyembunyikan sesuatu apapun itu.

Matanya tidak secerah tadi saat aku melihatnya di kantin.

“Kenapa?”

Yuna menggeleng pelan. Tersenyum. “Pulang sekarang?”

Kuanggukkan kepala. Menurut. Ini salah satu kekurangan si gudang kode. Dia selalu menyembunyikan hal-hal yang penting.

Setelah menggandeng tangannya menuju ke parkiran kubiarkan ia memasang helmnya.

Tatapannya kosong. Mengikuti swift hitam yang meluncur keluar dari pagar, lalu seolah-olah tahu kalau aku memperhatikannya ia tersenyum padaku. “Hari Jumat mau ke kafe langganan kita gak?”

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Ikut tersenyum. Menebar senyum yang sama palsunya dengan senyumnya.



Kafe langganan kami bukan kafe yang mewah, budgetnya masih sesuai dengan kami para mahasiswa yang mungkin lebih sering makan di warteg ketimbang rumah makan. Dan suasanya menyenangkan. Yuna yang pertama kali mengajakku kesini. Entah dengan siapa ia pertama kali ke tempat ini aku tak berani menebak-nebak.

“Kamu mau pesen apa Sa?”

“Kayak biasanya aja,” tanganku sibuk membalas sms dari Rani, sahabat Yuna. Pertanyaanku 2 hari lalu terjawab sudah. Sekarang waktunya menanyakan hal itu langsung pada sumbernya.

Setelah pelayan pergi dengan pesanan kami. aku berdehem. Meminta perhatiannya, dan bisa kulihat tatapan matanya menyiratkan pertanyaan, ‘ada apa?’.

Gio, bilang apa sama kamu waktu kalian terakhir kali ketemu?”

Kulihat kerutan di dahinya terbentuk sempuran. Heran dengan pertanyaanku. “Bilang apa?”

“Dia ngasih tahu kamu, kalau dia suka sama kamu?”

“Ha?”

“Iya?”

“Sa?”

Kuhela napas panjang. Hobi lain dari cewek ini adalah mengulur-ngulur waktu untuk menjawab pertanyaan kalau dia tidak ingin menjawab pertanyaan. seperti saat ini, hanya ‘Ha?’ Atau ‘Sa?’

Kenapa sulit bagi cewek itu untuk berkata jujur?

“Kalau kamu masih suka sama dia. Jadian aja.”

“Saganindya Abi. Kamu ngomong apa sih?”

Yang kutahu setiap dia menyebutku dengan nama lengkap berarti ia marah. Atau ia tidak terima atas apa yang aku ucapkan.

“Jujur aja. Aku gak pengen ngekang kamu dengan perasaan palsu,” kutatap matanya dalam-dalam. Dan disaat seperti ini pasti ia selalu menghindar, seperti saat ini ia memilih untuk memperhatikan jari-jari lentiknya diatas meja. Takut menatap mataku. Atau tidak suka.

Ia menghela napas. Mengepalkan tangan. “Aku gak pernah malsuin perasaanku Saganindya Abi, aku gak sepalsu itu.”

Kalau kata Rani jika aku melihat Yuna menghela napas dan mengepalkan tangan berarti cewek itu akan menangis. Aku baru melihatnya hari ini. Karena sebelumnya ia tidak pernah menangis di depanku.

“Kenapa kamu pakai kacamata hari ini?”

“Ha?”

“Mata kamu bengkak kan?”

“Saga.”

“Yun, kamu nangis karena Gio?”

Ia mengalihkan pandangannya dariku. Tidak menjawab berarti iya, aku berhak mengartikannya seperti itu.

“Kamu pernah nangis karena aku?”

Dia diam lagi. Tak ingin menjawab.

“Kamu pengen aku nangis disini? Buat kamu?”

Baru kali ini dia melihat mataku. Langsung. Hingga aku bisa melihat genangan air di pelupuk matanya.

“Aku pengen kamu nelpon Gio sekarang.”

“Buat apa?”

“Bilang kalau kamu sayang sama dia!”

“Buat apa Saga? Kamu pikir dengan bilang kayak gitu aku sama dia bakal jadian? Dia baru bisa
bilang perasaannya sama aku setelah 1 tahun. Dia bilang dia suka sama aku dari sebelum kami lulus. Dia terlalu pengecut buat bilang kalau dia sayang sama aku dari dulu. Kenapa dia gak bilang dari dulu, kalau dia benar-benar menginginkan aku menjadi lebih dari temannya?”
Penjelasan panjang tadi diakhiri dengan helaan napas panjang. Yuna mendongakkan kepalanya.
Menahan air matanya untuk menetes.

“Tapi sepengecut apapun kamu tetap mau nunggu dia kan? Walaupun setahun, dua tahun.
Kamu masih tetap bisa nangis karena dia kan?”

“Saga kamu gak ngerti.”

“Aku emang gak ngerti, tapi aku tahu kamu sayang sama dia. Telepon dia sekarang bilang ke dia kalau kamu sayang sama dia,” aku berdiri meninggalkan selembar uang disana, membayar pesanan yang belum datang. Yuna tidak mencegahku untuk pergi. Dia hanya diam mematung di tempat duduknya, hingga kulihat dari jendela kafe cewek itu sedang mengambil handphonenya.

Ketika itu aku sudah siap diatas motor, meninggalkan kafe kenangan. Mungkin setelah berbulan-bulan nanti aku baru bisa datang ketempat ini lagi.

Hari itu 12 Agustus. Sebentar lagi tanggal 17. Sepertinya aku harus merayakan hari kemerdekaan sendirian.



From : Yuna
Sa, makasih atas kesempatan yang kamu berikan. Tapi satu hal yang kamu tahu aku gak akan nelpon Gio sekarang, butuh waktu. Kamu tahu kan?
Dan makasih untuk 6 bulan ini. Perasaanku buat kamu gak pernah palsu.


***
Ini cerpen lama. Udah lama di folder cerpen di laptop.

Kalau yang baca cerpen ini dan cerpen 1-2-1 mesti bakal berpikir, hobi banget bikin cerita yang sejenis, mirip, setema. Tentang cowok dan cewek yang saling suka tapi gak ngomong.

Mungkin memang bener, lagi pengen bikin cerpen setipe kayak gini. Tapi bukan berarti semua cerpen isinya bakal kayak gini semua :)

Jadi silahkan menunggu cerpen dengan tema yang berbeda.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang