Rabu, 02 November 2011

Angin


“Kamu tahu apa yang paling menyebalkan di dunia ini?”

Kutolehkan kepala, merespon pertanyaan seseorang yang duduk di sebelahku. Wajahnya masih memandangi sungai yang memantulkan senja hari itu.

Sebuah batu melayang menuju sungai, hingga terdengar suara yang menembus perisai sungai dan tenggelam. “Mengetahui kalau segala hal yang kamu pikir benar adalah salah—“

“Dan sesuatu yang kamu pikir salah itu benar, iya kan?” lanjutku kemudian, ikut melemparkan batu ke sungai. Dan satu batu lagi tenggelam.

Dia masih tidak menoleh, aku pun tidak berharap ia untuk menoleh, walaupun sejujurnya aku tak menyukai gaya bicara setiap orang yang tidak pernah melihat lawan bicaranya.

“Terlalu banyak orang yang suka menduga-duga. Dan terlalu suka untuk memutuskan sendiri. Seperti yang kamu lihat batu ini,” dia mengangkat sebuah batu kecil berwarna hitam, menunjukkan padaku tanpa menoleh. “Kalau aku lempar kira-kira bakal  langsung tenggelam nggak?”

Kuanggukkan kepala. Lalu ia berdiri melempar batu itu, kuperhatikan bagaimana batu itu bukannya langsung tenggelam tapi seperti memantul dari permukaan satu ke permukaan lain. Hingga ketiga kalinya baru batu itu tenggelam.

“Kamu nggak suka kalau kamu salah?”

Aku menganggukkan kepala lagi.

“Salah itu. seperti menunjukkan kalau aku bodoh. Lebih bodoh darimu, seperti saat ini,” kucoba mengulang apa yang dia lakukan tapi batu itu tenggelam begitu saja.

Bisa kulihat senyuman di wajahnya, hanya dari ujung mataku. “Dan setelah menyadari kalau kamu salah kamu masih mau membuktikannya?”

Aku kembali duduk. Disebelahnya. “Hanya memastikan, membela diri mungkin.”

Kemudian hening. Dia tidak melanjutkan pembicaraan begitu juga diriku yang memilih untuk diam. Membiarkan suara kendaraan yang sesekali lewat dibelakang kami, suara katak yang berbunyi lebih cepat dari biasanya.

“Tahu nggak? Kata orang jam dulu kalau katak bunyi tiba-tiba berarti sebentar lagi mau hujan,” ujarku ditengah kehenigan diantara kami berdua.

Dia tidak menjawab dan aku memilih untuk meneruskan ucapanku.

“Kalau aku bilang habis ini bakal hujan dan aku benar—“

“Kamu bakal ngerasa bangga kan?”

Dia memotong ucapanku. Aku memilih diam menunggu dia melanjutkan apapun yang ingin dia lanjutkan.

“Kebanggaan untuk hal-hal sepele itu, yang membuat seseorang jatuh kedalam sesuatu yang seharusnya tidak bisa membuatnya jatuh,” dia merubah posisinya, berbaring diatas rereumputan disampingku.

Tangannya menjadi alas kepalanya, kakinya lurus dan matanya menerawang ke langit.

Dia punya rambut berwarna hitam yang berantakan jika tertiup angin, tidak gondrong tidak juga terlalu pendek. Matanya berwarna coklat, kulitnya putih, wajahnya tanpa jerawat, hidungnya mancung dan itu salah satu nilai lebih darinya.

“Lalu, bagaimana sikapku ketika aku benar. Dan berhasil menghindari apa yang tidak aku sukai, tidak terlihat bodoh misalnya.”

Dia diam. Lalu langit mulai terlihat mendung. Kudongakkan kepala, hujan akan turun.

“Diam. Dan tanyakan pada dirimu. Betulkah yang kamu katakan itu bukan hanya suatu kebetulan.

"Betulkah apa yang kamu anggap betul adalah kebenaran? Betulkan dikemudian hari tidak ada orang yang bisa membuktikan kalau kamu salah? Baliklah semuanya seolah-olah yang kamu banggakan itu bisa saja dijungkir balikkan oleh sesuatu dikemudian hari.”

Lalu dia berdiri dan aku tetap duduk. Dia berbalik begitu juga diriku, tapi tetap di posisi yang sama aku memintanya untuk berhenti.

“Bisakah kau memberitahuku sesuatu sebelum kau pergi?”

Dia berbalik, melihatku.

“Kenapa kau mengatakan semua hal ini padaku?”

Dia tersenyum. Senyumannya seperti sudah di set seperti itu, tidak seimbang, lebih ke kiri, matanya sedikit terlihat sinis tapi tetap saja membuatku sedikit memahami kalau dia sedang berusaha membuatku mengerti kalau ia tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.

“Karena, mungkin apa yang kamu kira benar adalah salah dan apa yang kamu kira salah adalah benar. Kamu benci itu kan?”

Belum sempat kujawab seorang wanita menghampirinya. Menepuk bahunya.

“Kamu ngomong sama siapa?”

Dia melihat kearahku. Tersenyum lagi. Aku mengangguk lalu melambai.

Dia pergi bersama wanita itu.

Kemudian angin membawaku pergi bersama kata-katanya.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang