Rabu, 09 November 2011

Hujan


Hari itu hujan. Kubuka payung yang memang sudah ada di dalam tas untuk berjaga-jaga, musim hujan baru dimulai beberapa minggu lalu dan banjir di beberapa tempat sudah terdengar beritanya dimana-mana.

Setelah keluar dari café tempat menikmati kesendirian di sore hari itu—yang suasananya lebih mirip selepas magrib karena hujan— kulangkahkan kaki menuju sebuah lampu merah. Hendak menyebrang dan pulang. tidur disaat seperti ini adalah hal yang paling nyaman setelah berkutat dengan layar laptop.

Beberapa kendaraan sepertinya pun ingin segera kembali ke garasi rumah yang hangat. Ada sebuah mobil yang langsung tancap gas begitu lampu berwarna hijau. Hingga kubangan yang ada di sana menyipratkan air kotor dan mengenai pengendara motor. Aku yakin pengendara motor itu sudah mengeluarkan umpatan di balik helmnya.

Angka-angka di penunjuk lampu lalu lintas berubah terus menerus hingga menyentuh angka 9 handphoneku bergetar. Payung berpindah dari tangan kanan ke kiri. Sepertinya aku harus menunggu lampu hijau selanjutnya.

“Ya? Lagi di lampu merah. Kenapa bu?”

Suara disebrang sana memintaku untuk membelikan pembalut di indomaret atau alfamart atau toko manapun yang menyediakan.

Rasa-rasanya ingin menolak. Tapi permintaan orangtua, apa boleh buat. Sepertinya hari ini aku akan menerima tatapan heran dari mbak-mbak kasir lagi.

“Iya. Nanti aku beliin.”

Seorang wanita berdiri di sebalahku tepat ketika angka di lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau. Kulirik dia sekilas, mengenakan kacamata hitam dengan tongkat di tangan kiri dan pegangan payung di tangan kanan.

“Mas. Lampunya udah hijau belum?”

Dia mengenakan mini dress bernuansa floral dengan rambut yang tergerai hingga punggung, ditengah bau hujan tercium samar wangi parfum yang dikenakannya. Persis dengan milik Karen.

“Mas?”

“Ah iya. Belum mbak.”

Dia menganggukkan kepalanya. Pandangannya tak berubah, lurus kedepan. Ingin sekali aku bertanya tentang keberadaannya di tempat seperti ini.

“Bisa minta tolong kasih tahu saya kalau lampunya sudah hijau?”

Aku menganggukkan kepala. “ Iya mbak.”

Kemudian aku memperhatikan jalanan. Sepertinya semua kendaraan menaikkan kecepatannya ketika hujan turun, bukannya takut terpeleset karena licinnya jalanan.

“Tadi mas merhatiin saya ya?”

Pertanyaannya hampir membuatku tersedak ludah sendiri. Jangan-jangan perempuan ini sebenarnya tidak buta.

Dia tertawa kecil. Bisa kulihat lesung pipi di wajahnya. “ Tenang aja mas. Saya beneran nggak bisa liat kok. Cuma bisa ngerasain hal-hal yang agak sensitif aja.”

Aku pun tertawa, walaupun terasa hambar. Malu juga kepergok menganggumi kecantikan seorang perempuan, walaupun dalam hati. “Mbaknya mau kemana? Kok sendirian?” tanyaku melanjutkan pembicaraan.

Perempuan itu menggeleng lalu tersenyum lagi. “Mas nya sendiri mau kemana?”

“Mau pulang tapi tadi parkir mobilnya disebrang. Jadi masih harus nyebrang lagi.”

Dia menganggukkan kepala. Baru beberapa detik tak ada pembicaraan diantara kami berdua ada suara keras tak jauh dari kami.

Di sebrang jalan , ada sebuah motor yang tergeletak dengan seseorang yang terbaring di jalanan. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga aku yang ada tak jauh dari tempat itu pun tak tahu, sepeda motor itu yang menabrak mobil atau sebaliknya.

Kemudian beberapa orang berkerumun. Helm pemilik sepeda motor dilepas. Sepertinya seorang laki-laki seumuran denganku. Kusipitkan mata lagi berusaha untuk fokus, dari kepala pria itu keluar darah, juga dari hidungnya. Sepertinya parah.

“Ada apa mas? Kok kayaknya ribut-ribut?”

Wanita itu menoleh ke arah terjadinya kecelakaan tapi kurasa percuma, aku tetap harus menjelaskan keadaannya.

“Ada yang kecelakaan mbak. Motor sama mobil.”

“Motor? Jenis sepeda motornya apa?”

Kuperhatikan sepeda motor yang kemudian dipinggirkan orang-orang secara beramai-ramai. “Kayaknya sih vario item mbak.”

Bisa kulihat kerutan dahi yang muncul diwajahnya. “Plat nomornya keliatan gak mas?”

Kugelengkan kepala. “Nggak. Kenapa mbak?”

“Ciri-ciri orang yang kecelakaannya. Keliatan nggak?”

Kuperhatikan lagi pengendara motor yang sekarang tergeletak di trotoar jalan, hanya beberapa orang yang berada di sekitar tubuh malang itu. Seorang polisi dengan perut buncit, seorang pria dengan jas hitam dan seorang pria lainnya yang sepertinya saksi.

“Laki-laki, rambutnya pendek, pakai jaket kulit hitam, celana jeans, nggak terlalu jelas sih mbak,” jelasku sembari sedikit berjinjit, berjalan ke kiri, ke kanan lalu kembali lagi ke posisi semula. Berusaha menemukan posisi yang pas untuk menjawab pertanyaan perempuan di sebelahku.

Dia menghela napas lalu kembali ke posisinya. Lurus ke jalan raya. “Saya kira teman saya yang saya tungguin, soalnya dia pakai vario hitam juga. Tapi rambutnya gondrong kok,” jelasnya kemudian. Sekedar untuk memberi kejelasan atas kepanikannya tadi.

“Oo—pacar ya mbak?”

Dia tersipu. Aku mengangguk-angguk mengerti. “Berarti mbak nunggu disini nungguin pacar mbak? Kok nggak nunggu di café aja kan hujan.”

Perempuan itu menggeleng. “Nggak. Dia bilang dia bakal datang setelah lampu hijau pertama.”

Romantis banget pacarnya perempuan ini. Pakai istilah lampu hijau pertama segala. Kalau aku sih mending nyuruh Karen nunggu di dalam café, setidaknya bisa nelat lebih lama daripada waktu janjian, kan dia masih bisa nunggu sambil makan atau minum.

Hujan sudah reda begitupula rintik-rintiknya. Setelah memberitahu perempuan yang berdiri disebelahku kalau hujan sudah reda dan menurunkan payung serta kembali melipatnya, lampu berubah menjadi merah.

Perempuan itu tidak melipat payungnya. Tidak pula berpindah dari posisinya. Di trotoar jalan dengan payung di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri.

Setelah meminta ijin untuk menyebrang duluan kulangkahkan kaki melewati zebra cross.

Hanya beberapa orang yang berada di sebrang sana dan akan menyebrang. Salah satunya laki-laki berambut pendek dengan jaket kulit hitam dan celana jeans, tingginya sedikit melebihi tinggi badanku. Kuperhatikan laki-laki itu dengan seksama, hingga kami berpapasan dan aku sampai di trotoar sebrang.

Laki-laki itu persis dengan pengendara motor tadi.

Kulihat tubuh pengendara motor tadi. Baru saja seorang polisi menutupinya dengan koran.

Disebrang sana laki-laki itu menghampiri perempuan yang sedang menunggu lampu hijau pertama.

Samar-samar kulihat air mata jatuh dari balik kacamata hitam perempuan itu.



Published with Blogger-droid v2.0.1

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang