Selasa, 13 Maret 2012

Kau Tahu


Dia tersenyum, matanya menatap seorang wanita dengan rambut pendek berwarna pirang yang sedang sibuk dengan berkas-berkas diatas meja. Kebosanan sedang melanda dirinya sementara tumpukan berkas diatas meja tak kunjung surut, kenaikan pangkat menjadi kolonel jenderal tak membuat tugasnya berkurang sedikitpun, tak juga pula membuatnya harus kehilangan senyum ketika memperhatikan asisten, pengawal, sekaligus baby sisternya secara diam-diam.

Riza mengangkat kepala, sementara tangan kirinya memegang sebuah kertas, matanya hendak membaca lebih dekat kertas-kertas itu sebelum ia menangkap mata berwarna hitam yang sedang memandangnya lekat-lekat dan tersenyum. “Apa yang kau lihat sir?”

Roy mengangkat bahu, tapi senyum tak kunjung  lepas dari wajahnya. Tak peduli Riza menggelengkan kepalanya dan kembali berkutat pada berkas, ia tetap tersenyum seperti orang bodoh setiap kali berhenti sejenak dari berkas-berkas diatas meja dan memandangi wajah Riza Hawkeye.

Riza mengangkat kepalanya lagi. “Sir kalau kau masi terus memandangiku sambil tersenyum dan tak mengerjakan tugasmu,” ia mengeluarkan pistol seperti biasa. Bagi Riza mengancam atasan pemalasnya itu dengan senjata selama ini selalu menjadi cara yang efektif.

“Ah—baiklah!” Roy mengangkat tangannya tanda menyerah dan kembali berkutat dengan berkas-berkasnya.

Riza tersenyum kecil lalu kembali memasukkan pistolnya ke tempat semula. Kembali berkutat dengan kertas-kertas sebelum ada sebuah suara yang berbicara padanya.

“Temani aku ke cafeteria, sebuah kopi sebelum aku mengantuk.”

Riza menarik kembali pistolnya. “Sir—“

“Ayolah. Aku sudah mengerjakan berkas itu selama 5 jam dan berkas itu tak habis juga menurutmu apa yang harus aku lakukan agar tidak mengantuk selain minum kopi. Temani aku sekarang. Ini perintah,” tawar Roy dengan nada yang tegas di akhir tapi tetap membuat wajahnya tak tampak galak sedikitpun, malah mempesona bagi wanita manapun yang melihatnya. Mungkin terkecuali Riza dengan eskpresi datarnya.

“Baiklah sir.”

Cafetaria bukanlah tempat yang ramai di jam seperti ini yang jelas-jelas bukan jam makan siang. Roy mengeluarkan jam state alchemist nya, angka menunjuk di angka 3. “Kau sudah mengerjakan beberapa tugas lebih dulu kan?”

Riza mengangkat kepalanya. Kemudian mengangguk.

“Kau datang jam berapa tadi?”

Riza mengunyah roti pesanannya. “Jam 7. Aku tidak suka terlambat seperti atasanku.”

Roy hanya mencibir dan meneguk kopi hangatnya.

“Menurutmu. Jika aku menjadi fuhrer nanti hal apa yang pertama kali akan aku lakukan?”

Riza berhenti mengunyah sejenak. “Mungkin meminta para wanita untuk memakai rok mini di tempat kerja,” tebaknya asal.

Roy tertawa. cara Riza mengatakan hal itu terdengar seperti kecemburuan baginya. “Itu memang akan kulakukan tapi bukan menjadi hal pertama yang akan kulakukan.”

Riza menghabiskan gigitan terakhirnya. Mengaduk kopi yang masih mengepul uapnya di udara. “Lalu apa yang kan lakukan pertama kali sir?”

“Menghapuskan fraternization law.”

Riza bisa melihat senyum di wajah atasannya, sementara tangan kanan atasannya itu berada diatas tangan kiri dengan posisi menopang dagu. Tatapan matanya terlihat serius tapi jawabannya terdengar main-main. “Untuk apa kau lakukan itu sir?”

“Untuk melamarmu.”

Riza baru saja akan menyeruput kopi hangatnya, ia mendengar kata ‘melamarmu’ melalui telinganya. Rasanya kopi itu sudah tak nyaman lagi untuk dinikmati. “Jika aku dengar kau bisa bercanda seperti itu sir. Mungkin ini waktunya kita kembali menyelesaikan tugas,” ia meletakkan gelas kopinya yang masih penuh kembali ke atas meja.

Roy tidak terlihat kecewa dengan kata-kata Riza. Tak juga murung. Walaupun kata-kata itu bisa berarti penolakan bagi pria manapun tapi senyum di wajah Roy tak kunjung luntur.

Riza berdiri dari kursinya. “Sir—“ ia mengeluarkan pistol dari sarungnya. Setelah itu ia bisa melihat Roy mengangkat tangannya berbalik dan berjalan kembali menuju ruangannya.

Sementara punggung Roy menjauh, Riza hanya mampu menghela napas panjang. Memasukkan pisau kedalam sarung dan berusaha menghancurkan harapan di hatinya yang tiba-tiba muncul. Kemudian kakinya melangkah menyusul Roy.



“Hal pertama yang akan aku lakukan ketika aku menjadi Fuhrer?” Roy berjalan beriringan dengan Riza menuju pintu keluar gedung.

“Kau sudah menanyakan hal itu sir,” jawab Riza tanpa memperlambat langkahnya.

“Aku akan melamarmu.”

Dorr—

Bekas tembakan di lantai tepat disamping pijakan Roy adala bukti nyata kalau suara tembakan tadi berasal darinya. Sniper amestris memang tidak pernah kehilangan kemampuan walaupun perang telah lama usai.

“Sir. Sebaiknya selesaikan tugas anda sebelum bercanda terlalu banyak.”

“Kenapa kau selalu menganggapnya adalah candaan.”

“Karena hal itu jelas candaan sir.”

“Kalau aku serius.”

“Aku akan menolakmu sir.”

“Boleh aku tau alasannya.”

Dorr—

Sebuah bekas tembakan menembus didekat kaki Roy.

“Itu alasan pertama sir.”

“Lalu?”

Dorr—

Sebuah bekas tembakan membekas tepat di samping kiri kepala Roy tepat di dinding.

“Alasan ketiga?”

Riza memasukkan pistolnya ke dalam sarung. “Kau perlu berapa alasan sir?”

“Sebanyak yang kau bisa.”

“Keinginanmu menjadi Fuhrer salah satunya sir,” Riza berjalan lebih dulu dari Roy yang masih tertegun dengan jawaban terakhir asisten, pengawal dan babysisternya itu. Kemudian ia mempercepat langkahnya dan menyusul Riza, berjalan disampingnya dengan kecepatan yang berusaha ia samakan.

“Kenapa?”

“Apa?”

“Kenapa menjadi fuhrer adalah penghalang?”

Riza berhenti lalu ia memutar badan tepat di depan Roy. “Sir, kau punya potensi yang besar untuk memaksimalkan dirimu menjadi fuhrer dan aku tidak akan bisa mendukungmu seperti sekarang jika menikah denganmu,” langkah Riza tak memelan walaupun ia menjelaskan sesuatu yang terdengar berat di telinganya sekalipun, terdengar menghantam hatinya sekalipun.

Roy terdiam. Langkahnya terhenti. Riza pun berhenti begitu mencapai jarak beberapa meter dari Roy. “Sir, tujuanku selama ini berada di balik punggungmu, melindungimu, membantumu mencapai tujuanmu, menembakmu jika kau salah jalan seperti yang kau perintahkan,” suara itu memelan di akhir kalimat, Riza menelan ludahnya. “Bukan menjadi pendampingmu,”

Riza melangkah meninggalkan Roy sebelum ia mendengar sebuah pertanyaan yang mengguncang hatinya.

“Kau tidak mencintaiku?”

Riza berbalik. Lalu dengan cepat ia meraih pistolnya dan suara tembakan kembali terdengar di udara. “Kau tahu jawabannya.”

Baru saja Riza berbalik ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang, seseorang melingkarkan tangan di pinggangnya. Nafas seseorang menggeletik tengkuknya.

“Aku tidak pernah tahu sampai aku mendengar jawabanmu.”

Riza memejamkan matanya. Dan membiarkan mereka berdua dalam posisi seperti itu selama beberapa menit dalam keheningan.

“Kau tahu jawabannya sir.”



Seorang wanita tersenyum di depan sebuah nisan, membawa rangkaian bunga berwarna putih, meletakkannya di depan nisan itu.

“Kau memang bodoh sir—“

1 tahun berlalu semenjak kematian fuhrer mereka—Roy Mustang dan semenjak itulah di tanggal yang sama Riza selalu membawa rangkaian bunga dan tersenyum di depan makam yang sama.

“Seharusnya aku menembakmu waktu itu agar kau sadar mengorbankan dirimu sendiri bukan hal yang baik—“ angin meniup rambut pirang sebahu miliknya. “Aku seharusnya mengatakan padamu untuk terus hidup bukan menangisimu.”

“Dan seharusnya kau mengatakan selamat tinggal bukan tersenyum dan mengucapkan kata itu lagi—“ Riza memandangi nisan itu dengan tatapan penuh kesedihan. Air matanya kembali menetes. Entah sejak kapan ia menjadi secengeng ini. “Aku mencintaimu.”

Ia berjongkok di depan nisan. Mengelus nisan itu dan memejamkan mata. Melihat seseorang yang sangat ia kenal menjemputnya dengan senyuman.

Rambut hitamnya, mata gelapnya, seragam militernya seperti dulu.

“Kenapa kau tidak mengatakannya sejak dulu, Riza?”

Lalu Riza menyambut tangan itu.

“Kau tahu alasannya, sir.”


-- END --


*Catatan : Mungkin yang belum pernah baca Fullmetal Alchemist bakalan bertanya-tanya ini maksudnya gimana?

Tapi beneran deh aku pengen banget nulis fic ini begitu kembali menonton anime FMA. Memuaskan rasa keinginan menyatukan Roy dan Riza-- yang di ending pun tidak bersatu juga, bahkan mangaka-nya mengatakan kalau mereka tidak bisa menikah karena posisi dan status di militer.

Jadi gemes sendiri.

*malah curhat*

Ok. Intinya anggap saja ini selingan. Dan kenapa tidak di post di FFN? Sudah lama sekali tag nongol disana dan tiba-tiba ngepost fic lagi, rasa bersalah tidak menyelesaikan beberapa fic pasti akan muncul. Jadi post dulu disinilah.

Akhir kata. Silahkan isi kotak komentar :)


Published with Blogger-droid v2.0.4

3 komentar :

chococyanide at: 6 April 2012 pukul 17.48 mengatakan... Reply

"If you become too close to someone, you risk destroying that relationship when you tell them how you really feel." (Collage)

Langsung aja yah. :)
Jadi, mungkin aku ga mudeng ceritanya (maklum, saya bukan penggemar anime, manga dan sejenisnya, satu2nya anime yang aku tonton sampe selesai cuma GTO), tapi aku suka style tulisanmu.

Mungkin ini ga begitu penting, tapi setelah keluar gedung, latar tempat ga dijelasin lagi, rasanya jadi agak aneh (maksudku, dimana mereka? kalau masih didalam gedung, tentunya Riza sempet nembak ke atap gedung juga ya?)

Trus satu lagi, karena si Roy dipanggil 'Sir', aku kira lumayan bagus kalo sebagian dialog mereka ada Englishnya juga, ga perlu panjang2, cukup yang pendek aja (aku pernah baca di satu novel yang kayak gitu).

That's all from me. Kalo aku paham ceritanya FMA, mungkin reaksinya bakal beda, tapi tetep bagus kok. :)

Keep up the good work!
80%

Vanessa Praditasari at: 23 September 2013 pukul 19.10 mengatakan... Reply

@chococyanide ichoooo aku baru nyadar aku belum bales komenmu yang iniiii~ *tepok jidat*

Aku suka quote yang mbok kutip :')))

aku pake sebutan sir karena di FMA si Riza sering manggil Roy kayak gitu. Dialog english ya, english ku... pas-pasan *kemudian gegulingan*

Walaupun kamu nggak mudeng FMA makasih udah mau repot-repot baca chooo :'))) makasih juga buat komennya~

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 14.14 mengatakan... Reply

hoo.. bagus bagus..

bukannya terakhir dia ditawari balikin matanya pake sorcerer stone ya?

Posting Komentar

Beo Terbang