Tubuh ini rasanya ingin bergerak, berlari melawan kobaran
api yang menyala-nyala, membawa keluar siapapun yang bisa diselamatkan,
menyelamatkan siapapun yang bisa dikeluarkan. Tapi suara sirene, semprotan air,
bau api yang beradu dengan air, suara manusia yang begitu hiruk pikuk, dan
sebuah tangan yang sejak tadi berada di pundakku yang melemah sepertinya menyadarkanku
pada sebuah kenyataan pahit yang sulit diterima, sepahit abu yang tersisa,
sepahit keadaan yang membuatku terpaksa menahan sesak di dada dan memilih untuk
menutup mata.
Tak ada air mata. Karena tak ada yang sanggup keluar. Tak ada
yang mampu keluar karena hanya rasa sakit yang tersisa.
Kututup wajahku dengan tangan. Lalu meneriakkan nama mereka
satu persatu seperti orang gila.
Mungkin seharusnya aku berada di rumah itu sekarang. Terbakar
menjadi manusia panggang lalu mati bersama keluarga tercinta. Atau seharusnya
hal ini tak pernah terjadi. Tak pernah terjadi.
Penyesalan yang memanggil kami kepada manusia. Ketika mereka sanggup
menjadikan sesuatu yang begitu berharga bagi orang lain menjadi sesuatu yang
murah. Kami datang dan mengulurkan tangan.
Langit-langit, kasur, sebuah meja kecil. Dimana aku. Rumah
sakit? Atau rumah. Atau semua hal yang terjadi kemarin malam hanyalah mimpi?
Kepalaku menoleh kearah meja, sebuah jam tergeletak disana. Sebuah
jam saku dengan rantai yang panjang, panjang sekali, hingga tak terjangkau oleh
mataku. Dan tak tampak siapa yang memilikinya.
“Maaf,”
Aku melirik ke sumber suara yang menatapku dengan tatapan
kasian. Seorang suster yang datang dan sepertinya hanya akan memeriksa keadaanku.
Tak ada yang salah padaku dia tak perlu memeriksa apapun. Kau tidak akan pernah
bisa melihat apa yang salah dari seorang anak yang tiba-tiba menjadi sebatang
kara dalam semalam.
Sementara suster paruh baya itu mengecek infus dan hal lain
yang tak kumengerti, aku melirik kembali jam yang seharusnya ada diatas meja,
tapi jam itu seperti tidak pernah ada, tidak bersama rantai yang panjang tidak
pula berada di atas meja.
“Tadi, paman anda sudah datang berkunjung dan baru saja
menuju ke ruang administrasi untuk mengurus administrasi.”
Aku tak terlalu mempedulikannya. Dia tidak menyebut ayah,
ibu atau adikku dalam kalimatnya berarti tidak ada hal yang perlu kuperhatikan.
Tidak ada.
Suster itu pergi. Bersamaan dengan kedatangan paman dan
bibiku yang pastinya datang dari jauh dan repot-repot kesini hanya untuk
mengurusi keponakannya yang kehilangan semuanya. Sekali lagi semuanya.
Dan wah—baik sekali mereka, bukannya beberapa bulan lalu
mereka dan ibu meributkan soal warisan kakek.
“De, kamu gakpapa kan? Kamu sehat?” Bibi terlihat cemas
sekali. Entahlah kecemasan itu dibuat-buat atau tidak, tapi jikalau ia
berakting pun aktingnya sangat bagus hingga harus kuberikan standing applause.
Ekspresi
paman pun sama, seperti baru saja menelan sesuatu yang tak ingin ditelannya. Mungkin
ia tidak mau menelan kenyataan kalau ia kehilangan anggota keluarganya. Atau kenyataan
kalau bisa saja ia terpaksa menanggung beban seorang keponakan yang baru saja
menjadi yatim piatu.
Aku hanya menganggukkan kepala pelan dan menoleh kearah lain
ketika bibi menangis dan menggenggam tanganku erat.
“Kamu istrirahat aja ya. Jangan pikiran yang lain-lain,”
paman menepuk pundakku dan sepertinya berusaha membuatku kuat. Tapi tepukan
pundak 1000 orang pun tak akan membuat pundak ini naik dan membuatku
bersemangat. Tak mengembalikan keluargaku juga.
“Ayah, Ibu, Kein? Dimana jasad mereka? Kapan dimakamkan?”
Mereka berdua menatapku dengan dahi berkerut.
“Kalian akan memakamkannya hari ini kan?”
“Iya tapi—“
“Aku ikut ke pemakaman. Aku tidak mau berada di rumah sakit
terlalu lama.”
Mereka saling berpandangan dengan tatapan penuh keheranan. Seperti
tak ingin aku melakukan hal ini. Mungkin mereka takut aku ikut melompat kedalam
liang lahat ketika jasad keluargaku dimakamkan. Sebentar—melompat? Mungkin itu
ide yang bagus.
Penyesalan lah yang membawa kami pada manusia. Mengabulkan permintaannya
dengan sedikit imbalan. Hanya sedikit. Hanya meminta hal yang tak berharga bagi
mereka. Hal yang menjadi murah karena keadaan.
Pemakaman telah sepi, sejak awal pemakaman hingga akhir, banyak
yang menepuk pundakku dan memintaku bersabar, mendoakan kebaikan bagi keluargaku,
memintaku untuk tetap kuat tapi dari semua kata-kata itu tidak ada yang mampu
membangkitkan keluargaku dari tempat mereka saat ini. Tidak ada yang
mengembalikan mereka seperti yang kuharapkan di detik-detik terakhir tubuh
mereka masuk ke liang lahat. Tidak ada.
Aku mengusap wajahku berkali-kali. Kenapa saat itu. Kenapa
saat itu aku sedang berada di luar rumah. Kenapa aku tidak bersama mereka dan
terbakar seperti barang-barang lain dirumah. Kenapa? Kenapa?
Mataku menatap nisan untuk yang terakhir kali. Sebelum berbalik
dan memilih untuk kembali melihat puing-puing rumah yang menghitam karena api.
Hanya rumahku yang terbakar hebat. Karena sesuatu yang
mereka sebut sebagai hubungan arus pendek. Mungkin aku harus menyalahkan pihak
penyedia aliran listrik atas peristiwa ini atau menyalahkan mereka yang berada
di dalam rumah karena tidak menyadari kalau ada api yang sedang menikmati tubuh
mereka ketika terlelap. Atau menyelahkan diriku sendiri karena tak berada
disana.
Kusandarkan tubuh di dinding. Menghela napas. Menutup mata. Dan
berharap ketika aku membuka mata rumah itu kembali seperti apa yang aku lihat
beberapa hari lalu.
Ketika mataku terbuka rumahku masih sama, masih menjadi
puing-puing tapi jam itu berada di jalanan dengan rantai panjangnya. Terjuntai entah
kemana. Kulirik jalanan saat itu, tak ada orang selain diriku, dan jam itu
menarik perhatianku sejak di rumah sakit. Jadi kuraih saja, kubuka penutup
jamnya yang berukirkan gambar jam.
“Hei! Jangan mengambil barang orang sembarangan.”
Suara seorang cewek menganggetkanku. Hingga membuat jam itu
terjatuh ke aspal, aku memundurkan langkah dan cewek itu mengambil jam yang
sudah berada di jalanan. Mengusapnya. Meniupnya. “Kau tidak sopan sekali sudah
mengambil barang orang sembarangan. Menjatuhkannya pula.”
Cewek itu berambut hitam legam panjang dan terkepang rapi,
ia membawa rambut yang terkepang itu melewati pundaknya. Pakaiannya bukan
pakaian biasa tapi sebuah gaun ala barat yang roknya mengembang seperti sudah
di bentuk, dengan penuh renda, ia memegang rangkaian bunga berwarna hitam yang dibentuk
melingkar hingga bisa digunakan sebagai mahkota. Warna bunga itu hitam. Benar-benar
hitam. Hingga aku harus bertanya-tanya bunga apa yang memiliki warna yang
menyedihkan seperti itu.
“Kenapa? Kau heran dengan warna bunga ini?”
Dahiku semakin berkerut ketika mengetahui dia bisa membaca
pikiranku.
Dia meletakkan rangkaian bunga itu diatas kepalanya. “Indah
bukan? Kau baru melihatnya?”
Aku menganggukkan kepala pelan.
“Ah ya—kau, tertarik dengan jam ini?” ia mengangkat jam yang
dipegangnya dan tersenyum. Aku menganggukkan kepala. Ia membuka penutup jam itu
dan menyentuh bagian pemutarnya. “Mungkin kau tertarik karena jam ini karena—
jam ini bisa mengembalikan keluargamu.”
“Bisa?” Aku mengeja kata itu. “Benar-benar bisa?”
Ia tersenyum lagi. “Tentu saja. Kau tinggal memutar kembali
jarum jamnya ke angka 12. Lalu keluargamu akan kembali.“ matanya kembali
memandangi jam itu dan aku baru menyadari satu hal lagi yang aneh tentang
wanita itu. Matanya berwarna biru kelam, bukan hitam, tapi jelas-jelas biru
yang gelap. “Bagaimana, kau mau?”
Aku menganggukkan kepala. Cewek itu maju lalu menyodorkan
jam ditangannya. Sebelum aku mengambil jam itu dari tangannya dia bertanya
padaku. “Kau tidak bertanya apa yang perlu kau bayarkan untuk waktu yang
kembali?”
Tok—Tik—Tok—Mau kau kembalikan kemanapun dia akan kembali kesini.
Tok—Tik—Tok—bersiaplah untuk kembali, bersiaplah untuk kembali.
Aku membuka mata dan mendapati diriku berada diatas sofa. Benar
diatas sofa rumah yang kukenal. Aku menemukan diriku disana dan adik
perempuanku Kein berada di depan meja dan sedang menonton televisi tanpa
mempedulikan aku yang masih terkagum-kagum dengan kejadian ini.
Aku menyentuh sofa itu, meja didepanku. Ini pasti nyata
bukan mimpi. “Kein!”
Kein menoleh dan melihatku dengan dahi berkerut. “Apa?”
Dia menjawab. Aku tidak bisa menghilangkan senyum yang
mengembang di wajahku. Mungkin Kein menganggapku gila, tapi tidak. Aku tidak
gila. Aku sedang berbahagia karena keluargaku kembali. Benar-benar kembali.
Ini seperti mimpi.
Ayah dan ibuku keluar dari kamar dan memandangiku dengan
tatapan penuh keheranan. “De, kamu kenapa? Kayak habis menang undian,” ucap
ayahku sembari mengambil sebuah kursi di meja makan. “Gak yah. Gak,” senyum tak
hilang juga dari wajahku saat itu. Dan kami kembali seperti hari itu. Hari
dimana kebakaran itu terjadi.
Pukul 19:00
Ada sms dari Cahyo. Benar memang seharusnya ada sms dari dia
yang mengajakku bermain futsal di tempat biasa. Dalam rangka ulangtahun katanya,
jadi dia memaksaku untuk datang malam itu. Dulu aku menerimanya dengan senang
hati. Sekarang, aku memilih untuk tidak membalas smsnya.
“Yah, bu. Jalan-jalan yok, kemana gitu—“ ajakku pada ayah
dan ibuku yang sedang berdiskusi di meja makan.
“Kein gak ikut ya, masih ada tugas buat besok.”
“Udah kamu ikut aja. Nanti tugasnya biar aku kerjain.”
Kein memutar kursinya. “Serius? Ada angin apa nih kak?”
Ayah dan ibuku terlihat bingung. Tapi mereka hanya tersenyum
dan menganggukkan kepala, mengiyakan
permintaanku.“Ya udah ayo, kamu maunya
kemana?”
“Terserah ayah aja.”
Pukul 21:00
Dulu aku menerima telepon tentang rumahku yang terbakar. Sekarang
aku berada di luar rumah bersama keluargaku. Dan ini benar-benar menyenangkan. Menyelamatkan
keluargaku, ternyata semudah ini. Kenapa aku tidak menemukan cewek itu di saat
kejadian kebakaran itu. Agar aku bisa mengembalikan semuanya lebih cepat
.
Tidak perlu melihat pemakaman yang membuat dadaku sesak
hingga sulit bernapas.
Kami berjalan-jalan di pusat kota. Menikmatinya bersama
dengan orang lain yang juga membawa keluarga mereka, membawa pacar mereka,
mereka semua terlihat bahagia, tapi pasti tidak ada yang sebahagia diriku hari
ini. Tidak ada.
“Kak, aku mau kacang rebus,” Kein menunjuk sebuah gerobak
dengan asap yang mengepul dan kacang rebus yang melimpah. Ada seorang penjual
yang berada di sisi jalan yang sama tapi sedikit jauh dan penjual lain yang
berada tepat di sebrang jalan.
“Yaudah kakak beliin. Tunggu disini ya. Jangan kemana-mana.”
Aku menyebrangi jalanan. Tak ada yang salah, sampai wanita
itu juga menyebrang dari sisi yang berbeda dengan sekantung kacang rebus
ditangannya dengan pakaian yang sama, rangkaian bunga diatas kepala dan senyum
yang sama. Dan kami sama-sama menghentikkan langkah di tengah jalanan.
“Bagaimana? Kau senang.”
Aku membelalakan mata karena terkejut. Hanya terkejut. Dan
hanya sebentar. Lalu bibirku tertarik membentuk senyuman. “Tentu saja.
Terimakasih banyak.”
Dia tersenyum. Lalu membisikkan sesuatu di telingaku.
“Kau tahu sebuah hal yang penting.”
Samar-samar kudengar suara Kein memanggil.
“Aku memotong umurmu 20 tahun.”
Kemudian suara ayah dan ibu.
“Dan kau tahu hal yang menarik lainnya.”
Lalu cahaya terang membuatku terpaksa berpaling dari cewek
itu dan menyadari kalau sebuah mobil melaju dengan kencangnya ke arahku.
“Umurmu. Sampai disini.”
Lalu gelap—
Tik—Tok—Tik—Tok—
Keramaian itu membangunkanku. Cahaya yang bukan lampu itu
membuat mataku terbuka. Aku terduduk di jalanan bersama keramaian orang yang
sibuk memadamkan api. Suara sirene, bau air yang berperang dengan api, suara
orang-orang yang sibuk dengan ember mereka, wajah cemas para ibu yang
menggendong anak mereka.
Dan seorang wanita berpakaian gaun ala barat dengan
rangkaian bunga berwarna hitam di kepalanya, memandangiku dengan jam saku yang rantainya
menjuntai ke aspal dan berakhir entah dimana.
Ia tersenyum dan melemparkan jam nya kehadapanku. Jam itu
terbuka tepat di hadapanku. Aku memandanginya, ia berdiri berlatarkan rumahku
yang terbakar hebat.
“Mau memutarnya?”
Tik—Tok—Tok—Tok—Tik—Tok—
3 komentar :
Ajiiib lah yang ini, the best pokokke!!!!! hahaha
@Heri Makasih Her komennya hahaha. Udah tag bales nih
woooh..
keren.
cewek bawak bunganya itu noni-noni belanda kan?
Posting Komentar