Aku
membuka mata, dan bau yang pertama kali kutangkap setelah semua inderaku
berfungsi adalah bau obat khas rumah sakit yang menyeruak bak parfum dan
menjadi ciri khas tempat ini. Mataku menangkap langit-langit, lalu selimut
putih yang menyelimuti tubuh, lalu sebuah meja kecil dengan segelas air putih,
parsel buah dan sebuah foto yang tergeletak di dekat gelas.
Tangan
kananku meraih foto itu sementara tangan
kiri memegangi kepala yang mulai terasa tak nyaman begitu diajak berpikir
tentang hal-hal yang terjadi sebelum berada di rumah sakit ini. Mungkin aku
terpeleset lagi di kamar mandi dan membentur sesuatu, atau terguling di tangga,
atau kepala ini tidak sengaja membentur langit-langit yang rendah disuatu
tempat.
Mataku
menyipit berusaha memfokuskan pandangan pada foto yang tergeletak diatas meja,
foto yang jelas ku kenal seperti mengenal diriku sendiri, ku ingat tanggal
pemotretannya, pencetakkannya, siapa saja tokoh yang ada didalamnya, kamera apa
yang digunakan—lebih tepatnya handphone siapa yang digunakan—siapa yang
memotret dan siapa yang mengomentari tinggi badanku di foto itu.
Jadi
ada aku disana dan seseorang yang aku kenal seperti membaca sebuah komik yang
lembarnya sudah kubalik berkali-kali hingga kumal, kubaca kata-kata setiap
adegannya sampai hapal, kubawa ke kamar mandi ketika buang hajat, ataupun menemani
saat insomnia hingga terlelap. Ah ya—kupikir begitu sebelum kami bertengkar
hebat karena masalah konyol.
Sudahlah,
kadang ada saja hal yang begitu kecil dalam sebuah buku yang mungkin hanya
ditangkap oleh orang-orang beruntung. Dan mungkin bukan aku yang bisa
mendapatkan hal itu ataupun memahaminya walaupun sudah membacanya sampai kumal.
Dia
rumit, seperti saat pertama kali kami menyadari perasaan masing-masing dan
pura-pura tidak memilikinya selama beberapa tahun. Kami sama-sama rumit dan tak
pernah menyadari kalau hubungan ini tak bisa membuktikan apapun.
Pintu
terbuka, menyadarkanku dari lamunan panjang, tanganku menyingkirkan foto itu
dan mengembalikannya ke atas meja.
“Xen,
kamu udah sadar?”
Etna,
satu-satunya manusia yang mungkin meletakkan foto itu diatas meja. Mungkin pikirnya
dengan melihat foto itu pertama kali aku akan merasa bahagia dan kembali
mempunyai semangat hidup setelah sesuatu membentur kepalaku.
Aku
menganggukkan kepala. “Mamaku mana? Papa?”
“Mereka
masih belum aku kasih tahu. Kamu sendiri kan yang bilang, mengingat kelakuanmu
yang mengerikan itu tidak perlu memberitahu orangtuamu kalau kamu masuk rumah
sakit dan tidak koma, dan tidak luka parah dan tidak mati,” Etna duduk dikursi
yang ada di samping tempat tidur, ia melirik foto diatas meja. “Gimana, udah
baikan setelah kepalamu terbentur sesuatu? Kayaknya kamu emang butuh benturan
kecil untuk sebuah perubahan besar,”
Aku
hanya tertawa sinis.”Sialan. Tahu aja aku harus ngelupain cowok nyebelin itu—“
Etna
mengerutkan dahinya.”Menyebalkan? Itu panggilan sayangmu ke dia?”
Kukibaskan
tangan.”Lupakan, gak perlu dibahas. Oh ya, kepalaku gak parah banget kan
kebenturnya? Masalahnya apa sih? Aku gak inget apa-apa nih,” aku memegangi
kepalaku yang terbalut dengan perban, karena terlalu sering jatuh dan terbentur
sesuatu perban di kepala adalah hal yang sangat biasa.
“Aku
juga gak tahu persisnya, kayaknya kamu jatuh dari tangga lagi deh. Hadiah ulangtahunmu
nanti helm aja ya. Kamu lebih butuh itu daripada boneka Patrick,” usulnya
dengan sembari menirukan gerakan memakai helm.
Aku
hanya tertawa. Tak ada yang akan heran jika aku mengatakan baru saja keluar
dari rumah sakit dengan perban membalut kepala, itu alasan kenapa orangtuaku
sempat ingin memboyongku ke Surabaya, apalagi kalau bukan karena khawatir
kepalaku akan membentur sesuatu lagi—dan pada kenyataannya itu terjadi— di
tempat kos atau di suatu tempat yang tidak terduga.
“Oh
ya, aku mau keluar rumah sakit hari ini ya, besok aku mau langsung ngampus aja—“
“Ngampus?”
Etna tertawa, “Ngapain? Mau ketemu siapa?”
“Siapa?
Ya ngurusin administrasi buat wisuda lah, makanya kamu cepetan lulus Na,”
ejekku kemudian.
Aku
bisa melihat bibir Etna terbuka sebelum suara pintu berderit dan seseorang dari
balik pintu menyembul keluar. Seorang suster memanggil Etna dan membuatnya
kembali mengatupkan mulut dan keluar dari kamar.
Aku
merenggangkan tubuh lalu memutarnya ke kiri dan ke kanan sampai terdengar bunyi
krek dan selesailah ritual setelah tertidur entah berapa lama. Tanganku meraih
handphone di sisi tempat tidur.
Tak
ada sms yang masuk. Sudahlah, apa yang kuharapkan setelah sebuah pertengkaran
melalui melalui handphone, dia tidak memutuskanku saat itu saja adalah sebuah
keajaiban.
Aku
tidak pernah mendengar nada suaranya setinggi, seperti malam itu. Dan aku tak
pernah sadar kalau aku bisa marah sehebat itu.
Aku
mengecek inbox, ternyata aku juga sudah menghapus semua smsnya. Ku cek kontak
sudah tak ada lagi nomor handphonennya, ku cek galeri sudah tak ada semua foto
ku dengannya. Wow, aku menganggumi diriku sendiri, sejak kapan aku bisa
melakukan pembersihan secepat ini. Atau jangan-jangan ini bukan handphoneku. Aku
membolak-balik handphone berukuran tipis kecil yang selalu dikeluhkan setiap
orang ketika memegangnya dan tidak menemukan perbedaan apapun dari yang
kuingat, wallpapernya, ringtone, isi mp3.
Mungkin
aku langsung melakukan pembersihan begitu pertengkaran kemarin, sebenarnya aku
pun tak ingat persisnya bagaimana, jangan-jangan aku lupa dia sudah
memutuskanku dan akhirnya dengan penuh airmata aku menghabiskan waktu untuk
menghapus semua hal di handphone ini.
Kugaruk
kepalaku yang tak gatal. Kalau memang semua itu terjadi dalam satu malam dan
paginya aku terguling-guling di tangga Etna pasti belum mendengar ceritanya.
Jadi kepada siapa aku harus bertanya.
Haruskah
aku mengirim sms padanya. Kita udah putus
belum ya tadi malam?
Berasa
bego abis.
Ya
sudahlah anggap aja kalau sampai satu minggu penuh gak ada sms dari dia berarti
kami sudah putus. Ternyata setelah memendam perasaan selama satu tahun. Jadian selama
2 tahun putus nya bisa karena pertengkaran satu malam dan itupun lupa prosesnya
gimana.
Aku
memandangi pemandangan di luar jendela. Ternyata semua hal bisa terjadi begitu
saja, selesai semudah ini. Mungkin hal yang disebut equivalent trade itu tidak
berlaku disemua hal.
Pintu
terbuka, Etna masuk dengan ekspresi cemas. Aku bisa melihat kerutan di dahinya
yang sebenarnya sangat haram untuk ditunjukkan, karena katanya bisa membuat
seorang wanita terlihat lebih tua dari umur aslinya. Tapi hari ini dia sudah
mengeluarkan kerutan itu sebanyak dua kali dan kali ini terlihat lebih berlipat
dari biasanya.
“Kita
tinggal sehari lagi gimana? Kamu masih harus ngelakuin pemeriksaan kepala,” ia
berhenti sebentar, lalu tersenyum hingga aku bisa sedikit tenang, karena aura
kecemasan yang ada di sekelilingnya sedikit menghilang. “Siapa tahu IQ mu turun
drastis gara-gara kebentur.”
Aku
tertawa.”Sialan, ya udah kalau gitu kamu bawain aku baju ganti kan?”
Etna
mengangguk. “Tenang aja. Aku udah biasa bawain baju gantimu ke rumah sakit tahu
lah kebiasanmu yang suka pakai sisi A sisi B jadi aku cuma bawain satu daleman
doang.”
“Etna!”
Etna
tertawa. “Bercanda, bercanda. Tuh ada di lemari. Lengkap bos,” ia menunjukkan
jempolnya. “Oh ya, kita gak perlu nelpon orangtuamu?”
Aku
mengerutkan dahi. “Buat apa? Ngasih tahu mereka kalau aku habis terguling
ditangga dan ada di rumah sakit dengan kepala terbalut perban. Aku udah mau di
wisuda Etna jangan biarin mereka maksa aku ke Surabaya lagi,” ujarku dengan
tangan terkibas-kibas.
Etna
tertawa, tapi terdengar hambar.
“Kenapa?”
“Kamu
lupa kamu mau nelpon orangtuamu dalam waktu dekat ini?”
“Ha?”
Aku membuka mulut tak mengerti. “Apa ya? Ngabarin kalau aku udah sidang, udah
terima hasil? Masak orangtuaku belum aku kabarin masalah itu?”
Etna
mengibaskan tangannya. “Kepalamu beneran kebentur keras deh kayaknya. Aku kantin
dulu, mau nitip apa?”
“Susu
coklat!”
…
Kampus
di hari sabtu adalah sebuah ibukota yang tiba-tiba ditinggal oleh penduduknya
untuk mencari ketenangan. Sepi dan hanya dilalui oleh lalu lalang beberapa
kendaraan bermotor tidak seperti biasanya yang dipenuhi oleh kendaran bermotor
plus angkot yang meminggirkan kendaraannya disembarang tempat.
Aku
memacu mobil membelah jalanan melewati gerbang yang ditutup di satu sisi dan
membuat semua pengendara harus melewati sisi lain lalu menyebrang di sela-sela
trotoar yang memang digunakan untuk memutar kendaraan.
Hanya
beberapa orang yang berjalan kaki di sisi kiri jalan untuk berolahraga. Mungkin
setelah memarkir mobil di kampus aku akan berjalan kaki juga sampai gempor
kalau perlu, berlari kalau perlu, refreshing setelah putus—atau sebelum
diputuskan.
Mobilku
adalah satu-satunya mobil yang terparkir di kampus. Jangan tanya bagaimana
bisa, aku pun tidak mengerti. Setelah menyapa seorang satpam yang tak pernah
kutahu namanya—tapi selalu kubalas sapanya dengan senyum dan kadang kuajak
mengobrol ketika senggang—aku memasuki gedung yang persis sama dengan satu gedung
yang berada di belakangnya.
Hanya
ada beberapa orang asing, tebakanku angkatan baru. Sebagai angkatan tua yang tidak
terlalu aktif berorganisasi, angkatan baru adalah sesuatu yang asing, dan
kampus ini semakin dipenuhi orang-orang asing begitu beberapa angkatanku sudah
angkat kaki dan memilih untuk segera keluar dari kampus daripada berlama-lama
dan menjadi orang asing juga bagi adik-adik angkatan.
Aku
mengambil tempat dimana tersedia beberapa meja dan beberapa kursi, membuka
laptop, lalu mencari sambungan wifi. Fakultas
ini terkenal memiliki kecepatan wifi yang setara dengan kecepatan cahaya dan
gemar dikunjungi mahasiswa yang tidak rela mengeluarkan uang untuk ke warnet
termasuk diriku.
Jadi
disinilah dengan kepala masih terperban, sibuk browsing dan menjadi kepo begitu
terdampar di jejaring sosial bernama facebook.
Mengecek
Facebook si komik kumal adalah kegiatan pertama yang aku lakukan.
Statusnya
masih lajang. Memang belum diubah semenjak kami berdua jadian. Lalu foto
terakhir yang memuat dirinya adalah foto liburan di karimun jawa bersama
teman-teman angkatannya yang dia pamerkan kepadaku selama berhari-hari. Lalu post
di wall terakhirnya hanya ucapan terimakasih karena sudah di accept friend
request-nya.
Aku
menyipitkan mata. Manusia satu itu memang tidak peduli dengan nama orang yang
mengirimkan friend request, langsung mengaccept seenak jidat pula, nama super
panjang tanpa spasi dengan gabungan huruf besar dan huruf kecil begini diaccept
juga.
Aku
selalu menyindirnya, ada perbedaan antara ramah dengan tidak bisa membedakan. Kalau
dia tidak bisa membedakan, semua orang adalah sama di matanya, tidak perempuan
tidak laki-laki dia akrab dengan semua orang, baik dengan semua orang dan
berhasil membuat banyak perempuan jatuh hati karena kebaikannya.
YAAA!
Ganti topik.
Jadi
disinilah aku dengan laptop dan segera menutup tab facebook berganti dengan
tumblr. Mengecek folder download dan berniat melanjutkan anime yang harusnya
belum selesai ku download.
Aku
mengerutkan dahi ketika melihat tulisan episode 51 di salah satu video.
Tab
baru dibuka dan aku memasukkan alamat google disana, menyelidiki di episode
keberapa anime yang ku download berakhir. Dan ternyata benar di episode 51. Ternyata
sudah selesai. Seingatku aku baru mendownload sampai episode 25.
Aku
mengangkat bahu. Sepertinya kepalaku benar-benar terbentur dengan keras sampai
melupakan banyak hal seperti ini.
“Heh!”
Aku
mengangkat kepala dan menemukan mahasiswa abadi bernama Tio di depan meja
dengan tangan diatas meja yang membuat suara benturan antara tangan dan meja
dan membuatku sedikit terganggu.
“Ngapain
ke kampus. Tuh kepala kenapa?” tangannya menunjuk perban di kepalaku. “Jatuh
dimana lagi Xen? Kamar mandi?” ia menarik kursi dan duduk di hadapanku.
“Tebak
aja,” jawabku asal, tangan dan mataku masih terpaku pada laptop mengacuhkan
manusia usil yang sibuk dengan organisasinya dan terancam di DO karena terlalu
lama berada di kampus, entah apa yang membuatnya betah berada di tempat yang
sama setiap hari.
“Ngapain
ke kampus yo?” tanyaku padanya setelah sedikit menurunkan layar laptop yang
menutupi pandanganku padanya. “Ngurus skripsi?”
Dia
menganggukkan kepala. “Pak Hermawan minta ketemuan hari Sabtu. Gak biasanya
kan? Biasanya kalau aku minta ketemuan hari Sabtu tau kan apa jawabannya,” Tio
bersiap menirukan gaya bicara dosen yang terkenal tidak mau menyia-nyiakan
waktu luangnya untuk menghadapi mahasiswa itu. “Saya itu cuma bisa bersama
dengan keluarga lengkap saya di hari sabtu dan minggu kamu mau bikin saya
nunggu selama 5 hari lagi buat ketemu sama 2 anak saya, isteri saya, kucing
peliharaan saya—“
Aku
menyela. “Bentar, Pak Hermawan punya kucing?”
Tio
menganggukkan kepalanya. “Jangan tanya, aku pernah ke rumahnya dan ada 2 kucing
yang kayaknya mahal itu, aku gak tahu lah namanya. Mungkin itu yang bikin
bapaknya gak mau ninggalin rumah pas hari libur.”
Aku
tertawa mendengar banyolan Tio. “Bolehlah, bisa, bisa.”
“Lha
kamu ngapain ke kampus. Kayak gak ada kerjaan aja,” ujarnya sembari menggeser
kursinya melihat apa yang sedang kukerjakan.
“Emang
gak ada kerjaan makanya kesini.”
Tio
mencibir. “Mentang-mentang udah sarjana ya. Cari kerjaan sana malah buka
tumblr, mau ngapain? Menggalau?”
“Idih—tau
aja tumblr buat tempat menggalau, jangan-jangan punya tumblr ya?” aku tertawa
sembari menunjuk Tio yang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nantilah cari
kerjanya setelah wisuda, belum wisuda ini.”
Aku
kembali mengalihkan pandangan dari Tio menuju ke handphone yang bergetar di
atas meja. Sebelum Tio membuka mulut lebih lebar aku meraih handphone dan
segera mengangkatnya. “Halo, ma. Mama di sini? Ngapain? Oke aku kesana.”
Setelah
memasukkan handphone ke saku, berberes-beres dan mengucapkan salam perpisahan
pada Tio aku segera memacu mobil meninggalkan kampus. Membelah jalanan. Sepertinya
niatku untuk ikut berlari bersama beberapa orang yang memang berniat ke kampus
untuk berolahraga hari ini gagal. Dan kemudian satu pertanyaan menyela diantar
keinginan untuk berolahraga dan melepas stress, untuk apa mama ke kos-kos an.
“Lho
bukannya kamu minta di jemput hari ini?”
“Ha?”
aku membuka mulut tak mengerti. “Ngapain aku minta dijemput, aku belum ngurus
admnistrasi kan?”
Mama
mengerutkan dahinya, wajahnya di usia 50 tahunan memang sudah menunjukkan
kerutan-kerutan halus walaupun ditangkal dengan berbagai perawatan tapi kerutan
di dahinya yang tampak paling jelas kali ini. “Administrasi apa Xen? Memangnya setelah wisuda masih ada yang
harus diurus?”
Kali
ini dahiku yang berkerut tak karuan. Aku yakin jika ada cermin dihadapanku
wajahku tampak jelek sekali seperti yang dikatakannya. Aku tak pernah terlihat
cantik dan menggemaskan ketika mengerutkan dahi, apalagi cemberut. Jadi dia
selalu mencegah hal itu terjadi.
Sebentar,
kenapa dia terlintas lagi di kepalaku.
Etna
mengetuk pintu kamar dan membuat kebingungan kami berdua teralihkan dengan
kedatangannya.
“Tante,
bisa kita ngomong sebentar?”
Mama
keluar dari kamar, meninggalkanku di dalam kamar dengan kebingungan yang
tiba-tiba menggunung. Sepertinya ada yang salah semenjak kemarin, semenjak
pertanyaan dokter ketika pemeriksaan, semenjak pertanyaan yang dilontarkan Etna
ketika di rumah sakit, semenjak Tio menanyakan keberadaanya di kampus
seolah-olah diriku seharusnya tak berada di sana.
Aku
berlari menuju kalender di meja dan mengambilnya. Membolak-balik kalender
sampai bagian atasnya tersobek. Hingga aku menyadari kalau aku tidak menyadari sudah
bulan apa sekarang.
Bulan
agustus dan wisuda sudah berlalu 1 bulan lalu, aku menargetkan wisuda tahun ini
di bulan Juli dan sebuah keanehan ketika aku tidak menyadari kalau aku
melewatinya.
Ada
sebuah bundaran dengan spidol merah dan tulisan wisuda. Berarti aku sudah
melewatinya dan tidak mengingatnya. Ini aneh—benar-benar aneh.
Aku
membuka laci dengan cepat, mengeluarkan semua barang dan tak menemukan apapun
yang kucari. Tak menemukan apa yang seharusnya ada disana. Lalu berjalan cepat
dan melompat menuju kasur, menyingkirkan semua boneka yang ada dan tak
menemukan boneka yang kucari disana, lalu mengambil handphoneku dan tak
menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk.
Kemudian
aku meraih kalender yang tergeletak dilantai bersama dengan tumpukan boneka dan
kertas-kertas dari laci.
Aku
meraih kalender itu perlahan dan ada sebuah bundaran lain di bulan ini 1 minggu
yang lalu. 1 minggu yang lalu. 1 minggu yang lalu.
Etna
masuk ke dalam kamar bersama dengan mama. Mereka berdua menampakkan ekspresi
yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cemas, khawatir, sedih.
Ada
apa sebenarnya.
“Et—“
aku memanggilnya dengan suara bergetar, tenggorokkanku seperti tercekat.
“Kamu
tahu dimana album fotoku?”
“Udah
kamu bakar kan?”
Aku
menelan ludah. “Bonekaku?”
“Kamu
kasih ke panti asuhan.”
Aku
mengangkat kepalaku. “Kamu tahu dimana Darma?”
Etna
terdiam. Kemudian hening seperti mencekikku.
“Dia—dia
ada di Semarang.”
Aku
tertawa, terbahak-bahak, hingga air mataku menetes. “Dia gak kuliah disini. Ngapain
dia disini?”
“Xena—“
mama maju beberapa langkah hendak merangkulku. Aku berdiri sebelum berada di
pelukannya. “Ma, aku pergi sebentar, sebentar aja—“ aku mengucapkan kalimat itu
sembari berlari keluar dari kamar. Menuju tempat parkir dan segera memacu mobil
menuju sebuah tempat yang terlintas di pikiranku. Jika semua yang ada di ingatanku
adalah kenyataan seharusnya aku bisa mengingat semuanya disini.
Ya
disini. Di tempat dimana para wisudawan berkumpul, sebuah gedung serbaguna, di
kampus tempatku menimba ilmu.
Aku
menyusuri sebuah sisi di sayap kiri gedung. Berdiri di depan 4 anak tangga,
seharusnya jika aku menapaki setiap anak tangga aku akan berada di sebuah teras
yang memisahkan pintu besar dengan anak tangga.
Aku
disana dengan kebaya, aksesoris untuk wisuda lengkap , mama, papa, Etna dan
beberapa teman terdekat. Memasang eskpresi cemberut setelah pertengkaran hebat
dengan Darma 1 minggu yang lalu, dan saat itu aku tak berharap Darma datang
karena ia pasti tidak datang. Sibuk dengan kuliahnya di luar kota, atau sibuk
dengan rencana liburannya di pulau Lombok.
Kami
bertengkar hebat malam itu, karena dengan banyak alasan ia mengatakan tidak
bisa datang ke wisuda nanti, dan sebelum itu pun dia membuat masalah, membuatku
yang biasanya tak pernah memarahinya karena berusaha menjaga hubungan jarak
jauh kami akhirnya menyerah dan memarahinya habis-habisan. Selama 1 jam dan
setelah itu aku terlelap dengan air mata.
Kami
tidak pernah putus. Tapi aku berpikir mungkin dia akan memutuskanku seminggu
setelah itu, mungkin disaat wisuda atau sehari setelahnya.
Tapi
Darma datang dengan setelan kemeja
putih, dasi hitam, celana jeans dan bunga berwarna putih yang aku tak tahu
namanya. Dengan senyumnya yang khas, tatanan rambutnya yang baru—terakhir kali
kami bertemu dia membuat rambutnya sedikit gondrong dan mendapat omelan dariku
selama beberapa menit— aku tak bisa berhenti tertawa ketika ia datang dan
menyapa orangtuaku dengan ramah. Lalu menyerahkan bunga itu padaku.
“Ngapain
kamu kesini? Gak liburan ke Lombok?”
“Lombok?
Mending nyelesain skripsi. Malu lah kalah sama kamu.”
Kami
berdua tertawa sebelum aku meninggalkannya masuk ke dalam ruangan bersama
orangtuaku. Dan ketika aku keluar pun dia masih ada disana. Tersenyum.
Aku
berpaling dari semua ingatan yang serupa film yang diputar ulang itu.
Seolah-olah ingatan tadi membentuk adegan nyata dihadapanku dan membuatku yang
sudah tak bisa berekspresi apa-apa lagi menjadi penontonnya.
Tak
ada yang bisa menamparku sekeras ini
selain Tuhan dan kenyataan.
Aku
berbalik dan meninggalkan gedung serbaguna itu. Memacu mobil dengan air mata
berlinangan.
Seingatku
ketika pemakaman Darma aku tidak menangis. Ketika membereskan barang-barang
yang diberikan Darma padaku pun aku tidak menangis. Ketika menyerahkan boneka
pemberian Darma di hari jadi kami yang pertama aku pun tidak menangis, aku
tersenyum saat melihat anak perempuan kecil itu memeluk boneka sapi besar yang
bahkan sulit dipeluknya.
Aku melambaikan tangan dan tersenyum.
Aku
tak pernah menangis ketika Darma pergi, ketika album foto itu tertelan api,
ketika semua hal yang berhubungan dengannya kuhapus dari handphone, ketika
hadiah-hadiahnya berpindah dari kamar menuju ke panti asuhan.
Seharusnya
aku tak pernah menangis.
Aku
mengusap air mata, membawa mobilku menepi dan mengusap air mataku sekali lagi.
Tanganku
merogoh tas yang sempat kubawa tadi, mencari sesuatu yang sudah berada disana
selama beberapa hari. Sudah tercetak selama 3 tahun, dan sudah menghiasi
wallpaper handphoneku sebelum 1 minggu lalu. Foto ini adalah foto ku dengannya,
satu-satunya foto yang sengaja kutinggalkan, tak hilang bersama api.
Aku
menempelkan foto itu diwajahku, hingga basah dengan air mata.
…
“Aku
lihat sendiri dia gak nangis waktu pemakaman Darma. Waktu ada telepon tentang
kecelakaan itu pun dia cuma diam dan gak ngomong apa-apa. Aku kira dia gak
nangis karena gak begitu ngerasa kehilangan Darma. Dan dia benar-benar bisa
menyingkirkan barang-barang kenangannya bersama Darma tanpa air mata. Aku lihat
sendiri dia bawa kotak ke panti asuhan dan bagi-bagiin ke anak-anak, bakar semua
foto, dan tersenyum keesokan harinya,” Etna menghela napas panjang ketika
melihat kecemasan yang tergambar di wajah Mama Xena. “Tapi aku baru sadar kalau
didalam dirinya. Dia pengen menganggap kalau kejadian satu minggu lalu bukanlah
kenyataan. Sampai-sampai dia menyembunyikan ingatan itu tanpa ia sadari,
mengembalikan ingatannya ke masa lalu sementara tubuhnya di masa kini dengan
kenyataan yang sebenarnya yang menyakitinya.”
…
1 komentar :
yah, kok sedih ya.. :(
Posting Komentar