Senin, 16 April 2012

Potret



Aku membuka mata, dan bau yang pertama kali kutangkap setelah semua inderaku berfungsi adalah bau obat khas rumah sakit yang menyeruak bak parfum dan menjadi ciri khas tempat ini. Mataku menangkap langit-langit, lalu selimut putih yang menyelimuti tubuh, lalu sebuah meja kecil dengan segelas air putih, parsel buah dan sebuah foto yang tergeletak di dekat gelas.

Tangan kananku meraih foto itu sementara  tangan kiri memegangi kepala yang mulai terasa tak nyaman begitu diajak berpikir tentang hal-hal yang terjadi sebelum berada di rumah sakit ini. Mungkin aku terpeleset lagi di kamar mandi dan membentur sesuatu, atau terguling di tangga, atau kepala ini tidak sengaja membentur langit-langit yang rendah disuatu tempat.
Mataku menyipit berusaha memfokuskan pandangan pada foto yang tergeletak diatas meja, foto yang jelas ku kenal seperti mengenal diriku sendiri, ku ingat tanggal pemotretannya, pencetakkannya, siapa saja tokoh yang ada didalamnya, kamera apa yang digunakan—lebih tepatnya handphone siapa yang digunakan—siapa yang memotret dan siapa yang mengomentari tinggi badanku di foto itu.

Jadi ada aku disana dan seseorang yang aku kenal seperti membaca sebuah komik yang lembarnya sudah kubalik berkali-kali hingga kumal, kubaca kata-kata setiap adegannya sampai hapal, kubawa ke kamar mandi ketika buang hajat, ataupun menemani saat insomnia hingga terlelap. Ah ya—kupikir begitu sebelum kami bertengkar hebat karena masalah konyol.
Sudahlah, kadang ada saja hal yang begitu kecil dalam sebuah buku yang mungkin hanya ditangkap oleh orang-orang beruntung. Dan mungkin bukan aku yang bisa mendapatkan hal itu ataupun memahaminya walaupun sudah membacanya sampai kumal.

Dia rumit, seperti saat pertama kali kami menyadari perasaan masing-masing dan pura-pura tidak memilikinya selama beberapa tahun. Kami sama-sama rumit dan tak pernah menyadari kalau hubungan ini tak bisa membuktikan apapun.

Pintu terbuka, menyadarkanku dari lamunan panjang, tanganku menyingkirkan foto itu dan mengembalikannya ke atas meja.

“Xen, kamu udah sadar?”

Etna, satu-satunya manusia yang mungkin meletakkan foto itu diatas meja. Mungkin pikirnya dengan melihat foto itu pertama kali aku akan merasa bahagia dan kembali mempunyai semangat hidup setelah sesuatu membentur kepalaku. 

Aku menganggukkan kepala. “Mamaku mana? Papa?”

“Mereka masih belum aku kasih tahu. Kamu sendiri kan yang bilang, mengingat kelakuanmu yang mengerikan itu tidak perlu memberitahu orangtuamu kalau kamu masuk rumah sakit dan tidak koma, dan tidak luka parah dan tidak mati,” Etna duduk dikursi yang ada di samping tempat tidur, ia melirik foto diatas meja. “Gimana, udah baikan setelah kepalamu terbentur sesuatu? Kayaknya kamu emang butuh benturan kecil untuk sebuah perubahan besar,”
Aku hanya tertawa sinis.”Sialan. Tahu aja aku harus ngelupain cowok nyebelin itu—“
Etna mengerutkan dahinya.”Menyebalkan? Itu panggilan sayangmu ke dia?”

Kukibaskan tangan.”Lupakan, gak perlu dibahas. Oh ya, kepalaku gak parah banget kan kebenturnya? Masalahnya apa sih? Aku gak inget apa-apa nih,” aku memegangi kepalaku yang terbalut dengan perban, karena terlalu sering jatuh dan terbentur sesuatu perban di kepala adalah hal yang sangat biasa.

“Aku juga gak tahu persisnya, kayaknya kamu jatuh dari tangga lagi deh. Hadiah ulangtahunmu nanti helm aja ya. Kamu lebih butuh itu daripada boneka Patrick,” usulnya dengan sembari menirukan gerakan memakai helm.

Aku hanya tertawa. Tak ada yang akan heran jika aku mengatakan baru saja keluar dari rumah sakit dengan perban membalut kepala, itu alasan kenapa orangtuaku sempat ingin memboyongku ke Surabaya, apalagi kalau bukan karena khawatir kepalaku akan membentur sesuatu lagi—dan pada kenyataannya itu terjadi— di tempat kos atau di suatu tempat yang tidak terduga.

“Oh ya, aku mau keluar rumah sakit hari ini ya, besok aku mau langsung ngampus aja—“

“Ngampus?” Etna tertawa, “Ngapain? Mau ketemu siapa?”

“Siapa? Ya ngurusin administrasi buat wisuda lah, makanya kamu cepetan lulus Na,” ejekku kemudian.

Aku bisa melihat bibir Etna terbuka sebelum suara pintu berderit dan seseorang dari balik pintu menyembul keluar. Seorang suster memanggil Etna dan membuatnya kembali mengatupkan mulut dan keluar dari kamar.

Aku merenggangkan tubuh lalu memutarnya ke kiri dan ke kanan sampai terdengar bunyi krek dan selesailah ritual setelah tertidur entah berapa lama. Tanganku meraih handphone di sisi tempat tidur.

Tak ada sms yang masuk. Sudahlah, apa yang kuharapkan setelah sebuah pertengkaran melalui melalui handphone, dia tidak memutuskanku saat itu saja adalah sebuah keajaiban.
Aku tidak pernah mendengar nada suaranya setinggi, seperti malam itu. Dan aku tak pernah sadar kalau aku bisa marah sehebat itu.

Aku mengecek inbox, ternyata aku juga sudah menghapus semua smsnya. Ku cek kontak sudah tak ada lagi nomor handphonennya, ku cek galeri sudah tak ada semua foto ku dengannya. Wow, aku menganggumi diriku sendiri, sejak kapan aku bisa melakukan pembersihan secepat ini. Atau jangan-jangan ini bukan handphoneku. Aku membolak-balik handphone berukuran tipis kecil yang selalu dikeluhkan setiap orang ketika memegangnya dan tidak menemukan perbedaan apapun dari yang kuingat, wallpapernya, ringtone, isi mp3.
Mungkin aku langsung melakukan pembersihan begitu pertengkaran kemarin, sebenarnya aku pun tak ingat persisnya bagaimana, jangan-jangan aku lupa dia sudah memutuskanku dan akhirnya dengan penuh airmata aku menghabiskan waktu untuk menghapus semua hal di handphone ini.

Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Kalau memang semua itu terjadi dalam satu malam dan paginya aku terguling-guling di tangga Etna pasti belum mendengar ceritanya. Jadi kepada siapa aku harus bertanya.

Haruskah aku mengirim sms padanya. Kita udah putus belum ya tadi malam?

Berasa bego abis.

Ya sudahlah anggap aja kalau sampai satu minggu penuh gak ada sms dari dia berarti kami sudah putus. Ternyata setelah memendam perasaan selama satu tahun. Jadian selama 2 tahun putus nya bisa karena pertengkaran satu malam dan itupun lupa prosesnya gimana.

Aku memandangi pemandangan di luar jendela. Ternyata semua hal bisa terjadi begitu saja, selesai semudah ini. Mungkin hal yang disebut equivalent trade itu tidak berlaku disemua hal.
Pintu terbuka, Etna masuk dengan ekspresi cemas. Aku bisa melihat kerutan di dahinya yang sebenarnya sangat haram untuk ditunjukkan, karena katanya bisa membuat seorang wanita terlihat lebih tua dari umur aslinya. Tapi hari ini dia sudah mengeluarkan kerutan itu sebanyak dua kali dan kali ini terlihat lebih berlipat dari biasanya.

“Kita tinggal sehari lagi gimana? Kamu masih harus ngelakuin pemeriksaan kepala,” ia berhenti sebentar, lalu tersenyum hingga aku bisa sedikit tenang, karena aura kecemasan yang ada di sekelilingnya sedikit menghilang. “Siapa tahu IQ mu turun drastis gara-gara kebentur.”

Aku tertawa.”Sialan, ya udah kalau gitu kamu bawain aku baju ganti kan?”

Etna mengangguk. “Tenang aja. Aku udah biasa bawain baju gantimu ke rumah sakit tahu lah kebiasanmu yang suka pakai sisi A sisi B jadi aku cuma bawain satu daleman doang.”

“Etna!”

Etna tertawa. “Bercanda, bercanda. Tuh ada di lemari. Lengkap bos,” ia menunjukkan jempolnya. “Oh ya, kita gak perlu nelpon orangtuamu?”

Aku mengerutkan dahi. “Buat apa? Ngasih tahu mereka kalau aku habis terguling ditangga dan ada di rumah sakit dengan kepala terbalut perban. Aku udah mau di wisuda Etna jangan biarin mereka maksa aku ke Surabaya lagi,” ujarku dengan tangan terkibas-kibas.
Etna tertawa, tapi terdengar hambar.

“Kenapa?”

“Kamu lupa kamu mau nelpon orangtuamu dalam waktu dekat ini?”

“Ha?” Aku membuka mulut tak mengerti. “Apa ya? Ngabarin kalau aku udah sidang, udah terima hasil? Masak orangtuaku belum aku kabarin masalah itu?”

Etna mengibaskan tangannya. “Kepalamu beneran kebentur keras deh kayaknya. Aku kantin dulu, mau nitip apa?”

“Susu coklat!”

Kampus di hari sabtu adalah sebuah ibukota yang tiba-tiba ditinggal oleh penduduknya untuk mencari ketenangan. Sepi dan hanya dilalui oleh lalu lalang beberapa kendaraan bermotor tidak seperti biasanya yang dipenuhi oleh kendaran bermotor plus angkot yang meminggirkan kendaraannya disembarang tempat.

Aku memacu mobil membelah jalanan melewati gerbang yang ditutup di satu sisi dan membuat semua pengendara harus melewati sisi lain lalu menyebrang di sela-sela trotoar yang memang digunakan untuk memutar kendaraan.

Hanya beberapa orang yang berjalan kaki di sisi kiri jalan untuk berolahraga. Mungkin setelah memarkir mobil di kampus aku akan berjalan kaki juga sampai gempor kalau perlu, berlari kalau perlu, refreshing setelah putus—atau sebelum diputuskan.

Mobilku adalah satu-satunya mobil yang terparkir di kampus. Jangan tanya bagaimana bisa, aku pun tidak mengerti. Setelah menyapa seorang satpam yang tak pernah kutahu namanya—tapi selalu kubalas sapanya dengan senyum dan kadang kuajak mengobrol ketika senggang—aku memasuki gedung yang persis sama dengan satu gedung yang berada di belakangnya.
Hanya ada beberapa orang asing, tebakanku angkatan baru. Sebagai angkatan tua yang tidak terlalu aktif berorganisasi, angkatan baru adalah sesuatu yang asing, dan kampus ini semakin dipenuhi orang-orang asing begitu beberapa angkatanku sudah angkat kaki dan memilih untuk segera keluar dari kampus daripada berlama-lama dan menjadi orang asing juga bagi adik-adik angkatan.

Aku mengambil tempat dimana tersedia beberapa meja dan beberapa kursi, membuka laptop,  lalu mencari sambungan wifi. Fakultas ini terkenal memiliki kecepatan wifi yang setara dengan kecepatan cahaya dan gemar dikunjungi mahasiswa yang tidak rela mengeluarkan uang untuk ke warnet termasuk diriku.

Jadi disinilah dengan kepala masih terperban, sibuk browsing dan menjadi kepo begitu terdampar di jejaring sosial bernama facebook.

Mengecek Facebook si komik kumal adalah kegiatan pertama yang aku lakukan.
Statusnya masih lajang. Memang belum diubah semenjak kami berdua jadian. Lalu foto terakhir yang memuat dirinya adalah foto liburan di karimun jawa bersama teman-teman angkatannya yang dia pamerkan kepadaku selama berhari-hari. Lalu post di wall terakhirnya hanya ucapan terimakasih karena sudah di accept friend request-nya.

Aku menyipitkan mata. Manusia satu itu memang tidak peduli dengan nama orang yang mengirimkan friend request, langsung mengaccept seenak jidat pula, nama super panjang tanpa spasi dengan gabungan huruf besar dan huruf kecil begini diaccept juga.
Aku selalu menyindirnya, ada perbedaan antara ramah dengan tidak bisa membedakan. Kalau dia tidak bisa membedakan, semua orang adalah sama di matanya, tidak perempuan tidak laki-laki dia akrab dengan semua orang, baik dengan semua orang dan berhasil membuat banyak perempuan jatuh hati karena kebaikannya.

YAAA! Ganti topik.

Jadi disinilah aku dengan laptop dan segera menutup tab facebook berganti dengan tumblr. Mengecek folder download dan berniat melanjutkan anime yang harusnya belum selesai ku download.

Aku mengerutkan dahi ketika melihat tulisan episode 51 di salah satu video.

Tab baru dibuka dan aku memasukkan alamat google disana, menyelidiki di episode keberapa anime yang ku download berakhir. Dan ternyata benar di episode 51. Ternyata sudah selesai. Seingatku aku baru mendownload sampai episode 25.

Aku mengangkat bahu. Sepertinya kepalaku benar-benar terbentur dengan keras sampai melupakan banyak hal seperti ini.

“Heh!”

Aku mengangkat kepala dan menemukan mahasiswa abadi bernama Tio di depan meja dengan tangan diatas meja yang membuat suara benturan antara tangan dan meja dan membuatku sedikit terganggu.

“Ngapain ke kampus. Tuh kepala kenapa?” tangannya menunjuk perban di kepalaku. “Jatuh dimana lagi Xen? Kamar mandi?” ia menarik kursi dan duduk di hadapanku.

“Tebak aja,” jawabku asal, tangan dan mataku masih terpaku pada laptop mengacuhkan manusia usil yang sibuk dengan organisasinya dan terancam di DO karena terlalu lama berada di kampus, entah apa yang membuatnya betah berada di tempat yang sama setiap hari.

“Ngapain ke kampus yo?” tanyaku padanya setelah sedikit menurunkan layar laptop yang menutupi pandanganku padanya. “Ngurus skripsi?”

Dia menganggukkan kepala. “Pak Hermawan minta ketemuan hari Sabtu. Gak biasanya kan? Biasanya kalau aku minta ketemuan hari Sabtu tau kan apa jawabannya,” Tio bersiap menirukan gaya bicara dosen yang terkenal tidak mau menyia-nyiakan waktu luangnya untuk menghadapi mahasiswa itu. “Saya itu cuma bisa bersama dengan keluarga lengkap saya di hari sabtu dan minggu kamu mau bikin saya nunggu selama 5 hari lagi buat ketemu sama 2 anak saya, isteri saya, kucing peliharaan saya—“

Aku menyela. “Bentar, Pak Hermawan punya kucing?”

Tio menganggukkan kepalanya. “Jangan tanya, aku pernah ke rumahnya dan ada 2 kucing yang kayaknya mahal itu, aku gak tahu lah namanya. Mungkin itu yang bikin bapaknya gak mau ninggalin rumah pas hari libur.”

Aku tertawa mendengar banyolan Tio. “Bolehlah, bisa, bisa.”

“Lha kamu ngapain ke kampus. Kayak gak ada kerjaan aja,” ujarnya sembari menggeser kursinya melihat apa yang sedang kukerjakan.

“Emang gak ada kerjaan makanya kesini.”

Tio mencibir. “Mentang-mentang udah sarjana ya. Cari kerjaan sana malah buka tumblr, mau ngapain? Menggalau?”

“Idih—tau aja tumblr buat tempat menggalau, jangan-jangan punya tumblr ya?” aku tertawa sembari menunjuk Tio yang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nantilah cari kerjanya setelah wisuda, belum wisuda ini.”

Aku kembali mengalihkan pandangan dari Tio menuju ke handphone yang bergetar di atas meja. Sebelum Tio membuka mulut lebih lebar aku meraih handphone dan segera mengangkatnya. “Halo, ma. Mama di sini? Ngapain? Oke aku kesana.”

Setelah memasukkan handphone ke saku, berberes-beres dan mengucapkan salam perpisahan pada Tio aku segera memacu mobil meninggalkan kampus. Membelah jalanan. Sepertinya niatku untuk ikut berlari bersama beberapa orang yang memang berniat ke kampus untuk berolahraga hari ini gagal. Dan kemudian satu pertanyaan menyela diantar keinginan untuk berolahraga dan melepas stress, untuk apa mama ke kos-kos an.

“Lho bukannya kamu minta di jemput hari ini?”

“Ha?” aku membuka mulut tak mengerti. “Ngapain aku minta dijemput, aku belum ngurus admnistrasi kan?”

Mama mengerutkan dahinya, wajahnya di usia 50 tahunan memang sudah menunjukkan kerutan-kerutan halus walaupun ditangkal dengan berbagai perawatan tapi kerutan di dahinya yang tampak paling jelas kali ini. “Administrasi apa  Xen? Memangnya setelah wisuda masih ada yang harus diurus?”

Kali ini dahiku yang berkerut tak karuan. Aku yakin jika ada cermin dihadapanku wajahku tampak jelek sekali seperti yang dikatakannya. Aku tak pernah terlihat cantik dan menggemaskan ketika mengerutkan dahi, apalagi cemberut. Jadi dia selalu mencegah hal itu terjadi.

Sebentar, kenapa dia terlintas lagi di kepalaku.

Etna mengetuk pintu kamar dan membuat kebingungan kami berdua teralihkan dengan kedatangannya.

“Tante, bisa kita ngomong sebentar?”

Mama keluar dari kamar, meninggalkanku di dalam kamar dengan kebingungan yang tiba-tiba menggunung. Sepertinya ada yang salah semenjak kemarin, semenjak pertanyaan dokter ketika pemeriksaan, semenjak pertanyaan yang dilontarkan Etna ketika di rumah sakit, semenjak Tio menanyakan keberadaanya di kampus seolah-olah diriku seharusnya tak berada di sana.

Aku berlari menuju kalender di meja dan mengambilnya. Membolak-balik kalender sampai bagian atasnya tersobek. Hingga aku menyadari kalau aku tidak menyadari sudah bulan apa sekarang.

Bulan agustus dan wisuda sudah berlalu 1 bulan lalu, aku menargetkan wisuda tahun ini di bulan Juli dan sebuah keanehan ketika aku tidak menyadari kalau aku melewatinya.
Ada sebuah bundaran dengan spidol merah dan tulisan wisuda. Berarti aku sudah melewatinya dan tidak mengingatnya. Ini aneh—benar-benar aneh.

Aku membuka laci dengan cepat, mengeluarkan semua barang dan tak menemukan apapun yang kucari. Tak menemukan apa yang seharusnya ada disana. Lalu berjalan cepat dan melompat menuju kasur, menyingkirkan semua boneka yang ada dan tak menemukan boneka yang kucari disana, lalu mengambil handphoneku dan tak menemukan apapun yang bisa menjadi petunjuk.

Kemudian aku meraih kalender yang tergeletak dilantai bersama dengan tumpukan boneka dan kertas-kertas dari laci.

Aku meraih kalender itu perlahan dan ada sebuah bundaran lain di bulan ini 1 minggu yang lalu. 1 minggu yang lalu. 1 minggu yang lalu.

Etna masuk ke dalam kamar bersama dengan mama. Mereka berdua menampakkan ekspresi yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cemas, khawatir, sedih.
Ada apa sebenarnya.

“Et—“ aku memanggilnya dengan suara bergetar, tenggorokkanku seperti tercekat.

“Kamu tahu dimana album fotoku?”

“Udah kamu bakar kan?”

Aku menelan ludah. “Bonekaku?”

“Kamu kasih ke panti asuhan.”

Aku mengangkat kepalaku. “Kamu tahu dimana Darma?”

Etna terdiam. Kemudian hening seperti mencekikku.

“Dia—dia ada di Semarang.”

Aku tertawa, terbahak-bahak, hingga air mataku menetes. “Dia gak kuliah disini. Ngapain dia disini?”

“Xena—“ mama maju beberapa langkah hendak merangkulku. Aku berdiri sebelum berada di pelukannya. “Ma, aku pergi sebentar, sebentar aja—“ aku mengucapkan kalimat itu sembari berlari keluar dari kamar. Menuju tempat parkir dan segera memacu mobil menuju sebuah tempat yang terlintas di pikiranku. Jika semua yang ada di ingatanku adalah kenyataan seharusnya aku bisa mengingat semuanya disini.

Ya disini. Di tempat dimana para wisudawan berkumpul, sebuah gedung serbaguna, di kampus tempatku menimba ilmu.

Aku menyusuri sebuah sisi di sayap kiri gedung. Berdiri di depan 4 anak tangga, seharusnya jika aku menapaki setiap anak tangga aku akan berada di sebuah teras yang memisahkan pintu besar dengan anak tangga.

Aku disana dengan kebaya, aksesoris untuk wisuda lengkap , mama, papa, Etna dan beberapa teman terdekat. Memasang eskpresi cemberut setelah pertengkaran hebat dengan Darma 1 minggu yang lalu, dan saat itu aku tak berharap Darma datang karena ia pasti tidak datang. Sibuk dengan kuliahnya di luar kota, atau sibuk dengan rencana liburannya di pulau Lombok.
Kami bertengkar hebat malam itu, karena dengan banyak alasan ia mengatakan tidak bisa datang ke wisuda nanti, dan sebelum itu pun dia membuat masalah, membuatku yang biasanya tak pernah memarahinya karena berusaha menjaga hubungan jarak jauh kami akhirnya menyerah dan memarahinya habis-habisan. Selama 1 jam dan setelah itu aku terlelap dengan air mata.

Kami tidak pernah putus. Tapi aku berpikir mungkin dia akan memutuskanku seminggu setelah itu, mungkin disaat wisuda atau sehari setelahnya.

Tapi  Darma datang dengan setelan kemeja putih, dasi hitam, celana jeans dan bunga berwarna putih yang aku tak tahu namanya. Dengan senyumnya yang khas, tatanan rambutnya yang baru—terakhir kali kami bertemu dia membuat rambutnya sedikit gondrong dan mendapat omelan dariku selama beberapa menit— aku tak bisa berhenti tertawa ketika ia datang dan menyapa orangtuaku dengan ramah. Lalu menyerahkan bunga itu padaku.

“Ngapain kamu kesini? Gak liburan ke Lombok?”

“Lombok? Mending nyelesain skripsi. Malu lah kalah sama kamu.”

Kami berdua tertawa sebelum aku meninggalkannya masuk ke dalam ruangan bersama orangtuaku. Dan ketika aku keluar pun dia masih ada disana. Tersenyum.

Aku berpaling dari semua ingatan yang serupa film yang diputar ulang itu. Seolah-olah ingatan tadi membentuk adegan nyata dihadapanku dan membuatku yang sudah tak bisa berekspresi apa-apa lagi menjadi penontonnya.

Tak ada yang  bisa menamparku sekeras ini selain Tuhan dan kenyataan.

Aku berbalik dan meninggalkan gedung serbaguna itu. Memacu mobil dengan air mata berlinangan.

Seingatku ketika pemakaman Darma aku tidak menangis. Ketika membereskan barang-barang yang diberikan Darma padaku pun aku tidak menangis. Ketika menyerahkan boneka pemberian Darma di hari jadi kami yang pertama aku pun tidak menangis, aku tersenyum saat melihat anak perempuan kecil itu memeluk boneka sapi besar yang bahkan sulit dipeluknya. 

Aku melambaikan tangan dan tersenyum.

Aku tak pernah menangis ketika Darma pergi, ketika album foto itu tertelan api, ketika semua hal yang berhubungan dengannya kuhapus dari handphone, ketika hadiah-hadiahnya berpindah dari kamar menuju ke panti asuhan.

Seharusnya aku tak pernah menangis.

Aku mengusap air mata, membawa mobilku menepi dan mengusap air mataku sekali lagi.
Tanganku merogoh tas yang sempat kubawa tadi, mencari sesuatu yang sudah berada disana selama beberapa hari. Sudah tercetak selama 3 tahun, dan sudah menghiasi wallpaper handphoneku sebelum 1 minggu lalu. Foto ini adalah foto ku dengannya, satu-satunya foto yang sengaja kutinggalkan, tak hilang bersama api.

Aku menempelkan foto itu diwajahku, hingga basah dengan air mata.

“Aku lihat sendiri dia gak nangis waktu pemakaman Darma. Waktu ada telepon tentang kecelakaan itu pun dia cuma diam dan gak ngomong apa-apa. Aku kira dia gak nangis karena gak begitu ngerasa kehilangan Darma. Dan dia benar-benar bisa menyingkirkan barang-barang kenangannya bersama Darma tanpa air mata. Aku lihat sendiri dia bawa kotak ke panti asuhan dan bagi-bagiin ke anak-anak, bakar semua foto, dan tersenyum keesokan harinya,” Etna menghela napas panjang ketika melihat kecemasan yang tergambar di wajah Mama Xena. “Tapi aku baru sadar kalau didalam dirinya. Dia pengen menganggap kalau kejadian satu minggu lalu bukanlah kenyataan. Sampai-sampai dia menyembunyikan ingatan itu tanpa ia sadari, mengembalikan ingatannya ke masa lalu sementara tubuhnya di masa kini dengan kenyataan yang sebenarnya yang menyakitinya.”





                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

1 komentar :

Ilham Sasmita at: 2 Oktober 2013 pukul 13.49 mengatakan... Reply

yah, kok sedih ya.. :(

Posting Komentar

Beo Terbang