Minggu, 14 Oktober 2012

Bahagia



Setiap orang memaknai kebahagian dengan makna yang berbeda. Aku berpikir kebahagian adalah ketika semua berjalan sesuai rencana, cita-cita tercapai, orang tua tersenyum bangga dan mungkin salah satunya adalah menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidup.  Tapi temanku yang satu ini lain, dia punya perbedaan pandangan tentang bahagia. Katanya, bahagia adalah ketika orang yang disayanginya bahagia lebih dulu.

Oke. Bukan cuma bahagia tapi bahagia lebih dulu.

Dia teman yang baik,  menyenangkan, bahkan terkesan sedikit gila, suatu saat bisa saja dia tertawa tak henti-hentinya karena sebuah lelucon yang garing di telingaku, suatu saat dia bisa saja berlari tanpa sepatu karena melupakan sepatunya yang dia lepas di ruangan kuliah, dia pendengar yang baik, dia suka membantu walaupun kadang menggerutu ketika bantuannya di manfaatkan secara berlebihan, sesekali dia marah, hanya sekali, dua kali selama 5 tahun aku mengenalnya. Marahnya pun hanya diam, dan sejujurnya itu lebih mengerikan bagiku dan teman-temannya yang lain.

Tapi seperti yang aku sebutkan tadi dia punya makna bahagia yang terdengar naïf ditelingaku. Oke, itu pengecualian bagi orangtuaku, mereka memang harus bahagia lebih dulu dariku. Tapi bagi orang-orang lain selain mereka, entahlah—

Untuk hal-hal kecil, prinsip itu memang tidak terlalu terlihat tapi melihat sikap keras kepalanya ketika mencintai seseorang membuatku gerah sendiri.

Selama mengenalnya aku tahu dia menyukai beberapa orang yang selalu berakhir menjadi pacar orang lain, ketika aku tanya kenapa tidak dikejar, kenapa tidak diungkapkan, kenapa tidak diusahakan dia akan menjawab sambil tertawa atau menambahkan kata he he he diakhir kalimatnya.

“Yang penting mereka seneng.”

“Yang penting mereka bahagia.”

Kalau aku bertanya. “Terus kapan kamu bahagianya?”

Dia hanya akan mengangkat bahunya.

Terakhir kali, yang aku tahu, dia menyukai seseorang yang aku juga kenal. Orangnya baik, ramah, menyenangkan, lumayan tampan. Astaga, aku paling tidak suka tipe laki-laki seperti itu, terlalu abu-abu tapi dia menyukainya, tersenyum memandangi punggungnya, tertawa mendengar lelucon paling garingnya, heboh melihatnya lewat—bahkan dari jarak yang tak terjangkau mataku—ya seperti orang-orang yang sedang jatuh cinta lainnya.

Lalu apa dia mengungkapkan perasaan. Tidak. Lalu bagaimana dengan laki-laki itu apakah menyukainya. Entahlah. Aku sudah mengatakannya tipe laki-laki baik seperti dia sangat mengerikan, tidak jelas perasaannya pada seorang perempuan entah suka, entah tidak.

Jadi sekarang sudah tahun ke 2 sepertinya dan dia masih menyimpan perasaan pada laki-laki itu. Laki-laki itu pun tidak jadian dengan siapapun sementara dia dan laki-laki itu berbeda jurusan, semakin jarang bertemu walaupun berada di fakultas yang sama.

“Kalian sms an?”
Dia menggeleng.

“Twitter?”

“Aku gak ngefollow twitternya.”


“FB deh, FB, kirim wall gitu.”
Dia menggeleng lagi. Aku memandanginya dengan tatapan— astaga.

Waktu itu dia belum didekati seorang laki-laki jadi aku pikir, mungkin dia belum bisa move on karena belum ada batu loncatan untuk move on tapi beberapa bulan berlalu ada seseorang yang bahkan sudah berani mengungkapkan perasaan padanya dan dia menolak.

“Jadi apa yang kamu tunggu?”

“Apa?”

“Seriusan nih. Udah ada cowok seganteng itu yang nembak kamu, kamu nunggu apa?”

“Gak nunggu apa-apa.”

Aku menyipitkan mata tidak percaya.

“Kamu masih nunggu dia?”
Walaupun tidak ada jawaban aku sudah tahu apa jawabannya.

Lalu hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Kami lulus dan berpisah, dia masih single, laki-laki yang disukainya sejak 3 tahun lalu pun begitu dan aku sudah memiliki seorang calon suami, kami akan menikah setelah memiliki pekerjaan.

Jaraknya 1 tahun sampai aku dan calon suamiku akhirnya menikah, aku mengirimkan undangan pada dia, dan dia masih datang sendirian, ketika aku tanya dimana calon suaminya dia hanya menggelengkan kepala.

Belum ada.

Astaga. Dia masih menunggu.

“Darimana kamu tahu dia masih single, siapa tahu dia udah punya pacar tapi gak gembar gembor di media 
sosial?”

“Aku kan stalker handal, gak cuma dari media sosial lah.”

Astaga. Dia bangga. Jadi stalker selama hampir 5 tahun dan dia bangga.

“Kenapa gak kamu telepon dia, bilang kalau kamu suka dan tahu bagaimana reaksinya?”

“Gila apa?!”

Aku menunjuk dahinya. “Kamu tuh yang lebih gila. 5 tahun itu gak sebentar, bayi aja udah masuk playgroup, suami isteri bisa dapet 5 anak dan kamu masih netep di satu orang yang bahkan gak tau atau gak peduli kamu masih hidup atau gak.”

Kemudian dia terdiam. Mungkin kata-kataku berlebihan tapi prinsipnya bahkan nyaris membunuh kesabaranku. Aku juga ingin melihat temanku berbahagia dengan siapapun itu yang bisa membuatnya bahagia, bukan tersiksa dengan prinsip yang banyak sekali mengorbankan perasaanya.

“Mungkin aku melewatkan banyak kesempatan seperti yang kamu bilang, tapi aku gak pengen semua itu tidak terbayar oleh apapun,” ujarnya.

“Terus sampai kapan?”

Dia mengangkat bahunya. Walaupun aku yakin di otaknya tercatat jawaban, sampai laki-laki yang 
disukainya menikah, atau punya pacar, tunangan, atau mengaku gay.

Lalu hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun dan aku sedang mengandung anak pertama  ketika sebuah undangan berwarna biru tua datang bersama dengannya, dengan prinsip naifnya.

Aku melihat wajahnya yang berseri-seri ketika menyampaikan undangan itu.

Siapapun nama yang tertera berdampingan dengan namanya, aku pun ikut berbahagia, entah itu laki-laki yang dicintainya sejak masa kuliah ataupun laki-laki yang ia temui di tempat kerja, di toko buku, atau di sebuah mall.

Mungkin ini yang disebut bahagia ketika melihat orang yang kita sayangi berbahagia. Walaupun aku sudah berbahagia lebih dulu darinya.


2 komentar :

Hilwy Al Hanin at: 26 Oktober 2012 pukul 23.34 mengatakan... Reply

ASTAGA Vanez, cerpen ini bagus banget! Sederhana. Mengalir banget bahasanya. Tapi maknanya ngga sedangkal itu...
Ah, aku suka banget idenya. *nangis terharu* Dan aku sukses ngakak ketika kamu jabarin orang yang abu-abu itu adalah orang yang mengerikan.
....itu bener banget. orz. #plak

Jadi, prinsipmu berbahagia yang mana nih, Nez? :3 #plak

Vanessa Praditasari at: 27 Oktober 2012 pukul 12.43 mengatakan... Reply

Aaaaa niiin~ aku baru baca komenmu .______.
Makassssih banget udah baca, dan suka sama ceritanya.

Soal abu-abu itu, mungkin banyak banget yang ngalamin ya... *puk puk diri sendiri*

Kalau aku sih belum sehebat si tokoh utama...
Kalau kamu gimana nin? :3

Posting Komentar

Beo Terbang