Setiap orang memaknai kebahagian
dengan makna yang berbeda. Aku berpikir kebahagian adalah ketika semua berjalan
sesuai rencana, cita-cita tercapai, orang tua tersenyum bangga dan mungkin
salah satunya adalah menemukan orang yang tepat untuk mendampingi hidup. Tapi temanku yang satu ini lain, dia punya
perbedaan pandangan tentang bahagia. Katanya, bahagia
adalah ketika orang yang disayanginya bahagia lebih dulu.
Oke. Bukan cuma bahagia tapi bahagia lebih dulu.
Dia teman yang baik,
menyenangkan, bahkan terkesan sedikit gila, suatu saat
bisa saja dia tertawa tak henti-hentinya karena sebuah lelucon yang garing di
telingaku, suatu saat dia bisa saja berlari tanpa sepatu karena melupakan
sepatunya yang dia lepas di ruangan kuliah, dia pendengar yang baik, dia suka
membantu walaupun kadang menggerutu ketika bantuannya di manfaatkan secara
berlebihan, sesekali dia marah, hanya sekali, dua kali selama 5 tahun aku
mengenalnya. Marahnya pun hanya diam, dan sejujurnya itu lebih mengerikan
bagiku dan teman-temannya yang lain.
Tapi seperti yang aku sebutkan tadi dia
punya makna bahagia yang terdengar naïf ditelingaku. Oke, itu pengecualian bagi
orangtuaku, mereka memang harus bahagia lebih dulu dariku. Tapi bagi
orang-orang lain selain mereka, entahlah—
Untuk hal-hal kecil, prinsip itu memang
tidak terlalu terlihat tapi melihat sikap keras kepalanya ketika mencintai
seseorang membuatku gerah sendiri.
Selama mengenalnya aku tahu dia menyukai
beberapa orang yang selalu berakhir menjadi pacar orang lain, ketika aku tanya
kenapa tidak dikejar, kenapa tidak diungkapkan, kenapa tidak diusahakan dia
akan menjawab sambil tertawa atau menambahkan kata he he he diakhir kalimatnya.
“Yang penting mereka seneng.”
“Yang penting mereka bahagia.”
Kalau aku bertanya. “Terus kapan kamu
bahagianya?”
Dia hanya akan mengangkat bahunya.
Terakhir kali, yang aku tahu, dia
menyukai seseorang yang aku juga kenal. Orangnya baik, ramah, menyenangkan, lumayan
tampan. Astaga, aku paling tidak suka tipe laki-laki seperti itu, terlalu
abu-abu tapi dia menyukainya, tersenyum memandangi punggungnya, tertawa
mendengar lelucon paling garingnya, heboh melihatnya lewat—bahkan dari jarak
yang tak terjangkau mataku—ya seperti orang-orang yang sedang jatuh cinta
lainnya.
Lalu apa dia mengungkapkan perasaan.
Tidak. Lalu bagaimana dengan laki-laki itu apakah menyukainya. Entahlah. Aku
sudah mengatakannya tipe laki-laki baik seperti dia sangat mengerikan, tidak
jelas perasaannya pada seorang perempuan entah suka, entah tidak.
Jadi sekarang sudah tahun ke 2 sepertinya
dan dia masih menyimpan perasaan pada laki-laki itu. Laki-laki itu pun tidak
jadian dengan siapapun sementara dia dan laki-laki itu berbeda jurusan, semakin
jarang bertemu walaupun berada di fakultas yang sama.
“Kalian sms an?”
Dia menggeleng.
“Twitter?”
“Aku gak ngefollow twitternya.”
“FB deh, FB, kirim wall gitu.”
Dia menggeleng lagi. Aku memandanginya
dengan tatapan— astaga.
Waktu itu dia belum didekati seorang laki-laki
jadi aku pikir, mungkin dia belum bisa move on karena belum ada batu loncatan
untuk move on tapi beberapa bulan berlalu ada seseorang yang bahkan sudah
berani mengungkapkan perasaan padanya dan dia menolak.
“Jadi apa yang kamu tunggu?”
“Apa?”
“Seriusan nih. Udah ada cowok seganteng
itu yang nembak kamu, kamu nunggu apa?”
“Gak nunggu apa-apa.”
Aku menyipitkan mata tidak percaya.
“Kamu masih nunggu dia?”
Walaupun tidak ada jawaban aku sudah tahu
apa jawabannya.
Lalu hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun. Kami lulus dan berpisah, dia masih
single, laki-laki yang disukainya sejak 3 tahun lalu pun begitu dan aku sudah
memiliki seorang calon suami, kami akan menikah setelah memiliki pekerjaan.
Jaraknya 1 tahun sampai aku dan calon
suamiku akhirnya menikah, aku mengirimkan undangan pada dia, dan dia masih
datang sendirian, ketika aku tanya dimana calon suaminya dia hanya
menggelengkan kepala.
Belum ada.
Astaga. Dia masih menunggu.
“Darimana kamu tahu dia masih single,
siapa tahu dia udah punya pacar tapi gak gembar gembor di media
sosial?”
“Aku kan stalker handal, gak cuma dari
media sosial lah.”
Astaga. Dia bangga. Jadi stalker selama
hampir 5 tahun dan dia bangga.
“Kenapa gak kamu telepon dia, bilang
kalau kamu suka dan tahu bagaimana reaksinya?”
“Gila apa?!”
Aku menunjuk dahinya. “Kamu tuh yang
lebih gila. 5 tahun itu gak sebentar, bayi aja udah masuk playgroup, suami
isteri bisa dapet 5 anak dan kamu masih netep di satu orang yang bahkan gak tau
atau gak peduli kamu masih hidup atau gak.”
Kemudian dia terdiam. Mungkin kata-kataku
berlebihan tapi prinsipnya bahkan nyaris membunuh kesabaranku. Aku juga ingin
melihat temanku berbahagia dengan siapapun itu yang bisa membuatnya bahagia,
bukan tersiksa dengan prinsip yang banyak sekali mengorbankan perasaanya.
“Mungkin aku melewatkan banyak kesempatan
seperti yang kamu bilang, tapi aku gak pengen semua itu tidak terbayar oleh
apapun,” ujarnya.
“Terus sampai kapan?”
Dia mengangkat bahunya. Walaupun aku
yakin di otaknya tercatat jawaban, sampai laki-laki yang
disukainya menikah,
atau punya pacar, tunangan, atau mengaku gay.
Lalu hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, bulan berganti tahun dan aku sedang mengandung anak pertama ketika sebuah undangan berwarna biru tua datang bersama dengannya, dengan
prinsip naifnya.
Aku melihat wajahnya yang berseri-seri
ketika menyampaikan undangan itu.
Siapapun nama yang tertera berdampingan
dengan namanya, aku pun ikut berbahagia, entah itu laki-laki yang dicintainya
sejak masa kuliah ataupun laki-laki yang ia temui di tempat kerja, di toko
buku, atau di sebuah mall.
Mungkin ini yang disebut bahagia ketika
melihat orang yang kita sayangi berbahagia. Walaupun aku sudah berbahagia lebih
dulu darinya.
2 komentar :
ASTAGA Vanez, cerpen ini bagus banget! Sederhana. Mengalir banget bahasanya. Tapi maknanya ngga sedangkal itu...
Ah, aku suka banget idenya. *nangis terharu* Dan aku sukses ngakak ketika kamu jabarin orang yang abu-abu itu adalah orang yang mengerikan.
....itu bener banget. orz. #plak
Jadi, prinsipmu berbahagia yang mana nih, Nez? :3 #plak
Aaaaa niiin~ aku baru baca komenmu .______.
Makassssih banget udah baca, dan suka sama ceritanya.
Soal abu-abu itu, mungkin banyak banget yang ngalamin ya... *puk puk diri sendiri*
Kalau aku sih belum sehebat si tokoh utama...
Kalau kamu gimana nin? :3
Posting Komentar