Seandainya saja ada tombol stop.
Ada yang bermain-main akhir-akhir ini hingga rasanya
kepalaku pusing dan mau pecah setiap harinya. Kadang hari berjalan begitu
cepat, kadang begitu lambat, kadang terhenti sejenak lalu kembali berjalan
seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Aku menundukkan kepala, menghirup oksigen dalam-dalam,
walaupun baunya terasa busuk karena bercampur dengan bau sampah entah dari mana,
suara-suara ribut. Aku menghela napas lagi, lebih dalam kali ini dan
menghembuskannya perlahan. Angin meniup rambutku hingga sebagian menutupi mata
kiri, ku singkirkan helai-helai rambut itu lalu kembali membiarkan angin meniup
wajahku. Semakin kencang terasa semakin kencang.
Aku membiarkan angin karena memang tak mampu mencegahnya.
Aku mendongakkan kepala, ada sebuah balon yang terbang bebas, aku menundukkan
kepala mulai ada keramaian dibawah sana, aku menoleh ke kiri lalu ke kanan,
tidak ada orang yang menemaniku disini.
Beberapa hari lalu sepertinya ada yang menekan tombol rewind
dan aku harus kembali ke saat dimana ibu meninggalkan kami, lalu ayah bunuh
diri, aku tersenyum sinis, mengingatnya. Beberapa hari lalu sepertinya ada yang
menekan tombol pause hingga aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri
bagaimana seseorang yang aku percaya benar-benar mengkhianatiku, selama
beberapa menit, dia tak bergerak, aku pun merasa seperti itu walaupun air mataku
mengalir deras. Beberapa hari lalu, sepertinya ada yang menekan tombol play,
sayangnya hanya sejenak, hanya sedetik, dunia bergerak lalu menghempaskanku
kembali. Beberapa hari lalu ada yang menekan tombol forward dan aku tidak bisa
melihat apapun selain gelap.
Aku tertawa, suara-suara ribut itu semakin mengganggu
telingaku. Ah—tombol itu hanya khayalanku untuk menyalahkan orang lain akan hal
yang terjadi.
Aku berbalik, seseorang memanggil namaku dengan lembut, tangannya
berusaha meraih tanganku dengan perlahan-lahan, dengan kelembutan. Tapi aku
tidak menemukan ketulusan di matanya, hanya ketakutan yang bisa kulihat, dia
lebih takut dariku, seharusnya aku yang takut.
Aku tidak mengacuhkannya. Membiarkannya saja. Menutup mata.
Walaupun semakin banyak suara yang terdengar di telingaku, memanggil-manggil
namaku dengan nada memohon, yang semakin lama berubah menjadi teriakan.
Ada yang menyuruhku segera turun, ada yang menyuruhku
mengingat Tuhan, ada yang menyuruhku untuk mengingat orang yang kusayangi, ada
yang mengataiku mencari perhatian. Aku tertawa. Astaga dia bercanda, ada cara
yang lebih menyenangkan untuk mencari perhatian, berlari telanjang mungkin.
Sementara suara dibawah sana semakin ramai saja, tiba-tiba
tanganku ditarik, entah oleh siapa, aku terus memberontak ketika dia menjauhkanku
dari pinggir bangunan, beruntungnya aku dapat kembali berdiri di pinggir
bangunan, membiarkan angin meniup wajahku, meniup rambutku, pakaianku, seluruh
tubuhku.
Aku menutup mata,
menghela napas. Tinggal melangkah sekali lalu tubuh ini akan terbebas. Seseorang
menarik tanganku lagi, aku mengibaskannya begitu saja, entah kekuatan dari mana
tapi aku berhasil membuat tangan itu terlepas dari lenganku, menyusul suara
teriakan yang membuat mataku terbuka lebar.
Seperti tidak adanya tombol stop. Aku tidak bisa menekan
tombol itu sesuka hati, menghentikkan apa yang sudah terjadi, tubuh yang sudah
jatuh, mengakhiri cerita semudah menekan tombol.
Bibirku mengulum senyum, melangkahkan kaki ke depan.
Tak apa. Mungkin dia bisa menemaniku.
0 komentar :
Posting Komentar