Selasa, 02 Oktober 2012

Stop



Seandainya saja ada tombol stop.

Ada yang bermain-main akhir-akhir ini hingga rasanya kepalaku pusing dan mau pecah setiap harinya. Kadang hari berjalan begitu cepat, kadang begitu lambat, kadang terhenti sejenak lalu kembali berjalan seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Aku menundukkan kepala, menghirup oksigen dalam-dalam, walaupun baunya terasa busuk karena bercampur dengan bau sampah entah dari mana, suara-suara ribut. Aku menghela napas lagi, lebih dalam kali ini dan menghembuskannya perlahan. Angin meniup rambutku hingga sebagian menutupi mata kiri, ku singkirkan helai-helai rambut itu lalu kembali membiarkan angin meniup wajahku. Semakin kencang terasa semakin kencang.

Aku membiarkan angin karena memang tak mampu mencegahnya. Aku mendongakkan kepala, ada sebuah balon yang terbang bebas, aku menundukkan kepala mulai ada keramaian dibawah sana, aku menoleh ke kiri lalu ke kanan, tidak ada orang yang menemaniku disini.

Beberapa hari lalu sepertinya ada yang menekan tombol rewind dan aku harus kembali ke saat dimana ibu meninggalkan kami, lalu ayah bunuh diri, aku tersenyum sinis, mengingatnya. Beberapa hari lalu sepertinya ada yang menekan tombol pause hingga aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana seseorang yang aku percaya benar-benar mengkhianatiku, selama beberapa menit, dia tak bergerak, aku pun merasa seperti itu walaupun air mataku mengalir deras. Beberapa hari lalu, sepertinya ada yang menekan tombol play, sayangnya hanya sejenak, hanya sedetik, dunia bergerak lalu menghempaskanku kembali. Beberapa hari lalu ada yang menekan tombol forward dan aku tidak bisa melihat apapun selain gelap.

Aku tertawa, suara-suara ribut itu semakin mengganggu telingaku. Ah—tombol itu hanya khayalanku untuk menyalahkan orang lain akan hal yang terjadi.

Aku berbalik, seseorang memanggil namaku dengan lembut, tangannya berusaha meraih tanganku dengan perlahan-lahan, dengan kelembutan. Tapi aku tidak menemukan ketulusan di matanya, hanya ketakutan yang bisa kulihat, dia lebih takut dariku, seharusnya aku yang takut.

Aku tidak mengacuhkannya. Membiarkannya saja. Menutup mata. Walaupun semakin banyak suara yang terdengar di telingaku, memanggil-manggil namaku dengan nada memohon, yang semakin lama berubah menjadi teriakan.

Ada yang menyuruhku segera turun, ada yang menyuruhku mengingat Tuhan, ada yang menyuruhku untuk mengingat orang yang kusayangi, ada yang mengataiku mencari perhatian. Aku tertawa. Astaga dia bercanda, ada cara yang lebih menyenangkan untuk mencari perhatian, berlari telanjang mungkin.  

Sementara suara dibawah sana semakin ramai saja, tiba-tiba tanganku ditarik, entah oleh siapa, aku terus memberontak ketika dia menjauhkanku dari pinggir bangunan, beruntungnya aku dapat kembali berdiri di pinggir bangunan, membiarkan angin meniup wajahku, meniup rambutku, pakaianku, seluruh tubuhku.

Aku menutup mata, menghela napas. Tinggal melangkah sekali lalu tubuh ini akan terbebas. Seseorang menarik tanganku lagi, aku mengibaskannya begitu saja, entah kekuatan dari mana tapi aku berhasil membuat tangan itu terlepas dari lenganku, menyusul suara teriakan yang membuat mataku terbuka lebar.

Seperti tidak adanya tombol stop. Aku tidak bisa menekan tombol itu sesuka hati, menghentikkan apa yang sudah terjadi, tubuh yang sudah jatuh, mengakhiri cerita semudah menekan tombol.

Bibirku mengulum senyum, melangkahkan kaki ke depan.

Tak apa. Mungkin dia bisa menemaniku.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang