Senin, 01 Oktober 2012

Forward



Seandainya saja ada tombol forward.

Aku melangkahkan kaki tanpa ragu, tanpa niat untuk berbalik sekalipun, walaupun rasanya jantung berdetak begitu cepat dan hati berharap-harap cemas. Sementara orang-orang disekitarku melangkah seperti berlari, berlari seperti terbang hingga aku tampak begitu lambat, seperti kura-kura diantara para kelinci yang sekali melompat bisa tak terlihat lagi.

Kendaraan di kiri jalan pun tampak tak bersahabat lagi, aku bahkan tidak bisa melihat warna mobil apa yang baru saja lewat, melaju begitu kencang, hingga membuatku bertanya-tanya, kemana para polisi, kenapa mereka tidak menilang kendaraan-kendaraan ini.

Tapi setelah beberapa menit berlalu, terdiam sejenak, memperhatikan kendaraan yang mulai tak jelas apa jenisnya, apa warnanya, bagaimana bentuknya, melaju begitu cepat, aku mulai mengabaikan mereka, terus melangkah walaupun sesekali ada saja seseorang yang menyenggol bahuku dan membuatku nyaris terjungkal.

Telingaku pun menangkap obrolan yang tak jelas, melihat daun yang jatuh begitu cepat, lalu hari tiba-tiba berubah menjadi malam, kembali pagi lagi, lalu malam lagi dan rasa-rasanya aku hanya bergerak beberapa meter.

Sepertinya ada yang menekan tombol forward. Ah—bukan forward saja, tapi fast forward 1x, 3x, 5x, 11x hingga rasa-rasanya aku sudah tidak mendengar suara yang bisa dipahami, langkah yang bisa diikuti, kendaraan yang bisa diperhatikan, wajah yang bisa dikenali. Semuanya tampak serupa garis yang melaju begitu cepat dan berlalu begitu saja meninggalkan siput yang masih berusaha mencapai tempat tujuannya, walaupun pagi berlalu, malam terlewati, pagi lagi, malam lagi dan kakiku belum merasa lelah juga karena walaupun waktu berlalu begitu cepat bagiku tidak.

Aku melangkah melewati pohon yang mulai tampak kering, lalu sedetik kemudian hujan turun dan aku terpaksa berteduh dibawah pohon yang sudah kembali rindang, ketika berjalan aku melewati sebuah poster yang memamerkan wajah seorang calon kepala daerah, semenit kemudian poster tersebut sudah berganti dengan wajah calon kepala daerah lain.

Hingga kemudian aku berhenti di tempat tujuanku, didepan sebuah stasiun kereta api yang tampak semakin usang karena termakan usia, karena tak digunakan lagi, karena mulai terlupakan. Tapi aku tetap berada disini, karena kita berdua pernah disini, berjanji untuk bertemu lagi. Kamu berjanji akan mengunjungiku beberapa tahun lagi dan aku berjanji akan menunggumu disini, selalu. Sementara suara-suara tak terdengar jelas lagi, sementara langkah kaki menjadi seperti berlari,  sementara berlari seperti terbang.

Seandainya saja ada tombol forward.

Kamu tersenyum, terdengar pengumuman, keretamu akan berangkat dan kamu memilih masih dihadapanku, seperti tidak ingin melepaskanmu, tapi kamu harus melakukannya.

“Kita akan bertemu lagi, disini.”

Aku menganggukkan kepala. “Aku akan menunggumu.”

Seperti tidak adanya tombol forward di dunia ini, aku tidak pernah bisa segera  tahu apa akibat dari menunggumu, selama apapun, aku tidak pernah bisa segera tahu apa akibat dari tidak menunggumu, selama apapun.  Seberapa besar kerinduanku padamu pun, akhirnya aku harus menunggu. Seberapa besar keinginan ku untuk melupakanmu pun, akhirnya aku harus menunggu.

Aku menatap keretamu yang mulai melaju meninggalkan stasiun, mungkin kamu sedang melambaikan tangan atau menatapku dari dalam sana.


0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang