Seandainya saja ada tombol forward.
Aku melangkahkan kaki tanpa ragu, tanpa niat untuk berbalik
sekalipun, walaupun rasanya jantung berdetak begitu cepat dan hati
berharap-harap cemas. Sementara orang-orang disekitarku melangkah seperti
berlari, berlari seperti terbang hingga aku tampak begitu lambat, seperti
kura-kura diantara para kelinci yang sekali melompat bisa tak terlihat lagi.
Kendaraan di kiri jalan pun tampak tak bersahabat lagi, aku
bahkan tidak bisa melihat warna mobil apa yang baru saja lewat, melaju begitu
kencang, hingga membuatku bertanya-tanya, kemana para polisi, kenapa mereka tidak
menilang kendaraan-kendaraan ini.
Tapi setelah beberapa menit berlalu, terdiam sejenak,
memperhatikan kendaraan yang mulai tak jelas apa jenisnya, apa warnanya,
bagaimana bentuknya, melaju begitu cepat, aku mulai mengabaikan mereka, terus
melangkah walaupun sesekali ada saja seseorang yang menyenggol bahuku dan
membuatku nyaris terjungkal.
Telingaku pun menangkap obrolan yang tak jelas, melihat daun
yang jatuh begitu cepat, lalu hari tiba-tiba berubah menjadi malam, kembali
pagi lagi, lalu malam lagi dan rasa-rasanya aku hanya bergerak beberapa meter.
Sepertinya ada yang menekan tombol forward. Ah—bukan forward
saja, tapi fast forward 1x, 3x, 5x, 11x hingga rasa-rasanya aku sudah tidak
mendengar suara yang bisa dipahami, langkah yang bisa diikuti, kendaraan yang
bisa diperhatikan, wajah yang bisa dikenali. Semuanya tampak serupa garis yang
melaju begitu cepat dan berlalu begitu saja meninggalkan siput yang masih
berusaha mencapai tempat tujuannya, walaupun pagi berlalu, malam terlewati,
pagi lagi, malam lagi dan kakiku belum merasa lelah juga karena walaupun waktu
berlalu begitu cepat bagiku tidak.
Aku melangkah melewati pohon yang mulai tampak kering, lalu
sedetik kemudian hujan turun dan aku terpaksa berteduh dibawah pohon yang sudah
kembali rindang, ketika berjalan aku melewati sebuah poster yang memamerkan
wajah seorang calon kepala daerah, semenit kemudian poster tersebut sudah
berganti dengan wajah calon kepala daerah lain.
Hingga kemudian aku berhenti di tempat tujuanku, didepan sebuah
stasiun kereta api yang tampak semakin usang karena termakan usia, karena tak
digunakan lagi, karena mulai terlupakan. Tapi aku tetap berada disini, karena kita
berdua pernah disini, berjanji untuk bertemu lagi. Kamu berjanji akan
mengunjungiku beberapa tahun lagi dan aku berjanji akan menunggumu disini,
selalu. Sementara suara-suara tak terdengar jelas lagi, sementara langkah kaki
menjadi seperti berlari, sementara berlari
seperti terbang.
Seandainya saja ada tombol forward.
Kamu tersenyum, terdengar pengumuman, keretamu akan
berangkat dan kamu memilih masih dihadapanku, seperti tidak ingin melepaskanmu,
tapi kamu harus melakukannya.
“Kita akan bertemu lagi, disini.”
Aku menganggukkan kepala. “Aku akan menunggumu.”
Seperti tidak adanya tombol forward di dunia ini, aku tidak
pernah bisa segera tahu apa akibat dari
menunggumu, selama apapun, aku tidak pernah bisa segera tahu apa akibat dari
tidak menunggumu, selama apapun. Seberapa
besar kerinduanku padamu pun, akhirnya aku harus menunggu. Seberapa besar
keinginan ku untuk melupakanmu pun, akhirnya aku harus menunggu.
Aku menatap keretamu yang mulai melaju meninggalkan stasiun,
mungkin kamu sedang melambaikan tangan atau menatapku dari dalam sana.
0 komentar :
Posting Komentar