Seandainya saja ada tombol play.
Aku duduk diantara keramaian, di kantin kampus yang selalu
ramai bahkan terkesan penuh karena tak ada kursi yang bisa ditempati lagi
sehingga kadang ada saja orang yang berlari dengan heboh, menarik sebuah kursi
yang baru saja ditinggalkan—bahkan yang baru meninggalkan kursi itu hanya berjarak
beberapa meter dari kursi— lalu orang heboh itu akan duduk sambil melipat
tangan, dengan bangga.
Kantin ini ramai, selalu begini, setiap orang yang lalu
lalang sibuk dengan kepentingan mereka atau kelompok mereka sendiri, tertawa
begitu lebar, mengobrol dengan suara keras, berjalan begitu cepat, berhenti
ditengah jalan, berjalan begitu lambat sampai rasa-rasanya ingin menyalip atau
mendorong sekalian.
Dan aku sendiri, tidak benar-benar sendiri sebenarnya. Sesekali
akan ada seseorang yang datang menyapa, mengobrol barang 1, 2 menit
membicarakan tugas, ajakan futsal, numpang makan—karena terkadang ada kursi
kosong tapi tidak ada meja— ataupun sekedar berbasa-basi.
Setiap hari begini, sembari menunggu kelas selanjutnya, aku
selalu menjadi orang yang beruntung karena ada saja kursi dan meja kosong. Anehnya
selalu di tempat yang sama. Sementara orang lain mengeluh karena jarang sekali
bisa menikmati makanan kantin, bagaimana mereka bisa makan kalau tidak ada
kursi ataupun meja yang kosong. Sedangkan aku selalu bisa duduk dengan tenang,
di setiap hari selasa jam 12 siang di tempat yang sama, kursi dan meja yang
sama, tepat berada di samping pendingin ruangan, jadi kadang aku harus
menggeser kursi untuk menghindari angin yang bertiup.
Dan di meja itu selalu ada piring kosong yang
belum diambil oleh pelayan, piring berisi sisa makanan. Sehingga aku selalu
bisa menebak, penghuni kursi dan meja ini baru saja menikmati sepiring mie dan
segelas es teh. Dan setiap kali aku duduk, aku selalu menemukan piring dengan
sedikit sisa mie dan sedikit sisa teh di gelas. Selalu itu, menu yang sama, tak
pernah berubah.
Membayangkan seseorang selalu memesan mie dan es teh
setidaknya seminggu sekali. Aku memandangi piring kosong dengan sisa mie goreng
yang hanya tinggal sedikit. Pasti orang ini sangat menyukai mie, atau tidak
mampu membeli makanan lain selain mie, atau terobsesi dengan mie, atau—entahlah,
untuk apa aku memikirkannya.
Biasanya setelah menikmati makan siang—yang pastinya tidak
selalu satu menu yang sama— aku memainkan handphone sambil bersandar di kursi,
sesekali mengangkat kepala dari layar handphone ketika ada suara yang memanggil
namaku. Setelahnya, aku tidak terlalu peduli dengan suara tawa, teriakan,
obrolan dan berbagai hal yang terjadi di kantin ini. Hanya menunggu hingga jam
kuliah selanjutnya dimulai dan beranjak meninggalkan kursi dan meja yang sama.
Seandainya saja ada tombol play.
Aku duduk di tempat yang sama, kursi yang sama, meja yang sama
di hari selasa di jam 12 siang, dengan piring berisi sisa makanan yang sama
plus segelas es teh yang masih setengah. Aku memandangi es teh tersebut dengan
tatapan heran, mungkin kali ini penghuni meja dan kursi ini terburu-buru
menyelesaikan
makanannya.
Aku memperhatikan lagi, ada sesuatu yang asing selain piring
dan gelas. Sebuah dompet, berwarna biru cerah seperti pantulan cahaya yang
ditunjukkan langit, hanya dompet biasa yang mungkin terbuat dari kulit sintetis
yang tampak seperti anyaman. Seperti halnya dompet perempuan-perempuan lainnya
ukurannya lebih dari cukup untuk sebuah uang kertas tanpa dilipat, tapi tidak
seperti dompet perempuan-perempuan lainnya yang rata-rata tampak tebal—entah
karena foto, kartu-kartu mereka, kaca, atau handphone sekalipun—dompet itu
tampak tipis. Mungkin tidak ada uang didalamnya.
Aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan siapa tau pemilik
dompet ini berlari dan mengambil dompet ini secara tiba-tiba seperti orang yang
memperebutkan kursi kosong di kantin ini. Tapi tidak ada yang seperti itu, jadi
aku meraih dan membukanya, memastikan siapa pemiliknya, sekaligus melepaskan
rasa penasaran akan penghuni kursi ini yang selalu makan mie dan minum es teh.
Kubuka dompetnya, ada sebuah foto, foto keluarga lebih
tepatnya tapi dalam foto itu ada 3 orang perempuan, jadi aku tidak bisa menebak
yang mana pemiliknya. Dengan perasaan terpaksa—lebih tepatnya penasaran—aku
memilih mengambil KTP dan menyipitkan mata ketika membaca namanya.
“Eh itu—dompetku bukan?”
Aku menoleh, seorang perempuan berjilbab biru terang,
berkemeja hitam dengan wajah kebingungan menunjuk dompet yang kupegang. Aku
melihatnya selama beberapa detik lalu melihat KTP itu, sekali lagi,
berkali-kali.
Dia tampak tertawa kecil. “Serius nih, itu dompetku bukan?”
“Kalau dari foto KTP sih beda.”
“Nama deh nama.”
“Farel Dewa.”
Dia mengerutkan dahinya. Sedetik lalu tertawa kecil. “Winda
Budi Kusuma, bener gak?”
Aku menganggukkan kepala, menyerahkan dompetnya. “Lainkali
jangan ninggalin dompet sembarangan,” ucapku, kulihat dia hanya menganggukkan
kepala lalu pergi menyusul temannya bisa kudengar tawa kecilnya, ia pun
mengangkat dompetnya tinggi-tinggi lalu tertawa dan bisa kulihat temannya pun
ikut tertawa.
Cewek yang menarik, batinku.
Seperti halnya tidak ada tombol play didunia ini, tidak
semudah itu untuk menemukan seseorang yang benar-benar membuatku merasa dunia
benar-benar berputar.
Sekalipun cewek tadi menarik. Sekalipun sepertinya dia pun
tertarik padaku, bukan bermaksud GR tapi
dengan tampang lumayan begini siapa yang bisa menolak.
Aku terdiam sejenak. Ah sudahlah—
0 komentar :
Posting Komentar