Seandainya saja ada tombol pause.
Aku duduk dihadapan seorang laki-laki yang begitu familiar selama 3 tahun terakhir, dan seseorang yang begitu berarti baginya di samping laki-laki itu. Disampingku pun ada seorang perempuan yang kusayangi, disamping perempuan itu ada seorang laki-laki yang begitu kuhormati.
Kemudian tidak terdengar lagi suara televisi, kipas angin yang berputar diatas ruang tamu berhenti bergerak, suara adzan yang sempat terdengar pun terhenti, seorang perempuan yang sempat tertangkap mataku sedang berjalan melewati rumah berhenti melangkah, suara seekor kucing yang mengeong memanggil pasangannya tak terdengar lagi.
Aku menoleh ke kanan, ayah yang sedang mengangkat gelas minumannya tak bergerak lagi, ibu yang sepertinya memperhatikan dengan seksama masih terpaku dalam posisi yang tak berubah, ayah dari laki-laki yang kusebut sudah familiar tadi masih membuka mulutnya, tak mengeluarkan kalimat yang tertahan, sementara laki-laki yang sudah begitu familiar itu tersenyum. Aku menatapnya lekat-lekat, senyum itu sama seperti yang aku lihat setiap hari, ujung bibir kanannya naik lebih tinggi daripada ujung bibir kiri membentuk lengkungan yang tidak seimbang.
Aku berdiri, melangkahkan kaki keluar dari rumah. Jalanan menjadi mati, karena semua orang masih dalam posisi yang sama, seekor kucing yang sejak pagi mengeong tak karuan masih terduduk di depan rumah, seorang perempuan yang hendak melewati rumah terhenti di depan pagar, sebuah mobil yang tampaknya akan melewati gang terhenti di depan gang, seekor burung yang hendak terbang terhenti merentangkan sayap di atas pagar, seekor anjing yang hendak kencing terhenti mengangkat satu kakinya di bawah tiang listrik, seorang anak kecil yang tertawa masih membuka mulutnya dengan lebar, seorang perempuan dan laki-laki yang sedang duduk berdua di taman tampak memalingkan wajah malu-malu, seorang perempuan yang hendak mencubit anaknya terhenti dalam posisi mencubit. Aku tidak bisa membayangkan perasaan anak itu dengan rasa sakit yang tertahan begitu lama, jadi kulepaskan tangan ibu itu dari paha anaknya dan melangkahkan kaki kembali.
Semua orang masih dalam posisi yang sama seperti saat tombol pause ditekan. Aku berjalan melewati seseorang yang hendak memasuki angkot, melewati seorang perempuan yang berada di dalam mobil, tepat dibelakang angkot, hendak menekan klakson dengan muka masam.
Aku terus melangkahkan kaki melewati semua yang terhenti. Menuju ke sebuah tempat yang kukenal dengan baik seperti membaca buku yang halamannya sudah kuning sana sini, sudah sobek diujung-ujungnya, penuh dengan stabilo karena terlalu sering dibaca. Di kampus, mencari seseorang yang kukenal, bukan seperti membaca buku tapi seperti menebak makna lukisan, aku pikir aku sudah tahu semuanya tapi seseorang datang memberikan makna yang lain, yang membuatku mengangguk dan membuatku berpikir aku mengerti lalu datang lagi orang lain, orang lain dan orang lain.
Dia duduk sendirian dengan segelas cappucino dan semangkok bakso. Bukan kombinasi yang baik tapi dia begitu menyukainya. Dia terhenti ketika hendak menyuapkan sesendok bakso kedalam mulut, jadi mulutnya sedang terbuka lebar dan ia siap menerima bakso itu kapan saja.
Aku menarik kursi didepannya, duduk dihadapannya, memandangi wajahnya. Konyol sekali. Aku tidak pernah bisa mengambil fotonya dalam posisi seperti ini. Jadi, ini kesempatan yang sangat langka dan mungkin harus kuabadikan. Kurogoh kantong celana sebelum otakku berkata lain, mungkin tidak. Mungkin lebih baik tidak.
Lalu aku kembali menopang dagu, tersenyum seperti orang gila, memandangi dirinya yang tak bergerak sedikitpun dan rasanya ingin sekali mendorong sendok yang dipegangnya langsung kedalam mulut dan membuatnya tersedak terbatuk-batuk.
Aku menopang dagu, memandanginya, kalau tersenyum, ujung bibir sebelah kanannya akan naik lebih tinggi dari ujung bibir sebelah kiri, tapi senyum itu tidak semanis lelaki yang kukenal sejak 3 tahun lalu, senyum miliknya lebih sinis dan membuatku sebal setengah mati. Kalau ingin mengejekku ia tinggal menaikkan alis sebelah kiri atau kanannya, yang pasti cukup hanya salah satu, lalu membuatku merasa kalau aku melakukan hal bodoh dan ingin menyembunyikan wajah entah kemana, setelah itu dia akan tertawa dan aku sibuk memukulinya, kalau ingin membuatku tertawa dia tinggal melemparkan lelucon paling garing sekalipun dan aku akan menertawai ekspresinya yang gagal membuatku tertawa.
Kenyataannya dia terlalu sempurna hanya untuk dipandangi seperti ini, dimilki sekalipun.
Aku berdiri, tersenyum. Hanya ada satu yang kurang, kusentuh rambutnya, kuacak-acak hingga berantakan, biasanya dia akan merengut sebal dan menarik tasku hingga membuatku nyaris terjungkal.
Seperti halnya tidak ada tombol pause, tak ada banyak waktu yang diberikan kepadaku untuk memilih lagi, memikirkan bagaimana perasaan penikmat bakso dan cappucino yang duduk dihadapanku.
Seandainya saja ada tombol pause.
Dia melahap baksonya. Mengunyahnya dengan lahap.
“Minggu depan aku tunangan sama Zen,” ucapku.
Aku sempat melihatnya berhenti mengunyah. Sedetik. Lalu menelan, dan tersenyum, ujung bibir kanannya naik lebih tinggi daripada ujung bibir kiri.
0 komentar :
Posting Komentar