Seandainya saja ada tombol rewind.
Aku terduduk di pinggir jalanan, menikmati pemandangan
ibukota di siang hari yang terik, bersama seorang pedagang siomay kaki lima,
anak-anak SMA yang berjalan mundur, daun kering yang kembali ke ranting
pohon, kendaraan yang dipacu mundur, pembicaraan yang terdengar aneh. Lalu
semuanya berangsur-angsur menyepi, hingga tinggal aku sendiri, pedagang siomay
sudah berjalan mundur bersama gerobaknya tadi, matahari pun perlahan kembali ke
timur, hingga sinarnya meredup dan meninggalkan sayup-sayup suara ayam yang
berkotek menyambut pagi, sesekali berkokok dengan suara yang aneh.
Tombol rewind ditekan. 1x, 3x, 5x, 11x, 13x. Kalender yang
disobek kembali tertempel di tempatnya semula, ucapan selamat ulangtahun
terulang, ucapan selamat ulangtahun tertunda, jemuran kembali basah tergantung
di tali jemuran, jalanan yang diperbaiki kembali berlubang, buah yang kemarin
dipetik kembali, kucing yang kemarin melahirkan kembali hamil. Aku terduduk di
pinggir jalan, menunggu pedagang siomay kembali.
Segerombolan anak SMA yang berkumpul dengan kemarahan,
berlari mundur, tangan mereka yang semula terangkat kemudian turun, senjata
yang semula mereka simpan masuk kedalam tas perlahan, ikat pinggang yang
sebelumnya mereka lepas kembali terpasang melingkari celana, pedagang siomay
yang tadi hendak pergi, kembali bersamaku.
Setelah jalanan kembali menyepi, setelah gerombolan anak SMA
itu menghilang setelah berlari mundur, aku melangkahkan kakiku menuju ke tengah
jalanan, menuju ke SMA terdekat yang bisa kucapai, sementara semua kendaraan
berjalan mundur, aku berjalan maju tanpa ada yang memperhatikan.
Di depan gerbang yang masih tertutup rapat, seorang satpam
tampak sedang tertidur di pos nya. Aku memanjat ke dalam, mengambil kunci kelas
yang tergantung di dinding, memasuki wilayah sekolah yang masih sepi karena
aktivitas belajar mengajar, seorang guru berjalan mundur, seorang guru
menjelaskan dengan bahasa yang aneh, pengumuman pun dimulai dari kata
terimakasih. Aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah kelas, menutup pintu,
mengambil kunci, menguncinya dari luar, pintu lain, kunci lalu melemparkan
kunci entah kemana, mengunci, melemparkan kunci. Sementara penghuni di dalam
kelas masih berkonsentrasi mengerjakan ulangan, dari nomor 10 yang jawabannya
menghilang perlahan, mendengarkan penjelasan dengan kalimat yang terdengar
kacau ditelingaku, menonton tayangan pendidikan yang diputar mundur.
Keluar dari lingkungan SMA ini, aku menuju SMA lain. Melakukan
hal yang sama, melihat hal yang sama, melemparkan kunci entah kemana, sementara
seisi kelas sedang menikmati makan siang, sementara seorang anak menyanyikan
lirik lagu dari akhir, bola yang dilempar melayang mundur.
Lalu kembali ke pinggir jalan, duduk di sebelah pedagang
siomay, yang baru saja mengambil kembali piring yang masih berisi siomay dengan
porsi lengkap, mengembalikannya kembali ke dalam gerobak, siomay, kol, kentang,
telur, bumbu kacang dan pare, lalu mengembalikan piring dan sendok, pelanggan
yang tadi dilayaninya pun berdiri dan berjalan mundur, entah kemana.
Aku terduduk, disamping pedagang siomay kaki lima, yang baru
saja menyiapkan dagangannya, bersiul sembari menyanyikan lagu dari lirik yang
terakhir, lirik yang familiar tapi terdengar asing dengan kalimat yang
terbalik-balik.
Seandainya saja ada tombol rewind.
Gerombolan anak SMA datang bersama dengan emosi labil anak
remaja yang menguap ke udara, senjata, kayu, ikat pinggang, sementara seragam
masih menempel di badan dengan lambang kebanggaan sekolah, saling berhadapan
satu sama lain, dan siap saling menyerang disaat apapun, pedagang siomay sudah
pergi sejak beberapa menit yang lalu dan aku baru saja berdiri ketika salah
satu dari mereka berlari menyerang ‘musuh’ mereka.
Yang membawa senjata maju seperti pahlawan, yang tidak mulai
memunguti apa saja, batu, kayu, batu bata, pecahan kaca, apa saja yang bisa
mereka lemparkan seperti membuang kebencian yang mengakar tak jelas asalnya. Jika
tidak bisa memungut apapun mereka bisa mencari siapapun yang bisa dihajar dengan
tangan kosong, jika beruntung duel mungkin bisa dimenangkan, jika tidak
dikeroyok sampai bonyok pun bisa.
Seperti halnya tidak ada tombol rewind dalam hidup ini, tak
ada pula yang bisa mencegah lemparan benda-benda itu ke udara, jika meleset
bersyukurlah, jika kena siap-siap tersungkur ke jalanan, mungkin mati, mungkin
hidup, tergantung dimana rasionalitas manusia-manusia yang membawa senjata
ataupun tidak.
Seandainya ada tombol rewind.
Mungkin mereka akan sibuk mencari kunci yang kuhilangkan
tadi, terkunci didalam kelas jelas membuat mereka lebih memikirkan bagaimana
cara keluar dari kelas daripada bagaimana cara membangun peperangan ilegal di
jalanan.
Dan mungkin batu besar itu tidak akan melayang ke kepalaku.
Lalu gelap.
0 komentar :
Posting Komentar