Jumat, 28 September 2012

Rewind



Seandainya saja ada tombol rewind.

Aku terduduk di pinggir jalanan, menikmati pemandangan ibukota di siang hari yang terik, bersama seorang pedagang siomay kaki lima, anak-anak SMA yang berjalan mundur, daun kering yang kembali ke ranting pohon, kendaraan yang dipacu mundur, pembicaraan yang terdengar aneh. Lalu semuanya berangsur-angsur menyepi, hingga tinggal aku sendiri, pedagang siomay sudah berjalan mundur bersama gerobaknya tadi, matahari pun perlahan kembali ke timur, hingga sinarnya meredup dan meninggalkan sayup-sayup suara ayam yang berkotek menyambut pagi, sesekali berkokok dengan suara yang aneh.

Tombol rewind ditekan. 1x, 3x, 5x, 11x, 13x. Kalender yang disobek kembali tertempel di tempatnya semula, ucapan selamat ulangtahun terulang, ucapan selamat ulangtahun tertunda, jemuran kembali basah tergantung di tali jemuran, jalanan yang diperbaiki kembali berlubang, buah yang kemarin dipetik kembali, kucing yang kemarin melahirkan kembali hamil. Aku terduduk di pinggir jalan, menunggu pedagang siomay kembali.

Segerombolan anak SMA yang berkumpul dengan kemarahan, berlari mundur, tangan mereka yang semula terangkat kemudian turun, senjata yang semula mereka simpan masuk kedalam tas perlahan, ikat pinggang yang sebelumnya mereka lepas kembali terpasang melingkari celana, pedagang siomay yang tadi hendak pergi, kembali bersamaku.

Setelah jalanan kembali menyepi, setelah gerombolan anak SMA itu menghilang setelah berlari mundur, aku melangkahkan kakiku menuju ke tengah jalanan, menuju ke SMA terdekat yang bisa kucapai, sementara semua kendaraan berjalan mundur, aku berjalan maju tanpa ada yang memperhatikan.

Di depan gerbang yang masih tertutup rapat, seorang satpam tampak sedang tertidur di pos nya. Aku memanjat ke dalam, mengambil kunci kelas yang tergantung di dinding, memasuki wilayah sekolah yang masih sepi karena aktivitas belajar mengajar, seorang guru berjalan mundur, seorang guru menjelaskan dengan bahasa yang aneh, pengumuman pun dimulai dari kata terimakasih. Aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah kelas, menutup pintu, mengambil kunci, menguncinya dari luar, pintu lain, kunci lalu melemparkan kunci entah kemana, mengunci, melemparkan kunci. Sementara penghuni di dalam kelas masih berkonsentrasi mengerjakan ulangan, dari nomor 10 yang jawabannya menghilang perlahan, mendengarkan penjelasan dengan kalimat yang terdengar kacau ditelingaku, menonton tayangan pendidikan yang diputar mundur.

Keluar dari lingkungan SMA ini, aku menuju SMA lain. Melakukan hal yang sama, melihat hal yang sama, melemparkan kunci entah kemana, sementara seisi kelas sedang menikmati makan siang, sementara seorang anak menyanyikan lirik lagu dari akhir, bola yang dilempar melayang mundur.

Lalu kembali ke pinggir jalan, duduk di sebelah pedagang siomay, yang baru saja mengambil kembali piring yang masih berisi siomay dengan porsi lengkap, mengembalikannya kembali ke dalam gerobak, siomay, kol, kentang, telur, bumbu kacang dan pare, lalu mengembalikan piring dan sendok, pelanggan yang tadi dilayaninya pun berdiri dan berjalan mundur, entah kemana.

Aku terduduk, disamping pedagang siomay kaki lima, yang baru saja menyiapkan dagangannya, bersiul sembari menyanyikan lagu dari lirik yang terakhir, lirik yang familiar tapi terdengar asing dengan kalimat yang terbalik-balik.

Seandainya saja ada tombol rewind.

Gerombolan anak SMA datang bersama dengan emosi labil anak remaja yang menguap ke udara, senjata, kayu, ikat pinggang, sementara seragam masih menempel di badan dengan lambang kebanggaan sekolah, saling berhadapan satu sama lain, dan siap saling menyerang disaat apapun, pedagang siomay sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu dan aku baru saja berdiri ketika salah satu dari mereka berlari menyerang ‘musuh’ mereka.

Yang membawa senjata maju seperti pahlawan, yang tidak mulai memunguti apa saja, batu, kayu, batu bata, pecahan kaca, apa saja yang bisa mereka lemparkan seperti membuang kebencian yang mengakar tak jelas asalnya. Jika tidak bisa memungut apapun mereka bisa mencari siapapun yang bisa dihajar dengan tangan kosong, jika beruntung duel mungkin bisa dimenangkan, jika tidak dikeroyok sampai bonyok pun bisa.

Seperti halnya tidak ada tombol rewind dalam hidup ini, tak ada pula yang bisa mencegah lemparan benda-benda itu ke udara, jika meleset bersyukurlah, jika kena siap-siap tersungkur ke jalanan, mungkin mati, mungkin hidup, tergantung dimana rasionalitas manusia-manusia yang membawa senjata ataupun tidak.

Seandainya ada tombol rewind.

Mungkin mereka akan sibuk mencari kunci yang kuhilangkan tadi, terkunci didalam kelas jelas membuat mereka lebih memikirkan bagaimana cara keluar dari kelas daripada bagaimana cara membangun peperangan ilegal di jalanan.

Dan mungkin batu besar itu tidak akan melayang ke kepalaku.

Lalu gelap.




0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang