Ini menyebalkan. Kataku, hanya dalam hati tentunya.
Sementara langit sudah mendung dan aku masih harus
mengerjakan semua pekerjaan ini, kenapa aku mengiyakan saja ketika mereka
dengan alasan yang-tidak-tahu-benar-atau-tidak, menitipkan tugas piket hari ini
padaku. Aku menghela napas panjang, mendongakkan kepala, langit mulai gelap dan
aku sibuk menepuk-nepuk penghapus papan tulis satu dengan yang lainnya, debu
kapur tulis menyeruak ke udara membuatku bersin berkali-kali.
Aku melihat taman sekolah yang berjarak 2 lantai dengan
tempatku berdiri, ada dua sejoli disana, sedang duduk di bangku panjang,
tertawa-tawa kecil, yang laki-laki tampak seperti kakak kelas sementara yang
perempuan—aku terdiam sejenak berpikir.
Perempuan itu cantik, kenapa laki-lakinya seperti itu.
Kataku, hanya dalam hati tentunya.
Aku menopang dagu, memperhatikan tingkah laku mereka selama
beberapa detik. Tertawa, pukul-pukul manja, lalu rayuan, bau cinta menyeruak ke
udara. Rasanya hidungku mulai gatal.
Aku mengembalikan penghapus papan tulis ke tempatnya, dan
mulai menyapu. Untung saja tadi aku sempat mencegat beberapa anak laki-laki
yang belum pulang untuk membalik kursi dan menaikkannya ke atas meja, agar
lantai mudah di sapu. Dan salah satu diantara mereka yang sempat membantuku
adalah Gat. Ia mengangkat meja sambil tertawa dan bercanda dengan temannya sementara
aku terus memujinya.
Manis, menyenangkan, baik, aku suka senyumnya. Pujiku, hanya
dalam hati tentunya.
Dan ketika ia bersama teman-temannya pamit, aku hanya
menjawab dengan kata hati-hati. Padahal dalam hati aku sudah menyiapkan sebuah
kalimat lain.
Sampai jumpa besok, Gat. Kataku, hanya dalam hati tentunya.
Aku menghela napas mengingatnya. Mulai menyapu dan menyapu
sampai sebuah sms masuk, membuat tubuhku merasakan getaran darinya. Sms dari
seorang teman. Meminta tolong untuk mengeprintkan tugas.
Sebentar—
Memangnya aku sudah pulang apa. Titip yang lain kenapa,
kenapa harus aku melulu?. Kataku, hanya dalam hati tentunya.
Sms terkirim dengan jawaban ‘Oke~’ lalu aku melanjutkan
kegiatan menyapu hingga selesai, hingga tampaknya langit semakin menggelap,
sementara waktu menunjukkan pukul 2 siang tapi langit sudah menyerupai pukul 4
sore.
Kenapa setiap piket selalu hujan. Apa salahku pula? Keluhku, hanya dalam hati tentunya.
Aku bersandar pada sebuah meja, tinggal memindahkan sampah
di lantai yang sudah di sapu ke tong sampah dan pekerjaan ini selesai. Aku tersenyum
kecil, seharusnya tidak ada yang merepotkan lagi setelah ini.
Aku membuka handphone, mengecek timeline. Ramai dengan
pujian terhadap sebuah film yang baru saja dirilis di bioskop, aku memang
followers dari salah satu artis pemeran utamanya, dan seperti artis-artis lain
jelas saja dia meretweet semua tweet yang memuji film barunya.
Paling juga supaya di retweet. Kataku, hanya dalam hati
tentunya.
Scroll. Scroll. Scroll. Lalu ada tweet lagi yang menarik
mataku, dari akun sekolah yang pastinya unofficial karena diolah oleh siswa-siswi
itu sendiri, selain untuk berbagi info, kadang mereka mengepost tweet yang
berbau joke, sekedar joke, bukan menghina guru. Isi tweetnya hari ini tentang
serunya bermain dengan sebagian besar angkatanku dan kekompakkan yang mereka
banggakan.
Sebentar, kapan acara itu dimulai? Kenapa aku tidak tahu?
Kompak apanya? . Tanyaku, hanya dalam hati tentunya.
Scroll. Ada tweet lain yang menarik. Kali ini tweet yang
berisi kata-kata kasar, mengeluhkan kesialan yang menimpa dirinya.
Ngapain juga marah-marah di twitter? Ada yang peduli? Terus aku
harus gimana, gitu? Tanyaku, hanya dalam hati tentunya.
Scroll, kali ini kembali keatas, tweet paling gress dari
seorang teman yang mengeluhkan cuaca hari ini dengan keluhan yang luar biasa.
Manusia memang tidak pernah puas. Komentarku, hanya dalam
hati tentunya.
Sebuah chat masuk. Dari seorang teman yang lain, meminta
tolong, ingin meminjam flashdisk yang berisi data-data murid sekelas. Memang aku
ketua kelas, jadi wajar aku mempunyai data itu tapi—
Ngapain dia minta data itu? Jangan-jangan mau deketin, Gat.
Dugaku, hanya dalam hati tentunya.
Mengingat kembali bagaimana teman yang satu ini hobi sekali
menyela pembicaraanku dan Gat, bagaimana ia mengubah topik yang kami
perbincangkan seenaknya sendiri, membuat Gat tertawa dengan topik baru dan aku
meradang karenanya.
Aku menghela napas. Rasanya tidak ingin memberikannya
flashdisk itu besok, niat itu mentok hanya dalam hati tentunya.
Setelah jawaban ‘oke~’ di chat, aku mulai memasukkan sampah
ke dalam tong sampah. Kali ini aku terdiam, di depan tong sampah, memandangi
isinya, memegang sapu di tangan kanan serok di tangan kiri.
Berpikir. Dan terlalu
lama berpikir membuatku tidak tenang.
Bagaimana kalau ternyata benar dia mendekati Gat.
Bagaimana kalau ternyata mereka yang meninggalkan aku piket
sendiri sedang bermain di suatu tempat dan tertawa-tawa, menertawakan
kebodohanku karena mau saja melakukan piket sendirian hari ini.
Bagaimana kalau hujan kali ini deras dan lama sekali mereda.
Apa mungkin harusnya aku mulai mengunfollow akun-akun
menyebalkan di twitter.
Ah sudahlah, ah biarlah, ah lupakan. Kataku, hanya dalam
hati tentunya.
Handphoneku berdering. Dari seorang teman yang lain,
membatalkan rencana yang sudah kami rencanakan sejak seminggu lalu.
Aku menghela napas, membuka handphone, ingin mengetikkan
tweet tentang masalah ini, sebelum aku menutup kembali aplikasi twitter dan
terdiam.
Sesuatu yang direncakan terlalu matang memang sering batal,
bagaimanapun pacar memang kalah dibandingkan teman. Kataku, hanya dalam hati.
Hari ini terasa kacau, sekaligus melelahkan, langit semakin
gelap dan aku memang harus segera pulang
sebelum hujan turun dengan deras dan mengalahkan perlindungan payung yang
kubawa.
Lorong kelas sudah mulai sepi, hanya ada beberapa anak yang
juga baru selesai piket, bedanya dengan diriku, aku sendirian, mereka
setidaknya berlima dan tertawa-tawa, entah menertawakan apa. Melewati lorong,
mereka berjalan duluan, aku melirik jam tangan dan menghela napas, kira-kira
apa makan siang hari ini, mengira-ngira dalam hati.
Ketika kakiku berhenti di depan pintu keluar, hendak membuka
payung, seorang laki-laki dengan setelan kemeja hijau muda cerah yang menyilaukan
mata dengan celana coklat baru saja akan masuk dan menutup payungnya.
Aku terkesima sejenak. Dia jelas bukan guru.
Padahal wajahnya tampan, kenapa pakaiannya harus seperti itu.
Keluhku, dalam hati tentunya.
Ketika aku membuka payung dan laki-laki itu sudah berada
disebelahku bisa kudengar dia mengucapkan sebuah kata.
“Terimakasih.”
Aku menoleh.
Dia tersenyum.
0 komentar :
Posting Komentar