Selasa, 13 November 2012

Hanya Dalam Hati Tentunya



Ini menyebalkan. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Sementara langit sudah mendung dan aku masih harus mengerjakan semua pekerjaan ini, kenapa aku mengiyakan saja ketika mereka dengan alasan yang-tidak-tahu-benar-atau-tidak, menitipkan tugas piket hari ini padaku. Aku menghela napas panjang, mendongakkan kepala, langit mulai gelap dan aku sibuk menepuk-nepuk penghapus papan tulis satu dengan yang lainnya, debu kapur tulis menyeruak ke udara membuatku bersin berkali-kali.

Aku melihat taman sekolah yang berjarak 2 lantai dengan tempatku berdiri, ada dua sejoli disana, sedang duduk di bangku panjang, tertawa-tawa kecil, yang laki-laki tampak seperti kakak kelas sementara yang perempuan—aku terdiam sejenak berpikir.

Perempuan itu cantik, kenapa laki-lakinya seperti itu. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Aku menopang dagu, memperhatikan tingkah laku mereka selama beberapa detik. Tertawa, pukul-pukul manja, lalu rayuan, bau cinta menyeruak ke udara. Rasanya hidungku mulai gatal.

Aku mengembalikan penghapus papan tulis ke tempatnya, dan mulai menyapu. Untung saja tadi aku sempat mencegat beberapa anak laki-laki yang belum pulang untuk membalik kursi dan menaikkannya ke atas meja, agar lantai mudah di sapu. Dan salah satu diantara mereka yang sempat membantuku adalah Gat. Ia mengangkat meja sambil tertawa dan bercanda dengan temannya sementara aku terus memujinya.

Manis, menyenangkan, baik, aku suka senyumnya. Pujiku, hanya dalam hati tentunya.

Dan ketika ia bersama teman-temannya pamit, aku hanya menjawab dengan kata hati-hati. Padahal dalam hati aku sudah menyiapkan sebuah kalimat lain.

Sampai jumpa besok, Gat. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Aku menghela napas mengingatnya. Mulai menyapu dan menyapu sampai sebuah sms masuk, membuat tubuhku merasakan getaran darinya. Sms dari seorang teman. Meminta tolong untuk mengeprintkan tugas. 
Sebentar—

Memangnya aku sudah pulang apa. Titip yang lain kenapa, kenapa harus aku melulu?. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Sms terkirim dengan jawaban ‘Oke~’ lalu aku melanjutkan kegiatan menyapu hingga selesai, hingga tampaknya langit semakin menggelap, sementara waktu menunjukkan pukul 2 siang tapi langit sudah menyerupai pukul 4 sore.

Kenapa setiap piket selalu hujan. Apa salahku pula? Keluhku, hanya dalam hati tentunya.

Aku bersandar pada sebuah meja, tinggal memindahkan sampah di lantai yang sudah di sapu ke tong sampah dan pekerjaan ini selesai. Aku tersenyum kecil, seharusnya tidak ada yang merepotkan lagi setelah ini.

Aku membuka handphone, mengecek timeline. Ramai dengan pujian terhadap sebuah film yang baru saja dirilis di bioskop, aku memang followers dari salah satu artis pemeran utamanya, dan seperti artis-artis lain jelas saja dia meretweet semua tweet yang memuji film barunya.

Paling juga supaya di retweet. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Scroll. Scroll. Scroll. Lalu ada tweet lagi yang menarik mataku, dari akun sekolah yang pastinya unofficial karena diolah oleh siswa-siswi itu sendiri, selain untuk berbagi info, kadang mereka mengepost tweet yang berbau joke, sekedar joke, bukan menghina guru. Isi tweetnya hari ini tentang serunya bermain dengan sebagian besar angkatanku dan kekompakkan yang mereka banggakan.
Sebentar, kapan acara itu dimulai? Kenapa aku tidak tahu? Kompak apanya? . Tanyaku, hanya dalam hati tentunya.

Scroll. Ada tweet lain yang menarik. Kali ini tweet yang berisi kata-kata kasar, mengeluhkan kesialan yang menimpa dirinya.
Ngapain juga marah-marah di twitter? Ada yang peduli? Terus aku harus gimana, gitu? Tanyaku, hanya dalam hati tentunya.

Scroll, kali ini kembali keatas, tweet paling gress dari seorang teman yang mengeluhkan cuaca hari ini dengan keluhan yang luar biasa.
Manusia memang tidak pernah puas. Komentarku, hanya dalam hati tentunya.

Sebuah chat masuk. Dari seorang teman yang lain, meminta tolong, ingin meminjam flashdisk yang berisi data-data murid sekelas. Memang aku ketua kelas, jadi wajar aku mempunyai data itu tapi—

Ngapain dia minta data itu? Jangan-jangan mau deketin, Gat. Dugaku, hanya dalam hati tentunya.

Mengingat kembali bagaimana teman yang satu ini hobi sekali menyela pembicaraanku dan Gat, bagaimana ia mengubah topik yang kami perbincangkan seenaknya sendiri, membuat Gat tertawa dengan topik baru dan aku meradang karenanya.

Aku menghela napas. Rasanya tidak ingin memberikannya flashdisk itu besok, niat itu mentok hanya dalam hati tentunya.

Setelah jawaban ‘oke~’ di chat, aku mulai memasukkan sampah ke dalam tong sampah. Kali ini aku terdiam, di depan tong sampah, memandangi isinya, memegang sapu di tangan kanan serok di tangan kiri. 

Berpikir. Dan terlalu lama berpikir membuatku tidak tenang.
Bagaimana kalau ternyata benar dia mendekati Gat.
Bagaimana kalau ternyata mereka yang meninggalkan aku piket sendiri sedang bermain di suatu tempat dan tertawa-tawa, menertawakan kebodohanku karena mau saja melakukan piket sendirian hari ini.
Bagaimana kalau hujan kali ini deras dan lama sekali mereda.
Apa mungkin harusnya aku mulai mengunfollow akun-akun menyebalkan di twitter.

Ah sudahlah, ah biarlah, ah lupakan. Kataku, hanya dalam hati tentunya.

Handphoneku berdering. Dari seorang teman yang lain, membatalkan rencana yang sudah kami rencanakan sejak seminggu lalu.
Aku menghela napas, membuka handphone, ingin mengetikkan tweet tentang masalah ini, sebelum aku menutup kembali aplikasi twitter dan terdiam.

Sesuatu yang direncakan terlalu matang memang sering batal, bagaimanapun pacar memang kalah dibandingkan teman. Kataku, hanya dalam hati.

Hari ini terasa kacau, sekaligus melelahkan, langit semakin gelap dan  aku memang harus segera pulang sebelum hujan turun dengan deras dan mengalahkan perlindungan payung yang kubawa.

Lorong kelas sudah mulai sepi, hanya ada beberapa anak yang juga baru selesai piket, bedanya dengan diriku, aku sendirian, mereka setidaknya berlima dan tertawa-tawa, entah menertawakan apa. Melewati lorong, mereka berjalan duluan, aku melirik jam tangan dan menghela napas, kira-kira apa makan siang hari ini, mengira-ngira dalam hati.

Ketika kakiku berhenti di depan pintu keluar, hendak membuka payung, seorang laki-laki dengan setelan kemeja hijau muda cerah yang menyilaukan mata dengan celana coklat baru saja akan masuk dan menutup payungnya.

Aku terkesima sejenak. Dia jelas bukan guru.

Padahal wajahnya tampan, kenapa pakaiannya harus seperti itu. Keluhku, dalam hati tentunya.
Ketika aku membuka payung dan laki-laki itu sudah berada disebelahku bisa kudengar dia mengucapkan sebuah kata.

“Terimakasih.”

Aku menoleh.

Dia tersenyum.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang