Dia tinggal di jaman
dimana nama keluarga adalah dasar dari status seseorang. Ada 4 nama besar,
lalu terbagi menjadi 8, 16, dan seterusnya, tingkatan paling bawah berarti
status keluarga itu berada di titik terendah, dilecehkan, di letakkan di
belakang, dalam hal apapun.
Bahkan dalam posisi
duduk di kelas sekalipun. Dia berada di urutan kedua dari belakang, jika
di urutkan menurut hirarki di jamannya, ia termasuk pemilik nama keluarga yang
cukup tidak dipandang, cukup diabaikan dan cukup tidak diacuhkan.
Alphonse, itu nama
keluarganya. Nama lengkapnya Segun Alphonse, dia anak pertama dari dua
bersaudara. Sebenarnya dia anak kedua dari tiga bersaudara, tapi semenjak kakak
perempuannya meninggal setelah di perkosa oleh salah satu pemilik nama keluarga
yang berada di tingkatan lebih tinggi dari keluarganya, jauh lebih tinggi, ia
menjadi anak pertama di keluarganya. Ayah atau ibunya tidak pernah menyebutkan
apa nama keluarga itu, siapa yang melakukan hal bejat itu pada kakaknya. Ayahnya
hanya diam, ibunya menangis, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menghapus
nama kakaknya dari daftar keluarga dan menganggap dia tidak pernah ada, tidak
pernah membahasnya lagi, tidak menuntun kejadian itu ke pengadilan, menganggap
bahwa semuanya tidak pernah terjadi.
Entah sejak kapan
hirarki itu menjadi akar sekaligus dasar dalam kehidupan di jaman itu, tidak
ada yang tahu. Yang mereka tahu hanya para pemilik nama 4 besar hingga 8 besar, atau mereka yang disebut Blue Blood, selalu menjadi tonggak dalam menjalankan pemerintahan, memang telah menetapkannya seperti itu . Dalam
sebuah forum tertutup mengambil keputusan, berlaku seperti wakil negara
walaupun jelas masing-masing pihak mementingkan keuntungan mereka sendiri tak
peduli dengan keberadaan hirarki dibawah mereka.
Jadilah para blue blood
dengan kekuasaan mereka, keangkuhan yang mereka miliki, pelayanan yang melebihi
para pemilik nama keluarga lainnya. Sejak kecil pun sudah ditanamkan pada
mereka, akan kehebatan nama keluarga yang mereka sandang, sehingga anak-anaknya
menjadi congkak dan lebih sering mengangkat dagu daripada bermain dengan
anak-anak yang seumuran dengan mereka.
Ditambah lagi ada
sebuah peraturan tak tertulis yang mengatakan para blue blood hanya boleh
bergaul dengan blue blood lainnya. Sedangkan berapa orang blue blood yang
berada dalam satu kelas yang sama, satu angkatan yang sama, kadang lebih dari
satu jika beruntung, kadang hanya satu saja jika sial.
Tapi mereka tampak bahagia
dengan keadaan seperti itu, kesendirian mereka, keterbatasan pergaulan mereka.
Kecuali seorang anak, anak bungsu dari pemilik nama keluarga tingkat pertama
yang memiliki hak suara 15% dalam forum tertutup. Jika di total, 4 nama keluarga
tingkat pertama memiliki 60% hak suara, sisanya dibagikan kepada 8 nama
keluarga tingkat kedua.
Anak itu bernama Devin
Alpha.
Ketika istirahat, Segun
selalu bisa melihat Devin sedang duduk sendirian di bangku panjang taman,
menatap entah kemana, sendirian. Selalu sendirian, tidak ada anak blue blood
lain yang bersamanya karena di kelas, Devin Alpha satu-satunya pemilik status
blue blood, dia selalu duduk di depan, sementara di belakangnya ada 2 pemilik
nama keluarga tingkat ketiga dan seterusnya hingga Segun yang berada di barisan
kedua paling belakang bersama 7 pemilik nama keluarga tingkat terbawah kedua.
Segun tidak pernah
melihat Devin bercanda dengan teman-teman sekelas, seperti dirinya dengan
teman-temannya yang lain. Bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya,
tapi karena status yang dibentuk di benak mereka sejak bayi, Devin Alpha bukan
seseorang yang akan mereka dekati.
Sekali, Segun pernah
melihat Devin menangis, suara isak tangisnya terdengar di telinga Segun hingga
menarik perhatiannya untuk mengintip dan mendengar tangisnya tanpa berani
berbuat apapun, hingga tangis itu tak terdengar lagi, hingga Devin mengusap
airmatanya dan membaca halaman bukunya yang sudah terkena tetesan air mata.
Ada keinginan untuk
berada disana, duduk disebelahnya, menanyakan masalahnya, tapi ucapan ayah dan
ibunya yang menekankan untuk jangan berurusan dengan blue blood menahan
keinginannya. Kata mereka jangan pernah. Jangan pernah.
Jadi Segun memilih
untuk diam, mengintip dari balik pohon, setiap kali Devin Alpha duduk di bangku
panjang taman dan membaca bukunya, buku yang tak pernah dibalik halamannya,
buku yang tak pernah berganti judul.
“Apa yang kau tunggu?”
Segun tersentak
mendengar suara itu. Suara dari Devin Alpha, yang sepertinya berbicara padanya.
“Sudah berapa hari kau
mengintip dari balik pohon?”
Segun tidak menjawab.
Ia gugup. Jelas saja gugup. Ketahuan mengintip seseorang yang bisa saja
menghancurkan keluarganya dengan sekali jentik, jelas saja mengerikan. Segun
sempat berpikir untuk lari, toh, Devin belum mengetahui siapa dia selama dia
tidak bersuara ataupun memperkenalkan diri.
“Siapa kau? Apa
tujuanmu?”
Tapi seperti ada yang
menarik keberaniannya keluar, melebihi biasanya. Ia berdiri, berjalan menjauhi
pohon, mendekat ke bangku panjang yang ditempati Devin. “Segun Alphonse. Kita
berada di kelas yang sama.”
Devin menatap Segun,
dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali lagi ke ujung kepala dan
berhenti di matanya, mata berwarna biru milik Segun. “Kau bukan Blue Blood?
Kenapa kau bicara padaku?”
“Kau terlihat kesepian.”
“Begitukah? Kalau begitu bagaimana kalau kau
duduk disini,” Devin menepuk-nepuk posisi disebelahnya. “Aku akan merasa
senang.”
Segun memandangnya
ragu. Walaupun taman tempat ia dan Devin berada termasuk jarang dilalui orang,
tetap saja ada perasaan takut tertangkap siapapun yang akan menatapnya dengan
tatapan heran atau melaporkan kelancangannya pada siapa saja.
“Kenapa? Kau ragu?
Kalau begitu kau bisa pergi. Tapi jangan duduk dibalik pohon itu dan
mengawasiku, walaupun aku tampak kesepian,” Devin kembali membuka buku yang
sempat ditutupnya, di halaman yang
sama.
Devin bisa merasakan
beban yang bertambah pada bangku panjang. Segun sudah duduk disebelahnya.
Tampak gugup, tapi mampu membuat Devin terkejut dengan keberaniannya.
“Aku sudah duduk, jadi
kau tidak kesepian lagi.”
Devin tersenyum kecil,
kembali membuka bukunya, membuka halaman yang sama.
Beberapa hari berlalu, dengan keadaan yang sama, Devin berada di sebelah Segun, dengan sebuah buku di tangan yang judulnya tak pernah berganti yang halamannya tidak pernah dibalik. Tanpa obrolan, mereka hanya diam, menikmati perasaan baru yang muncul diantara mereka.
Sesekali Segun berusaha
melirik buku yang dibaca oleh Devin, halaman yang tak pernah dibalik itu tampak
usang, sudah berwarna kecoklatan dan bisa tercium bau buku lama yang menguap ke
udara, kadang terkalahkan oleh wangi parfum Devin yang membuat Segun betah
berlama-lama disebelahnya.
Jika berangkat ke
sekolah Segun akan lebih bersemangat mengingat Devin yang akan duduk
disebelahnya selama waktu istirahat daripada mengingat pelajaran yang akan
dihadapinya. Lebih bersemangat ketika mengingat wangi parfum Devin yang menusuk-nusuk
hidungnya. Lebih bersemangat melihat senyum Devin yang selalu menyambutnya,
tanpa kata, tanpa obrolan tapi lebih dari cukup membuatnya bersemangat.
Pagi itu cerah, seperti
biasanya, walaupun udara dingin menusuk-nusuk tapi matahari masih bersinar,
terik. Segun melilit syalnya ketika beberapa orang dengan pakaian resmi berdiri
di depan rumahnya, menatap wajahnya dengan tatapan tidak ramah.
“Alphonse?”
“Iya.”
“Dimana ayah dan ibumu?”
Segun terdiam sejenak.
Siapapun mereka jelas bukan orang baik, jelas bukan orang biasa, jelas bukan
orang yang akan menyapa ayah dan ibunya dengan ramah jika ia mengatakan dimana
keberadaan kedua orangtuanya.
“Ada apa?”
“Kami perlu menangkap
mereka. Atas tuduhan pencemaran nama baik, keluarga Alpha.”
Alphonse tertegun. “Alpha?”
“Kau jelas tahu siapa
keluarga Alpha. Sekarang dimana ayah dan ibumu?” laki-laki bertubuh besar
mendorong Segun hingga terjatuh, membuka pintu rumahnya dengan paksa, meringsek
masuk seperti perampok, menarik ayah dan ibu Segun seperti pesakitan. Segun
bisa mendengar teriakan adik perempuannya, dan mendengar ucapan terakhir ayahnya
sebelum sebuah kereta kuda membawanya pergi.
“Jaga adikmu. Jaga
adikmu!”
Setelah itu mereka
pergi, laki-laki bertubuh besar, ayah dan ibunya. Tinggal ia bersama adik perempuannya yang terus menangis, terisak pelan.
“Ini salah Tertia, ini
salah Tertia—“ Segun mendengarkan adiknya menyalahkan dirinya sendiri. “Tertia
gak sengaja cerita ke teman Tertia kalau kakak dulu diperkosa oleh anggota
keluarga Alpha.”
Mata Segun membulat. Ada
sebuah godam yang memukul kepalanya, membuat otaknya tak sanggup mencerna hal
sesederhana ini dan memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Tidak percaya.
“Devin—“ hanya kata itu
yang keluar dari mulut Segun setelah beberapa detik keheningan, yang terdengar hanya suara isak
tangis adiknya.
Devin Alpha duduk
sendirian kali ini, dan rasanya benar-benar tidak nyaman. Ia mulai terbiasa
berdua dengan Segun, walaupun mereka tidak pernah berbincang. Tapi tanpa
lirikan diam-diam dari Segun, senyum yang menampilkan gigi-gigi putihnya Devin
kembali merasa kesepian.
Hingga waktu istirahat
selesai, hingga ia pulang, hingga ia melihat senja melalui kaca kereta kuda, ia
tidak menemukan Segun dimanapun, tidak di sekolah, tidak di jalanan yang ia
lewati, tidak dimanapun.
Esoknya, di waktu
istirahat. Ia bisa menemukan Segun, sudah duduk terlebih dahulu di bangku
panjang, padahal Devin tidak menemukannya di kursi yang biasa ditempatinya di
kelas. Seketika kelegaan menyusup dalam hati Devin.
“Kenapa kau tidak
muncul kemarin?”
“Ayah dan ibuku
ditangkap keluargamu,” Segun mengangkat kepalanya yang menunduk, Devin bisa
melihat mata birunya yang dihiasai warna merah, kantung mata, rambut yang
berantakan. “Kau punya kakak laki-laki?”
Devin menganggukkan
kepala.
“Siapa namanya?”
“Guan Alpha.”
Devin bisa melihat
senyum di bibir Segun, tapi bukan senyum yang biasanya, bukan senyum yang
memamerkan gigi-gigi putihnya, senyum itu sinis, penuh kebencian. “Kalau aku
bilang dia pernah memperkosa kakak perempuanku dan membunuhnya apa kau akan
percaya?”
Devin terdiam. Matanya
membulat tidak percaya. Wajahnya menegang. Menuduh kakaknya sebagai seorang
bejat jelas penghinaan baginya dan keluarganya.
Segun berdiri, tertawa
kecil. “Kau tidak percaya kan? Walapun aku yang mengatakannya, atau karena aku
yang mengatakannya?”
“Ayah dan ibumu, kenapa
mereka ditangkap?” Devin bertanya dengan suara bergetar.
“Mereka dituduh
mencemarkan nama keluargamu.”
“Kau tidak punya bukti.”
Segun berdiri dari
duduknya. “Bagaimana kami punya? Keluargamu menghapus keberadaan kakakku
semenjak itu. Hilang—“ Segun membuka telapak tangannya. “seperti sulap.”
Devin dan Segun
terdiam. Tangan Devin menggenggam erat bukunya. Sementara Segun meenatap jauh ke
arah lain, menebak-nebak keadaan ayah dan ibunya saat ini. “Aku harus pergi.”
“Kemana?” tanya Devin,
ia sudah tak sanggup menahan air matanya, suaranya bergetar. “Kau mau pergi
kemana?”
“Entahlah—aku harus
hidup bersama adikku di tempat lain, menjauh dari tangan kalian, tangan
keluargamu.”
“Ayah dan ibumu?
Bagaimana dengan mereka? Kau akan meninggalkan mereka?”
Segun tertawa sinis, ia
maju mendekati Devin yang terus meneteskan airmata. Jarinya menyentuh wajah
Devin. “Kau tahu, mustahil bagiku menyelamatkan mereka. Apa kuasaku. Namaku
Alphonse. Kau jelas tahu dimana kedudukanku,” ia menghapus air mata Devin, lalu
tersenyum padanya. “Sebenarnya aku ingin berada di sampingmu selamanya, duduk
di bangku, melihatmu membaca halaman yang sama, buku yang sama, mencium aroma
parfummu, tersenyum melihat senyummu.”
Bibir Devin bergetar,
bergetar menahan kata yang ingin ia ucapkan. “Sayangnya kau blue blood.
Terlebih lagi, pemilik darah yang sama dengan pembunuh kakakku.”
Segun membisikkan kata
terakhir sebelum berbalik meninggalkan Devin yang jatuh, terduduk, berlinang
air mata.
~Dahulu kala ada seorang putri yang kesepian karena
Raja dan Ratu sudah wafat. Ia merasa kesepian karena tidak ada yang berani
menjadi temannya, karena ia seorang putri dari sebuah kerajaan besar. Putri
memerintah dalam kesepiannya, kesendiriannya. Hingga datang seorang laki-laki
ke kerajaannya. Laki-laki itu tersesat. Dia ditemukan putri di belakang hutan kerajaan.
Laki-laki itu tak tahu siapa putri sehingga memperlakukan putri seperti orang
biasa. Ia mendirikan sebuah gubuk kecil di hutan itu, dan putri sering
berkunjung kesana. Mereka selalu bercerita banyak, tertawa bersama dan putri
bahagia karenanya. Sampai suatu ketika laki-laki itu tahu siapa putri, dan
semuanya berubah. Sikapnya, ucapannya, semuanya berubah. Tidak ada tawa dan
canda, yang ada hanya kecanggungan yang membunuh perasaan putri. Putri kembali
kesepian. Memerintah dalam kesendiriannya~
“Kenapa kau tidak
pernah membalik halaman itu?”
Devin menoleh. Menatap
Segun.
“Karena cerita ini,
mengingatkanku pada seseorang.”
“Boleh aku baca?”
“Jangan,” Devin
tersenyum. “Aku takut kau akan jadi salah satu pemerannya.”
2 komentar :
lalu Al sadar, bahwa ia hanya sebuah baju zirah..
@Ilham Sasmita Nah! Ada yang tahu juga kalau aku ngambil nama Alphonse dari FMA buahahahahah~
Tapi mas ini bukan FMA -_-
Makasih lagi buat komenmu~ yaaaak!!!
Posting Komentar