Sabtu, 24 November 2012

Biru



Dia tinggal di jaman dimana nama keluarga adalah dasar dari status seseorang. Ada 4 nama besar, lalu terbagi menjadi 8, 16, dan seterusnya, tingkatan paling bawah berarti status keluarga itu berada di titik terendah, dilecehkan, di letakkan di belakang, dalam hal apapun.

Bahkan dalam posisi duduk di kelas sekalipun. Dia berada di urutan kedua dari belakang, jika di urutkan menurut hirarki di jamannya, ia termasuk pemilik nama keluarga yang cukup tidak dipandang, cukup diabaikan dan cukup tidak diacuhkan.

Alphonse, itu nama keluarganya. Nama lengkapnya Segun Alphonse, dia anak pertama dari dua bersaudara. Sebenarnya dia anak kedua dari tiga bersaudara, tapi semenjak kakak perempuannya meninggal setelah di perkosa oleh salah satu pemilik nama keluarga yang berada di tingkatan lebih tinggi dari keluarganya, jauh lebih tinggi, ia menjadi anak pertama di keluarganya. Ayah atau ibunya tidak pernah menyebutkan apa nama keluarga itu, siapa yang melakukan hal bejat itu pada kakaknya. Ayahnya hanya diam, ibunya menangis, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menghapus nama kakaknya dari daftar keluarga dan menganggap dia tidak pernah ada, tidak pernah membahasnya lagi, tidak menuntun kejadian itu ke pengadilan, menganggap bahwa semuanya tidak pernah terjadi.

Entah sejak kapan hirarki itu menjadi akar sekaligus dasar dalam kehidupan di jaman itu, tidak ada yang tahu. Yang mereka tahu hanya para pemilik nama 4 besar hingga 8 besar, atau mereka yang disebut Blue Blood, selalu menjadi tonggak dalam menjalankan pemerintahan, memang telah menetapkannya seperti itu . Dalam sebuah forum tertutup mengambil keputusan, berlaku seperti wakil negara walaupun jelas masing-masing pihak mementingkan keuntungan mereka sendiri tak peduli dengan keberadaan hirarki dibawah mereka.

Jadilah para blue blood dengan kekuasaan mereka, keangkuhan yang mereka miliki, pelayanan yang melebihi para pemilik nama keluarga lainnya. Sejak kecil pun sudah ditanamkan pada mereka, akan kehebatan nama keluarga yang mereka sandang, sehingga anak-anaknya menjadi congkak dan lebih sering mengangkat dagu daripada bermain dengan anak-anak yang seumuran dengan mereka.

Ditambah lagi ada sebuah peraturan tak tertulis yang mengatakan para blue blood hanya boleh bergaul dengan  blue blood lainnya. Sedangkan berapa orang blue blood yang berada dalam satu kelas yang sama, satu angkatan yang sama, kadang lebih dari satu jika beruntung, kadang hanya satu saja jika sial.
Tapi mereka tampak bahagia dengan keadaan seperti itu, kesendirian mereka, keterbatasan pergaulan mereka. Kecuali seorang anak, anak bungsu dari pemilik nama keluarga tingkat pertama yang memiliki hak suara 15% dalam forum tertutup. Jika di total, 4 nama keluarga tingkat pertama memiliki 60% hak suara, sisanya dibagikan kepada 8 nama keluarga tingkat kedua.

Anak itu bernama Devin Alpha.

Ketika istirahat, Segun selalu bisa melihat Devin sedang duduk sendirian di bangku panjang taman, menatap entah kemana, sendirian. Selalu sendirian, tidak ada anak blue blood lain yang bersamanya karena di kelas, Devin Alpha satu-satunya pemilik status blue blood, dia selalu duduk di depan, sementara di belakangnya ada 2 pemilik nama keluarga tingkat ketiga dan seterusnya hingga Segun yang berada di barisan kedua paling belakang bersama 7 pemilik nama keluarga tingkat terbawah kedua.

Segun tidak pernah melihat Devin bercanda dengan teman-teman sekelas, seperti dirinya dengan teman-temannya yang lain. Bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya, tapi karena status yang dibentuk di benak mereka sejak bayi, Devin Alpha bukan seseorang yang akan mereka dekati.

Sekali, Segun pernah melihat Devin menangis, suara isak tangisnya terdengar di telinga Segun hingga menarik perhatiannya untuk mengintip dan mendengar tangisnya tanpa berani berbuat apapun, hingga tangis itu tak terdengar lagi, hingga Devin mengusap airmatanya dan membaca halaman bukunya yang sudah terkena tetesan air mata.

Ada keinginan untuk berada disana, duduk disebelahnya, menanyakan masalahnya, tapi ucapan ayah dan ibunya yang menekankan untuk jangan berurusan dengan blue blood menahan keinginannya. Kata mereka jangan pernah. Jangan pernah.

Jadi Segun memilih untuk diam, mengintip dari balik pohon, setiap kali Devin Alpha duduk di bangku panjang taman dan membaca bukunya, buku yang tak pernah dibalik halamannya, buku yang tak pernah berganti judul.

“Apa yang kau tunggu?”

Segun tersentak mendengar suara itu. Suara dari Devin Alpha, yang sepertinya berbicara padanya.

“Sudah berapa hari kau mengintip dari balik pohon?”

Segun tidak menjawab. Ia gugup. Jelas saja gugup. Ketahuan mengintip seseorang yang bisa saja menghancurkan keluarganya dengan sekali jentik, jelas saja mengerikan. Segun sempat berpikir untuk lari, toh, Devin belum mengetahui siapa dia selama dia tidak bersuara ataupun memperkenalkan diri.

“Siapa kau? Apa tujuanmu?”

Tapi seperti ada yang menarik keberaniannya keluar, melebihi biasanya. Ia berdiri, berjalan menjauhi pohon, mendekat ke bangku panjang yang ditempati Devin. “Segun Alphonse. Kita berada di kelas yang sama.”
Devin menatap Segun, dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu kembali lagi ke ujung kepala dan berhenti di matanya, mata berwarna biru milik Segun. “Kau bukan Blue Blood? Kenapa kau bicara padaku?”

“Kau terlihat kesepian.”

 “Begitukah? Kalau begitu bagaimana kalau kau duduk disini,” Devin menepuk-nepuk posisi disebelahnya. “Aku akan merasa senang.”

Segun memandangnya ragu. Walaupun taman tempat ia dan Devin berada termasuk jarang dilalui orang, tetap saja ada perasaan takut tertangkap siapapun yang akan menatapnya dengan tatapan heran atau melaporkan kelancangannya pada siapa saja.

“Kenapa? Kau ragu? Kalau begitu kau bisa pergi. Tapi jangan duduk dibalik pohon itu dan mengawasiku, walaupun aku tampak kesepian,” Devin kembali membuka buku yang sempat ditutupnya, di halaman yang 
sama.

Devin bisa merasakan beban yang bertambah pada bangku panjang. Segun sudah duduk disebelahnya. Tampak gugup, tapi mampu membuat Devin terkejut dengan keberaniannya.

“Aku sudah duduk, jadi kau tidak kesepian lagi.”

Devin tersenyum kecil, kembali membuka bukunya, membuka halaman yang sama.

Beberapa hari berlalu, dengan keadaan yang sama, Devin berada di sebelah Segun, dengan sebuah buku di tangan yang judulnya tak pernah berganti yang halamannya tidak pernah dibalik. Tanpa obrolan, mereka hanya diam, menikmati perasaan baru yang muncul diantara mereka.

Sesekali Segun berusaha melirik buku yang dibaca oleh Devin, halaman yang tak pernah dibalik itu tampak usang, sudah berwarna kecoklatan dan bisa tercium bau buku lama yang menguap ke udara, kadang terkalahkan oleh wangi parfum Devin yang membuat Segun betah berlama-lama disebelahnya.

Jika berangkat ke sekolah Segun akan lebih bersemangat mengingat Devin yang akan duduk disebelahnya selama waktu istirahat daripada mengingat pelajaran yang akan dihadapinya. Lebih bersemangat ketika mengingat wangi parfum Devin yang menusuk-nusuk hidungnya. Lebih bersemangat melihat senyum Devin yang selalu menyambutnya, tanpa kata, tanpa obrolan tapi lebih dari cukup membuatnya bersemangat.

Pagi itu cerah, seperti biasanya, walaupun udara dingin menusuk-nusuk tapi matahari masih bersinar, terik. Segun melilit syalnya ketika beberapa orang dengan pakaian resmi berdiri di depan rumahnya, menatap wajahnya dengan tatapan tidak ramah.

“Alphonse?”

“Iya.”

“Dimana ayah dan ibumu?”

Segun terdiam sejenak. Siapapun mereka jelas bukan orang baik, jelas bukan orang biasa, jelas bukan orang yang akan menyapa ayah dan ibunya dengan ramah jika ia mengatakan dimana keberadaan kedua orangtuanya.

“Ada apa?”

“Kami perlu menangkap mereka. Atas tuduhan pencemaran nama baik, keluarga Alpha.”

Alphonse tertegun. “Alpha?”

“Kau jelas tahu siapa keluarga Alpha. Sekarang dimana ayah dan ibumu?” laki-laki bertubuh besar mendorong Segun hingga terjatuh, membuka pintu rumahnya dengan paksa, meringsek masuk seperti perampok, menarik ayah dan ibu Segun seperti pesakitan. Segun bisa mendengar teriakan adik perempuannya, dan mendengar ucapan terakhir ayahnya sebelum sebuah kereta kuda membawanya pergi.

“Jaga adikmu. Jaga adikmu!”

Setelah itu mereka pergi, laki-laki bertubuh besar, ayah dan ibunya. Tinggal ia bersama adik perempuannya yang terus menangis, terisak pelan.

“Ini salah Tertia, ini salah Tertia—“ Segun mendengarkan adiknya menyalahkan dirinya sendiri. “Tertia gak sengaja cerita ke teman Tertia kalau kakak dulu diperkosa oleh anggota keluarga Alpha.”

Mata Segun membulat. Ada sebuah godam yang memukul kepalanya, membuat otaknya tak sanggup mencerna hal sesederhana ini dan memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Tidak percaya.

“Devin—“ hanya kata itu yang keluar dari mulut Segun setelah beberapa detik keheningan, yang terdengar hanya suara isak tangis adiknya.

Devin Alpha duduk sendirian kali ini, dan rasanya benar-benar tidak nyaman. Ia mulai terbiasa berdua dengan Segun, walaupun mereka tidak pernah berbincang. Tapi tanpa lirikan diam-diam dari Segun, senyum yang menampilkan gigi-gigi putihnya Devin kembali merasa kesepian.

Hingga waktu istirahat selesai, hingga ia pulang, hingga ia melihat senja melalui kaca kereta kuda, ia tidak menemukan Segun dimanapun, tidak di sekolah, tidak di jalanan yang ia lewati, tidak dimanapun.

Esoknya, di waktu istirahat. Ia bisa menemukan Segun, sudah duduk terlebih dahulu di bangku panjang, padahal Devin tidak menemukannya di kursi yang biasa ditempatinya di kelas. Seketika kelegaan menyusup dalam hati Devin.

“Kenapa kau tidak muncul kemarin?”

“Ayah dan ibuku ditangkap keluargamu,” Segun mengangkat kepalanya yang menunduk, Devin bisa melihat mata birunya yang dihiasai warna merah, kantung mata, rambut yang berantakan. “Kau punya kakak laki-laki?”

Devin menganggukkan kepala.

“Siapa namanya?”

“Guan Alpha.”

Devin bisa melihat senyum di bibir Segun, tapi bukan senyum yang biasanya, bukan senyum yang memamerkan gigi-gigi putihnya, senyum itu sinis, penuh kebencian. “Kalau aku bilang dia pernah memperkosa kakak perempuanku dan membunuhnya apa kau akan percaya?”

Devin terdiam. Matanya membulat tidak percaya. Wajahnya menegang. Menuduh kakaknya sebagai seorang bejat jelas penghinaan baginya dan keluarganya.

Segun berdiri, tertawa kecil. “Kau tidak percaya kan? Walapun aku yang mengatakannya, atau karena aku yang mengatakannya?”

“Ayah dan ibumu, kenapa mereka ditangkap?” Devin bertanya dengan suara bergetar.

“Mereka dituduh mencemarkan nama keluargamu.”

“Kau tidak punya bukti.”

Segun berdiri dari duduknya. “Bagaimana kami punya? Keluargamu menghapus keberadaan kakakku semenjak itu. Hilang—“ Segun membuka telapak tangannya. “seperti sulap.”

Devin dan Segun terdiam. Tangan Devin menggenggam erat bukunya. Sementara Segun meenatap jauh ke arah lain, menebak-nebak keadaan ayah dan ibunya saat ini. “Aku harus pergi.”

“Kemana?” tanya Devin, ia sudah tak sanggup menahan air matanya, suaranya bergetar. “Kau mau pergi kemana?”

“Entahlah—aku harus hidup bersama adikku di tempat lain, menjauh dari tangan kalian, tangan keluargamu.”

“Ayah dan ibumu? Bagaimana dengan mereka? Kau akan meninggalkan mereka?”

Segun tertawa sinis, ia maju mendekati Devin yang terus meneteskan airmata. Jarinya menyentuh wajah Devin. “Kau tahu, mustahil bagiku menyelamatkan mereka. Apa kuasaku. Namaku Alphonse. Kau jelas tahu dimana kedudukanku,” ia menghapus air mata Devin, lalu tersenyum padanya. “Sebenarnya aku ingin berada di sampingmu selamanya, duduk di bangku, melihatmu membaca halaman yang sama, buku yang sama, mencium aroma parfummu, tersenyum melihat senyummu.”

Bibir Devin bergetar, bergetar menahan kata yang ingin ia ucapkan. “Sayangnya kau blue blood. Terlebih lagi, pemilik darah yang sama dengan pembunuh kakakku.”

Segun membisikkan kata terakhir sebelum berbalik meninggalkan Devin yang jatuh, terduduk, berlinang air mata.

~Dahulu kala ada seorang putri yang kesepian karena Raja dan Ratu sudah wafat. Ia merasa kesepian karena tidak ada yang berani menjadi temannya, karena ia seorang putri dari sebuah kerajaan besar. Putri memerintah dalam kesepiannya, kesendiriannya. Hingga datang seorang laki-laki ke kerajaannya. Laki-laki itu tersesat. Dia ditemukan putri di belakang hutan kerajaan. Laki-laki itu tak tahu siapa putri sehingga memperlakukan putri seperti orang biasa. Ia mendirikan sebuah gubuk kecil di hutan itu, dan putri sering berkunjung kesana. Mereka selalu bercerita banyak, tertawa bersama dan putri bahagia karenanya. Sampai suatu ketika laki-laki itu tahu siapa putri, dan semuanya berubah. Sikapnya, ucapannya, semuanya berubah. Tidak ada tawa dan canda, yang ada hanya kecanggungan yang membunuh perasaan putri. Putri kembali kesepian. Memerintah dalam kesendiriannya~

“Kenapa kau tidak pernah membalik halaman itu?”

Devin menoleh. Menatap Segun.

“Karena cerita ini, mengingatkanku pada seseorang.”

“Boleh aku baca?”

“Jangan,” Devin tersenyum. “Aku takut kau akan jadi salah satu pemerannya.”








2 komentar :

Ilham Sasmita at: 23 September 2013 pukul 11.00 mengatakan... Reply

lalu Al sadar, bahwa ia hanya sebuah baju zirah..

Vanessa Praditasari at: 23 September 2013 pukul 19.07 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita Nah! Ada yang tahu juga kalau aku ngambil nama Alphonse dari FMA buahahahahah~

Tapi mas ini bukan FMA -_-

Makasih lagi buat komenmu~ yaaaak!!!

Posting Komentar

Beo Terbang