Aku mengenalnya 1 tahun lalu ketika berhenti dan memutuskan
menetap di kota ini. Kota yang penuh dengan manusia ‘sampah’ bersama kelakuan
kotor mereka, lebih banyak yang mencuri daripada bekerja mendapatkan uang
secara legal, lebih banyak yang ‘jajan’ ke sana ke mari daripada memilih isteri
atau suami yang sah, lebih banyak pejabat korup daripada pejabat bersih, lebih
banyak orang yang berkata bohong daripada berkata benar. Kota sampah ini
bertahan dengan pemerintahan bobrok yang sibuk menenangkan warganya yang mulai
hidup tidak tenang, dan satu persatu orang baik mulai memilih untuk pergi
meninggalkan kota.
Terlebih lagi, akibat dari sebuah pencemaran limbah yang
dilakukan oleh sebuah pabrik besar pengolah bahan kimia yang seharusnya tidak
diijinkan berdiri, tetapi berhasil menancapkan bangunannya di tanah setelah
mengeluarkan uang berpuuh-puluh miliar, lahir beberapa anak yang hanya sanggup
berjalan, berlari dan meneriakkan suara-suara tidak jelas, mereka hanya bisa
makan bila disuapi, buang air jika dibantu, mandi jika dimandikan, tidak ada
kata atau kalimat yang bisa mereka pelajari walau telah diulang berkali-kali,
tidak ada pekerjaan yang bisa mereka ambil sekalipun meminta-minta di pinggir
jalan. Beberapa orangtua bejad memilih untuk melepaskan anak seperti itu di
jalanan, lalu berpura-pura tak peduli ketika mendengar kecelakaan tabrak lari
yang dialami anak mereka, atau pembunuhan, atau pemerkosaan atau apalah.
Dia salah satunya, seorang anak bermata merah. Aku
merawatnya setelah menemukan dia berlari di tengah jalan tanpa mempedulikan
kendaraan yang lewat, menangkapnya jelas sulit karena dia terus meronta, tapi
setelah beberapa menit kupeluk, kuelus kepalanya, anak itu diam dan mendengkur
pelan. Mengingatkanku pada kucing yang pernah kupelihara.
Dia satu-satunya orang yang pernah kutemui memiliki mata
semerah darah, tidak ada orang lain, ataupun anak-anak lain yang sama-sama
tidak normal sepertinya. Seperti anak-anak dengan penyakit yang sama ia hobi
sekali berlari, sejak membuka mata hingga terpejam kembali, sehingga aku
terpaksa mengurungnya di dalam rumah ketika harus pergi, membiarkannya keluar
rumah sendirian jelas hal yang menakutkan.
Aku memanggilnya Red, dia sepertinya berusia 7 tahun. Anak
laki-laki yang tidak pernah menyebut namaku dan hanya berteriak ketika ingin
aku memperhatikannya, dan dia selalu mendapatkan perhatianku setiap
melakukannya atau teriakannya semakin keras dan akan mengganggu para tetangga.
Red memiliki rambut berwarna hitam gelap, seperti yang
kusebutkan, dia memiliki mata berwarna merah, semerah darah, alisnya tebal
tersambung diantara kiri dan kanan, dia kurus ketika pertama kali kutemukan
tapi sekarang dia berangsur-angsur tampak proporsional.
Bertahan di kota sampah dengan pekerjaan legal jelas hal
yang cukup berat, dalam seminggu pasti ada hari dimana seorang penjambret
hendak merampas tas, setidaknya sehari ada seseorang yang mengikuti langkahku
dari belakang, entah berniat untuk merampok, atau memperkosa. Sehingga setiap
hari setidaknya ada sebuah semprotan lada, atau pistol, atau pisau atau apa
saja yang bisa mencegah mereka mendekat, termasuk karate.
Mencari pekerjaan di luar kota ini lebih mudah daripada
bertahan di dalamnya. Hanya Red yang membuatku bertahan, karena entah firasat
darimana aku yakin Red tidak ingin meninggalkan kota ini.
Hari itu cerah, libur nasional. Melihat Red yang sedang
berlari-lari memutari meja makan sembari berceloteh tidak jelas membuatku
berpikir untuk mengajaknya pergi berjalan-jalan di taman, atau ke mall mungkin
akan menyenangkan. Jadi kupakaikan dia kaos berwarna putih dengan tulisan I’m
Normal, celana jeans hitam dan memakaikannya tas ransel berwarna biru muda. Dia
tampak senang karena kami akan pergi, aku tidak mendengar dia mengatakannya
tapi dia melompat-lompat ketika kuceritakan rencanaku untuk mengajaknya.
Aku menyetir mobil, menuju taman. Begitu kubukakan pintu
mobil, dia berlari dengan riang, bertepuk-tepuk tangan, mencoba segala
permainan tanpa henti, walaupun aku harus mengajarinya satu-persatu,
mengawasinya agar dia tidak salah menaiki perosotan dan terjatuh, atau
mengayunkan ayunan keras-keras hingga terpantul ke arahnya, atau terpeleset di
kotak pasir, atau terjatuh ketika memanjat. Melelahkan memang, tapi melihat dia
bermain tanpa henti dan tidak merengek karena bosan, jelas membuatku senang.
Aku duduk dan tidak melepaskan pandangan darinya sampai
seorang ibu menghampiriku. “Itu anak ibu?”
Aku meliriknya. Di kota ini keramahan adalah hal yang
mencurigakan. “Iya, ada apa?”
Ibu itu tampak heran. Jelas saja, jarang sekali ada orang
yang mengakui kalau anak yang memiliki
kekurangan seperti itu sebagai anaknya. “Matanya,
merah. Dari ayahnya?”
Aku hanya tersenyum. Tidak menjawab. Lalu karena mulai
merasa tidak nyaman dengan pandangan orang-orang disekitarku dan disekitar Red
yang mulai berbisik-bisik, aku mengajaknya untuk pergi, walaupun ia sempat
protes dengan memukul-mukul tanganku yang menarik lalu menggendongnya .
Kuceritakan rencanaku di dalam mobil, kami akan ke mall. Dia
bertepuk –tepuk tangan. Aku membawanya pergi dengan mobil dan memasuki sebuah
mall yang cukup ramai. Membawanya masuk ke sebuah toko mainan, dia melonjak
kegirangan dan aku terpaksa menahannya begitu ia mulai membuka kotak mainan,
atau memegangi mainan satu persatu dan meletakkannya kembali ke etalase, atau
hampir menyenggol salah satu mainan robot yang tampak mahal.
Sampai kemudian dia berhenti, di depan sebuah boneka
berukuran sedang berbentuk matahari, berwarna kuning cerah. Dia menunjuk boneka
itu, menarik-narik celana yang kukenakan. Sempat muncul keheranan dalam
benakku, kupikir dia akan meminta robot atau lego seperti yang biasa dia
mainkan, tapi kali ini dia meminta sebuah boneka. Kenapa dia tidak meminta yang
lebih besar?
“Red gak mau yang lebih besar? Kayak boneka beruang tadi?”
Red menggeleng. Dia menunjuk boneka itu masih menarik-narik
celanaku.
“Oke—“ aku mengambil salah satunya, mengajak Red ke kasir.
Aku sempat melihat kerutan dahi yang nyata di wajah kasir
perempuan yang melayaniku, dia melihat Red, lalu melihat temanya yang bertugas
membantunya memasukkan barang ke kantong belanjaan. Mereka berdua sama-sama
mengerutkan dahinya.
“Gak pengen beli yang lebih besar bu?” tawarnya, berusaha
ramah. Aku bisa mendengar keraguan dalam kalimatnya yang nada suaranya terkesan
dipaksakan.
“Dia pengen yang ini,” aku menyerahkan boneka itu,
membiarkan kasir mengecek harganya dan memasukkannya ke dalam kantong coklat,
aku mencegahnya melakukannya, Red ingin langsung membawa boneka itu.
“Anak ibu ya?”
“Iya,” aku hanya tersenyum canggung.
“Matanya merah, dari ayahnya?”
Aku mengerutkan dahi. Pertanyaan yang sama dengan ibu tadi.
Dan seperti sebelumnya, aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyum dan
berlalu, menggandeng Red yang tampak senang dengan boneka barunya.
Baru kusadari sesuatu, ada beberapa orang yang berbisik
ketika melewati kami, beberapa dari mereka bahkan berhenti, ada juga yang
mengerutkan dahi, semuanya terjadi ketika mereka memandangi Red yang masih
memeluk erat boneka mataharinya. Aku mempercepat langkah, bahkan ingin rasanya
aku menggendong Red dan segera keluar dari mall. Tapi itu jelas semakin menarik
perhatian.
Setelah sampai di dalam mobil aku menghela napas panjang,
seperti ada sesuatu yang menakutiku, dan memang ada. Terlalu perhatiannya
mereka pada mata Red jelas membuatku takut, bisa saja mereka akan menculik Red
lalu mengambil matanya untuk dijual di pasar organ.
Astaga. Bodohnya aku, seharusnya kupasangkan contact
lens pada matanya tadi.
Keringat terus mengaliri tubuhku, walaupun AC sudah menyala,
walaupun diluar tak terlalu panas, tapi kekhawatiran mulai membayangi diriku.
Di kota ini, hal-hal yang berbeda jelas akan menarik perhatian untuk dicuri,
termasuk Red sekalipun.
Sejenak aku merasakan sentuhan di tanganku, Red menyentuhnya
pelan. Lalu tersenyum. Bukan. Dia menyeringai, aku bisa melihat seringai yang
muncul di bibir mungilnya sambil memeluk boneka matahari. Astaga.
Aku tergagu menatapnya. Ada yang mengerikan disana. Berusaha
meyakinkanku kalau semuanya baik-baik saja.
Lalu tiba-tiba dari kedua sisi pintu mobil dibuka, seseorang
menarik Red dengan cepat, lalu seseorang lagi menahanku dengan menempelkan
pisau pada leher. Aku berteriak sebelum tangan besar itu membekap mulutku
dengan saputangan, kemudian gelap.Aku tidak mendengar suara teriakan Red ketika
orang itu menariknya. Aku tidak melihat kepanikan di wajahnya. Yang kulihat
seringai itu, semakin lebar, semakin lebar, semakin lebar.
Seorang satpam membangunkanku, dalam kepanikan aku berkata
padanya anakku diculik. Ketika dia tanya ciri-cirinya aku menyebutkan matanya
merah, kemudian satpam itu terdiam, tampak terkejut. Aku bisa menangkap
perasaan tidak nyaman yang muncul melalui ekspresi wajahnya.
“Ada apa dengan mata berwarna merah di kota ini?”
Satpam itu tampak enggan untuk menjawab. Dia memintaku untuk
pulang. Walaupun aku mendesaknya, menawarkannya berlembar-lembar uang yang tak
pernah bisa ditolak oleh manusia di kota ini tapi dia menggelengkan kepalanya.
“Pulanglah. Ibu bisa melihat jawabannya di televisi, entah
besok, atau lusa.”
Aku memacu mobil, menuju ke kantor polisi terdekat. Menyampaikan
penculikan Red dan mendapat tanggapan yang sama ketika aku mengatakan matanya
berwarna merah, ketika aku mendesaknya untuk menjelaskan dan ketika aku
memaksanya dengan berlembar-lembar uang.
Aku memacu mobil, menuju ke rumah seorang teman. Menceritakan
hal yang kualami, ia memberikan tanggapan yang sama ketika kukatakan mata Red
berwarna merah, walaupun aku mendesaknya, walaupun aku mengancamnya akan
memberitahu perselingkuhannya dengan seorang karyawan lain kepada isterinya,
dia tetap menggelengkan kepala.
“Pulanglah. Jika Red memang sudah diculik, kamu bisa
melihatnya besok atau lusa di televisi.”
Aku memacu mobil, pulang dengan depresi. Perasaan tidak
tenang. Aku tidak mungkin mencari kesana kemari tanpa petunjuk. Dan kenapa
mereka mengatakan aku bisa melihat Red besok atau lusa di televisi, apa yang
menculiknya ingin menampilkan Red di acara reality show karena mata merahnya?
Atau apa?
Esoknya setelah tidak sanggup untuk tidur, aku terus
memandangi saluran televisi, tak beranjak dari sana walaupun perut rasanya
lapar, mata rasanya mengantuk, dan semua kecemasan serasa akan membunuhku
begitu saja. Ada 4 channel kota, keempat-empatnya biasa menyiarkan acara
hiburan karena berita kriminal sudah terlalu mainstream. Aku menggantinya
berulang-ulang kali, channel 1, lalu 2, lalu 3, lalu 4, kembali ke 1, 2, 3, 4
dan begitu terus sampai aku berhenti di channel 3. Siaran reality show yang
sempat disiarkan tadi di potong begitu saja. Di sebuah tanah lapang, siaran
langsung sepertinya. Kuganti ke channel lain, menyiarkan hal yang sama, channel
lain, hal yang sama, channel lain lalu channel lain. Kamera mengambil gambar
seorang anak kecil berkaos putih, bercelana hitam.
Kakiku segera melangkah keluar rumah tak peduli televisi
yang belum di matikan, tak peduli rumah yang belum dikunci tak peduli hanya
celana olahraga dan kaos yang kukenakan, aku segera berlari menuju garasi
memacu mobil, bersama perasaan cemas yang membuncah, takut, entah apa yang
dilakukan kota gila ini pada Red, hanya karena dia memiliki mata berwarna
merah.
Aku memacu mobil menuju satu-satunya lapangan yang bisa
menampung kerumunan orang seperti di siaran televisi tadi. Memarkir mobil
sembarangan, meringsek maju kedalam kerumunan, walaupun sumpah serapah
tersangkut ditelinga tapi suaranya mengalahkan degup jantungku yang berdetak
kencang. Keringat dingin bercucuran tanpa henti, sementara tubuhku sibuk
mendorong, meringsek masuk ke dalam kerumunan, berusaha untuk berdiri paling
depan.
Sampai di barisan terdepan, aku bisa melihat seorang polisi
yang membawa senjata. Ada Red disana, di tengah-tengah kerumunan, masih
mengenakan pakaian bertuliskan I’m normal, celana jeans berwarna hitam, tas
berwarna biru dan memeluk boneka berwarna kuning. Dia dikelilingi oleh
laki-laki berotot yang mengenakan baju hitam dan penutup kepala. Red tampak
tenang, aku memandanginya dengan tatapan takut, dia pun melihatku, menatapku
lalu tersenyum, seperti hendak memeluk tapi tak sampai aku berlari ke
hadapannya.
“Red!”
Kemudian suara tembakan terdengar. Kaki kananku terasa
panas, terbakar, hingga tubuhku terjembab wajahku menyentuh tanah, kudengar
teriakanku sendiri membahana ke udara, disusul teriakan kengerian beberapa
orang. Polisi yang tadi menjaga kerumunan tepat dihadapanku mengarahkan
senjatanya ke kepalaku.
Aku menatap Red. Dia tampak terbalik, karena memang aku
dalam posisi terlentang, menatapnya. Dia masih disana dikelilingi laki-laki
berotot.
“Red! Red! Apa yang akan kalian lakukan padanya!”
“Diam!”
“Red! Kalian manusia biadab! Apa yang akan kalian lakukan!”
Kemudian seorang laki-laki bertopeng hitam menahan tubuh
kecil Red. Red tidak memberontak. Jari besar itu mengarah pada matanya. Pada
matanya.
Aku tidak bisa memejamkan mata ketika tangan itu menusuk
masuk ke dalam mata Red, menarik bola matanya, walaupun darah mengucur dari
mata itu dan jari laki-laki itu basah oleh darah, Red tidak berteriak, aku pun
tidak, karena suaraku seperti sudah diambil, sudah diambil seperti bola mata
Red yang teracung ke udara bersama teriakan semua orang yang berada di lapangan
itu. Teriakan kemenangan. Entah kemenangan atas apa.
Red tumbang, orang-orang yang mengelilingi Red sudah
berhamburan, menyorakkan kebahagian. Aku tidak paham. Kuseret kaki kanan yang
terasa panas, nyeri dan seperti akan membunuhku perlahan, ku raih tubuh Red,
melihat boneka mataharinya yang ternodai darah, menutup matanya yang sudah
kosong, benar-benar kosong.
Menangisi tubuhnya yang tergeletak. Berdarah.
『Kudengar
suara dari langit, menyanyikan sebuah lagu. Bunuh anak itu~ anak yang matanya
berwarna merah~ terbuat dari lautan darah~ Kotamu akan tenang karenanya~
setenang lautan~ kotamu akan berwarna karenanya~ terang benderang~ tak akan kau
temukan tangis di kotamu~ karenanya~ tak akan kautemukan penderitaan di kotamu~
karenanya~ karena anak itu bermata merah~ dan dia mati untuk kotanya~』
Kota sampah. Aku menggumamkan kata itu dalam hati, dalam
perjalanan bis meninggalkannya. Membaca alasan bodoh dari internet. Mendengar
kebahagian dari berbagai siaran televisi disana. Mereka bilang mereka berhasil.
Mereka berhasil menemukan kebahagiaan dari mata berwarna merah. Legenda itu
sudah tua sekali dan mereka menantikannya. Karena mereka terlalu menantikannya
sampai lupa mengurus hal yang harus mereka urus sehingga kota mereka menjadi
kota sampah. Setelah menjadi kota sampah, mereka mencari anak bermata merah
untuk membahagiakan mereka, membahagiakan hidup mereka dengan mudah, percaya
pada legenda.
Aku
menatap jalanan dengan mata perih, bengkak, menangis, setelah semalam melihat
jasad Red yang di kremasi.
"Tahukah
kamu?”
Aku
menatap sosok yang duduk di sampingku. Mengenakan kacamata hitam, kaos berwarna
putih, celana jeans berwarna hitam. Laki-laki yang sepertinya seumuran denganku.
“Aku
dengar kota itu memiliki matahari baru.”
“Baru?”
aku menatapnya dengan tatapan heran.
“Warnanya
merah, semerah darah, ketika kamu melangkah kedalam kota itu matamu akan buta, tubuhmu
lumpuh, lalu kamu akan mati, mati karena terpapar sinar matahari itu. Dan aku
dengar tak ada malam disana, kota itu jadi tampak berawarna merah jika dilihat
dari kejauhan seperti terbakar tanpa api. Matahari merah seperti mengikuti kota itu, hanya kota itu,
hanya menyinari kota itu, hanya bersama kota itu.”
Aku
tertawa sinis. “Apa itu legenda lain?”
“Tidak.
Itu kenyataannya.”
“Kamu
tahu darimana? Kita baru saja meninggalkan kota itu.”
“Bagaimana
aku tidak tahu?” dia melepaskan kacamata hitamnya. Aku bisa melihat dia
tersenyum, menjulurkan tangannya. Melihat mata merahnya. “Perkenalkan—Red.”
2 komentar :
wuih..
cerpen ini udah masuk ke teritori gabisa dikomen di otakku..
tipe cerpen yang udah ngalir, enak buat dinikmati bersama indomie..
@Ilham Sasmita kenapa nggak bisa di komen mas? ._.
Hawane beneran dinikmatin sambil makan mie nih.
Makasih lagi buat komenmu~ dan kesedian menggali-gali post lama lalu di kome pula :)))
Posting Komentar