Minggu, 02 Desember 2012

Merah



Aku mengenalnya 1 tahun lalu ketika berhenti dan memutuskan menetap di kota ini. Kota yang penuh dengan manusia ‘sampah’ bersama kelakuan kotor mereka, lebih banyak yang mencuri daripada bekerja mendapatkan uang secara legal, lebih banyak yang ‘jajan’ ke sana ke mari daripada memilih isteri atau suami yang sah, lebih banyak pejabat korup daripada pejabat bersih, lebih banyak orang yang berkata bohong daripada berkata benar. Kota sampah ini bertahan dengan pemerintahan bobrok yang sibuk menenangkan warganya yang mulai hidup tidak tenang, dan satu persatu orang baik mulai memilih untuk pergi meninggalkan kota.

Terlebih lagi, akibat dari sebuah pencemaran limbah yang dilakukan oleh sebuah pabrik besar pengolah bahan kimia yang seharusnya tidak diijinkan berdiri, tetapi berhasil menancapkan bangunannya di tanah setelah mengeluarkan uang berpuuh-puluh miliar, lahir beberapa anak yang hanya sanggup berjalan, berlari dan meneriakkan suara-suara tidak jelas, mereka hanya bisa makan bila disuapi, buang air jika dibantu, mandi jika dimandikan, tidak ada kata atau kalimat yang bisa mereka pelajari walau telah diulang berkali-kali, tidak ada pekerjaan yang bisa mereka ambil sekalipun meminta-minta di pinggir jalan. Beberapa orangtua bejad memilih untuk melepaskan anak seperti itu di jalanan, lalu berpura-pura tak peduli ketika mendengar kecelakaan tabrak lari yang dialami anak mereka, atau pembunuhan, atau pemerkosaan atau apalah.

Dia salah satunya, seorang anak bermata merah. Aku merawatnya setelah menemukan dia berlari di tengah jalan tanpa mempedulikan kendaraan yang lewat, menangkapnya jelas sulit karena dia terus meronta, tapi setelah beberapa menit kupeluk, kuelus kepalanya, anak itu diam dan mendengkur pelan. Mengingatkanku pada kucing yang pernah kupelihara.

Dia satu-satunya orang yang pernah kutemui memiliki mata semerah darah, tidak ada orang lain, ataupun anak-anak lain yang sama-sama tidak normal sepertinya. Seperti anak-anak dengan penyakit yang sama ia hobi sekali berlari, sejak membuka mata hingga terpejam kembali, sehingga aku terpaksa mengurungnya di dalam rumah ketika harus pergi, membiarkannya keluar rumah sendirian jelas hal yang menakutkan.

Aku memanggilnya Red, dia sepertinya berusia 7 tahun. Anak laki-laki yang tidak pernah menyebut namaku dan hanya berteriak ketika ingin aku memperhatikannya, dan dia selalu mendapatkan perhatianku setiap melakukannya atau teriakannya semakin keras dan akan mengganggu para tetangga.

Red memiliki rambut berwarna hitam gelap, seperti yang kusebutkan, dia memiliki mata berwarna merah, semerah darah, alisnya tebal tersambung diantara kiri dan kanan, dia kurus ketika pertama kali kutemukan tapi sekarang dia berangsur-angsur tampak proporsional.

Bertahan di kota sampah dengan pekerjaan legal jelas hal yang cukup berat, dalam seminggu pasti ada hari dimana seorang penjambret hendak merampas tas, setidaknya sehari ada seseorang yang mengikuti langkahku dari belakang, entah berniat untuk merampok, atau memperkosa. Sehingga setiap hari setidaknya ada sebuah semprotan lada, atau pistol, atau pisau atau apa saja yang bisa mencegah mereka mendekat, termasuk karate.

Mencari pekerjaan di luar kota ini lebih mudah daripada bertahan di dalamnya. Hanya Red yang membuatku bertahan, karena entah firasat darimana aku yakin Red tidak ingin meninggalkan kota ini.

Hari itu cerah, libur nasional. Melihat Red yang sedang berlari-lari memutari meja makan sembari berceloteh tidak jelas membuatku berpikir untuk mengajaknya pergi berjalan-jalan di taman, atau ke mall mungkin akan menyenangkan. Jadi kupakaikan dia kaos berwarna putih dengan tulisan I’m Normal, celana jeans hitam dan memakaikannya tas ransel berwarna biru muda. Dia tampak senang karena kami akan pergi, aku tidak mendengar dia mengatakannya tapi dia melompat-lompat ketika kuceritakan rencanaku untuk mengajaknya.

Aku menyetir mobil, menuju taman. Begitu kubukakan pintu mobil, dia berlari dengan riang, bertepuk-tepuk tangan, mencoba segala permainan tanpa henti, walaupun aku harus mengajarinya satu-persatu, 
mengawasinya agar dia tidak salah menaiki perosotan dan terjatuh, atau mengayunkan ayunan keras-keras hingga terpantul ke arahnya, atau terpeleset di kotak pasir, atau terjatuh ketika memanjat. Melelahkan memang, tapi melihat dia bermain tanpa henti dan tidak merengek karena bosan, jelas membuatku senang.

Aku duduk dan tidak melepaskan pandangan darinya sampai seorang ibu menghampiriku. “Itu anak ibu?”

Aku meliriknya. Di kota ini keramahan adalah hal yang mencurigakan. “Iya, ada apa?”

Ibu itu tampak heran. Jelas saja, jarang sekali ada orang yang mengakui kalau anak yang memiliki 
kekurangan seperti itu sebagai anaknya. “Matanya, merah. Dari ayahnya?”

Aku hanya tersenyum. Tidak menjawab. Lalu karena mulai merasa tidak nyaman dengan pandangan orang-orang disekitarku dan disekitar Red yang mulai berbisik-bisik, aku mengajaknya untuk pergi, walaupun ia sempat protes dengan memukul-mukul tanganku yang menarik lalu menggendongnya .

Kuceritakan rencanaku di dalam mobil, kami akan ke mall. Dia bertepuk –tepuk tangan. Aku membawanya pergi dengan mobil dan memasuki sebuah mall yang cukup ramai. Membawanya masuk ke sebuah toko mainan, dia melonjak kegirangan dan aku terpaksa menahannya begitu ia mulai membuka kotak mainan, atau memegangi mainan satu persatu dan meletakkannya kembali ke etalase, atau hampir menyenggol salah satu mainan robot yang tampak mahal.

Sampai kemudian dia berhenti, di depan sebuah boneka berukuran sedang berbentuk matahari, berwarna kuning cerah. Dia menunjuk boneka itu, menarik-narik celana yang kukenakan. Sempat muncul keheranan dalam benakku, kupikir dia akan meminta robot atau lego seperti yang biasa dia mainkan, tapi kali ini dia meminta sebuah boneka. Kenapa dia tidak meminta yang lebih besar?

“Red gak mau yang lebih besar? Kayak boneka beruang tadi?”

Red menggeleng. Dia menunjuk boneka itu masih menarik-narik celanaku.

“Oke—“ aku mengambil salah satunya, mengajak Red ke kasir.

Aku sempat melihat kerutan dahi yang nyata di wajah kasir perempuan yang melayaniku, dia melihat Red, lalu melihat temanya yang bertugas membantunya memasukkan barang ke kantong belanjaan. Mereka berdua sama-sama mengerutkan dahinya.

“Gak pengen beli yang lebih besar bu?” tawarnya, berusaha ramah. Aku bisa mendengar keraguan dalam kalimatnya yang nada suaranya terkesan dipaksakan.

“Dia pengen yang ini,” aku menyerahkan boneka itu, membiarkan kasir mengecek harganya dan memasukkannya ke dalam kantong coklat, aku mencegahnya melakukannya, Red ingin langsung membawa boneka itu.

“Anak ibu ya?”

“Iya,” aku hanya tersenyum canggung.

“Matanya merah, dari ayahnya?”

Aku mengerutkan dahi. Pertanyaan yang sama dengan ibu tadi. Dan seperti sebelumnya, aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyum dan berlalu, menggandeng Red yang tampak senang dengan boneka barunya.

Baru kusadari sesuatu, ada beberapa orang yang berbisik ketika melewati kami, beberapa dari mereka bahkan berhenti, ada juga yang mengerutkan dahi, semuanya terjadi ketika mereka memandangi Red yang masih memeluk erat boneka mataharinya. Aku mempercepat langkah, bahkan ingin rasanya aku menggendong Red dan segera keluar dari mall. Tapi itu jelas semakin menarik perhatian.

Setelah sampai di dalam mobil aku menghela napas panjang, seperti ada sesuatu yang menakutiku, dan memang ada. Terlalu perhatiannya mereka pada mata Red jelas membuatku takut, bisa saja mereka akan menculik Red lalu mengambil matanya untuk dijual di pasar organ.

Astaga. Bodohnya aku, seharusnya kupasangkan contact lens  pada matanya tadi.
Keringat terus mengaliri tubuhku, walaupun AC sudah menyala, walaupun diluar tak terlalu panas, tapi kekhawatiran mulai membayangi diriku. Di kota ini, hal-hal yang berbeda jelas akan menarik perhatian untuk dicuri, termasuk Red sekalipun.

Sejenak aku merasakan sentuhan di tanganku, Red menyentuhnya pelan. Lalu tersenyum. Bukan. Dia menyeringai, aku bisa melihat seringai yang muncul di bibir mungilnya sambil memeluk boneka matahari. Astaga.

Aku tergagu menatapnya. Ada yang mengerikan disana. Berusaha meyakinkanku kalau semuanya baik-baik saja.

Lalu tiba-tiba dari kedua sisi pintu mobil dibuka, seseorang menarik Red dengan cepat, lalu seseorang lagi menahanku dengan menempelkan pisau pada leher. Aku berteriak sebelum tangan besar itu membekap mulutku dengan saputangan, kemudian gelap.Aku tidak mendengar suara teriakan Red ketika orang itu menariknya. Aku tidak melihat kepanikan di wajahnya. Yang kulihat seringai itu, semakin lebar, semakin lebar, semakin lebar.

Seorang satpam membangunkanku, dalam kepanikan aku berkata padanya anakku diculik. Ketika dia tanya ciri-cirinya aku menyebutkan matanya merah, kemudian satpam itu terdiam, tampak terkejut. Aku bisa menangkap perasaan tidak nyaman yang muncul melalui ekspresi wajahnya.

“Ada apa dengan mata berwarna merah di kota ini?”

Satpam itu tampak enggan untuk menjawab. Dia memintaku untuk pulang. Walaupun aku mendesaknya, menawarkannya berlembar-lembar uang yang tak pernah bisa ditolak oleh manusia di kota ini tapi dia menggelengkan kepalanya.

“Pulanglah. Ibu bisa melihat jawabannya di televisi, entah besok, atau lusa.”

Aku memacu mobil, menuju ke kantor polisi terdekat. Menyampaikan penculikan Red dan mendapat tanggapan yang sama ketika aku mengatakan matanya berwarna merah, ketika aku mendesaknya untuk menjelaskan dan ketika aku memaksanya dengan berlembar-lembar uang.

Aku memacu mobil, menuju ke rumah seorang teman. Menceritakan hal yang kualami, ia memberikan tanggapan yang sama ketika kukatakan mata Red berwarna merah, walaupun aku mendesaknya, walaupun aku mengancamnya akan memberitahu perselingkuhannya dengan seorang karyawan lain kepada isterinya, dia tetap menggelengkan kepala.

“Pulanglah. Jika Red memang sudah diculik, kamu bisa melihatnya besok atau lusa di televisi.”

Aku memacu mobil, pulang dengan depresi. Perasaan tidak tenang. Aku tidak mungkin mencari kesana kemari tanpa petunjuk. Dan kenapa mereka mengatakan aku bisa melihat Red besok atau lusa di televisi, apa yang menculiknya ingin menampilkan Red di acara reality show karena mata merahnya? Atau apa?

Esoknya setelah tidak sanggup untuk tidur, aku terus memandangi saluran televisi, tak beranjak dari sana walaupun perut rasanya lapar, mata rasanya mengantuk, dan semua kecemasan serasa akan membunuhku begitu saja. Ada 4 channel kota, keempat-empatnya biasa menyiarkan acara hiburan karena berita kriminal sudah terlalu mainstream. Aku menggantinya berulang-ulang kali, channel 1, lalu 2, lalu 3, lalu 4, kembali ke 1, 2, 3, 4 dan begitu terus sampai aku berhenti di channel 3. Siaran reality show yang sempat disiarkan tadi di potong begitu saja. Di sebuah tanah lapang, siaran langsung sepertinya. Kuganti ke channel lain, menyiarkan hal yang sama, channel lain, hal yang sama, channel lain lalu channel lain. Kamera mengambil gambar seorang anak kecil berkaos putih, bercelana hitam.

Kakiku segera melangkah keluar rumah tak peduli televisi yang belum di matikan, tak peduli rumah yang belum dikunci tak peduli hanya celana olahraga dan kaos yang kukenakan, aku segera berlari menuju garasi memacu mobil, bersama perasaan cemas yang membuncah, takut, entah apa yang dilakukan kota gila ini pada Red, hanya karena dia memiliki mata berwarna merah.

Aku memacu mobil menuju satu-satunya lapangan yang bisa menampung kerumunan orang seperti di siaran televisi tadi. Memarkir mobil sembarangan, meringsek maju kedalam kerumunan, walaupun sumpah serapah tersangkut ditelinga tapi suaranya mengalahkan degup jantungku yang berdetak kencang. Keringat dingin bercucuran tanpa henti, sementara tubuhku sibuk mendorong, meringsek masuk ke dalam kerumunan, berusaha untuk berdiri paling depan.

Sampai di barisan terdepan, aku bisa melihat seorang polisi yang membawa senjata. Ada Red disana, di tengah-tengah kerumunan, masih mengenakan pakaian bertuliskan I’m normal, celana jeans berwarna hitam, tas berwarna biru dan memeluk boneka berwarna kuning. Dia dikelilingi oleh laki-laki berotot yang mengenakan baju hitam dan penutup kepala. Red tampak tenang, aku memandanginya dengan tatapan takut, dia pun melihatku, menatapku lalu tersenyum, seperti hendak memeluk tapi tak sampai aku berlari ke hadapannya.

“Red!”

Kemudian suara tembakan terdengar. Kaki kananku terasa panas, terbakar, hingga tubuhku terjembab wajahku menyentuh tanah, kudengar teriakanku sendiri membahana ke udara, disusul teriakan kengerian beberapa orang. Polisi yang tadi menjaga kerumunan tepat dihadapanku mengarahkan senjatanya ke kepalaku.

Aku menatap Red. Dia tampak terbalik, karena memang aku dalam posisi terlentang, menatapnya. Dia masih disana dikelilingi laki-laki berotot.

“Red! Red! Apa yang akan kalian lakukan padanya!”

“Diam!”

“Red! Kalian manusia biadab! Apa yang akan kalian lakukan!”

Kemudian seorang laki-laki bertopeng hitam menahan tubuh kecil Red. Red tidak memberontak. Jari besar itu mengarah pada matanya. Pada matanya.

Aku tidak bisa memejamkan mata ketika tangan itu menusuk masuk ke dalam mata Red, menarik bola matanya, walaupun darah mengucur dari mata itu dan jari laki-laki itu basah oleh darah, Red tidak berteriak, aku pun tidak, karena suaraku seperti sudah diambil, sudah diambil seperti bola mata Red yang teracung ke udara bersama teriakan semua orang yang berada di lapangan itu. Teriakan kemenangan. Entah kemenangan atas apa.

Red tumbang, orang-orang yang mengelilingi Red sudah berhamburan, menyorakkan kebahagian. Aku tidak paham. Kuseret kaki kanan yang terasa panas, nyeri dan seperti akan membunuhku perlahan, ku raih tubuh Red, melihat boneka mataharinya yang ternodai darah, menutup matanya yang sudah kosong, benar-benar kosong.

Menangisi tubuhnya yang tergeletak. Berdarah.

Kudengar suara dari langit, menyanyikan sebuah lagu. Bunuh anak itu~ anak yang matanya berwarna merah~ terbuat dari lautan darah~ Kotamu akan tenang karenanya~ setenang lautan~ kotamu akan berwarna karenanya~ terang benderang~ tak akan kau temukan tangis di kotamu~ karenanya~ tak akan kautemukan penderitaan di kotamu~ karenanya~ karena anak itu bermata merah~ dan dia mati untuk kotanya~

Kota sampah. Aku menggumamkan kata itu dalam hati, dalam perjalanan bis meninggalkannya. Membaca alasan bodoh dari internet. Mendengar kebahagian dari berbagai siaran televisi disana. Mereka bilang mereka berhasil. Mereka berhasil menemukan kebahagiaan dari mata berwarna merah. Legenda itu sudah tua sekali dan mereka menantikannya. Karena mereka terlalu menantikannya sampai lupa mengurus hal yang harus mereka urus sehingga kota mereka menjadi kota sampah. Setelah menjadi kota sampah, mereka mencari anak bermata merah untuk membahagiakan mereka, membahagiakan hidup mereka dengan mudah, percaya pada legenda.

Aku menatap jalanan dengan mata perih, bengkak, menangis, setelah semalam melihat jasad Red yang di kremasi.

"Tahukah kamu?”

Aku menatap sosok yang duduk di sampingku. Mengenakan kacamata hitam, kaos berwarna putih, celana jeans berwarna hitam.  Laki-laki yang sepertinya seumuran denganku.

“Aku dengar kota itu memiliki matahari baru.”

“Baru?” aku menatapnya dengan tatapan heran.

“Warnanya merah, semerah darah, ketika kamu melangkah kedalam kota itu matamu akan buta, tubuhmu lumpuh, lalu kamu akan mati, mati karena terpapar sinar matahari itu. Dan aku dengar tak ada malam disana, kota itu jadi tampak berawarna merah jika dilihat dari kejauhan seperti terbakar tanpa api. Matahari merah  seperti mengikuti kota itu, hanya kota itu, hanya menyinari kota itu, hanya bersama kota itu.”

Aku tertawa sinis. “Apa itu legenda lain?”

“Tidak. Itu kenyataannya.”

“Kamu tahu darimana? Kita baru saja meninggalkan kota itu.”

“Bagaimana aku tidak tahu?” dia melepaskan kacamata hitamnya. Aku bisa melihat dia tersenyum, menjulurkan tangannya. Melihat mata merahnya. “Perkenalkan—Red.”



2 komentar :

Ilham Sasmita at: 23 September 2013 pukul 10.51 mengatakan... Reply

wuih..
cerpen ini udah masuk ke teritori gabisa dikomen di otakku..
tipe cerpen yang udah ngalir, enak buat dinikmati bersama indomie..

Vanessa Praditasari at: 23 September 2013 pukul 19.06 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita kenapa nggak bisa di komen mas? ._.
Hawane beneran dinikmatin sambil makan mie nih.

Makasih lagi buat komenmu~ dan kesedian menggali-gali post lama lalu di kome pula :)))

Posting Komentar

Beo Terbang