Ia berlari terpogoh-pogoh, sembari melirik jam tangannya. Sudah
berlalu setengah jam dan ia masih belum duduk manis di dalam kelas. Perempuan
dengan kuncir kuda itu mengumpat kesal dalam hati, siapapun yang memenuhi jalan
dengan paku dan membuat ban sepeda motornya bocor. Terkutuklah orang itu.
Ditambah lagi, ia harus memarkir sepeda motornya jauh dari gedung tempat perkuliahannya
berlangsung, karena parkiran terdekat sudah penuh. Penuh. Penuh.
Sementara kepalanya sibuk mengira-ngira apakah dosen yang
tega mengusir mahasiswa ketika mereka terlambat itu sudah datang atau belum,
matanya menangkap sesuatu yang cukup ganjil di tempat parkir, mengirim pesan ke
otaknya, dilanjutkan ke kakinya, hingga ia berhenti dan menatap penampakan
asing di matanya.
Sebuah vespa berwarna kuning cerah.
“Hmm—“ dia berdehem pelan. Penasaran dengan pemilik sepeda
motor berwarna ajaib itu. Ia menggaruk kepalanya, masih memperhatikan vespa berwarna
kuning cerah yang terparkir diantara dua sepeda motor matic.
Ia melirik jam tangan sekali lagi. Reflek. Ia berteriak,
sudah 35 menit berlalu dan mungkin saja dirinya sudah menghabiskan waktu 2
menit hanya untuk memandangi vespa kuning, bukan berlari menuju kelas dan
meringsek masuk ,siap diusir atau duduk manis.
Kakinya melangkah lagi, kali ini lebih cepat, memasuki
gedung lantai 1 melewati parkiran basement, naik tangga sekali lagi, melewati
seorang mahasiswa yang sepertinya sedang mengurus absen dengan karyawan gedung.
Sekilas, matanya menangkap dosen yang dikhawatirkannya sejak tadi, memasuki
lift menuju lantai 4.
Tanpa berpikir panjang ia segera menaiki tangga menuju
lantai 4, berlari menuju kelas, melewati pintu lift yang belum terbuka dan
tanpa basa-basi membuka pintu kelas terdekat yang dijangkaunya.
Hening. Semua mata tertuju padanya. Ada seorang dosen yang
sedang mengajar.
Salah kelas. Salah kelas. Astaga.
Perempuan berkemeja biru tua dengan kuncir kuda itu segera
tersenyum, kaku, menutup pintu kelas perlahan, lalu berlari ke kelas yang
berada tepat disebelahnya. Kepalanya sudah meneriakkan umpatan pada diri
sendiri berkali-kali, merutuki kebodohannya dalam menghadapi kepanikan.
Sekali lagi ia membuka pintu kelas, ada keheningan yang sama,
namun keributan kembali muncul begitu penghuni kelas menyadari perempuan
berkemeja biru tua, bercelana jeans hitam, berkuncir kuda itu bukan dosen yang
mereka tunggu-tunggu. Perempuan itu menghela napas lega lalu melangkahkan kaki,
menuju kursi kosong, tepat disebelah sahabatnya yang sudah dengan sangat baik
menjagakan tempat duduk.
“Sampe keringetan gitu Ka,” Kallima tertawa, melihat wajah
Aka yang sudah memerah setelah berlari dan
tercampur malu karena salah kelas
tadi. “Beneran lari, Ka?”
Aka, segera duduk lalu menghela napas panjang lagi, sebelum
menjawab pertanyaan Kallima. “Gak, tadi terbang Kal. Hih—gara-gara ban bocor
nih,” keluhnya. “Oh ya, tadi aku lihat Pak Tar di lift, kok belum masuk ya?”
Aka mengusap lehernya. Sudah berkeringat ternyata.
Kalimat itu baru saja selesai ketika pintu kelas terbuka.
Pak Tar masuk kelas dengan kemeja batik, celana kain hitam, tas laptop dan
absen di tangan kiri. Seisi kelas sibuk menyiapkan buku catatan masing-masing,
tak terkecuali Aka dan Kallima.
Pak Tar baru saja duduk, menyiapkan mic, membuka notes yang
memang biasanya dia bawa dan berujar.
“Minggu lalu saya bilang hari ini responsi
ya?”
Aka melirik Kallima, Kallima melirik Aka, seluruh kelas
saling melirik manusia disebelahnya.
“Astaga.”
!
Vespa kuning itu masih ada disana, terparkir manis diantara
dua sepeda motor matic. Kaki Aka melangkah menuju tempat parkir lain yang jauh
dibelakangnya, kaki Aka terhenti lagi, mundur beberapa langkah, berhenti lagi,
di belakang vespa kuning yang sudah menyita perhatiannya sejak pagi.
Ia mengusap dagunya, berpose seperti berpikir, dan memang
dia sedang berpikir, mengira-ngira siapa pemilik sepeda motor dengan warna
mencolok itu.
“Kalau perempuan gak mungkin deh kayaknya. Kalau laki-laki—“
Aka memiringkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri. “kok norak abis.”
Aka masih berdiri disana walaupun 5 menit telah berlalu,
walaupun sebuah sepeda motor milik kenalannya sudah menekan klakson dengan
maksud menyapa, pemilik sepeda motor lain menekan klakson karena dia berada di
tengah jalan dan pemilik sepeda motor lain menekan klakson untuk menyadarkan
posisi Aka yang mengganggu lalu lintas kendaraan yang hendak keluar.
Aka baru tersadar setelah tepukan dari Kallima. “Heh!
Ngapain ngelamun? Kamu tuh di tengah jalan Ka!”
Aka menoleh, melihat Kallima dengan ekspresi terkejut. “Gakpapa
Kal, pulang?”
“Iya, tadinya mau belok ke basement. Tapi ngeliat kamu
bengong nutupin jalan, mending negur kamu dulu daripada nanti kamu
kenapa-kenapa,” Kallima tertawa kecil, lalu berbalik. “Cepetan balik Ka,
kayaknya mau hujan nih!”
Aka hanya melambaikan tangan. “Yo!” lalu melihat ke kiri,
kanan, dan ternyata benar ia berada di tengah jalan, kenapa ia tidak mendengar
bunyi klakson apapun dari pengendara sepeda motor yang lewat.
Ia melihat plat nomor vespa kuning yang masih terparkir
tepat di depannya. Menghapalkannya dalam hati dan berlalu, sebelum hujan turun
ia harus sudah menyentuh halaman rumahnya, tida k kehujanan di jalan tidak juga
ribet memakai celana jas hujan plus atasannya.
!
Pagi itu Aka tidak terlambat, mengenakan kemeja berwarna
hitam dan celana berwarna putih, rambutnya di kuncir kuda seperti biasa dan
beruntung, ia berhasil mendapatkan tempat parkir di basement. Kakinya melangkah
ringan, bersenandung pelan, memasuki lantai dasar gedung, matanya menangkap vespa
kuning yang sama dengan kemarin, terparkir manis diantara sepeda motor matic
dan sepeda motor cowok yang tampak gagah. Tapi tetap saja, mata Aka terpancang
pada vespa kuning yang entah milik siapa.
Aka melirik ke kiri, lalu ke kanan. Sepertinya pemilik vespa
kuning sudah tiba sejak tadi, percuma juga mencari tahu, lebih baik ia segera
masuk ke kelas, duduk manis atau tidur sejenak. Bagi Aka tidur sejenak adalah
keuntungan lebih ketika berangkat pagi, dia berhak mendapatkannya.
Seseorang baru saja keluar dari gedung tampak terburu-buru,
mungkin kunci sepeda motornya tertinggal atau ia lupa mengambil sesuatu dari
bagasi sepeda motor. Atau sudahlah— tidak mungkin dia pemilik vespa kuning.
Sebentar—batin
Aka. Ia berbalik dan memperhatikan kemana laki-laki itu pergi.
Bukan, laki-laki itu berhenti di belakang sebuah sepeda
motor berwarna hitam dan tampaknya mengambil kunci yang tertinggal. Bukan
laki-laki itu. Aka menghela napas.
Sudahlah.
Seorang laki-laki melewati Aka yang telah menaiki tangga,
menuju ke parkiran basement, berhenti di belakang vespa kuning. Laki-laki
berkulit coklat sawo matang, rambut berantakan, kemeja putih yang dilinting
hingga siku, celana jeans yang tampak sudah lusuh, asik bersenandung pelan.
!
Siang itu Aka tidak terlambat. Ia sengaja datang setengah
jam sebelum kuliah dimulai. Demi mengetahui asal usul vespa kuning yang
membuatnya penasaran luar biasa tentang siapa pemilik vespa itu, angkatan
berapa, bagaimana wajah pemiliknya, kenapa harus kuning, walaupun ia jelas tahu
keingintahuannya hanyalah sebagian dari keisengannya.
Aka menunggu di depan turunan yang menghubungkan antara
parkir basement dengan lapangan parkir yang berada di samping gedung. Perkiraannya,
laki-laki pemilik vespa kuning itu akan parkir di gedung ini lagi kecuali, jika
Aka sedang sial, laki-laki pemilik vespa kuning tidak berkuliah hari ini atau
tidak berkuliah di gedung ini.
Aka menunggu, 15 menit, tidak ada vespa berwarna kuning, 20
menit juga tidak ada. Sebelum mati bosan Aka memilih untuk mengecek, siapa tahu
vespa kuning itu sudah tiba lebih dulu atau sudah tiba tapi luput dari
pengawasannya.
Aka menepuk dahinya, ada jalur lain menuju ke tempat parkir
yang berada di samping kiri gedung dan tidak mungkin ia mengawasinya sekaligus.
Ia tidak bisa membelah dirinya menjadi dua layaknya amoeba.
Setengah sebal karena usahanya bisa jadi sia-sia belaka, Aka
menyelidik sepeda motor yang berada di tempat parkir. Dan bingo! Menemukan vespa
kuning yang baru saja terparkir manis. Bagaimana Aka bisa tahu kalau vespa itu
baru saja parkir?
Jelas saja ia tahu, pemilik vespa itu masih duduk diatas vespa
dan belum melepaskan helmnya. Aka mengintip dari samping, ia masih belum bisa
melihat pemilik wajah vespa itu dengan jelas, mengintip dari belakang apalagi,
dengan sangat terpaksa Aka berjalan pelan-pelan dan tampak sealami mungkin
menuju deretan sepeda motor yang
terparkir tepat di depan vespa kuning, hanya terpisahkan jarak kecil yang cukup
untuk satu sepeda motor lalu lalang, demi melihat bagaimana wajah pemiliknya.
Langkah aka terlalu lambat, karena tepat ketika Aka baru
akan melangkah, laki-laki itu sudah membuka helmnya, ketika Aka mulai berlari
kecil laki-laki itu menoleh kea rah sebaliknya, ketika Aka nyaris lari marathon
laki-laki itu sudah melangkah ke arah yang membuat Aka tidak bisa melihat
wajahnya, hanya punggungnya.
Aka terdiam. Berdiri mematung seperti orang bodoh. Dan
benar, ia merasa bodoh. Masih merasa bodoh. Kenapa ia tidak berteriak tadi
untuk menarik perhatian si pemilik vespa kuning atau berlari dan mencegatnya,
atau—
Aka terdiam lagi. Kali ini bukan bibirnya saja tapi
kepalanya pun diam, hening.
Laki-laki yang tinggal punggungnya tadi berbalik, disaat Aka
sudah menundukkan kepala dan hendak menyerah. Sekarang, Aka bisa melihat
wajahnya, akhirnya ia bisa melihat wajah pemilik vespa kuning. Aka berdiri
terdiam, tidak berkedip, tidak mau melewatkan kesempatan ini sedikitpun.
Laki-laki itu mengenakan kacamata, kemeja putih dengan
celana kain berwarna hitam, rambutnya tampak rapi, tubuhnya kurus, wajahnya
sedikit berjerawat, Aka menatap laki-laki itu takjub, jauh sekali dari
bayangannya. Sementara laki-laki itu entah berbuat apa pada vespa kuningnya, Aka
memilih untuk tidak memperhatikan, berbalik dan angkat kaki dari lokasinya saat
ini.
Ia pikir laki-laki pemilik vespa kuning itu adalah laki-laki
yang keren, tampan atau apalah yang membuatnya mengangguk-angguk mantap dan
bisa menjadikan laki-laki itu cowok inceran. Ternyata.
Aka, penyelidikanmu
sampai disini saja. Banyak free puk puk ya— batinnya sambil berlalu.
Aka berjalan menuju pintu masuk gedung melalui basement,
melewati seorang laki-laki dengan wangi sabun mandi yang membuat Aka berbalik
sejenak. Berkemeja hitam di linting hingga siku, celana jeans belel, rambut
yang tampak berantakan bahkan cenderung gondrong yang bersenandung pelan.
Aka terhenyak selama beberapa detik.
Laki-laki berkemeja hitam itu berjalan melewati parkiran
basement, menuju parkiran disamping gedung, menuju ke tempat vespa berwarna
kuning terparkir manis.
“Makasih ya Ted,” laki-laki berkemeja hitam itu menepuk bahu
laki-laki berkacamata dan berkemeja putih, laki-laki yang dipanggil Ted itu
menyerahkan kunci vespa kuning ke laki-laki berkemeja hitam.
“Sama-sama,” jawab laki-laki yang dipanggil Ted. “Gak pengen
ganti warna motor? Nyolok mata nih warnanya, kayak stabilo.”
Laki-laki berkemeja hitam itu tersenyum. “Itu yang bikin
orang penasaran siapa yang punya kan.”
0 komentar :
Posting Komentar