Minggu, 09 Desember 2012

Kuning



Ia berlari terpogoh-pogoh, sembari melirik jam tangannya. Sudah berlalu setengah jam dan ia masih belum duduk manis di dalam kelas. Perempuan dengan kuncir kuda itu mengumpat kesal dalam hati, siapapun yang memenuhi jalan dengan paku dan membuat ban sepeda motornya bocor. Terkutuklah orang itu. Ditambah lagi, ia harus memarkir sepeda motornya jauh dari gedung tempat perkuliahannya berlangsung, karena parkiran terdekat sudah penuh. Penuh. Penuh.

Sementara kepalanya sibuk mengira-ngira apakah dosen yang tega mengusir mahasiswa ketika mereka terlambat itu sudah datang atau belum, matanya menangkap sesuatu yang cukup ganjil di tempat parkir, mengirim pesan ke otaknya, dilanjutkan ke kakinya, hingga ia berhenti dan menatap penampakan asing di matanya.

Sebuah vespa berwarna kuning cerah.

“Hmm—“ dia berdehem pelan. Penasaran dengan pemilik sepeda motor berwarna ajaib itu. Ia menggaruk kepalanya, masih memperhatikan vespa berwarna kuning cerah yang terparkir diantara dua sepeda motor matic.

Ia melirik jam tangan sekali lagi. Reflek. Ia berteriak, sudah 35 menit berlalu dan mungkin saja dirinya sudah menghabiskan waktu 2 menit hanya untuk memandangi vespa kuning, bukan berlari menuju kelas dan meringsek masuk ,siap diusir atau duduk manis.

Kakinya melangkah lagi, kali ini lebih cepat, memasuki gedung lantai 1 melewati parkiran basement, naik tangga sekali lagi, melewati seorang mahasiswa yang sepertinya sedang mengurus absen dengan karyawan gedung. Sekilas, matanya menangkap dosen yang dikhawatirkannya sejak tadi, memasuki lift menuju lantai 4.
Tanpa berpikir panjang ia segera menaiki tangga menuju lantai 4, berlari menuju kelas, melewati pintu lift yang belum terbuka dan tanpa basa-basi membuka pintu kelas terdekat yang dijangkaunya.
Hening. Semua mata tertuju padanya. Ada seorang dosen yang sedang mengajar.

Salah kelas. Salah kelas. Astaga.

Perempuan berkemeja biru tua dengan kuncir kuda itu segera tersenyum, kaku, menutup pintu kelas perlahan, lalu berlari ke kelas yang berada tepat disebelahnya. Kepalanya sudah meneriakkan umpatan pada diri sendiri berkali-kali, merutuki kebodohannya dalam menghadapi kepanikan.

Sekali lagi ia membuka pintu kelas, ada keheningan yang sama, namun keributan kembali muncul begitu penghuni kelas menyadari perempuan berkemeja biru tua, bercelana jeans hitam, berkuncir kuda itu bukan dosen yang mereka tunggu-tunggu. Perempuan itu menghela napas lega lalu melangkahkan kaki, menuju kursi kosong, tepat disebelah sahabatnya yang sudah dengan sangat baik menjagakan tempat duduk.

“Sampe keringetan gitu Ka,” Kallima tertawa, melihat wajah Aka yang sudah memerah setelah berlari dan 
tercampur malu karena salah kelas tadi. “Beneran lari, Ka?”

Aka, segera duduk lalu menghela napas panjang lagi, sebelum menjawab pertanyaan Kallima. “Gak, tadi terbang Kal. Hih—gara-gara ban bocor nih,” keluhnya. “Oh ya, tadi aku lihat Pak Tar di lift, kok belum masuk ya?” Aka mengusap lehernya. Sudah berkeringat ternyata.

Kalimat itu baru saja selesai ketika pintu kelas terbuka. Pak Tar masuk kelas dengan kemeja batik, celana kain hitam, tas laptop dan absen di tangan kiri. Seisi kelas sibuk menyiapkan buku catatan masing-masing, 
tak terkecuali Aka dan Kallima.

Pak Tar baru saja duduk, menyiapkan mic, membuka notes yang memang biasanya dia bawa dan berujar. 

“Minggu lalu saya bilang hari ini responsi ya?”

Aka melirik Kallima, Kallima melirik Aka, seluruh kelas saling melirik manusia disebelahnya.

“Astaga.”
!

Vespa kuning itu masih ada disana, terparkir manis diantara dua sepeda motor matic. Kaki Aka melangkah menuju tempat parkir lain yang jauh dibelakangnya, kaki Aka terhenti lagi, mundur beberapa langkah, berhenti lagi, di belakang vespa kuning yang sudah menyita perhatiannya sejak pagi.

Ia mengusap dagunya, berpose seperti berpikir, dan memang dia sedang berpikir, mengira-ngira siapa pemilik sepeda motor dengan warna mencolok itu.

“Kalau perempuan gak mungkin deh kayaknya. Kalau laki-laki—“ Aka memiringkan kepalanya ke kanan, lalu ke kiri. “kok norak abis.”

Aka masih berdiri disana walaupun 5 menit telah berlalu, walaupun sebuah sepeda motor milik kenalannya sudah menekan klakson dengan maksud menyapa, pemilik sepeda motor lain menekan klakson karena dia berada di tengah jalan dan pemilik sepeda motor lain menekan klakson untuk menyadarkan posisi Aka yang mengganggu lalu lintas kendaraan yang hendak keluar.

Aka baru tersadar setelah tepukan dari Kallima. “Heh! Ngapain ngelamun? Kamu tuh di tengah jalan Ka!”

Aka menoleh, melihat Kallima dengan ekspresi terkejut. “Gakpapa Kal, pulang?”

“Iya, tadinya mau belok ke basement. Tapi ngeliat kamu bengong nutupin jalan, mending negur kamu dulu daripada nanti kamu kenapa-kenapa,” Kallima tertawa kecil, lalu berbalik. “Cepetan balik Ka, kayaknya mau hujan nih!”

Aka hanya melambaikan tangan. “Yo!” lalu melihat ke kiri, kanan, dan ternyata benar ia berada di tengah jalan, kenapa ia tidak mendengar bunyi klakson apapun dari pengendara sepeda motor yang lewat.

Ia melihat plat nomor vespa kuning yang masih terparkir tepat di depannya. Menghapalkannya dalam hati dan berlalu, sebelum hujan turun ia harus sudah menyentuh halaman rumahnya, tida k kehujanan di jalan tidak juga ribet memakai celana jas hujan plus atasannya.
!

Pagi itu Aka tidak terlambat, mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana berwarna putih, rambutnya di kuncir kuda seperti biasa dan beruntung, ia berhasil mendapatkan tempat parkir di basement. Kakinya melangkah ringan, bersenandung pelan, memasuki lantai dasar gedung, matanya menangkap vespa kuning yang sama dengan kemarin, terparkir manis diantara sepeda motor matic dan sepeda motor cowok yang tampak gagah. Tapi tetap saja, mata Aka terpancang pada vespa kuning yang entah milik siapa.

Aka melirik ke kiri, lalu ke kanan. Sepertinya pemilik vespa kuning sudah tiba sejak tadi, percuma juga mencari tahu, lebih baik ia segera masuk ke kelas, duduk manis atau tidur sejenak. Bagi Aka tidur sejenak adalah keuntungan lebih ketika berangkat pagi, dia berhak mendapatkannya.

Seseorang baru saja keluar dari gedung tampak terburu-buru, mungkin kunci sepeda motornya tertinggal atau ia lupa mengambil sesuatu dari bagasi sepeda motor. Atau sudahlah— tidak mungkin dia pemilik vespa kuning.

Sebentar—batin Aka. Ia berbalik dan memperhatikan kemana laki-laki itu pergi.

Bukan, laki-laki itu berhenti di belakang sebuah sepeda motor berwarna hitam dan tampaknya mengambil kunci yang tertinggal. Bukan laki-laki itu. Aka menghela napas.

Sudahlah.

Seorang laki-laki melewati Aka yang telah menaiki tangga, menuju ke parkiran basement, berhenti di belakang vespa kuning. Laki-laki berkulit coklat sawo matang, rambut berantakan, kemeja putih yang dilinting hingga siku, celana jeans yang tampak sudah lusuh, asik bersenandung pelan.
!

Siang itu Aka tidak terlambat. Ia sengaja datang setengah jam sebelum kuliah dimulai. Demi mengetahui asal usul vespa kuning yang membuatnya penasaran luar biasa tentang siapa pemilik vespa itu, angkatan berapa, bagaimana wajah pemiliknya, kenapa harus kuning, walaupun ia jelas tahu keingintahuannya hanyalah sebagian dari keisengannya.

Aka menunggu di depan turunan yang menghubungkan antara parkir basement dengan lapangan parkir yang berada di samping gedung. Perkiraannya, laki-laki pemilik vespa kuning itu akan parkir di gedung ini lagi kecuali, jika Aka sedang sial, laki-laki pemilik vespa kuning tidak berkuliah hari ini atau tidak berkuliah di gedung ini.

Aka menunggu, 15 menit, tidak ada vespa berwarna kuning, 20 menit juga tidak ada. Sebelum mati bosan Aka memilih untuk mengecek, siapa tahu vespa kuning itu sudah tiba lebih dulu atau sudah tiba tapi luput dari pengawasannya.

Aka menepuk dahinya, ada jalur lain menuju ke tempat parkir yang berada di samping kiri gedung dan tidak mungkin ia mengawasinya sekaligus. Ia tidak bisa membelah dirinya menjadi dua layaknya amoeba.

Setengah sebal karena usahanya bisa jadi sia-sia belaka, Aka menyelidik sepeda motor yang berada di tempat parkir. Dan bingo! Menemukan vespa kuning yang baru saja terparkir manis. Bagaimana Aka bisa tahu kalau vespa itu baru saja parkir?

Jelas saja ia tahu, pemilik vespa itu masih duduk diatas vespa dan belum melepaskan helmnya. Aka mengintip dari samping, ia masih belum bisa melihat pemilik wajah vespa itu dengan jelas, mengintip dari belakang apalagi, dengan sangat terpaksa Aka berjalan pelan-pelan dan tampak sealami mungkin menuju deretan sepeda motor  yang terparkir tepat di depan vespa kuning, hanya terpisahkan jarak kecil yang cukup untuk satu sepeda motor lalu lalang, demi melihat bagaimana wajah pemiliknya.

Langkah aka terlalu lambat, karena tepat ketika Aka baru akan melangkah, laki-laki itu sudah membuka helmnya, ketika Aka mulai berlari kecil laki-laki itu menoleh kea rah sebaliknya, ketika Aka nyaris lari marathon laki-laki itu sudah melangkah ke arah yang membuat Aka tidak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya.

Aka terdiam. Berdiri mematung seperti orang bodoh. Dan benar, ia merasa bodoh. Masih merasa bodoh. Kenapa ia tidak berteriak tadi untuk menarik perhatian si pemilik vespa kuning atau berlari dan mencegatnya, 
atau—

Aka terdiam lagi. Kali ini bukan bibirnya saja tapi kepalanya pun diam, hening.

Laki-laki yang tinggal punggungnya tadi berbalik, disaat Aka sudah menundukkan kepala dan hendak menyerah. Sekarang, Aka bisa melihat wajahnya, akhirnya ia bisa melihat wajah pemilik vespa kuning. Aka berdiri terdiam, tidak berkedip, tidak mau melewatkan kesempatan ini sedikitpun.

Laki-laki itu mengenakan kacamata, kemeja putih dengan celana kain berwarna hitam, rambutnya tampak rapi, tubuhnya kurus, wajahnya sedikit berjerawat, Aka menatap laki-laki itu takjub, jauh sekali dari bayangannya. Sementara laki-laki itu entah berbuat apa pada vespa kuningnya, Aka memilih untuk tidak memperhatikan, berbalik dan angkat kaki dari lokasinya saat ini.

Ia pikir laki-laki pemilik vespa kuning itu adalah laki-laki yang keren, tampan atau apalah yang membuatnya mengangguk-angguk mantap dan bisa menjadikan laki-laki itu cowok inceran. Ternyata.

Aka, penyelidikanmu sampai disini saja. Banyak free puk puk ya— batinnya sambil berlalu.

Aka berjalan menuju pintu masuk gedung melalui basement, melewati seorang laki-laki dengan wangi sabun mandi yang membuat Aka berbalik sejenak. Berkemeja hitam di linting hingga siku, celana jeans belel, rambut yang tampak berantakan bahkan cenderung gondrong yang bersenandung pelan.

Aka terhenyak selama beberapa detik.

Laki-laki berkemeja hitam itu berjalan melewati parkiran basement, menuju parkiran disamping gedung, menuju ke tempat vespa berwarna kuning terparkir manis.

“Makasih ya Ted,” laki-laki berkemeja hitam itu menepuk bahu laki-laki berkacamata dan berkemeja putih, laki-laki yang dipanggil Ted itu menyerahkan kunci vespa kuning ke laki-laki berkemeja hitam.

“Sama-sama,” jawab laki-laki yang dipanggil Ted. “Gak pengen ganti warna motor? Nyolok mata nih warnanya, kayak stabilo.”

Laki-laki berkemeja hitam itu tersenyum. “Itu yang bikin orang penasaran siapa yang punya kan.”




0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang