Perempuan itu menutup matanya, seperti orang-orang lain
ketika malam menjelang. Namun berbeda dengan orang-orang lain, ia tidak sanggup
menemukan apapun dalam tidurnya, seperti menemukan seseorang dalam mimpi,
seperti melakukan sesuatu dalam mimpi, seperti melihat kejadian dalam mimpi.
Perempuan itu tidak pernah bermimpi. Ia tidak pernah
menemukan warna apapun selain hitam didalamnya, didalam tidurnya, didalam
lelapnya. Sehingga ketika ia terbangun dipagi hari, perempuan itu tidak bisa
menceritakan apapun tentang mimpinya, karena ia tidak pernah bermimpi.
Ia menjalani hari seperti perempuan kebanyakan, kegiatan
rutin tak pernah terlepas, tawa tetap ada, senyum tetap muncul, kadang marah
pun datang ketika perasaannya merasa tidak nyaman, tapi ia tidak pernah memilih
untuk tidur ketika melarikan diri dari kepenatan. Ia tidak terlalu suka
tenggelam dalam warna hitam yang tidak kunjung berganti juga.
Hari itu cerah, matahari bersinar terik. Perempuan itu
berjalan menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah, sesekali matanya melirik
ke kiri dan kanan memperhatikan kendaraan yang melaju mendahuluinya,
meninggalkan karbon monoksida hasil pembakaran menguap ke udara. Perempuan itu
tidak memiliki tujuan memang, hari ini libur, ia tidak perlu berangkat ke
tempat kerja, ataupun menjalani kuliah sore. Ia bisa beristirahat, bukan
berarti tidur. Perempuan itu menghela napas panjang, menutupi sinar matahari
yang menusuk matanya, ia tidak akan menemukan apapun dalam tidurnya.
Ada sebuah gerobak di pinggir trotoar dan 3 buah kursi plastik
yang baru ditempati salah satunya, oleh laki-laki berambut hitam, rambutnya
tampak sedikit berantakan, hingga menutupi alisnya, nyaris menutupi matanya,
kacamatanya bertengger di pangkal hidung, tangan kanannya memegang mangkuk
putih.
Perempuan itu tertarik, tertarik pada isi gerobak yang
menggelitik nafsu makannya. Bakso, pikirnya. Bukan sarapan yang buruk.
Setelah memesan pada laki-laki bertopi lusuh dengan kaos
berwarna putih bergambar calon gubernur yang gagal dalam pilkada tahun lalu,
perempuan itu duduk di samping laki-laki berambut hitam. Ia tidak pernah
menyukai warna hitam, tapi warna hitam rambut laki-laki itu menarik
perhatiannya.
Ia tidak pernah melihat warna hitam lain, selain di dalam
tidurnya, ketika ia menutup mata, ketika ruangan menjadi gelap, dan rambut
laki-laki itu. Tak ada warna hitam di dunia ini, kecuali diciptakan oleh
manusia itu sendiri, dalam ketidaksengajaan, warna rambut laki-laki itu
termasuk dalam ketidaksengajaan pastinya, karena tidak ada cat rambut berwarna
hitam yang diproduksi.
Tidak ada yang bisa meramu warna hitam dengan sengaja,
walaupun semua warna dicampur menjadi satu, tak ada yang mampu membuatnya, tak
ada orang yang mampu menciptakan warna hitam sempurna seperti di dalam
mimpinya, seperti ketika semua lampu padam dan seperti warna rambut laki-laki
ini.
“Apakah rambut itu di cat?” perempuan itu bertanya, ragu, ia
sempat menunggu selama beberapa detik sebelum laki-laki itu menjawab dengan
gelengan.
“Warna rambut yang bagus,” perempuan itu berusaha memuji,
bukan hanya sekedar basa-basi, karena memang ia menyukai warna rambut itu,
warna gelap, segelap mimpinya, padahal ia sudah tidak menyukai warna hitam
sejak lama, sejak ia selalu berteriak ketika lampu dipadamkan, ketika secara
tiba-tiba seseorang menutupi matanya dari belakang. Tapi kali ini, rambut warna
hitam milik laki-laki itu membuatnya sanggup berkata sebaliknya.
Laki-laki itu sempat terdiam, memperhatikan perempuan yang
baru saja memuji warna rambutnya. Ia meletakkan mangkuk berwarna putih yang
dipegangnya, lalu tersenyum. “Benarkah?”
Perempuan itu mengangguk mantap. “Aku baru saja menyukainya.”
“Kalau begitu kau bisa menutup matamu.”
“Kenapa?”
“Kau akan selalu menemukan warna yang sama setiap kau
melakukannya.”
Perempuan itu menutup matanya. Membukanya kembali.
Ia sudah berada di atas kasur, menatap langit-langit kamar
yang berwarna putih. Mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Tapi tak
berhasil, ia tidak menemukan apapun untuk diingat kecuali rencananya sejak
kemarin, untuk berjalan-jalan sejenak mengisi hari libur, karena kuliah sorenya
libur begitu juga pekerjaannya.
Perempuan itu menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah,
bersenandung pelan, melirik ke kanan, memperhatikan kendaraan yang berlalu
melewatinya, meninggalkan debu yang mungkin saja menempel di wajah.
Matanya menelusuri trotoar, dan berhenti di sebuah gerobak
di pinggir trotoar, ada 4 buah kursi plastik, dua diantaranya telah ditempati
oleh seorang laki-laki berambut hitam gelap dan seorang perempuan berambut
kuning cerah. Bau mie ayam menggelitik perutnya yang lapar, perempuan itu
segera memesan kepada pedagang mie ayam yang mengenakan kaos berwarna biru
bergambar calon bupati yang kalah dalam pemilihan tahun lalu. Kemudian
perempuan itu duduk di samping laki-laki berambut hitam.
Perempuan itu memperhatikan warna hitam rambut laki-laki
itu, ia menemukan warna hitam hanya ketika ia terlelap, ketika lampu
dipadamkan, ketika menutup mata, dan pada rambut laki-laki itu.
“Warna rambut yang bagus,” perempuan berambut kuning memuji
laki-laki berambut hitam, sebelum perempuan itu melakukannya, hingga ia hanya
sanggup menelan kata dan mencoba mencuri dengar jawaban apa yang akan diberikan
laki-laki berambut hitam.
“Terimakasih. Warna rambutmu pun begitu.”
Perempuan itu menatap rambutnya sendiri yang tergerai
melewati pundak, warnanya merah terang.
“Rambutmu juga bagus,” laki-laki berambut hitam tersenyum,
pada perempuan itu. Senyum yang membuat perempuan itu tak sanggup untuk tidak
ikut tersenyum.
Perempuan itu berkedip sekali. Lalu hitam.
Perempuan itu membuka matanya, mengangkat kepalanya dari
lipatan tangan. Ia melirik jam diatas meja, sudah pukul 5 pagi dan ini hari liburnya.
Perempuan itu terdiam, ia tidak bisa mengingat apapun, hanya warna hitam yang
diingatnya, seperti hari-hari sebelumnya, ia melupakannya.
Setelah berganti baju dan mandi perempuan itu melangkah
keluar dari rumah kecilnya, yang hanya ditempati oleh dirinya dan seekor kucing
peliharaanya, kucing berwarna biru tua, yang ia temukan di jalanan. Perempuan
itu berpamitan pada kucingnya setelah mengisi penuh tempat makannya yang
berwarna kuning cerah lalu berjalan menyusuri trotoar.
Ia bersenandung pelan, menyenandungkan lirik yang diingat
sekenanya, melirik ke kanan, memperhatikan kendaraan yang melewatinya, melaju
dengan kencang, meninggalkan suara bising kendaraan.
Ada sebuah gerobak, tak jauh darinya, menghentikkan
langkahnya, perutnya bergejolak, minta diisi. Sarapan bubur jelas hal yang
menyenangkan bagi perjalanan paginya.
Ada 5 kursi plastik disana, ditempati oleh 3 orang, seorang
laki-laki dengan rambut berwarna hitam gelap, perempuan berambut kuning dan seorang
anak kecil berambut merah. Mereka bertiga menikmati semangkuk bubur tanpa
menghiraukan perempuan itu yang baru saja akan duduk setelah memesan pada
laki-laki berkaos putih dengan gambar calon presiden yang menjadi presiden
tahun ini.
Rambut laki-laki yang berwarna hitam menarik perempuan itu,
membuatnya memperhatikan pemilik rambut hitam itu tanpa henti, sesekali
melirik, berkali-kali tertangkap. Hingga laki-laki itu berdiri dari duduknya
dan tampak gusar karena perilaku perempuan itu.
“Memangnya ada apa dengan rambutku? Ha!”
Perempuan itu terkejut, ketika laki-laki itu tiba-tiba
berdiri dan menghardiknya dengan kata-kata kasar, hingga ia terjungkal dan kaki
kursi plastiknya patah, kepala perempuan itu menyentuh trotoar yang keras dan
warna hitam kembali memenuhi penglihatannya.
Perempuan itu mengerjapkan matanya, langit-langit berwarna
putih yang pertama kali ia lihat ketika membuka mata, setelah terdiam selama
beberapa detik berusaha untuk mengingat hal yang terjadi ia menyimpulkan
sendiri. Ia tidak bermimpi malam itu.
Laki-laki berambut hitam menutup buku bersampul hitam yang
dibacanya, tersenyum pada perempuan itu. Ia duduk tak jauh dari kasur perempuan
itu, di sebuah single sofa berwarna hitam.
“Tidak bermimpi lagi hari ini?”
Perempuan itu menggeleng. Tersenyum.
“Tidak. Sepertinya karena aku terlalu sering bersamamu.”
0 komentar :
Posting Komentar