Rabu, 19 Desember 2012

Hitam



Perempuan itu menutup matanya, seperti orang-orang lain ketika malam menjelang. Namun berbeda dengan orang-orang lain, ia tidak sanggup menemukan apapun dalam tidurnya, seperti menemukan seseorang dalam mimpi, seperti melakukan sesuatu dalam mimpi, seperti melihat kejadian dalam mimpi.

Perempuan itu tidak pernah bermimpi. Ia tidak pernah menemukan warna apapun selain hitam didalamnya, didalam tidurnya, didalam lelapnya. Sehingga ketika ia terbangun dipagi hari, perempuan itu tidak bisa menceritakan apapun tentang mimpinya, karena ia tidak pernah bermimpi.

Ia menjalani hari seperti perempuan kebanyakan, kegiatan rutin tak pernah terlepas, tawa tetap ada, senyum tetap muncul, kadang marah pun datang ketika perasaannya merasa tidak nyaman, tapi ia tidak pernah memilih untuk tidur ketika melarikan diri dari kepenatan. Ia tidak terlalu suka tenggelam dalam warna hitam yang tidak kunjung berganti juga.

Hari itu cerah, matahari bersinar terik. Perempuan itu berjalan menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah, sesekali matanya melirik ke kiri dan kanan memperhatikan kendaraan yang melaju mendahuluinya, meninggalkan karbon monoksida hasil pembakaran menguap ke udara. Perempuan itu tidak memiliki tujuan memang, hari ini libur, ia tidak perlu berangkat ke tempat kerja, ataupun menjalani kuliah sore. Ia bisa beristirahat, bukan berarti tidur. Perempuan itu menghela napas panjang, menutupi sinar matahari yang menusuk matanya, ia tidak akan menemukan apapun dalam tidurnya.

Ada sebuah gerobak di pinggir trotoar dan 3 buah kursi plastik yang baru ditempati salah satunya, oleh laki-laki berambut hitam, rambutnya tampak sedikit berantakan, hingga menutupi alisnya, nyaris menutupi matanya, kacamatanya bertengger di pangkal hidung, tangan kanannya memegang mangkuk putih.

Perempuan itu tertarik, tertarik pada isi gerobak yang menggelitik nafsu makannya. Bakso, pikirnya. Bukan sarapan yang buruk.

Setelah memesan pada laki-laki bertopi lusuh dengan kaos berwarna putih bergambar calon gubernur yang gagal dalam pilkada tahun lalu, perempuan itu duduk di samping laki-laki berambut hitam. Ia tidak pernah menyukai warna hitam, tapi warna hitam rambut laki-laki itu menarik perhatiannya.

Ia tidak pernah melihat warna hitam lain, selain di dalam tidurnya, ketika ia menutup mata, ketika ruangan menjadi gelap, dan rambut laki-laki itu. Tak ada warna hitam di dunia ini, kecuali diciptakan oleh manusia itu sendiri, dalam ketidaksengajaan, warna rambut laki-laki itu termasuk dalam ketidaksengajaan pastinya, karena tidak ada cat rambut berwarna hitam yang diproduksi.

Tidak ada yang bisa meramu warna hitam dengan sengaja, walaupun semua warna dicampur menjadi satu, tak ada yang mampu membuatnya, tak ada orang yang mampu menciptakan warna hitam sempurna seperti di dalam mimpinya, seperti ketika semua lampu padam dan seperti warna rambut laki-laki ini.

“Apakah rambut itu di cat?” perempuan itu bertanya, ragu, ia sempat menunggu selama beberapa detik sebelum laki-laki itu menjawab dengan gelengan.

“Warna rambut yang bagus,” perempuan itu berusaha memuji, bukan hanya sekedar basa-basi, karena memang ia menyukai warna rambut itu, warna gelap, segelap mimpinya, padahal ia sudah tidak menyukai warna hitam sejak lama, sejak ia selalu berteriak ketika lampu dipadamkan, ketika secara tiba-tiba seseorang menutupi matanya dari belakang. Tapi kali ini, rambut warna hitam milik laki-laki itu membuatnya sanggup berkata sebaliknya.

Laki-laki itu sempat terdiam, memperhatikan perempuan yang baru saja memuji warna rambutnya. Ia meletakkan mangkuk berwarna putih yang dipegangnya, lalu tersenyum. “Benarkah?”

Perempuan itu mengangguk mantap. “Aku baru saja menyukainya.”

“Kalau begitu kau bisa menutup matamu.”

“Kenapa?”

“Kau akan selalu menemukan warna yang sama setiap kau melakukannya.”

Perempuan itu menutup matanya. Membukanya kembali.

Ia sudah berada di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Tapi tak berhasil, ia tidak menemukan apapun untuk diingat kecuali rencananya sejak kemarin, untuk berjalan-jalan sejenak mengisi hari libur, karena kuliah sorenya libur begitu juga pekerjaannya.

Perempuan itu menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah, bersenandung pelan, melirik ke kanan, memperhatikan kendaraan yang berlalu melewatinya, meninggalkan debu yang mungkin saja menempel di wajah.

Matanya menelusuri trotoar, dan berhenti di sebuah gerobak di pinggir trotoar, ada 4 buah kursi plastik, dua diantaranya telah ditempati oleh seorang laki-laki berambut hitam gelap dan seorang perempuan berambut kuning cerah. Bau mie ayam menggelitik perutnya yang lapar, perempuan itu segera memesan kepada pedagang mie ayam yang mengenakan kaos berwarna biru bergambar calon bupati yang kalah dalam pemilihan tahun lalu. Kemudian perempuan itu duduk di samping laki-laki berambut hitam.

Perempuan itu memperhatikan warna hitam rambut laki-laki itu, ia menemukan warna hitam hanya ketika ia terlelap, ketika lampu dipadamkan, ketika menutup mata, dan pada rambut laki-laki itu.

“Warna rambut yang bagus,” perempuan berambut kuning memuji laki-laki berambut hitam, sebelum perempuan itu melakukannya, hingga ia hanya sanggup menelan kata dan mencoba mencuri dengar jawaban apa yang akan diberikan laki-laki berambut hitam.

“Terimakasih. Warna rambutmu pun begitu.”

Perempuan itu menatap rambutnya sendiri yang tergerai melewati pundak, warnanya merah terang.

“Rambutmu juga bagus,” laki-laki berambut hitam tersenyum, pada perempuan itu. Senyum yang membuat perempuan itu tak sanggup untuk tidak ikut tersenyum.

Perempuan itu berkedip sekali. Lalu hitam.

Perempuan itu membuka matanya, mengangkat kepalanya dari lipatan tangan. Ia melirik jam diatas meja, sudah pukul 5 pagi dan ini hari liburnya. Perempuan itu terdiam, ia tidak bisa mengingat apapun, hanya warna hitam yang diingatnya, seperti hari-hari sebelumnya, ia melupakannya.

Setelah berganti baju dan mandi perempuan itu melangkah keluar dari rumah kecilnya, yang hanya ditempati oleh dirinya dan seekor kucing peliharaanya, kucing berwarna biru tua, yang ia temukan di jalanan. Perempuan itu berpamitan pada kucingnya setelah mengisi penuh tempat makannya yang berwarna kuning cerah lalu berjalan menyusuri trotoar.

Ia bersenandung pelan, menyenandungkan lirik yang diingat sekenanya, melirik ke kanan, memperhatikan kendaraan yang melewatinya, melaju dengan kencang, meninggalkan suara bising kendaraan.

Ada sebuah gerobak, tak jauh darinya, menghentikkan langkahnya, perutnya bergejolak, minta diisi. Sarapan bubur jelas hal yang menyenangkan bagi perjalanan paginya.

Ada 5 kursi plastik disana, ditempati oleh 3 orang, seorang laki-laki dengan rambut berwarna hitam gelap, perempuan berambut kuning dan seorang anak kecil berambut merah. Mereka bertiga menikmati semangkuk bubur tanpa menghiraukan perempuan itu yang baru saja akan duduk setelah memesan pada laki-laki berkaos putih dengan gambar calon presiden yang menjadi presiden tahun ini.

Rambut laki-laki yang berwarna hitam menarik perempuan itu, membuatnya memperhatikan pemilik rambut hitam itu tanpa henti, sesekali melirik, berkali-kali tertangkap. Hingga laki-laki itu berdiri dari duduknya dan tampak gusar karena perilaku perempuan itu.

“Memangnya ada apa dengan rambutku? Ha!”

Perempuan itu terkejut, ketika laki-laki itu tiba-tiba berdiri dan menghardiknya dengan kata-kata kasar, hingga ia terjungkal dan kaki kursi plastiknya patah, kepala perempuan itu menyentuh trotoar yang keras dan warna hitam kembali memenuhi penglihatannya.

Perempuan itu mengerjapkan matanya, langit-langit berwarna putih yang pertama kali ia lihat ketika membuka mata, setelah terdiam selama beberapa detik berusaha untuk mengingat hal yang terjadi ia menyimpulkan sendiri. Ia tidak bermimpi malam itu.

Laki-laki berambut hitam menutup buku bersampul hitam yang dibacanya, tersenyum pada perempuan itu. Ia duduk tak jauh dari kasur perempuan itu, di sebuah single sofa berwarna hitam.

“Tidak bermimpi lagi hari ini?”

Perempuan itu menggeleng. Tersenyum.

“Tidak. Sepertinya karena aku terlalu sering bersamamu.”

  



0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang