Minggu, 23 Desember 2012

Putih



Pintu baru saja kubuka ketika kulihat segumpal mahluk berbulu putih di depan pintu. Berwarna putih, walaupun tampak bercak-bercak cokelat di bulunya, tapi tetap saja aku mengenali warna putih yang mendominasi bulunya.

Aku menatap gumpalan mahluk berbulu itu, melirik ke kiri, ke kanan, memastikan apakah ada seseorang yang sedang mencarinya, lalu menatap gumpalan bulu itu sekali lagi. Walaupun aku tidak tahu jenis kucing apa ini, tapi terlihat dari bulunya, kucing ini bukan kucing sembarangan, entah anggora, entah persia, entah pig nose, entah golden—sebentar, sepertinya golden jenis anjing.

Karena bukan kucing sembarangan seharusnya kucing ini memiliki pemilik. Aku berjongkok di hadapan gumpalan bulu putih itu, mencoba melihat lehernya, tak ada kalung leher. Aku berehem panjang, berpikir, bagaimana kucing ini bisa duduk di depan pintu rumahku dan bukan pintu rumah orang lain.

Kucing itu tidak mengeong, hanya menatapku dengan bola matanya yang berwarna biru terang. Tapi ia tampak lapar, dan sebenarnya aku terlalu santai dengan berjongkok di depan rumah dan meladeni gumpalan bulu putih ini.

Jadi aku segera berlari masuk, mengambil ikan yang belum sempat kuhangatkan dari atas meja makan, keluar lagi dan menghampiri gumpalan bulu putih itu, meletakkan ikan goreng itu dihadapannya menutup pintu, menguncinya lalu segera pergi.

Didalam mobil bisa kulihat dashboard menunjukkan pukul 07.00. Bisa dihabisi bos kalau lebih terlambat dari ini.

¨

Pintu baru saja kubuka, setelah terdengar suara tukang koran yang memanggil. Rutin setiap bulan, meminta tagihan dilunasi. Hari ini Sabtu, aku merenggangkan tubuh setelah duduk di sofa selama 1 jam penuh, menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng, lalu berlari menuju pintu.

Gumpalan bulu itu berada disana lagi, aku menatapnya heran.

“Mbak, cepet dong mbak, saya mau nganter koran yang lain.”

Aku tersentak, tukang koran itu sudah tampak tak senang, bisa dilihat dari kerutan di dahinya, dan bibirnya yang melengkung ke bawah. Aku segera menghampirinya, meminta maaf dan membayar seperti biasanya.
Lalu kembali pada gumpalan bulu putih yang tak kuketahui jenisnya. Dia lebih kotor dari kemarin, tapi aku masih mengenalinya, bulu putihnya masih mendominasi, mata birunya masih bulat, menatapku seperti meminta, dan dia tidak mengeong.

Aku berjongkok dihadapannya, kucing itu tampak mungil, tidak seperti kucing kampung yang sekalipun mendapatkan makan dari mengais tong sampah, dibandingkan dengan gumpalan bulu putih ini, kucing kampung tampak lebih besar, walaupun bulunya lebih bagus, lebih lebat, tampaknya halus—walaupun aku tidak ingin memegangnya—dan berwarna putih.

Mataku menatap matanya, dan dia masih menatapku, aku tidak bisa bahasa mata, dan juga bahasa kucing tapi setidaknya ketika kucing lapar bukankah mereka akan mengeong. Walaupun aku tidak punya riwayat memelihara kucing, tapi memiliki seorang teman yang maniak kucing, hingga setiap hari ia lebih sering menceritakan kucingnya daripada keluarganya, membuatku sedikit banyak tahu kalau kucing lapar pasti mengeong.

Tapi kucing ini tidak mengeong, tidak juga membuka mulutnya. Hanya menatapku dengan mata birunya.

“Miaw—“

Itu suaraku, bukan suara gumpalan bulu putih. Mencoba memancingnya, ingin mendengarnya mengeong.
Tapi dia tidak melakukannya.

Aku mengerutkan dahi. Dia terus menatapku, ketika aku berdiri dia mendongakkan kepalanya, ketika aku jongkok dia menatapku lurus-lurus.

“Pus, laper? Laper?”

Gumpalan bulu itu berputar sekali lalu kembali ke posisi semula, tampak mulutnya membuka, aku menunggu suara keluar dari sana tapi tidak. Tidak ada suara keluar dari sana.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, masih ada persediaan ikan asin di rumah. Aku melangkah masuk, mengambil ikan di dalam lemari es lalu kembali ke depan pintu, meletakkan ikan asin didepannya, menunggu gumpalan bulu itu menyantapnya hingga habis.

Tapi gumpalan bulu itu tidak melakukannya, hingga bermenit-menit berlalu, aku masih berjongkok di depannya dan dia masih menatapku. Kuambil ikan itu, kutempelkan kepala ikan di hidungnya, gumpalan bulu putih itu hanya mundur selangkah, memejamkan matanya lalu kembali menatapku.

Aku menggaruk kepala, masih tidak mengerti. Setelah beberapa menit adu tatap, aku memilih untuk meletakkan ikan asin dihadapannya, menutup pintu dan masuk ke dalam rumah.

Satu film terlewati, aku menguap. Sudah 3 jam berlalu sepertinya sejak aku masuk ke dalam rumah dan memilih untuk mengabaikan gumpalan bulu putih itu. Aku menguap lagi. Hari yang menyenangkan untuk tidur siang.

Ting—Tong—

Kubuka mata yang sudah sempat tertutup. Seharusnya tidak ada tamu hari ini.

Dengan langkah gontai kubuka pintu masuk, memperhatikan manusia yang berdiri di hadapanku. Ini dia, teman yang aku bilang maniak kucing, dia datang dengan plastik berisi barang belanjaan. “Kebetulan lewat sini tadi, sekalian mampir.”

Aku menguap. Mempersilahkannya masuk. “Belanja apa?”

“Biasa, makanan  buat si Dora.”

Dora adalah kucingnya, kucing pertama yang dipeliharanya, umurnya sudah 4 tahun, dia bercerita itu kemarin, lewat telepon, aku tidak punya waktu untuk menghitung umur kucing peliharaan orang lain. Aku melirik makanan kucing didalam kantong plastik. “Beli dimana?”

“Di Pet Shop deket sini,” temanku itu melangkah menuju dapur. “Bikin teh ya—“

Aku hanya berehem panjang, mengiyakan. Tanganku menggapai isi plastik, mengambil sebuah kaleng yang bergambar kucing, memperhatikan merknya. “Harganya berapaan nih makanannya Dora yang kalengan?” tanyaku sedikit berteriak, walaupun jarak dapur dan ruang tamu tak terlalu jauh.

Dia kembali dari ruang tamu, sambil mengaduk-ngaduk segelas teh. “Berapa ya, 20.000-an kali ya.”

“Demi?” tanyaku takjub, memutar-mutar kaleng itu. “Sama kayak 3,4 kali makan di warteg.”

“Ih—jangan dibandingin sama makan di warteg dong. Lagian yang kaleng dikasih sekali-kali doang,” dia duduk di single sofa, mengambil majalah diatas meja, lalu membolak-baliknya.

“Makanan rutinnya apa?” tanyaku lagi, menyelidiki isi plastik, ada dua buah kaleng seperti yang kupegang tadi, 3 buah sachet seukuran sachet kopi yang bertuliskan milk dan bergambar kucing, satu buah kalung kucing dengan lonceng berwarna biru dan makanan kucing yang sepertinya seberat satu kilo.

“Itu, yang gede.”

Aku mengangguk-anggukan kepala. “Harganya berapa?”

“60.000-an.”

“Demi? Bisa buat makan di warteg berkali-kali.”

Temanku itu mendesis. “Udah dibilangin jangan dibandingin sama warteg. Balikin lagi gih, kedalam plastik.”

Lalu satu persatu kukembalikan semua yang dibeli temanku untuk Dora, termasuk kalung berlonceng biru.

¨

Kubuka pintu, hari minggu. Seperti hari-hari minggu biasanya aku akan menikmati udara pagi sambil berlari, bersama sebuah handuk kecil dan sebotol air minum. Gumpalan bulu berwarna putih itu sudah duduk manis, diatas keset bertuliskan welcome, bulunya tidak sekotor kemarin, dan seingatku kemarin malam hujan deras.

Mungkin saja gumpalan bulu putih ini kehujanan.

Aku berjongkok dihadapannya, menatap mata birunya. Dia tidak mengeong, seperti biasanya. Dan kami saling adu mata seperti biasanya.

Sekali lagi, aku memang tidak bisa bahasa mata, tapi mengingat dua hari yang telah berulang, gumpalan bulu putih ini pasti menginginkan ikan. Tanganku menggapai kepalanya, mengelusnya pelan, benar tebakanku bulunya halus dan sedikit lembab, mungkin benar juga tebakanku dia kehujanan kemarin malam.

Aku masuk kedalam rumah, mengambil sebuah handuk kecil lain, sepotong daging—ikanku habis hari ini— kembali ke depan pintu rumah. Handuk itu kugunakan untuk mengeringkan bulunya yang sedikit lembab, dia tidak berontak tapi juga tak tampak senang, lalu sebagai hadiah kuletakkan daging dihadapannya.

Dia tidak langsung memakannya. Dan aku mulai membuat hipotesa kalau dia tidak akan makan jika aku melihatnya. Jadi kututup lalu kukunci pintu, meninggalkan gumpalan bulu putih sambil membawa handuk yang kugunakan untuk mengeringkannya untuk langsung di laundry.

Perjalanan menuju tempat laundry melewati sebuah pet shop, yang masih belum  buka karena belum waktunya buka. Aku berdiri di depan pet shop itu, berpikir sejenak, menimbang-nimbang, lalu meninggalkannya, menuju ke tempat laundry.

Ketika kembali ke rumah setelah memutari kompleks. Kucing itu sudah tidak ada, tidak meninggalkan sisa daging sedikitpun. Aku membuka pintu, masuk, lalu menguncinya kembali.

¨

Senin pagi. Kubuka pintu, sudah dengan sebuah tas tersampir di bahu, baju rapi, sepatu yang terpasang dan daging di piring yang kupegang. Ketika kubuka pintu, gumpalan bulu putih itu sudah berdiri didepan pintu, masih dengan bulu putihnya, mata birunya dan tak terdengar suara meong dari mulutnya.

Aku tersenyum, meletakkan piring berisi daging dihadapannya. Menatap mata biru sekali, lalu pergi, setelah menutup pintu, menguncinya dan mengucapkan sampai jumpa pada gumpalan bulu putih itu.

“Miaw—“

Aku berbalik. Menatap kucing itu. Tadi terdengar suara kucing mengeong, sepertinya mengeong, aku mendengarnya dengan jelas, walaupun kucing itu tidak berbalik dan menatapku dengan mata birunya, tapi kudengar dia mengeong, kucing itu mengeong.

Hendak kuhampiri kucing itu, sebelum mendengar ringtone handphone, ada sebuah telepon masuk memintaku untuk segera berangkat. Aku hanya bisa menoleh sekali sebelum memasuki mobil dan melaju dengan hati senang, padahal hanya mendengar seekor kucing mengeong.

¨

Hari Selasa. Kubuka pintu, dengan sekaleng makanan kucing yang kubeli di petshop kemarin, sepulang kerja dan piring yang sama yang kugunakan untuk memberi makan gumpalan bulu putih kemarin. Kusenandungkan sebuah lagu, dengan tas tersampir di bahu, sepatu yang terpasang manis di kaki, pakaian rapi, siap berangkat ke kantor dan memberikan makan pada gumpalan bulu putih.

Tapi dia tidak ada. Gumpalan bulu putih itu tidak duduk diatas keset dengan mata birunya, bulu putihnya dan kebiasaannya yang tidak pernah mengeong.

Gumpalan bulu putih itu tidak ada. Aku mengerutkan dahi, terdiam sejenak. Lalu berjongkok. Menatap kosong keset yang seharusnya berpenghuni.

Kulirik jam di tangan, sudah pukul 06.50. Kuputuskan untuk meletakkan piring diatas keset, menuangkan makanan kucing, masuk kembali ke dalam rumah, mengembalikan kaleng yang berisi sisa makanan ikan ke dalam lemari es. Keluar dari rumah, menutup, lalu mengunci pintu.

Ketika pulang, makanan itu tak tersentuh. Aku menoleh ke kiri dan kanan, berharap menemukan kucing itu di suatu tempat. Mungkin dia tidak yakin makanan ini untuknya, aku bisa menyodorkannya didepan hidung gumpalan bulu putih itu kalau menemukannya.

Tapi aku masih tidak menemukannya, jadi kutinggalkan piring  berisi makanan ikan diatas keset, membuka pintu, masuk, menutup pintu, menguncinya kembali.

Esoknya pun makanan itu masih utuh. Aku menoleh kan kepala , ke kiri, ke kanan. Tak menemukan gumpalan bulu putih dimanapun. Kuhela napas dan memilih untuk membuang makanan yang ada diatas piring, menggantinya dengan yang baru, mengembalikan kaleng dan sisa isinya ke dalam lemari es lalu berangkat kerja, menutup pintu, menguncinya dan berlalu.

Ketika pulang makanan itu tak tersentuh.

Esoknya kuganti makanan itu.

Ketika pulang makanan itu tak tersentuh.

1 minggu berlalu hingga makanan kucing dalam kaleng itu habis.

Gumpalan bulu putih belum merasakannya sama sekali, karena dia tidak pernah kembali lagi, duduk diatas keset bertuliskan welcome, dengan mata birunya, bulu putihnya dan kebiasaannya yang tidak pernah mengeong.

Aku menghela napas. Berjongkok di depan keset. Handphone di tangan kanan. Baru saja sebuah tweet terkirim, ku kantongi handphone, bersama sebuah handuk kecil dan sebotol air minum, kulangkahkan kaki keluar dari rumah setelah menutup pintu dan menguncinya.

–Rasanya, kayak patah hati—

Cerpen kali ini spesial buat Shiro yang sudah beristirahat dengan tenang.
Dan cerpen 'Putih' adalah akhir dari seri #warna 










0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang