Pintu baru saja kubuka ketika kulihat segumpal mahluk
berbulu putih di depan pintu. Berwarna putih, walaupun tampak bercak-bercak
cokelat di bulunya, tapi tetap saja aku mengenali warna putih yang mendominasi
bulunya.
Aku menatap gumpalan mahluk berbulu itu, melirik ke kiri, ke
kanan, memastikan apakah ada seseorang yang sedang mencarinya, lalu menatap
gumpalan bulu itu sekali lagi. Walaupun aku tidak tahu jenis kucing apa ini,
tapi terlihat dari bulunya, kucing ini bukan kucing sembarangan, entah anggora,
entah persia, entah pig nose, entah golden—sebentar, sepertinya golden jenis
anjing.
Karena bukan kucing sembarangan seharusnya kucing ini
memiliki pemilik. Aku berjongkok di hadapan gumpalan bulu putih itu, mencoba
melihat lehernya, tak ada kalung leher. Aku berehem panjang, berpikir,
bagaimana kucing ini bisa duduk di depan pintu rumahku dan bukan pintu rumah
orang lain.
Kucing itu tidak mengeong, hanya menatapku dengan bola
matanya yang berwarna biru terang. Tapi ia tampak lapar, dan sebenarnya aku
terlalu santai dengan berjongkok di depan rumah dan meladeni gumpalan bulu
putih ini.
Jadi aku segera berlari masuk, mengambil ikan yang belum
sempat kuhangatkan dari atas meja makan, keluar lagi dan menghampiri gumpalan
bulu putih itu, meletakkan ikan goreng itu dihadapannya menutup pintu,
menguncinya lalu segera pergi.
Didalam mobil bisa kulihat dashboard menunjukkan pukul
07.00. Bisa dihabisi bos kalau lebih terlambat dari ini.
¨
Pintu baru saja kubuka, setelah terdengar suara tukang koran
yang memanggil. Rutin setiap bulan, meminta tagihan dilunasi. Hari ini Sabtu,
aku merenggangkan tubuh setelah duduk di sofa selama 1 jam penuh, menikmati
segelas teh hangat dan pisang goreng, lalu berlari menuju pintu.
Gumpalan bulu itu berada disana lagi, aku menatapnya heran.
“Mbak, cepet dong mbak, saya mau nganter koran yang lain.”
Aku tersentak, tukang koran itu sudah tampak tak senang,
bisa dilihat dari kerutan di dahinya, dan bibirnya yang melengkung ke bawah. Aku
segera menghampirinya, meminta maaf dan membayar seperti biasanya.
Lalu kembali pada gumpalan bulu putih yang tak kuketahui
jenisnya. Dia lebih kotor dari kemarin, tapi aku masih mengenalinya, bulu
putihnya masih mendominasi, mata birunya masih bulat, menatapku seperti
meminta, dan dia tidak mengeong.
Aku berjongkok dihadapannya, kucing itu tampak mungil, tidak
seperti kucing kampung yang sekalipun mendapatkan makan dari mengais tong
sampah, dibandingkan dengan gumpalan bulu putih ini, kucing kampung tampak
lebih besar, walaupun bulunya lebih bagus, lebih lebat, tampaknya halus—walaupun
aku tidak ingin memegangnya—dan berwarna putih.
Mataku menatap matanya, dan dia masih menatapku, aku tidak
bisa bahasa mata, dan juga bahasa kucing tapi setidaknya ketika kucing lapar
bukankah mereka akan mengeong. Walaupun aku tidak punya riwayat memelihara
kucing, tapi memiliki seorang teman yang maniak kucing, hingga setiap hari ia
lebih sering menceritakan kucingnya daripada keluarganya, membuatku sedikit banyak
tahu kalau kucing lapar pasti mengeong.
Tapi kucing ini tidak mengeong, tidak juga membuka mulutnya.
Hanya menatapku dengan mata birunya.
“Miaw—“
Itu suaraku, bukan suara gumpalan bulu putih. Mencoba
memancingnya, ingin mendengarnya mengeong.
Tapi dia tidak melakukannya.
Aku mengerutkan dahi. Dia terus menatapku, ketika aku
berdiri dia mendongakkan kepalanya, ketika aku jongkok dia menatapku
lurus-lurus.
“Pus, laper? Laper?”
Gumpalan bulu itu berputar sekali lalu kembali ke posisi
semula, tampak mulutnya membuka, aku menunggu suara keluar dari sana tapi
tidak. Tidak ada suara keluar dari sana.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, masih ada persediaan
ikan asin di rumah. Aku melangkah masuk, mengambil ikan di dalam lemari es lalu
kembali ke depan pintu, meletakkan ikan asin didepannya, menunggu gumpalan bulu
itu menyantapnya hingga habis.
Tapi gumpalan bulu itu tidak melakukannya, hingga
bermenit-menit berlalu, aku masih berjongkok di depannya dan dia masih
menatapku. Kuambil ikan itu, kutempelkan kepala ikan di hidungnya, gumpalan
bulu putih itu hanya mundur selangkah, memejamkan matanya lalu kembali menatapku.
Aku menggaruk kepala, masih tidak mengerti. Setelah beberapa
menit adu tatap, aku memilih untuk meletakkan ikan asin dihadapannya, menutup
pintu dan masuk ke dalam rumah.
Satu film terlewati, aku menguap. Sudah 3 jam berlalu
sepertinya sejak aku masuk ke dalam rumah dan memilih untuk mengabaikan
gumpalan bulu putih itu. Aku menguap lagi. Hari yang menyenangkan untuk tidur
siang.
Ting—Tong—
Kubuka mata yang sudah sempat tertutup. Seharusnya tidak ada
tamu hari ini.
Dengan langkah gontai kubuka pintu masuk, memperhatikan manusia
yang berdiri di hadapanku. Ini dia, teman yang aku bilang maniak kucing, dia
datang dengan plastik berisi barang belanjaan. “Kebetulan lewat sini tadi,
sekalian mampir.”
Aku menguap. Mempersilahkannya masuk. “Belanja apa?”
“Biasa, makanan buat
si Dora.”
Dora adalah kucingnya, kucing pertama yang dipeliharanya, umurnya
sudah 4 tahun, dia bercerita itu kemarin, lewat telepon, aku tidak punya waktu
untuk menghitung umur kucing peliharaan orang lain. Aku melirik makanan kucing
didalam kantong plastik. “Beli dimana?”
“Di Pet Shop deket sini,” temanku itu melangkah menuju
dapur. “Bikin teh ya—“
Aku hanya berehem panjang, mengiyakan. Tanganku menggapai
isi plastik, mengambil sebuah kaleng yang bergambar kucing, memperhatikan
merknya. “Harganya berapaan nih makanannya Dora yang kalengan?” tanyaku sedikit
berteriak, walaupun jarak dapur dan ruang tamu tak terlalu jauh.
Dia kembali dari ruang tamu, sambil mengaduk-ngaduk segelas teh.
“Berapa ya, 20.000-an kali ya.”
“Demi?” tanyaku takjub, memutar-mutar kaleng itu. “Sama
kayak 3,4 kali makan di warteg.”
“Ih—jangan dibandingin sama makan di warteg dong. Lagian
yang kaleng dikasih sekali-kali doang,” dia duduk di single sofa, mengambil
majalah diatas meja, lalu membolak-baliknya.
“Makanan rutinnya apa?” tanyaku lagi, menyelidiki isi plastik,
ada dua buah kaleng seperti yang kupegang tadi, 3 buah sachet seukuran sachet
kopi yang bertuliskan milk dan bergambar kucing, satu buah kalung kucing dengan
lonceng berwarna biru dan makanan kucing yang sepertinya seberat satu kilo.
“Itu, yang gede.”
Aku mengangguk-anggukan kepala. “Harganya berapa?”
“60.000-an.”
“Demi? Bisa buat makan di warteg berkali-kali.”
Temanku itu mendesis. “Udah dibilangin jangan dibandingin
sama warteg. Balikin lagi gih, kedalam plastik.”
Lalu satu persatu kukembalikan semua yang dibeli temanku
untuk Dora, termasuk kalung berlonceng biru.
¨
Kubuka
pintu, hari minggu. Seperti hari-hari minggu biasanya aku akan menikmati udara
pagi sambil berlari, bersama sebuah handuk kecil dan sebotol air minum.
Gumpalan bulu berwarna putih itu sudah duduk manis, diatas keset bertuliskan
welcome, bulunya tidak sekotor kemarin, dan seingatku kemarin malam hujan
deras.
Mungkin
saja gumpalan bulu putih ini kehujanan.
Aku
berjongkok dihadapannya, menatap mata birunya. Dia tidak mengeong, seperti
biasanya. Dan kami saling adu mata seperti biasanya.
Sekali
lagi, aku memang tidak bisa bahasa mata, tapi mengingat dua hari yang telah
berulang, gumpalan bulu putih ini pasti menginginkan ikan. Tanganku menggapai
kepalanya, mengelusnya pelan, benar tebakanku bulunya halus dan sedikit lembab,
mungkin benar juga tebakanku dia kehujanan kemarin malam.
Aku
masuk kedalam rumah, mengambil sebuah handuk kecil lain, sepotong daging—ikanku
habis hari ini— kembali ke depan pintu rumah. Handuk itu kugunakan untuk
mengeringkan bulunya yang sedikit lembab, dia tidak berontak tapi juga tak
tampak senang, lalu sebagai hadiah kuletakkan daging dihadapannya.
Dia
tidak langsung memakannya. Dan aku mulai membuat hipotesa kalau dia tidak akan
makan jika aku melihatnya. Jadi kututup lalu kukunci pintu, meninggalkan
gumpalan bulu putih sambil membawa handuk yang kugunakan untuk mengeringkannya
untuk langsung di laundry.
Perjalanan
menuju tempat laundry melewati sebuah pet shop, yang masih belum buka karena belum waktunya buka. Aku berdiri
di depan pet shop itu, berpikir sejenak, menimbang-nimbang, lalu meninggalkannya,
menuju ke tempat laundry.
Ketika
kembali ke rumah setelah memutari kompleks. Kucing itu sudah tidak ada, tidak
meninggalkan sisa daging sedikitpun. Aku membuka pintu, masuk, lalu menguncinya
kembali.
¨
Senin
pagi. Kubuka pintu, sudah dengan sebuah tas tersampir di bahu, baju rapi,
sepatu yang terpasang dan daging di piring yang kupegang. Ketika kubuka pintu, gumpalan
bulu putih itu sudah berdiri didepan pintu, masih dengan bulu putihnya, mata
birunya dan tak terdengar suara meong dari mulutnya.
Aku
tersenyum, meletakkan piring berisi daging dihadapannya. Menatap mata biru
sekali, lalu pergi, setelah menutup pintu, menguncinya dan mengucapkan sampai
jumpa pada gumpalan bulu putih itu.
“Miaw—“
Aku
berbalik. Menatap kucing itu. Tadi terdengar suara kucing mengeong, sepertinya
mengeong, aku mendengarnya dengan jelas, walaupun kucing itu tidak berbalik dan
menatapku dengan mata birunya, tapi kudengar dia mengeong, kucing itu mengeong.
Hendak
kuhampiri kucing itu, sebelum mendengar ringtone handphone, ada sebuah telepon
masuk memintaku untuk segera berangkat. Aku hanya bisa menoleh sekali sebelum
memasuki mobil dan melaju dengan hati senang, padahal hanya mendengar seekor
kucing mengeong.
¨
Hari
Selasa. Kubuka pintu, dengan sekaleng makanan kucing yang kubeli di petshop
kemarin, sepulang kerja dan piring yang sama yang kugunakan untuk memberi makan
gumpalan bulu putih kemarin. Kusenandungkan sebuah lagu, dengan tas tersampir
di bahu, sepatu yang terpasang manis di kaki, pakaian rapi, siap berangkat ke
kantor dan memberikan makan pada gumpalan bulu putih.
Tapi
dia tidak ada. Gumpalan bulu putih itu tidak duduk diatas keset dengan mata
birunya, bulu putihnya dan kebiasaannya yang tidak pernah mengeong.
Gumpalan
bulu putih itu tidak ada. Aku mengerutkan dahi, terdiam sejenak. Lalu
berjongkok. Menatap kosong keset yang seharusnya berpenghuni.
Kulirik
jam di tangan, sudah pukul 06.50. Kuputuskan untuk meletakkan piring diatas
keset, menuangkan makanan kucing, masuk kembali ke dalam rumah, mengembalikan
kaleng yang berisi sisa makanan ikan ke dalam lemari es. Keluar dari rumah,
menutup, lalu mengunci pintu.
Ketika
pulang, makanan itu tak tersentuh. Aku menoleh ke kiri dan kanan, berharap
menemukan kucing itu di suatu tempat. Mungkin dia tidak yakin makanan ini
untuknya, aku bisa menyodorkannya didepan hidung gumpalan bulu putih itu kalau
menemukannya.
Tapi
aku masih tidak menemukannya, jadi kutinggalkan piring berisi makanan ikan diatas keset, membuka
pintu, masuk, menutup pintu, menguncinya kembali.
Esoknya
pun makanan itu masih utuh. Aku menoleh kan kepala , ke kiri, ke kanan. Tak menemukan
gumpalan bulu putih dimanapun. Kuhela napas dan memilih untuk membuang makanan
yang ada diatas piring, menggantinya dengan yang baru, mengembalikan kaleng dan
sisa isinya ke dalam lemari es lalu berangkat kerja, menutup pintu, menguncinya
dan berlalu.
Ketika
pulang makanan itu tak tersentuh.
Esoknya
kuganti makanan itu.
Ketika
pulang makanan itu tak tersentuh.
1
minggu berlalu hingga makanan kucing dalam kaleng itu habis.
Gumpalan
bulu putih belum merasakannya sama sekali, karena dia tidak pernah kembali
lagi, duduk diatas keset bertuliskan welcome, dengan mata birunya, bulu
putihnya dan kebiasaannya yang tidak pernah mengeong.
Aku
menghela napas. Berjongkok di depan keset. Handphone di tangan kanan. Baru saja
sebuah tweet terkirim, ku kantongi handphone, bersama sebuah handuk kecil dan
sebotol air minum, kulangkahkan kaki keluar dari rumah setelah menutup pintu
dan menguncinya.
–Rasanya,
kayak patah hati—
Cerpen kali ini spesial buat Shiro yang sudah beristirahat dengan tenang.
Dan cerpen 'Putih' adalah akhir dari seri #warna
0 komentar :
Posting Komentar