Ada seorang laki-laki
tua yang selalu datang ke desa kami, di hari yang sama, di bulan yang sama, dia
akan tinggal di desa kami, singgah sejenak selama seminggu. Laki-laki tua itu
seorang pengelana yang aku kenal sejak ayah sudah tidak pernah muncul lagi
dalam kehidupanku dan ibu.
Usiaku 5 tahun saat
itu, saat laki-laki tua dengan kumis dan jambang yang mulai tampak memutih itu
menghampiri kami yang sedang bermain di tanah lapang kecil, tanah yang luput
dari gubuk tempat tinggal, tempat kami menendang-nendang bola usang dan tempat
anak perempuan berusaha untuk menggambar diatas tanah dengan potongan ranting
yang mereka temukan.
Laki-laki tua itu
memanggil kami, membuat kami tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Ia duduk
di sebuah batu besar yang tak pernah mampu kami singkirkan walaupun batu itu
memotong area bermain kami. Laki-laki tua itu memanggil kami, bukan dengan nama
tapi dengan sebuah teriakan secara tiba-tiba, ekspresi yang mengejutkan,
seperti akan mati dibunuh. Kami yang masih kanak-kanak saat itu segera
tertarik, karena rasa penasaran, bukan karena khawatir, ataupun takut. Ketika
kami telah berkumpul di depannya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, dia
menghentikkan teriakannya, lalu tersenyum.
“Apakah kalian tahu
asal nama kota Surabaya?”
Surabaya adalah kota
yang cukup jauh dari desa kami, 6 jam jika menggunakan kereta, itu pun harus
melalui stasiun Tawang Semarang. Aku tahu itu setelah dewasa, setelah merantau
keluar dari desa. Ketika umurku masih 5 tahun aku hanya dipenuhi rasa penasaran
tentang nama Surabaya, bukan kotanya, karena nama itu terdengar asing, dan
segala hal yang asing memancing rasa penasaran.
Kami menggeleng
serentak, tanpa di komando. Laki-laki berjambang dan berkumis itu mulai duduk
diatas batu, menyuruh kami untuk ikut duduk, memperhatikannya mulai bercerita
tentang kisah Sura si hiu dan Baya si buaya yang sibuk memperebutkan wilayah
kekuasaan mereka.
Aku menganggumi setiap
ekspresi yang ditunjukkan laki-laki tua itu, dia bisa benar-benar menggambarkan
bagaimana ekspresi Sura yang marah, Baya yang selalu menanggapi ajakan
berkelahi Sura, kedua hewan itu yang selalu berkelahi. Walaupun hanya
diperankan oleh satu orang, tapi sanggup membuat cerita itu hidup dengan
ekspresinya, dengan suaranya yang berubah-ubah, dengan gerakan tangan dan kadang gerakan tubuhnya, kaki, leher, kepala.
“Sura dan Baya
bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan mereka, Sura akan berkuasa di air
dan Baya di darat,” laki-laki tua itu terdiam sejenak. Dia menatap kami satu
persatu, seperti membaca setiap ekspresi
yang kami tunjukan padanya. “Apa yang kalian tunggu? Ini akhir kisahnya.”
Kami semua melenguh,
seperti sapi di kandang. Ketika kami hendak berdiri, dia melakukan hal yang
sama dengan yang dia lakukan untuk menarik perhatian kami. Dia memegangi bagian
belakang pantatnya seperti ada ekor disana, lalu berteriak kesakitan, seperti
ada sesuatu disana yang benar-benar terluka. Kami kembali duduk, menatap
ekspresinya lekat-lekat, memperhatikan setiap gerakan tubuhnya.
“Apa yang terjadi
kira-kira?” tanyanya kepada kami. Yang nyaris mati penasaran karena cerita
belum jelas endingnya. Satu persatu anak mencoba menebak sampai kemudian
laki-laki tua itu menemukan jawaban yang tepat dari kami, ia melanjutkan
ceritanya.
Sura melanggar batas
wilayah dengan mencari makan di daerah sungai, Baya merasa sungai adalah daerah
kekuasaannya karena berada di darat sementara Sura menganggap bahwa sungai
adalah daerah kekuasannya karena ada air di sungai. Mereka kembali berkelahi,
saling menggigit, hingga ekor Sura terputus dan membuatnya harus menyerah.
Kami baru benar-benar
percaya cerita itu selesai setelah laki-laki tua itu menunjukkan bahwa Sura
pulang dengan kekalahannya, dia seolah-olah pergi sambil memegangi ekornya,
berlari bahkan, lalu kembali lagi dan tersenyum kepada kami.
“Bagaimana?”
Setelah itu kami
mengelilinginya, meminta kisah-kisah yang lain.
Laki-laki tua itu
menuruti kami, tapi dia baru akan menceritakannya besok, karena hari sudah sore
dan matahari hampir tenggelam. Kami pulang dengan penuh semangat, untuk
menyambut hari esok, mendengarkan kisah lainnya dari laki-laki tua itu.
Keesokan harinya di
tempat yang sama, jam yang sama, laki-laki tua itu memenuhi janjinya, setiap
hari dia duduk di batu yang sama, didengarkan oleh anak-anak yang semakin
bertambah jumlahnya setiap hari. Selama seminggu ia menceritakan kisah yang
berbeda, namun dengan daya tarik yang sama, cara ia menceritakan setiap kisah
dengan ekspresi, gerakan dan suara.
Genap seminggu
laki-laki tua itu bercerita pada kami, sore itu ia menceritakan kisah tentang
penyihir jahat bernama Calon Arang. Laki-laki tua itu mampu menggambarkan
betapa tampak jahatnya Calon Arang, dengan tawanya yang terdengar mengerikan,
wajah sombongnya, dan kemampuan sihirnya yang hebat. Menggambarkan kesedihan
Patih Narrotama yang gagal untuk mengalahkan Calon Arang, Menggambarkan
keberanian Bahula ketika mengambil kitab milik Calon Arang untuk mengetahui
kelemahan penyihir itu, ekspresi bimbangnya ketika harus menikahi anak Calon
Arang karena ia masih mencintai Wedawati, semi mendapatka kitab milik Calon
Arang. Diakhiri dengan kekalahan Calon Arang yang akhirnya mati setelah Empu
Bhawarada menghujamnya dengan keris Weling Putih.
Kami tidak pernah berpaling
dari laki-laki tua itu, tersihir dengan kemampuan berceritanya, bahasa
tubuhnya, suaranya, ekspresinya. Bahkan dalam hati pun aku merasa tegang ketika pertarungan antara Calon
Arang dan Empu Bhawarada dimulai, seperti aku terlibat didalamnya, tenggelam
dalam kisah yang diceritakannya.
Itu kisah terakhirnya
tahun itu. Dia pergi keesokan harinya, entah di pagi buta, atau di saat kami
sibuk mencarinya, yang pasti dia sudah pergi dan kami merasa sedih karenanya,
karena tidak bisa mendengar kisahnya di setiap sore, melihatnya duduk di batu yang
sama. Aku pun merasa sedih. Sangat. Bahkan saat itu aku sampai menangis,
padahal semenjak kepergian ayah yang wajahnya tak pernah kuingat, aku tak
pernah menangis lagi, walaupun usiaku 5 tahun dan seharusnya mengompol saja
bisa membuatku meneteskan air mata.
Kami mengira laki-laki
tua itu pengembara, dan seperti halnya setiap pengembara kadang mereka kembali
ke tempat yang sama untuk kedua kalinya, jadi kami menunggu dengan sabar,
menunggu ceritanya, menunggu penuh harap.
Hingga satu tahun
berlalu, kami melihatnya lagi, ia sudah tidak berjambang lagi, tapi masih
berkumis. Dia duduk di batu yang sama, namun tanpa berteriak seperti pertama
kali datang ia telah menarik perhatian kami, membuat kami berkumpul, duduk
manis, tak peduli bahwa kami duduk tanpa alas sama sekali, karena memang
biasanya begitu.
Usiaku 6 tahun saat
itu, menatapnya dengan mata berbinar ketika ia mengeluarkan sebuah benda yang
sepertinya terbuat dari kulit, membentuk tubuh seseuatu yang asing di mataku,
seperti boneka dari kertas yang sering dibuat anak perempuan, tapi dengan
kayu-kayu yang menempel di bagian tangan dan satu kayu yang sedikit lebih besar
menopang diantara kakinya.
Dia menyebutnya wayang,
dan dia akan bercerita menggunakan benda itu. Kami semakin penasaran, jantungku
berdetak sedikit lebih cepat, karena laki-laki tua itu mulai mengeluarkan
wayang-wayang yang lain. Dan jelas saja, kami penasaran dengan bagaimana cara
laki-laki tua itu memainkannya, apa yang akan diceritakannya, dan karena setiap
wayang memiliki bentuk yang berbeda kami semakin penasaran saja dibuatnya.
Kali ini laki-laki tua
itu bercerita tentang salah satu dari
kisah Ramayana, tentang Sita yang cantik jelita ketika diculik oleh Rahwana
yang memiliki hidung yang panjang dengan ekspresi kemarahan yang melekat pada
wajahnya, lalu Rama yang dibantu oleh Anoman untuk merebut kembali Sita. Kami
bisa tahu Anoman itu seekor monyet, ketika melihat wayang yang dimainkan oleh
laki-laki tua, ketika ia memutar-mutar wayang itu di udara dan dengan lihainya
menggerakkan tangan wayang itu ketika bibirnya menirukan suara mereka, ketika
bertarung, kedua wayang yang saling bersilangan pun tampak seperti bertubrukan.
Laki-laki tua itu benar-benar tahu cara memainkan, dan setiap gerakannya
membuat kami terpesona, cara dia memainkan wayangnya, cara dia menirukan
suaranya, menggerakkan wayang-wayangnya.
Sekali lagi, kami
merasa tidak ingin kisah itu berakhir dengan cepat, dan tidak ingin matahari
segera tenggelam. Dan ketika matahari sudah tenggelam kami menginginkan sore
kembali lagi agar bisa mendengarkan laki-laki tua itu berkisah.
Selama satu minggu kami
mengenal tokoh-tokoh pewayangan lain, karena tak hanya kisah di hari pertama ia
datang setelah satu tahun berlalu yang dikisahkannya pada kami , tapi juga
kisah tentang kematian Kresna, akhir Baratayuda, kelahiran Sri Rama, semua itu
ia ceritakan dengan wayang-wayang yang dibawanya.
Hingga satu minggu
berlalu dan laki-laki tua itu kembali menghilang. Kami kembali merasakan
kesedihan, dan aku kembali menangis, diusiaku yang ke 6 tahun.
Laki-laki tua itu
kembali lagi setahun kemudian, menceritakan kisah yang berbeda lagi, dengan
benda yang berbeda lagi, kali ini dia membawa sebuah boneka yang bisa memuat
tangannya di dalamnya, kami begitu tertarik dengan benda yang dibawanya tanpa
memperhatikan, laki-laki tua itu sudah semakin tampak tua, walaupun tersenyum,
kerut-kerut diwajahnya tampak jelas, kumisnya semakin memutih, rambutnya pun
begitu.
Saat itu, aku merasa hanya aku yang
memperhatikannya, karena tidak seperti anak-anak yang lain yang merasa bahwa
laki-laki tua itu seperti pendongeng yang datang setiap tahun aku merasa dia
seperti ayahku yang telah lama tak kembali.
Setiap perubahan
fisiknya adalah perhatian utamaku.
Tahun itu usiaku 7
tahun, dia menceritakan kisah si kancil dengan boneka tangannya, kancil
berwarna coklat tua, begitu juga boneka di tangannya, di hari pertama, ia
menceritakan kecerdikan kancil menipu buaya untuk menyebrangi sungai dengan melompati
buaya satu persatu, padahal buaya sebenarnya ingin memakan si kancil. Kami
mengangguk-angggukkan kepala penuh kekaguman, mengagumi kecerdikan kancil yang
sanggup menipu buaya.
Keesokan harinya
laki-laki tua itu berkisah tentang kelinci yang sombong, yang merasa bisa
menang dalam lomba lari melawan seekor kura-kura yang lambat, dan akhirnya
kalah karena usaha keras kura-kura untuk tetap berjalan, ketika kelinci tidur
dan menganggap enteng kemampuan kura-kura.
Aku merasa senang
mendengar kisah yang diceritakan oleh
laki-laki tua itu, walaupun suaranya sudah tidak semenggelegar dulu ketika kami
pertama kali mendengar kisahnya, walaupun terkadang ia terbatuk dan kami harus
terhenti mendengarkan ceritanya. Tapi perasaan senang itu tetap ada, dan selalu
ada setiap laki-laki tua itu mulai bercerita.
Sebenarnya belum genap
seminggu ia berada di desa kami, tapi kami tidak menemukannya keesokan harinya
di batu yang sama, di jam yang sama. Walaupun kami sudah menunggu hingga
matahari tenggelam, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan laki-laki tua itu.
Begitu juga keesokan harinya, keesokan harinya, dan keesokan harinya.
Hingga usiaku menginjak
angka 30 tahun laki-laki tua itu tidak pernah kembali.Aku sudah mencoba
bertanya pada ibuku tapi dia menggelengkan kepala, tidak merasa kenal dengan
laki-laki itu, ketika aku tanya tentang ayahku dia terdiam sejenak, bisa
kulihat matanya berkaca-kaca.
Ketika itu usiaku 9
tahun. Rambut ibuku sudah memutih seperti laki-laki tua yang tak pernah datang
lagi ke desa kami.
“Ayahmu sudah meninggal
2 tahun lalu.”
Usiaku 9 tahun waktu
itu, bayangan laki-laki tua itu sebagai ayahku semakin melekat di benakku,
mungkin saja, mungkin saja, sebenarnya laki-laki tua itu bukan pergi dari desa
kami, tapi pergi dari kehidupan ini.
Laki-laki tua itu
ayahku. Mungkin saja begitu.
“Jadi, laki-laki yang
pintar bercerita itu, kakek Retno?”
Usianya 4 tahun.
Matanya besar seperti ibunya, rambutnya ikal seperti rambutku, wajahnya bulat
seperti
wajah neneknya, ekspresinya yang sangat tampak jelas ketika berbicara
seperti kakeknya.
“Iya,” aku mengangguk,
menyelimutinya, mencium dahinya. “Sekarang, Retno tidur ya.”
“Selamat malam.”
Sebenarnya, cerpen ini (akan) mengikuti tulis nusantara. Sampai kemudian aku salah lihat tanggalan, walaupun sudah kirim lewat email tapi tetap lewat dari deadline. Gak berharap menang juga sih, terlebih lagi telat ngirim -_-
2 komentar :
ha?? maksudnya??
ga ngerti.. -___-"
yg kakek siapa? yg mati siapa? bapaknya siapa? katanya bapaknya mati??
@Ilham Sasmita Dalam dugaan si anak itu, kakek yang sering datang ke desanya itu adalah bapaknya. Jadi ketika ibunya bilang kalau bapaknya udah meninggal dua tahun lalu di saat yang sama dengan saat kakek tua itu nggak pernah datang lagi, dia semakin berpikir kalau bapaknya itu ya kakek itu.
Gitu~
Makasih mas komennya :D
Posting Komentar