Kamis, 03 Januari 2013

Dongeng




Ada seorang laki-laki tua yang selalu datang ke desa kami, di hari yang sama, di bulan yang sama, dia akan tinggal di desa kami, singgah sejenak selama seminggu. Laki-laki tua itu seorang pengelana yang aku kenal sejak ayah sudah tidak pernah muncul lagi dalam kehidupanku dan ibu.

Usiaku 5 tahun saat itu, saat laki-laki tua dengan kumis dan jambang yang mulai tampak memutih itu menghampiri kami yang sedang bermain di tanah lapang kecil, tanah yang luput dari gubuk tempat tinggal, tempat kami menendang-nendang bola usang dan tempat anak perempuan berusaha untuk menggambar diatas tanah dengan potongan ranting yang mereka temukan.

Laki-laki tua itu memanggil kami, membuat kami tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Ia duduk di sebuah batu besar yang tak pernah mampu kami singkirkan walaupun batu itu memotong area bermain kami. Laki-laki tua itu memanggil kami, bukan dengan nama tapi dengan sebuah teriakan secara tiba-tiba, ekspresi yang mengejutkan, seperti akan mati dibunuh. Kami yang masih kanak-kanak saat itu segera tertarik, karena rasa penasaran, bukan karena khawatir, ataupun takut. Ketika kami telah berkumpul di depannya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, dia menghentikkan teriakannya, lalu tersenyum.

“Apakah kalian tahu asal nama kota Surabaya?”

Surabaya adalah kota yang cukup jauh dari desa kami, 6 jam jika menggunakan kereta, itu pun harus melalui stasiun Tawang Semarang. Aku tahu itu setelah dewasa, setelah merantau keluar dari desa. Ketika umurku masih 5 tahun aku hanya dipenuhi rasa penasaran tentang nama Surabaya, bukan kotanya, karena nama itu terdengar asing, dan segala hal yang asing memancing rasa penasaran.

Kami menggeleng serentak, tanpa di komando. Laki-laki berjambang dan berkumis itu mulai duduk diatas batu, menyuruh kami untuk ikut duduk, memperhatikannya mulai bercerita tentang kisah Sura si hiu dan Baya si buaya yang sibuk memperebutkan wilayah kekuasaan mereka.

Aku menganggumi setiap ekspresi yang ditunjukkan laki-laki tua itu, dia bisa benar-benar menggambarkan bagaimana ekspresi Sura yang marah, Baya yang selalu menanggapi ajakan berkelahi Sura, kedua hewan itu yang selalu berkelahi. Walaupun hanya diperankan oleh satu orang, tapi sanggup membuat cerita itu hidup dengan ekspresinya, dengan suaranya yang berubah-ubah, dengan gerakan tangan dan  kadang gerakan tubuhnya, kaki, leher, kepala.

“Sura dan Baya bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan mereka, Sura akan berkuasa di air dan Baya di darat,” laki-laki tua itu terdiam sejenak. Dia menatap kami satu persatu, seperti  membaca setiap ekspresi yang kami tunjukan padanya. “Apa yang kalian tunggu? Ini akhir kisahnya.”

Kami semua melenguh, seperti sapi di kandang. Ketika kami hendak berdiri, dia melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan untuk menarik perhatian kami. Dia memegangi bagian belakang pantatnya seperti ada ekor disana, lalu berteriak kesakitan, seperti ada sesuatu disana yang benar-benar terluka. Kami kembali duduk, menatap ekspresinya lekat-lekat, memperhatikan setiap gerakan tubuhnya.

“Apa yang terjadi kira-kira?” tanyanya kepada kami. Yang nyaris mati penasaran karena cerita belum jelas endingnya. Satu persatu anak mencoba menebak sampai kemudian laki-laki tua itu menemukan jawaban yang tepat dari kami, ia melanjutkan ceritanya.

Sura melanggar batas wilayah dengan mencari makan di daerah sungai, Baya merasa sungai adalah daerah kekuasaannya karena berada di darat sementara Sura menganggap bahwa sungai adalah daerah kekuasannya karena ada air di sungai. Mereka kembali berkelahi, saling menggigit, hingga ekor Sura terputus dan membuatnya harus menyerah.

Kami baru benar-benar percaya cerita itu selesai setelah laki-laki tua itu menunjukkan bahwa Sura pulang dengan kekalahannya, dia seolah-olah pergi sambil memegangi ekornya, berlari bahkan, lalu kembali lagi dan tersenyum kepada kami.

“Bagaimana?”

Setelah itu kami mengelilinginya, meminta kisah-kisah yang lain.
Laki-laki tua itu menuruti kami, tapi dia baru akan menceritakannya besok, karena hari sudah sore dan matahari hampir tenggelam. Kami pulang dengan penuh semangat, untuk menyambut hari esok, mendengarkan kisah lainnya dari laki-laki tua itu.

Keesokan harinya di tempat yang sama, jam yang sama, laki-laki tua itu memenuhi janjinya, setiap hari dia duduk di batu yang sama, didengarkan oleh anak-anak yang semakin bertambah jumlahnya setiap hari. Selama seminggu ia menceritakan kisah yang berbeda, namun dengan daya tarik yang sama, cara ia menceritakan setiap kisah dengan ekspresi, gerakan dan suara.

Genap seminggu laki-laki tua itu bercerita pada kami, sore itu ia menceritakan kisah tentang penyihir jahat bernama Calon Arang. Laki-laki tua itu mampu menggambarkan betapa tampak jahatnya Calon Arang, dengan tawanya yang terdengar mengerikan, wajah sombongnya, dan kemampuan sihirnya yang hebat. Menggambarkan kesedihan Patih Narrotama yang gagal untuk mengalahkan Calon Arang, Menggambarkan keberanian Bahula ketika mengambil kitab milik Calon Arang untuk mengetahui kelemahan penyihir itu, ekspresi bimbangnya ketika harus menikahi anak Calon Arang karena ia masih mencintai Wedawati, semi mendapatka kitab milik Calon Arang. Diakhiri dengan kekalahan Calon Arang yang akhirnya mati setelah Empu Bhawarada menghujamnya dengan keris Weling Putih.

Kami tidak pernah berpaling dari laki-laki tua itu, tersihir dengan kemampuan berceritanya, bahasa tubuhnya, suaranya, ekspresinya. Bahkan dalam hati pun aku  merasa tegang ketika pertarungan antara Calon Arang dan Empu Bhawarada dimulai, seperti aku terlibat didalamnya, tenggelam dalam kisah yang diceritakannya.
Itu kisah terakhirnya tahun itu. Dia pergi keesokan harinya, entah di pagi buta, atau di saat kami sibuk mencarinya, yang pasti dia sudah pergi dan kami merasa sedih karenanya, karena tidak bisa mendengar kisahnya di setiap sore, melihatnya duduk di batu yang sama. Aku pun merasa sedih. Sangat. Bahkan saat itu aku sampai menangis, padahal semenjak kepergian ayah yang wajahnya tak pernah kuingat, aku tak pernah menangis lagi, walaupun usiaku 5 tahun dan seharusnya mengompol saja bisa membuatku meneteskan air mata.

Kami mengira laki-laki tua itu pengembara, dan seperti halnya setiap pengembara kadang mereka kembali ke tempat yang sama untuk kedua kalinya, jadi kami menunggu dengan sabar, menunggu ceritanya, menunggu penuh harap.

Hingga satu tahun berlalu, kami melihatnya lagi, ia sudah tidak berjambang lagi, tapi masih berkumis. Dia duduk di batu yang sama, namun tanpa berteriak seperti pertama kali datang ia telah menarik perhatian kami, membuat kami berkumpul, duduk manis, tak peduli bahwa kami duduk tanpa alas sama sekali, karena memang biasanya begitu.

Usiaku 6 tahun saat itu, menatapnya dengan mata berbinar ketika ia mengeluarkan sebuah benda yang sepertinya terbuat dari kulit, membentuk tubuh seseuatu yang asing di mataku, seperti boneka dari kertas yang sering dibuat anak perempuan, tapi dengan kayu-kayu yang menempel di bagian tangan dan satu kayu yang sedikit lebih besar menopang diantara kakinya.

Dia menyebutnya wayang, dan dia akan bercerita menggunakan benda itu. Kami semakin penasaran, jantungku berdetak sedikit lebih cepat, karena laki-laki tua itu mulai mengeluarkan wayang-wayang yang lain. Dan jelas saja, kami penasaran dengan bagaimana cara laki-laki tua itu memainkannya, apa yang akan diceritakannya, dan karena setiap wayang memiliki bentuk yang berbeda kami semakin penasaran saja dibuatnya.

Kali ini laki-laki tua itu bercerita tentang  salah satu dari kisah Ramayana, tentang Sita yang cantik jelita ketika diculik oleh Rahwana yang memiliki hidung yang panjang dengan ekspresi kemarahan yang melekat pada wajahnya, lalu Rama yang dibantu oleh Anoman untuk merebut kembali Sita. Kami bisa tahu Anoman itu seekor monyet, ketika melihat wayang yang dimainkan oleh laki-laki tua, ketika ia memutar-mutar wayang itu di udara dan dengan lihainya menggerakkan tangan wayang itu ketika bibirnya menirukan suara mereka, ketika bertarung, kedua wayang yang saling bersilangan pun tampak seperti bertubrukan. Laki-laki tua itu benar-benar tahu cara memainkan, dan setiap gerakannya membuat kami terpesona, cara dia memainkan wayangnya, cara dia menirukan suaranya, menggerakkan wayang-wayangnya.

Sekali lagi, kami merasa tidak ingin kisah itu berakhir dengan cepat, dan tidak ingin matahari segera tenggelam. Dan ketika matahari sudah tenggelam kami menginginkan sore kembali lagi agar bisa mendengarkan laki-laki tua itu berkisah.

Selama satu minggu kami mengenal tokoh-tokoh pewayangan lain, karena tak hanya kisah di hari pertama ia datang setelah satu tahun berlalu yang dikisahkannya pada kami , tapi juga kisah tentang kematian Kresna, akhir Baratayuda, kelahiran Sri Rama, semua itu ia ceritakan dengan wayang-wayang yang dibawanya.
Hingga satu minggu berlalu dan laki-laki tua itu kembali menghilang. Kami kembali merasakan kesedihan, dan aku kembali menangis, diusiaku yang ke 6 tahun.

Laki-laki tua itu kembali lagi setahun kemudian, menceritakan kisah yang berbeda lagi, dengan benda yang berbeda lagi, kali ini dia membawa sebuah boneka yang bisa memuat tangannya di dalamnya, kami begitu tertarik dengan benda yang dibawanya tanpa memperhatikan, laki-laki tua itu sudah semakin tampak tua, walaupun tersenyum, kerut-kerut diwajahnya tampak jelas, kumisnya semakin memutih, rambutnya pun begitu.

 Saat itu, aku merasa hanya aku yang memperhatikannya, karena tidak seperti anak-anak yang lain yang merasa bahwa laki-laki tua itu seperti pendongeng yang datang setiap tahun aku merasa dia seperti ayahku yang telah lama tak kembali.

Setiap perubahan fisiknya adalah perhatian utamaku.

Tahun itu usiaku 7 tahun, dia menceritakan kisah si kancil dengan boneka tangannya, kancil berwarna coklat tua, begitu juga boneka di tangannya, di hari pertama, ia menceritakan kecerdikan kancil menipu buaya untuk menyebrangi sungai dengan melompati buaya satu persatu, padahal buaya sebenarnya ingin memakan si kancil. Kami mengangguk-angggukkan kepala penuh kekaguman, mengagumi kecerdikan kancil yang sanggup menipu buaya.

Keesokan harinya laki-laki tua itu berkisah tentang kelinci yang sombong, yang merasa bisa menang dalam lomba lari melawan seekor kura-kura yang lambat, dan akhirnya kalah karena usaha keras kura-kura untuk tetap berjalan, ketika kelinci tidur dan menganggap enteng kemampuan kura-kura.

Aku merasa senang mendengar kisah  yang diceritakan oleh laki-laki tua itu, walaupun suaranya sudah tidak semenggelegar dulu ketika kami pertama kali mendengar kisahnya, walaupun terkadang ia terbatuk dan kami harus terhenti mendengarkan ceritanya. Tapi perasaan senang itu tetap ada, dan selalu ada setiap laki-laki tua itu mulai bercerita.

Sebenarnya belum genap seminggu ia berada di desa kami, tapi kami tidak menemukannya keesokan harinya di batu yang sama, di jam yang sama. Walaupun kami sudah menunggu hingga matahari tenggelam, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan laki-laki tua itu. Begitu juga keesokan harinya, keesokan harinya, dan keesokan harinya.

Hingga usiaku menginjak angka 30 tahun laki-laki tua itu tidak pernah kembali.Aku sudah mencoba bertanya pada ibuku tapi dia menggelengkan kepala, tidak merasa kenal dengan laki-laki itu, ketika aku tanya tentang ayahku dia terdiam sejenak, bisa kulihat matanya berkaca-kaca.

Ketika itu usiaku 9 tahun. Rambut ibuku sudah memutih seperti laki-laki tua yang tak pernah datang lagi ke desa kami.

“Ayahmu sudah meninggal 2 tahun lalu.”

Usiaku 9 tahun waktu itu, bayangan laki-laki tua itu sebagai ayahku semakin melekat di benakku, mungkin saja, mungkin saja, sebenarnya laki-laki tua itu bukan pergi dari desa kami, tapi pergi dari kehidupan ini.

Laki-laki tua itu ayahku. Mungkin saja begitu.

“Jadi, laki-laki yang pintar bercerita itu, kakek Retno?”

Usianya 4 tahun. Matanya besar seperti ibunya, rambutnya ikal seperti rambutku, wajahnya bulat seperti 
wajah neneknya, ekspresinya yang sangat tampak jelas ketika berbicara seperti kakeknya.

“Iya,” aku mengangguk, menyelimutinya, mencium dahinya. “Sekarang, Retno tidur ya.”

“Selamat malam.”

Sebenarnya, cerpen ini (akan) mengikuti tulis nusantara. Sampai kemudian aku salah lihat tanggalan, walaupun sudah kirim lewat email tapi tetap lewat dari deadline. Gak berharap menang juga sih, terlebih lagi telat ngirim -_-


2 komentar :

Ilham Sasmita at: 26 September 2013 pukul 15.07 mengatakan... Reply

ha?? maksudnya??

ga ngerti.. -___-"
yg kakek siapa? yg mati siapa? bapaknya siapa? katanya bapaknya mati??

Vanessa Praditasari at: 26 September 2013 pukul 16.43 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita Dalam dugaan si anak itu, kakek yang sering datang ke desanya itu adalah bapaknya. Jadi ketika ibunya bilang kalau bapaknya udah meninggal dua tahun lalu di saat yang sama dengan saat kakek tua itu nggak pernah datang lagi, dia semakin berpikir kalau bapaknya itu ya kakek itu.

Gitu~

Makasih mas komennya :D

Posting Komentar

Beo Terbang