Sabtu, 26 Januari 2013

You Are (Not) Alone



“Apa yang terjadi?”

Otakku sibuk mengira-ngira apa jawabannya, sebelum seorang laki-laki yang berdiri di sebelahku menjawab tanpa memalingkan pandangannya ke langit, lebih tepatnya ke puncak gedung yang berfungsi sebagai mall, apartemen sekaligus restoran berbintang dengan 7 lantai.

“Ada seseorang yang membawa sandera dan mengancam akan bunuh diri.”

 Aku ikut mendongakkan kepala, menatap puncak gedung itu. Bergumam pelan, mempertanyakan bagaimana kejadian seperti ini bisa terjadi disaat aku dibebas tugaskan karena luka tembakan sekitar satu minggu lalu, dan disini, secara kebetulan atau memang intuisi, aku berada dalam situasi yang membuatku tidak bisa pulang begitu saja walaupun perutku sudah lapar dan seingatku tak ada persediaan makanan di dalam lemari es.

“Astaga,” keluhku, tetap mendongakkan kepala, mengira-ngira siapa yang di sandera dan siapa yang menyandera. Terdengar suara dari megaphone, aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bodoh, bagaimana mereka bisa mendengarnya.

Langkah kakiku membawa masuk ke dalam garis polisi yang memanjang membatasi antara jalanan yang mulai padat oleh orang-orang yang menonton dengan halaman bangunan berlantai 7. Bisa kudengar suara klakson yang mulai menambah kebisingan diantara bisik-bisik dan suara megaphone yang benar-benar tidak berguna.

Aku menepuk bahu seorang anggota polisi yang kukenal dengan baik, hingga ia berbalik dan menatap wajahku dengan tatapan terkejut. “Apa yang kau lakukan disini?”

Aku tersenyum melihat ekspresinya. “Terkejut? Aku pun begitu, seharusnya aku sedang berada di sebuah rumah makan dekat sini tapi keadaan disini terlalu mengganggu untuk ditinggalkan.”

“Seharusnya kau beristirahat di rumah kan? Lukamu sudah sembuh?” Ia bertanya dengan nada cemas, bukan hanya nadanya tapi ekspresi wajahnya.

“Kau baru saja menjengukku, bukankah kau melihatku bermain tenis kemarin? Apa yang perlu kau khawatirkan?” Aku tertawa kecil, dia tidak menanggapinya dengan serius dan terus memasang ekspresi yang sama, aku bertanya, mengalihkan perhatiannya. “Apa masalahnya?”

Dia menghela napas. “Seorang perempuan membawa sebuah colt phyton .357,  meracau di restoran yang tepat berada di lantai 7, membawa seorang sandera perempuan dan mengancam akan bunuh diri. Aku rasa dia sudah menembakkan 5 peluru sejauh ini jika perempuan itu tidak membawa peluru lain—“

“Astaga, masih ada orang yang mempunyai senjata itu di jaman seperti ini?” aku mendongakkan kepala, menyipitkan mata, berusaha menangkap apapun yang bisa dilihat oleh mata. “Berarti hanya tinggal 1 peluru maksudmu, jelas cukup untuk menembak dirinya sendiri, menjatuhkan sanderanya atau sebaliknya. Tetap saja berbahaya,” aku mengangkat bahu.

“Inspektur Sofie,” seorang anggota kesatuanku bergumam pelan, tampak terkejut dengan kehadiranku.

“Aah—berikan itu padaku,” jariku menunjuk pada teropong yang dipegangnya, segera setelah ia menyerahkannya, segera kuarahkan teropong itu pada puncak gedung.

“Kau tidak perlu mengurusi ini, pulanglah,” Tyo mulai berbicara lagi, aku memilih untuk pura-pura tidak mendengar, dia memang selalu begitu—khawatir berlebihan. “Sofie!”

“Dimana perempuan itu, kenapa aku masih tidak bisa melihatnya?” aku bertanya pada Arga—anggota kesatuan yang menyerahkan teropong itu— dia tampak ragu untuk menjawabnya, jadi aku berbalik dan melihat Tyo yang tampak sedang mengancam Arga dengan tatapannya. “Ada apa? Aku hanya bertanya.”

“Pulanglah, aku bisa mengatasinya,” dia tampak begitu bersikeras menyuruhku pulang walaupun ia memasang nada suara terlembut yang ia punya.

“Dengan apa? Dengan megaphone yang bahkan takkan terdengar sampai lantai 2 itu. Jangan bercanda,” aku tersenyum sinis. “Siapa perempuan itu? Kalian tahu?”

Terdengar teriakan yang membuatku dan Tyo menghentikan perdebatan. Tanganku segera membidik lensa teropong, tampak seorang perempuan dengan pistol yang teracung ke pelipis seorang perempuan lain, sekilas bisa kulihat wajahnya yang tampak tak asing.

“Hei, Tyo—“ aku tidak melepaskan mata dari teropong yang memperjelas wajah perempuan itu. “Apa aku mengenal perempuan itu?”

Tyo tidak menjawab selama beberapa detik. Sampai aku melepaskan teropong itu dan menatap wajahnya yang tampak ragu. “Dia teman kita ketika SMA kan? Kenapa kau tidak naik ke atas dan menenangkannya? Aku yakin dia masih mengingat wajahmu yang tampan itu,” aku melipat tangan di depan dada dan memberikan kembali teropong kepada Arga.

“Aku harus mengawasi situasi disini, sudah kukirim seseorang kesana.”

Kuhela napas. “Mungkin seharusnya aku yang naik,” kulangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung, dua orang yang berjaga di depan gedung tampak terkejut—seperti Arga dan Tyo— aku melewati mereka sembari mengumbar senyum.

“Sofie!” teriakan Tyo terdengar sampai di pintu masuk gedung tanpa membuatku berbalik sedikitpun, seperti yang kukatakan sebelumnya, kecemasannya terlalu berlebihan.

Gedung sepertinya sudah dikosongkan, hanya ada beberapa orang di lantai 1. Ketika langkah kakiku menuju ke dalam lift, seorang petugas yang hendak mencegatku di depan pintu lift berhenti tepat disaat aku berbalik melihat wajahnya, menatapku dengan tatapan heran lalu memberi hormat. Kulangkahkan kaki masuk kedalam lift, dan sebelum pintu lift tertutup kuucapkan sebuah pesan yang seharusnya disampaikan pada Tyo. “Siapkan segala hal yang diperlukan di lantai dasar, hanya untuk  berjaga-jaga.”

Belum terdengar jawaban ketika pintu lift benar-benar tertutup.

Angka pada penunjuk lantai silih berganti hingga menyentuh angka 7 dan diperlukan sekali naik tangga untuk mencapai puncaknya. Ketika pintu dibuka, tampak wajah-wajah yang menatapku heran, aku hanya tersenyum pada dua orang polisi wanita yang tampak tak berhasil membujuk perempuan itu, bisa dilihat dari jarak mereka yang masih cukup jauh dengan perempuan itu, lagipula perempuan itu masih melingkarkan lengan pada leher sanderanya dan memegang pistol, aku memperhatikan pistol yang dipegangnya, ternyata benar colt phyton .357.

Aku melangkah mendekati perempuan itu yang menatapku dengan tatapan ngeri, lalu perlahan-lahan otot-otot wajahnya yang menegang mulai mengendur walaupun tangannya tetap mengacungkan pistolnya ke arahku. “Sudah lama tidak bertemu, aku sering melihat wajahmu di SMA dulu, sayangnya aku lupa namamu.”

Perempuan itu tak berbicara, kuberanikan diri untuk mengambil selangkah lebih dekat lagi, senjatanya yang sempat turun mengikuti pergerakan tangannya kembali teracung ke arahku. “Jangan mendekat! Sofie—“
Aku tersenyum, kembali mengangkat tangan. “Kau mengingat namaku ternyata, maaf kalau begitu, aku tidak benar-benar mengingat namamu, mungkin Tyo tahu, seharusnya aku bertanya padanya tadi.”

Perempuan itu kembali diam, tapi senjatanya tetap teracung. Aku memandanginya, menatap matanya, menatap mata sanderanya yang dipenuhi ketakutan, bisa kulihat tubuh sandera perempuan itu bergetar dan kilap keringat menghiasi dahinya. Aku menatap langit, padahal cuaca sedang mendung seperti ini.

“Mau menukar sandera?”

Dia tampak mendengarkan ucapanku. Untuk seseorang yang akan bunuh diri dan membawa sandera perempuan ini terhitung cukup tenang.

“Denganku? Siapa tahu kita bisa mengobrol sementara kau menjadikanku sandera, mungkin kau bisa membatalkan keinginanmu atau mungkin aku bisa menemanimu lompat?”

Aku bisa mendengar suara salah satu polisi wanita menyebut namaku, terdengar tidak setuju dengan keputusan yang kuambil, tapi melihat kerut di dahi perempuan itu aku bisa menebak dia mempertimbangkan penawaranku.

“Santai saja, aku tidak membawa senjata hari ini, apalagi aku masih terluka karena insiden beberapa hari lalu, kau membawa sandera yang tepat jika itu aku. Lagipula lihatlah, tampaknya perempuan itu sebentar lagi akan pingsan, bukankah itu akan menyulitkanmu?” aku menunjuk sandera yang  masih gemetaran, aku tidak berbohong soal sebentar lagi  sandera perempuan itu akan pingsan karena memang kenyatannya begitu, untuk berdiri saja tampaknya sandera perempuan itu tak kuat, kakinya gemetar sejak tadi.

Perempuan itu tampak mempertimbangkan, menatapku selama beberapa detik dan akhirnya menyuruhku maju dengan kode pergerakan pistolnya. Kulangkahkan kaki sesuai arahannya sampai dimana titik dia menarikku secara tiba-tiba dan mendorong perempuan yang menjadi sanderanya menjauh, sekarang lengannya melingkar di leherku, pistol di tangan kanan. Sanderanya masih terduduk lemas dan tampak tak akan segera berdiri karena masih shock, aku memberikan kode kepada kedua polisi wanita itu untuk meninggalkan kami berdua dan mengurus sandera perempuan itu.

“Jadi apa rencanamu setelah ini?”

Perempuan itu diam. “Kenapa kau merelakan diri menjadi sandera?”

“Tidak ada tujuan khusus.  Hanya ingin mengajakmu mempertimbangkan aksimu ini. Mungkin kalau kau menyerahkan diri sekarang hukumanmu menyandera perempuan tadi akan sedikit diringankan.”

“Apakah itu tawaran paling menarik yang kau punya?”

Aku terdiam selama beberapa detik. “Sebenarnya tidak. Aku pun yakin itu tidak membuatmu tertarik. Sekarang mungkin bisa kau ceritakan kenapa kau melakukan hal ini? Bukankah lebih mudah mati sendirian?”

“Aku—“ ada jeda dalam kalimatnya. “terlalu lama sendiri.”

“Itu yang membuatmu ingin mengajak seseorang untuk mati?”

Angin bertiup di puncak bangunan itu, dan aku sibuk mendongakkan kepala menatap langit sembari menunggu jawabannya, tak terasa tekanan apapun darinya dan tampaknya ia tidak melakukan tekanan apapun pada sandera sebelumnya seperti yang dilakukannya saat ini padaku, tapi jelas saja sandera itu ketakutan setengah mati walaupun perempuan ini tak menekannya.

“Mungkin.”

Aku terdiam sejenak, memikirkan cara agar perempuan ini mau melepaskan pistolnya dan menyerah. Harus ada sebuah topik menarik yang menggugah semangat hidupnya, mungkin dari alasannya untuk melakukan semua ini.

“Aku rasa bukan hanya kau yang merasa sendirian, aku juga.”

Aku bisa merasakan helaan napasnya di telingaku. “Kau sedang melakukan drama?”

“Untuk apa melakukan drama disaat seperti ini? Memang aku masih memiliki orangtua, seorang adik, beberapa teman tapi entahlah—“ seekor burung terbang melewati kami membelah angkasa. “Tidak ada yang bisa dipercaya, bukankah itu bisa dikatakan sendirian?”

Perempuan itu diam selama beberapa detik. “Benarkah?”

“Untuk apa aku berbohong. Tapi bukankah sendirian itu menyenangkan? Atau karena kita sama-sama sendirian kita bisa bersama—“

Hening lagi.

“Kau tahu kan maksudku bersama, bukan menjadi pasangan pastinya. Aku masih normal, hanya sekedar informasi.”

Bisa kudengar perempuan itu mendengus ditelingaku. “Kau tahu, kau payah dalam membujuk, Sofie.”
Aku tersenyum. “Benarkah? Kalau begitu kita hentikan ini, aku melepaskan diri dari lengannya, dia tidak mengancam, tidak pula mengacungkan pistolnya, ia tampak lebih tenang daripada tadi.

“Serahkan pistol itu, lalu kita turun bersama-sama,” aku mengulurkan tangan meminta pistol yang berada dalam genggamannya.

“Kau tidak mempercayai orang lain padahal banyak orang yang kau kenal, dan kau masih memiliki keluarga?” ia bertanya padaku, menatapku lurus-lurus.

“Begitulah, aku tidak terlalu sering bercerita pada mereka,” aku mengeluarkan jari telunjuk, menghitung,“aku tidak terlalu dekat dengan mereka, mereka juga tampaknya tidak mau berurusan denganku. Ada apa?”

Dia tersenyum, sinis. “Ternyata kau lebih menyedihkan dariku.”

Aku mengerutkan dahi. “Benarkah? Aku lebih menyedihkan darimu yang mencoba bunuh diri dan membawa sandera,” aku melipat tangan di depan dada. “Kalau begitu kenapa kita tidak terjun bersama-sama saja?”

“Boleh,” aku bisa melihat senyumnya, kali ini senyum yang berbeda. Dia memegang teropong di tangannya. Mengarahkan ke jalanan yang dipenuhi orang-orang, aku memperhatikan pistolnya sebelum ia berkata, 

“Jangan coba-coba merebut pistol ini,” ia mengalihkan pandangan dari lensa teropong berbalik menghadapiku, “Aku akan terjun.”

Aku mengangkat bahu.”Kau tidak tampak seperti orang yang kesepian, kau seperti menganggap ini sebagai permainan.”

“Kenapa?”

“Kau banyak tersenyum.”

Dia mendengus lagi, kali ini terdengar meremehkan. “Kau benar-benar tidak mengerti.”

Aku mengangkat tangan, menyerah. “Baiklah, aku memang tidak mengerti perasaanmu. Tapi aku tahu kau melakukan perbuatan yang sedikit menyimpang jadi berikan pistol itu lalu kita turun kebawah bersama-sama,” aku maju hingga mendekatinya, hingga kami berdua sama-sama berada di pinggir pagar pembatas yang hanya setinggi mata kaki. “Bersama-sama, bukankah kau tak akan sendirian?”

“Bagaimana bisa bersama-sama kalau kau tidak mempercayaiku seperti mempercayai keluargamu, dan beberapa temanmu itu.”

Skakmat.

Hening selama beberapa menit. Mulutku terkunci untuk membantah.

“Bagaimana kalau kita terjun.”

“Apa?”

Perempuan itu mendorongku. Tepat ketika tubuhku ditarik gravitasi seperti sebuah gerakan lambat, aku masih bisa melihat ia menggerakan bibirnya mengucapkan sesuatu, tersenyum, menempelkan pistol di pelipisnya bersamaan dengan suara tembakan dan setelah beberapa detik tubuhnya limbung, yang bisa kulakukan hanya membelalakan mata dan berharap satu hal—

Tubuhnya tidak jatuh diatas tubuhku. Aku benci mayat.

Aku tahu Tyo sudah menyiapkan pengaman dibawah berupa ‘matras’ berukuran jumbo. Dan aku jatuh diatasnya dengan seluruh tubuh terasa nyeri dan tampaknya luka tembakan yang beberapa hari lalu sudah mulai menutup, terbuka kembali.

Aku bisa melihat wajah Tyo, tepat di depan wajahku, dia tampak khawatir. Sangat. “Kau baik-baik saja?”

“Tidak,” aku mengambil jeda dan menoleh, melihat tubuh perempuan itu. “Tapi sepertinya dia—iya.”

Aku masih bisa melihat senyum di wajah perempuan itu.






2 komentar :

Ilham Sasmita at: 26 September 2013 pukul 15.07 mengatakan... Reply

kamu pernah posting ini selain disini??

Vanessa Praditasari at: 26 September 2013 pukul 16.39 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita Kalau di Tumblr kayaknya pernah sih mas, kenapa ya? ._.

Posting Komentar

Beo Terbang