Jumat, 08 Februari 2013

Fairy Tale



Ada sebuah kisah, tentang ramalan yang mengatakan sang puteri akan mati karena patah hati. Karena rasa sakit yang tak tertahankan katanya. Karena perasaan yang tak bisa menjadi nyata.

Kutukan itu membuat kerajaan gempar. Sang Ratu dan Raja khawatir, sangat khawatir. Hingga mereka memutuskan untuk mencegah puteri bertemu dengan laki-laki. Siapapun itu, kecuali ayahnya sendiri--sang Raja.

Namun seiring dengan tahun demi tahun berlalu. Raja dan Ratu yang mulai menua, mereka  khawatir karena tidak mungkin membiarkan sang puteri untuk terus tinggal di dalam istana tanpa bertemu laki-laki manapun. Mereka memikirkan cara bagaimana puteri akan menemukan pasangannya, yang kelak akan menjadi Raja.

Akhirnya Raja dan Ratu memutuskan untuk mempertemukan puteri dengan pangeran-pangeran yang hendak mencari pendamping hidup. Pangeran yang datang ke kerajaan diminta untuk bertemu dengan sang puteri di dalam kamarnya. Hanya berdua.

Ketika pangeran pertama datang hari itu. Puteri merasa sangat senang. Karena seumur hidupnya ia baru bertemu dengan laki-laki yang seumuran dengannya. Ia memandangi sang pangeran dengan tatapan takjub, memperhatikan setiap gerak-geriknya, berusaha memahaminya, mengangguk setiap kali berhasil menyimpulkan sesuatu tentangnya, menganggumi wajah tampannya. Puteri merasa senang. Sangat senang berada di dekat pangeran pertama, walaupun kadang ia tidak mengerti beberapa hal yang diucapkan oleh sang pangeran.

“Kita harus menguasai rakyat kita. Agar mereka patuh pada kita,” ujar pangeran pertama dengan menggebu-gebu, matanya membulat memancarkan ambisi, tangannya terkepal, suaranya menggelegar. Di kerajaannya sendiri, pangeran pertama terkenal sebagai pangeran yang ambisius. Sibuk memperebutkan tahta dengan kakak laki-lakinya.

Puteri mengangguk-anggukkan kepala. Ia tidak ingin berdebat walaupun kadang tak setuju dengan kata-kata pangeran pertama. Ia hanya ingin mempelajari bagaimana seorang laki-laki itu. Apakah semuanya seperti pangeran pertama, ambisius dan penuh semangat? Tapi ayahnya tidak ambisius dan dari cerita pelayan-pelayan, rakyat kerajaannya makmur dan tidak dalam kekang kerajaan.

Tapi pertanyaan tinggal pertanyaan. Walaupun puteri terus bertanya tentang apakah setiap laki-laki seperti pangeran pertama. Degup jantungnya pun berdetak dengan cepat, walaupun pangeran pertama tidak pernah tersenyum, tapi senyumnya terus mengembang seperti tak bisa hilang. Setelah pangeran pertama pergi pun ia terus menghela napas panjang dan mengharapkannya kembali.

Ratu datang mengunjungi sang puteri, memastikan bagaiman perasaan puteri terhadap pangeran pertama.

“Ibunda. Kenapa jantungku berdebar ketika mendengarnya berbicara?”

“Itu yang disebut jatuh cinta anakku.”

“Dan sejak tadi aku tidak berhenti tersenyum melihatnya.”

“Benar kau sedang jatuh cinta anakku.”

“Baru saja ia melewati pintu itu tapi aku ingin melihat wajahnya lagi dan lagi.”

“Kau benar-benar sedang jatuh cinta.”

Ratu bahagia dan menceritakan pengakuan sang puteri tentang pangeran pertama. Tapi Raja tidak yakin, terlebih lagi ia tidak terlalu menyukai pangeran pertama yang menurut kabar berita, sangat haus akan tahta. Terlebih lagi karena kakak pangeran pertama yang sudah pasti akan menjadi Raja selanjutnya, bisa jadi alasan pangeran pertama mencari puteri yang bisa dinikahi adalah untuk mendapatkan tahta. Raja bersikeras tidak akan menyerahkan puteri dan kerajaannya pada orang seperti itu.

Esoknya kembali datang seorang pangeran. Kali ini dari negeri yang sangat jauh, hingga tampak penampilan secara fisiknya berbeda dengan orang-orang di kerajaan sang puteri. Pangeran kedua berpostur tinggi besar, dengan kulit berwarna coklat, rambutnya ikal menyentuh bahu.

Puteri menatap pangeran itu tanpa berkedip. Memperhatikannya baik-baik dengan ekspresi keheranan, ia belum pernah melihat laki-laki yang berkulit begitu coklat dengan rambut ikal seperti pangeran kedua. Dan caranya berbicara serta bersikap berbeda sekali dengan orang-orang di kerajaan yang dikenalnya.

Walaupun penampilan fisik dan caranya berbicara begitu asing. Puteri tetap merasa senang dengan kehadiran pangeran kedua yang sibuk menceritakan tentang kerajaannya, bagaimana pangeran kedua yang berasal dari kerajaan yang jauh bisa berada di kerajaannya, bagaimana rakyat-rakyatnya, bagaimana budaya disana, siapa saja puteri yang pernah ia temui—sekaligus memuji kecantikan sang puteri—, bagaimana kehidupannya diistana, bagaimana pendapatnya tentang kerajaan ini dan bla—bla—bla. Pangeran terus bercerita dan hebatnya sang puteri tidak mengantuk sedikitpun. Ia terus mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum, sesekali tertawa bersama pangeran kedua yang menceritakan kejadian lucu yang pernah dialami.

Selama beberapa jam berlalu, sang puteri masih tidak bosan mendengarkan cerita pangeran kedua. Berbeda dengan pangeran pertama yang memintanya untuk memberikan pendapat dan membuatnya bingung, pangeran kedua terus mengoceh tanpa membuatnya mengeluarkan kata sekalipun.

Walaupun begitu, puteri tetap merasa senang mendengarkan dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Hingga ketika pangeran kedua hendak pulang, sang pangeran memberikan ciuman di pipi sang puteri hingga membuat wajah sang puteri memerah seperti tomat. Puteri tidak pernah dicium di pipi sebelumnya, kecuali oleh Raja dan Ratu.

Setelah pintu di tutup dan puteri sendirian lagi di kamarnya, puteri terus bertopang dagu dan mengingat bagaimana pangeran kedua mencium pipinya, hingga wajahnya memanas dan kembali memerah.
Ratu yang masuk kedalam kamar sang puteri memandangi anaknya dengan pandangan heran.

“Apa kau sakit?”

Puteri menggeleng.

“Bagaimana tadi?”

“Saat ini jantungku berdebar hebat ibunda.”

“Kau jatuh cinta anakku.”

“Wajah serta tubuhku, terasa panas sejak tadi.”

“Benar. Kau jatuh cinta, anakku.”

“Dan aku terus mengingat bagaimana pangeran mencium pipiku tadi.”

Ratu mengerutkan dahinya. Berdiri dengan terburu-buru. “Apa?”

Ratu menceritakan apa yang dikatakan oleh sang puteri kepada Raja, kecuali bagian pangeran kedua mencium pipi sang puteri. Karena Ratu khawatir, Raja akan marah besar dan bisa saja memenggal kepala sang pangeran. Raja senang dan mengusulkan pangeran kedua sebagai calon suami sang puteri yang sah tapi Ratu menolak dan meminta sang Raja untuk mencarikan lagi pangeran yang lain, untuk pertimbangan selanjutnya.

Kemudian 2 hari berlalu. Belum ada pangeran lagi yang datang. Puteri bingung dengan perasaannya sendiri. 3 hari yang lalu ia memimpikan pangeran pertama setelah bertemu dengannya, 2 hari lalu ia memimpikan pangeran kedua setelah bertemu dengannya, kemarin ia memimpikan keduanya.

Dan kadang ia memikirkan pangeran pertama lalu tersenyum. Kadang pangeran kedua lalu tersenyum sambil memegangi pipi kanannya. Lalu tanpa disadari ia mulai membandingkan kulit cokelat pangeran kedua dengan kulit putih pangeran pertama, rambut lurus pangeran pertama dengan rambut ikal pangeran kedua, tubuh pangeran pertama yang kurus dengan pangeran kedua yang tampak berisi namun tetap tegap, pangeran pertama yang tampak ambisius dengan pangeran kedua yang suka bertualang.

Lalu hari-harinya mulai diisi dengan kebingungan akan perasaannya sendiri.

“Ibunda, apakah cinta bisa merasakan kebingungan?”

“Tidak. Ia selalu mantap dengan pilihannya.”

“Berarti aku tidak sedang jatuh cinta ibunda.”

Keesokan harinya pangeran ketiga datang. Secara fisik pangeran ketiga menyerupai pangeran pertama walaupun lebih tinggi darinya, tubuhnya memang kurus tapi tetap pas dengan tingginya, ia tersenyum dengan lesung pipi di kiri dan kanan, matanya bulat dengan alis yang tebal, dan ketika puteri memperhatikannya dengan cermat warna mata pangeran ketiga adalah coklat. Coklat tua.

Berbeda dengan pangeran pertama yang sibuk menceritakan tentang ambisinya. Pangeran kedua yang bercerita tentang dirinya sendiri dan kehidupannya. Pangeran ketiga mencakup kedua-duanya ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan kepada sang puteri tentang apa yang disukainya, dimana ia suka berlibur, apa yang dirasakannya, apa yang dipikirkannya, apa yang ia benci, apa yang dia inginkan.

Puteri tersenyum seperti ketika bersama pangeran pertama, tertawa seperti ketika bersama pangeran kedua dan ikut bercerita. Kali ini puteri merasa lebih bahagia, bahagia karena ia bisa berkeluh kesah, bahagia karena ia bisa menceritakan apa yang selama ini ditahannya di depan Raja dan Ratu.

Hingga berjam-jam berlalu, bahkan hari menjelang sore mereka masih mengobrol tanpa peduli waktu yang telah berlalu. Hingga Ratu mengetuk pintu dan memberi tahu pangeran ketiga bahwa kereta kudanya sudah menunggu sejak tadi.

Pangeran ketiga meminta ijin untuk pulang, sebelum berpisah, sang puteri meminta pangeran ketiga untuk datang lagi lain kali. Pangeran ketiga mengangguk, lalu tersenyum, sementara sang Ratu takjub karena puteri berani meminta secara langsung seperti itu.

Setelah pangeran ketiga pergi. Puteri dan Ratu kembali berbincang-bincang seperti biasanya.

“Bagaimana perasaanmu?”

“Aku senang sekali.”

“Apa jantungmu berdebar dengan kencang?”

“Awalnya iya. Lalu sudah tidak lagi.”

“Apa kau merindukannya?”

“Iya. Aku sangat ingin berbincang lagi dengannya.”

Ratu memiringkan kepalanya. Kebingungan. Biasanya orang yang jatuh cinta akan merasakan jantung yang terus berdebar dan rindu hanya untuk melihat wajahnya tapi kali ini berbeda, puteri tidak ingin melihat wajahnya saja tapi berbincang dengan pangeran ketiga, dan lagi jantung sang puteri tidak berdebar seperti sebelum-sebelumnya.

Ratu melaporkan hal itu pada sang Raja yang mulai mengambil kesimpulan bahwa tidak ada satupun pangeran yang cocok. Puteri tetap harus bertemu dengan laki-laki lain dan mengambil keputusan sendiri, sekalipun itu beresiko. Lagipula, mungkin saja patah hati bisa dicegah.

Akhirnya untuk pertama kalinya, puteri bisa keluar dari istana. Ia sangat bahagia. Bahagia sekali. Sehingga senyum di wajahnya tak bisa lepas. Hingga jantungnya berdebar dengan cepat. Hingga wajahnya memanas terkena matahari. Hingga rasanya ia terus bermimpi. Hingga kemudian ia tak bisa melupakan perasaan, bagaimana pertama kalinya ia keluar dari istana, bertemu dengan rakyatnya, dengan anak-anak kecil, dengan kelinci, dengan burung-burung dengan semuanya yang hanya bisa ia lihat melalui jendela atau pertama kali ia lihat saat ini. Dengan sendirinya puteri mengambil kesimpulan. Ia mencintai kebebasan.

Kemudian pangeran ketiga pun sering mengunjungi istana. Mendengarkan cerita sang puteri, sesekali menimpali, sesekali membuatnya tertawa, sesekali mengajaknya ke pesta dansa, sesekali memintanya untuk mengunjungi kerajaanya.

Ketika keraguan Ratu tentang perasaan puteri pada pangeran ketiga mulai pupus. Puteri ternyata menolak lamaran pangeran ketiga, membuat pangeran ketiga pergi dari kerajaan dengan hati yang patah dan perasaan tidak percaya.

Beberapa hari berlalu tanpa pangeran ketiga, puteri mulai bosan dengan kebebasan yang diberikan padanya. Ia mulai bosan harus berjalan menyusuri taman kerajaan sendirian, mulai bosan memberi makan kelincinya sendirian, mulai bosan bermain dengan anak-anak kecil sendirian, mulai bosan mengobrol dengan beberapa orang baru yang ditemuinya.

Tiba-tiba ia merasakan perasaan ingin bertemu dengan pangeran ketiga. Membicarakan banyak hal dengannya, menceritakan segala kejadian selama mereka tidak bertemu, datang ke pesta dansa bersama, melihat keadaan rakyatnya bersama-sama.

Lalu dengan perasaan rindu yang membuncah  puteri mengunjungi kerajaan pangeran ketiga. Ia menemui Raja dan Ratu kerajaan itu yang menatapnya dengan wajah penuh kesedihan. Puteri jelas tidak mengerti, karena tidak ada yang meberitahunya bahwa pangeran ketiga pergi menuju medan perang dan tidak pernah kembali.

Setelah lamarannya di tolak. Pangeran yang patah hati memilih untuk maju ke medan perang, walaupun Raja dan Ratu sudah  melarang dan meminta pangeran untuk menyerahkan semuanya pada panglima perang tetap saja pangeran ngotot untuk ikut, untuk melupakan sesak di dada katanya, untuk meluapkan rasa sakit katanya.

Musuh memang berhasil dipukul mundur namun pangeran meninggal karena tebasan pedang beracun dari pimpinan musuh. Kerajaan masih berduka ketika puteri tiba dengan kegembiraan lalu pulang dengan ekspresi kosong.

Kosong. Ratu menemukan puteri duduk di depan meja riasnya dengan mata kosong. Puteri tampak terus berkaca tapi pandangan matanya kosong, seperti melihat kegelapan disana, seperti tak melihat bayangannya sendiri.

Ratu mulai khawatir, mengkhawatirkan keadaan puteri yang hanya diam tak banyak bicara, kadang puteri memang tersenyum dan tertawa namun ketika sendirian, Ratu kembali menemukan pandangan yang menerawang entah kemana. Puteri semakin sering pergi berjalan-jalan sendirian dan kembali dengan mata yang bengkak, namun tetap tersenyum, kemudian keesokan harinya tertawa lagi ketika mendengar lelucon ataupun melihat kejadian yang lucu.

Puteri memang makan tapi hanya sedikit. Hingga tubuhnya mulai mengurus dan penyakit-penyakit ringan 
mulai silih berganti datang.

Terkadang puteri bercerita tentang pangeran ketiga pada sang Ratu dengan senyum yang mengembang lalu terdiam sejenak dan memegangi dadanya. Ketika Ratu bertanya kenapa, puteri hanya akan menjawab.

“Rasanya sakit, ibunda.”

Ratu sempat mengira ada yang bermasalah dengan jantungnya tapi ketika tabib datang untuk memeriksa, tidak ada masalah katanya, jantung puteri sehat.

Hari demi hari berlalu, pangeran yang datang mengunjungi sang puteri terus bertambah. Pangeran keempat, kelima, keenam dan seterusnya. Tapi seperti pangeran pertama dan kedua puteri sempat mengira ia jatuh cinta pada mereka sampai kemudian ingatannya tentang pangeran ketiga muncul lalu dadanya kembali terasa sakit.

Beberapa tahun berlalu dan puteri tetap tidak menemukan pangeran yang tepat. Sampai kemudian ia memiliki seorang adik laki-laki, yang begitu ia sayang yang begitu ia perhatikan, yang begitu ia manjakan. Perhatian kerajaan mulai terbagi antara sang puteri dan sang pangeran kecil. Raja dan Ratu mulai tidak memperketat pengawasan terhadap puteri.

Puteri pun tampak kembali normal, walaupun jika diperhatikan, ketika sendirian ia tetap memandang entah kemana, memegangi dadanya, dan mendongakkan kepala seperti menahan sesuatu menetes dari matanya. 

Jika diperhatikan lagi, puteri rutin berkunjung ke kerajaan pangeran ketiga untuk mengunjungi makamnya. 
Jika diperhatikan lagi, puteri lebih sering berbaring di ranjang beberapa hari ini. Jika diperhatikan lagi, puteri lebih banyak tidur beberapa hari ini. Dan jika diperhatikan lagi, puteri selalu tersenyum dalam tidurnya.

Beberapa hari kemudian kerajaan berduka. Puteri yang selalu tersenyum ketika tertidur lelap tidak pernah bangun lagi.

0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang