Ada sebuah kebiasaan yang tidak bisa di tinggalkan laki-laki
itu setiap hari minggu di sore hari. Duduk disebuah taman kota yang tak jauh
dari rumahnya, memandangi setiap orang yang lalu lalang dan mencatat segala hal
yang membuat setiap orang tampak berbeda di matanya, sifatnya, gestur tubuh,
perawakan, eskpresi, apapun itu.
Sore ini, bersama sebuah block
note dan pena, ia duduk di bangku panjang taman memandangi setiap orang
yang lalu lalang, bermain dengan teman-teman mereka, tertawa melewatinya
sembari bersepeda, beberapa ibu hamil yang sibuk bercanda tawa, ia tidak
berhenti menatap sekitarnya sampai kemudian matanya menangkap seseorang yang
duduk di kursi panjang, tepat disebrangnya, dibawah pohon yang tampak rindang.
Seorang perempuan berambut panjang, dengan sebuah buku di
pangkuannya, rambutnya tergerai hingga kadang tertiup angin dan membuat
jari-jari perempuan itu harus merapikannya lagi, menyingkirkan dedaunan layu
yang jatuh di rambutnya, jarinya gemulai membalik halaman demi halaman, dan tersenyum
di beberapa bagiannya. Terkadang perempuan itu berhenti membaca buku,
meletakkan bukunya di pangkuan, menatap langit sore, memperhatikan orang-orang
yang lalu lalang dihadapannya, anak-anak yang bermain, lalu tersenyum, seperti
menertawakan tingkah mereka.
Laki-laki itu tidak bisa menggerakkan penanya, terlalu
banyak deskripsi yang ingin dia tuangkan ketika melihat perempuan itu, namun
ketika ia pulang, hanya ada satu kata yang tertulis di block note-nya, setelah berjam-jam disana dan tak melakukan apapun
kecuali memperhatikan perempuan itu.
Cantik.
Memperhatikan orang asing adalah hal yang biasa baginya, dia
membutuhkan itu untuk mendalami setiap karakter orang yang dikenal dan tidak
dikenalnya, tapi terpaku pada satu orang asing dan tidak bisa berpaling
membuatnya merasa kalau—mungkin ia sedang jatuh cinta pada orang asing ini,
pada perempuan yang tak ia ketahui namanya dan membuatnya gagal menebak sifat
perempuan itu, walaupun sudah memperhatikanya selama bermenit-menit.
Laki-laki itu berpikir. Mengira-ngira. Jatuh cinta pada
orang asing bukanlah hal yang buruk, ia akan butuh banyak waktu untuk mencintai
orang itu sekaligus mengenalnya, mungkin hal ini cocok dengan kebiasaannya
mengenali orang-orang asing tanpa mengetahui nama mereka.
Laki-laki itu tersenyum, memandangi kertas yang hanya berisi
satu kata itu, berjanji akan kembali di hari yang sama di sore yang sama,
menulis lebih banyak lagi tentang perempuan itu, doanya hanya satu, dia bisa
bertemu lagi dengannya dan mampu mengenali perempuan itu lebih baik lagi,
menuangkannya dalam sebuah deskripsi yang membuatnya lebih mengenal perempuan
itu.
Jika keburuntungan tidak datang sekali, biasanya mereka
datang berkali-kali. Benar saja, ketika dia datang, perempuan itu sudah duduk
di kursi panjang, bersebrangan dengan kursinya, membawa sebuah buku yang
berbeda hari ini, bersampul merah dan tampak lebih tebal dari kemarin. Sore ini
perempuan itu mengenakan blouse berwarna putih dan celana jeans biru tua,
rambutnya yang panjang tergerai kemarin, sudah diikat rapi.
Ketika tangan perempuan itu sudah membalik entah halaman
yang keberapa, laki-laki itu masih belum menemukan kata yang cocok untuk
menggambarkan sifatnya. Lembutkah—tapi ia tampak tertawa cukup keras ketika
melihat pasangan yang terjatuh dari sepeda mereka, penyuka anak kecilkah—tapi
ia tampak kaku ketika seorang anak makan permen disampingnya, ramahkah—tapi ia
tampak sekedar menjawab ketika seorang pria paruh baya duduk disampingnya dan
menanyakan sesuatu.
Belum ada sifat yang tepat untuk menggambarkan perempuan
itu. Dan laki-laki itu sudah merasa sebal
bukan main. Hanya satu kata yang tertinggal di block notenya hari itu, itu
pun kata ‘cantik’ yang ia tuliskan minggu lalu. Kegagalannya sore ini
membuatnya kembali pulang dengan tangan hampa dan berusaha mencari secuil
deskripsi sifat yang pantas untuk perempuan itu melalui ingatan.
Dan laki-laki itu gagal, hingga matanya sudah tak kuat
menahan kantuk, hingga secangkir kopi tandas dan jam sudah melewati tengah
malam. Ia hanya sanggup mendeskripsikan perempuan itu secara fisik, secara
klise.
Seorang perempuan dengan rambut panjang, kulit coklat, yang memiliki hidung yang tidak mancung, tidak
terlalu pesek juga, jarinya tampak lentik, bulumatanya pun begitu, poninya
terpotong rapi tepat diatas alisnya yang tebal, mengenakan anting berbentuk
bulat berwarna biru muda, dan sebuah kalung berwarna putih dengan bandul
kupu-kupu.
Diskripsi seperti
ini, seperti diskripsi pencarian orang hilang. Dan tidak biasanya ia hanya
sanggup mendiskripsikan seseorang sebatas ini. Ia terbiasa mendetail, tapi
mendekati kata detail ketika berhadapan dengan perempuan ini pun rasanya tak
mampu.
Maka laki-laki itu membulatkan tekad lagi dan berjanji
dirinya akan berhasil menuliskan sifat yang tampak pada perempuan itu, mungkin
sekaligus menemukan alasan kenapa dirinya jatuh cinta pada perempuan itu selain
karena kata cantik yang tertulis di block
note-nya.
Minggu sore ia datang lagi, duduk di tempat yang sama,
perempuan itu pun begitu, bukunya masih sama tapi tampak sudah mendekati
halaman akhir, bersampul merah dan tampak tebal, jari lentik itu masih membalik
setiap halamannya perlahan, dan tatapan matanya ketika memperhatikan anak-anak
kecil tampak lembut—tapi minggu lalu tertawanya keras sekali—, perempuan itu
sempat berhenti sejenak dari kegiatan membacanya dan mengobrol dengan seorang
ibu hamil, tertawa-tawa, mengelus perut sang ibu, mereka tampak seperti seorang
teman lama, perempuan itu terlihat ramah—tapi minggu lalu ia tampak tak acuh
pada pria paruh baya yang mengajaknya berbicara—, ketika seorang anak kecil
meminta untuk mengambilkan bola yang bergulir di kakinya, ia tampak menggoda
anak itu, dan akhirnya memberikan bola setelah anak kecil itu hendak berbalik
dan menyerah, mungkin ia suka bermain dengan anak kecil—tapi minggu lalu
ekspresinya tampak kaku ketika seorang anak kecil duduk disebelahnya dan
menawari permen—.
Laki-laki itu menghela napas, matahari sore sudah mulai
terbenam dan tidak ada kata selain kata cantik yang tertulis di block notenya.
Ini menyebalkan, batinnya.
Hingga perempuan itu beranjak dari kursi panjang dan tinggal
dirinya sendiri sampai lampu taman menyala, kepalanya sibuk memutar apa saja
yang dilakukan perempuan itu sore ini, namun tidak ada sifat yang tepat untuk
mendeskripsikannya, padahal biasanya hanya butuh 30 menit saja baginya ketika
duduk diantara keramaian untuk mendeskripsikan secara kasar sifat seseorang,
dari gestur tubuh, cara berbicara dan berinteraksi.
Tapi gagal pada perempuan ini. Laki-laki itu mengangkat
block notenya, menengadahkan kepala, melihat satu kata yang tertulis disana.
Mungkin minggu depan ia akan berhasil, pikirnya.
Namun menginjak minggu depan, di sore hari yang sama dan
sudah berlalu 30 menit di taman tempat ia duduk dan perempuan itu pun duduk
seperti biasanya.
Ia gagal. Seperti minggu lalu dan dua minggu lalu.
Ketika perempuan itu tersenyum setelah membalik sebuah
halaman, ketika jarinya yang lentik membalik halaman lain, ketika perempuan itu
memperhatikan keadaan disekitarnya dan membiarkan buku yang dibacanya terbuka
lebar di pangkuannya, ketika mata mereka bertemu dan senyum itu kembali muncul.
Akhirnya laki-laki itu memilih untuk tidak memperhatikan
perempuan itu lagi. Kakinya melangkah menuju ke kursi di sebrangnya dan duduk
tepat disamping perempuan itu.
“Gulliver’s Travel-nya Jonathan Swift ya.”
Perempuan itu mengalihkan pandangan dari buku.
“Sorry—“ ucap laki-laki itu ragu, takut menemukan ekspresi
terganggu, takut usahanya untuk mengenal perempuan itu tanpa memperhatikannya
dari jauh gagal, dan ia tidak akan bisa mengenal sifat perempuan itu seperti
yang diharapkannya.
Perempuan itu menggeleng, sembari mengulurkan tangannya,
tersenyum menyebutkan nama.
Laki-laki itu tidak bisa menyimpan senyumnya, tidak seperti
menyimpan block note yang berada di
sakunya.
Mungkin lebih baik begini, daripada memperhatikannya dan
sibuk menebak-nebak dirinya.
0 komentar :
Posting Komentar