Minggu, 17 Februari 2013

Stranger



Ada sebuah kebiasaan yang tidak bisa di tinggalkan laki-laki itu setiap hari minggu di sore hari. Duduk disebuah taman kota yang tak jauh dari rumahnya, memandangi setiap orang yang lalu lalang dan mencatat segala hal yang membuat setiap orang tampak berbeda di matanya, sifatnya, gestur tubuh, perawakan, eskpresi, apapun itu.

Sore ini, bersama sebuah block note dan pena, ia duduk di bangku panjang taman memandangi setiap orang yang lalu lalang, bermain dengan teman-teman mereka, tertawa melewatinya sembari bersepeda, beberapa ibu hamil yang sibuk bercanda tawa, ia tidak berhenti menatap sekitarnya sampai kemudian matanya menangkap seseorang yang duduk di kursi panjang, tepat disebrangnya, dibawah pohon yang tampak rindang.

Seorang perempuan berambut panjang, dengan sebuah buku di pangkuannya, rambutnya tergerai hingga kadang tertiup angin dan membuat jari-jari perempuan itu harus merapikannya lagi, menyingkirkan dedaunan layu yang jatuh di rambutnya, jarinya gemulai membalik halaman demi halaman, dan tersenyum di beberapa bagiannya. Terkadang perempuan itu berhenti membaca buku, meletakkan bukunya di pangkuan, menatap langit sore, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dihadapannya, anak-anak yang bermain, lalu tersenyum, seperti menertawakan tingkah mereka.

Laki-laki itu tidak bisa menggerakkan penanya, terlalu banyak deskripsi yang ingin dia tuangkan ketika melihat perempuan itu, namun ketika ia pulang, hanya ada satu kata yang tertulis di block note-nya, setelah berjam-jam disana dan tak melakukan apapun kecuali memperhatikan perempuan itu.

Cantik.

Memperhatikan orang asing adalah hal yang biasa baginya, dia membutuhkan itu untuk mendalami setiap karakter orang yang dikenal dan tidak dikenalnya, tapi terpaku pada satu orang asing dan tidak bisa berpaling membuatnya merasa kalau—mungkin ia sedang jatuh cinta pada orang asing ini, pada perempuan yang tak ia ketahui namanya dan membuatnya gagal menebak sifat perempuan itu, walaupun sudah memperhatikanya selama bermenit-menit.

Laki-laki itu berpikir. Mengira-ngira. Jatuh cinta pada orang asing bukanlah hal yang buruk, ia akan butuh banyak waktu untuk mencintai orang itu sekaligus mengenalnya, mungkin hal ini cocok dengan kebiasaannya mengenali orang-orang asing tanpa mengetahui nama mereka.

Laki-laki itu tersenyum, memandangi kertas yang hanya berisi satu kata itu, berjanji akan kembali di hari yang sama di sore yang sama, menulis lebih banyak lagi tentang perempuan itu, doanya hanya satu, dia bisa bertemu lagi dengannya dan mampu mengenali perempuan itu lebih baik lagi, menuangkannya dalam sebuah deskripsi yang membuatnya lebih mengenal perempuan itu.

Jika keburuntungan tidak datang sekali, biasanya mereka datang berkali-kali. Benar saja, ketika dia datang, perempuan itu sudah duduk di kursi panjang, bersebrangan dengan kursinya, membawa sebuah buku yang berbeda hari ini, bersampul merah dan tampak lebih tebal dari kemarin. Sore ini perempuan itu mengenakan blouse berwarna putih dan celana jeans biru tua, rambutnya yang panjang tergerai kemarin, sudah diikat rapi.

Ketika tangan perempuan itu sudah membalik entah halaman yang keberapa, laki-laki itu masih belum menemukan kata yang cocok untuk menggambarkan sifatnya. Lembutkah—tapi ia tampak tertawa cukup keras ketika melihat pasangan yang terjatuh dari sepeda mereka, penyuka anak kecilkah—tapi ia tampak kaku ketika seorang anak makan permen disampingnya, ramahkah—tapi ia tampak sekedar menjawab ketika seorang pria paruh baya duduk disampingnya dan menanyakan sesuatu.

Belum ada sifat yang tepat untuk menggambarkan perempuan itu. Dan laki-laki itu sudah merasa sebal bukan main. Hanya satu kata yang tertinggal di block notenya hari itu, itu pun kata ‘cantik’ yang ia tuliskan minggu lalu. Kegagalannya sore ini membuatnya kembali pulang dengan tangan hampa dan berusaha mencari secuil deskripsi sifat yang pantas untuk perempuan itu melalui ingatan.

Dan laki-laki itu gagal, hingga matanya sudah tak kuat menahan kantuk, hingga secangkir kopi tandas dan jam sudah melewati tengah malam. Ia hanya sanggup mendeskripsikan perempuan itu secara fisik, secara klise.

Seorang perempuan dengan rambut panjang, kulit coklat, yang  memiliki hidung yang tidak mancung, tidak terlalu pesek juga, jarinya tampak lentik, bulumatanya pun begitu, poninya terpotong rapi tepat diatas alisnya yang tebal, mengenakan anting berbentuk bulat berwarna biru muda, dan sebuah kalung berwarna putih dengan bandul kupu-kupu.

Diskripsi seperti ini, seperti diskripsi pencarian orang hilang. Dan tidak biasanya ia hanya sanggup mendiskripsikan seseorang sebatas ini. Ia terbiasa mendetail, tapi mendekati kata detail ketika berhadapan dengan perempuan ini pun rasanya tak mampu.

Maka laki-laki itu membulatkan tekad lagi dan berjanji dirinya akan berhasil menuliskan sifat yang tampak pada perempuan itu, mungkin sekaligus menemukan alasan kenapa dirinya jatuh cinta pada perempuan itu selain karena kata cantik yang tertulis di block note-nya.

Minggu sore ia datang lagi, duduk di tempat yang sama, perempuan itu pun begitu, bukunya masih sama tapi tampak sudah mendekati halaman akhir, bersampul merah dan tampak tebal, jari lentik itu masih membalik setiap halamannya perlahan, dan tatapan matanya ketika memperhatikan anak-anak kecil tampak lembut—tapi minggu lalu tertawanya keras sekali—, perempuan itu sempat berhenti sejenak dari kegiatan membacanya dan mengobrol dengan seorang ibu hamil, tertawa-tawa, mengelus perut sang ibu, mereka tampak seperti seorang teman lama, perempuan itu terlihat ramah—tapi minggu lalu ia tampak tak acuh pada pria paruh baya yang mengajaknya berbicara—, ketika seorang anak kecil meminta untuk mengambilkan bola yang bergulir di kakinya, ia tampak menggoda anak itu, dan akhirnya memberikan bola setelah anak kecil itu hendak berbalik dan menyerah, mungkin ia suka bermain dengan anak kecil—tapi minggu lalu ekspresinya tampak kaku ketika seorang anak kecil duduk disebelahnya dan menawari permen—.

Laki-laki itu menghela napas, matahari sore sudah mulai terbenam dan tidak ada kata selain kata cantik yang tertulis di block notenya. Ini menyebalkan, batinnya.

Hingga perempuan itu beranjak dari kursi panjang dan tinggal dirinya sendiri sampai lampu taman menyala, kepalanya sibuk memutar apa saja yang dilakukan perempuan itu sore ini, namun tidak ada sifat yang tepat untuk mendeskripsikannya, padahal biasanya hanya butuh 30 menit saja baginya ketika duduk diantara keramaian untuk mendeskripsikan secara kasar sifat seseorang, dari gestur tubuh, cara berbicara dan berinteraksi.

Tapi gagal pada perempuan ini. Laki-laki itu mengangkat block notenya, menengadahkan kepala, melihat satu kata yang tertulis disana.

Mungkin minggu depan ia akan berhasil, pikirnya.

Namun menginjak minggu depan, di sore hari yang sama dan sudah berlalu 30 menit di taman tempat ia duduk dan perempuan itu pun duduk seperti biasanya.

Ia gagal. Seperti minggu lalu dan dua minggu lalu.

Ketika perempuan itu tersenyum setelah membalik sebuah halaman, ketika jarinya yang lentik membalik halaman lain, ketika perempuan itu memperhatikan keadaan disekitarnya dan membiarkan buku yang dibacanya terbuka lebar di pangkuannya, ketika mata mereka bertemu dan senyum itu kembali muncul.

Akhirnya laki-laki itu memilih untuk tidak memperhatikan perempuan itu lagi. Kakinya melangkah menuju ke kursi di sebrangnya dan duduk tepat disamping perempuan itu.

“Gulliver’s Travel-nya Jonathan Swift ya.”

Perempuan itu mengalihkan pandangan dari buku.

“Sorry—“ ucap laki-laki itu ragu, takut menemukan ekspresi terganggu, takut usahanya untuk mengenal perempuan itu tanpa memperhatikannya dari jauh gagal, dan ia tidak akan bisa mengenal sifat perempuan itu seperti yang diharapkannya.

Perempuan itu menggeleng, sembari mengulurkan tangannya, tersenyum menyebutkan nama.
Laki-laki itu tidak bisa menyimpan senyumnya, tidak seperti menyimpan block note yang berada di sakunya.
Mungkin lebih baik begini, daripada memperhatikannya dan sibuk menebak-nebak dirinya.

  




0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang