Selasa, 26 Februari 2013

Penipu Ulung



Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu berhasil membuatku percaya bahwa dia tidak mencintaiku seperti kata-katanya tapi tatapan mata, tawa dan senyumnya tak pernah berkata demikian. Dia mencintaiku, aku yakin itu, seperti aku mencintainya.

“Aku belum baca buku ini nih,” ucapnya hari itu, disebuah toko buku ketika kami pergi berdua saja, hanya berdua, dia yang mengajak secara tiba-tiba setelah perbincangan panjang melalui chatting. Tangannya membolak-balik buku tersebut, meneliti sinopsis di cover belakang. “Menurut kamu bagus gak?” tangannya mengoper buku itu padaku.

“Bagus,” ucapku begitu saja, tanpa membaca sinopsis dibelakang covernya, aku bisa melihat dari gerakan tangannya kalau ia menginginkan buku itu, jika aku mengatakan buku itu jelek dia pasti tidak akan membelinya.

“Hmm—serius? Oke,” tangannya mengambil buku yang aku pegang, memasukkannya ke dalam tas belanjaan. “Berarti kita satu tipe buku kesukaan ya, bagus—bagus—“ ucapnya sembari bertepuk-tepuk tangan, tampak gembira sekali seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah balon, bibirku tak bisa menahan senyum melihat tingkahnya yang menarik ujung bajuku menuju rak lainnya.

Tangannya meraih sebuah buku yang masuk ke dalam jajaran best seller. “Aku suka novel ini,”

“Udah pernah  baca?”

Dia menatapku. “Ya iya lah, dari mana aku suka kalau belum baca?” dia meletakkan novel itu kembali ke raknya. “Di cerita itu ada cowok yang cool banget, tapi nyebelin, kayak kamu—“ ia mengambil jeda tawa dalam kalimatnya sementara aku mencatat kalimat itu dalam hati. “Standar novel teenlit lah, tapi ceritanya beda—“ dia melanjutkan kalimatnya lalu berlalu, aku menatap cover novel itu dan mengambilnya dari rak, mungkin dia memberi tanda, sebuah tanda padaku melalui novel ini.

Kemudian novel itu berada di meja kasir, bersama buku-buku lain yang dibelinya.

“Kamu beli itu? Yakin? Nggak mau minjem aja?”

“Nggak lah, itu kan novel kesukaanmu, kalau nggak sengaja aku hilangkan, gimana?”

“Putus pertemanan kita!” ujarnya di akhiri tawa.


Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu berhasil membuatku yakin bahwa tak ada kata cinta dalam hubungan kami, seperti yang pernah dinyatakannya di berbagai kesempatan, tapi tepukan tangannya, caranya menarik ujung bajuku, caranya menepuk-nepuk punggungku tidak berkata demikian. Dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.

Tangannya menarik ujung bajuku hari itu, di hari kami pergi bersama teman-temannya dan teman-temanku, perhatianku teralihkan dari jalanan yang ramai menuju jarinya yang menunjuk pada seorang tukang balon.

“Lucu ya—“ dia tersenyum. “Warna-warni,” lanjutnya lagi. “Kalau aku beli, aneh nggak sih?”
Aku menggelengkan kepala. “Nggak lah, beli aja.”

Dia berpikir sejenak, tampak ragu. “Nggak ah,” ujarnya kemudian lalu melanjutkan langkahnya memutari taman kota menyusul beberapa temannya yang lain.

Aku menatap punggungnya lalu menatap balon-balon yang dijual, menghampiri tukang balon menanyakan harga dan membelikan beberapa untuknya.

“Ngapain beli balon?” tanya seorang temanku, yang baru saja memesan jagung bakar bersama dengan anak-anak yang lain, aku bisa melihat perhatiannya yang tertuju penuh padaku—pada balon berwarna-warni, 
sembari bertepuk-tepuk tangan. “Mau satu!”

Aku menyerahkan sebuah balon padanya yang disambut dengan senyum dan terimakasih, aku bisa meihat matamu yang berbinar ketika balon itu berpindah dari tanganku ke tanganmu, melayang di udara.

“Kamu beli karena aku tadi nggak mau beli?”

“Nggak lah—“ ujarku. “Aku mau kasihin sisanya ke mereka,” ujarku sembari menunjuk beberapa anak jalanan yang sedang berkumpul di sisi lain taman.

Dia melihat ke arah yang aku tunjuk lalu menganggukkan kepala. “Cara baru beramal ya? Cerdas.”

Aku hanya tersenyum.


Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu berhasil membuatku yakin bahwa tak ada tanda dalam setiap ucapannya, namun caranya menatapku setelah mengucapkan sesuatu, menceritakan sesuatu, seperti sebuah tanda yang mengatakan bahwa dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.

“Kamu lihat cowok itu deh—“

Aku menyeruput segelas es teh, sembari memperhatikan orang yang ditunjuknya. Seorang laki-laki dengan potongan rambut berantakan, mengenakan polo shirt, tas selempang, tampak supel bergabung dengan teman-temannya.

“Cakep ya—“ ucapnya lagi, jeda disana, lalu matanya menatapku dan tertawa.

“Karena polo shirtnya, rambutnya, wajahnya atau karena dia sibuk ketawa dari tadi?”

Dia terdiam sejenak, berpikir. “Kalau wajah sih relatif,” ada nada hmm panjang dalam kalimatnya. “Karena penampilannya deh, aku suka cowok yang rambutnya berantakan, pake polo shirt, keliatan asik gitu—“

“Gondrong?”
Dia menggeleng mantap. “No way!”

Aku  mengangguk-anggukkan kepala, mencatat ucapannya dalam kepalaku dan mencatat senyumnya yang ia tunjukan padaku setelah mengucapkan kata-kata itu.
Setelah itu aku tak pernah gondrong, beberapa hari berlalu dan aku mencoba mengenakan tampilan yang menjadi kriteria cowok cakepnya, polo shirt, rambut berantakan. Dan dia memujiku saat itu juga.

“Serius. Hari ini kamu keliatan cakep lho,” dia tersenyum.

Dan aku membalas senyumnya.


Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu berhasil membuatku yakin bahwa dia mencintai orang lain dan bukan aku, tapi dari setiap mention-nya, candanya, pujiannya di media sosial, dia seperti mengatakan dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.

“Heh—kalau diperhatiin timeline profilku isinya mention ke kamu doang,” ucapnya ketika kami berdua berada di kantin.

Aku mengangkat kepala dari sebuah buku yang terbuka lebar di atas meja. “Serius? Jangan-jangan orang-orang ngiranya kita pacaran.”

“Eeeh—“ ucapnya panjang, kemudian dia terdiam, mengigit bibirnya. “Kalau gebetan aku kepo gimana? Kalau dia mikirnya kayak gini juga gimana?”

Aku mengerutkan dahi. Terdiam sejenak. Mencerna kata gebetan yang dia maksud, aku bisa melihat kecemasan di wajahnya. “Dia kepo kamu aja belum tentu—“

“Hih—“ ucapnya geram. “Ya kalau orang-orang mikir kita pacaran pun itu nurunin pasaranku kan?”

Aku terdiam kembali. Ada jeda dalam pembicaraan kami, tapi kerut di dahinya, jarinya yang sibuk men-scroll layar tampak tak menyadarinya. “Ya udah kita beneran pacaran aja.”

Kepalanya terangkat dari layar, menatapku, aku berusaha tidak membalas tatapannya, menenggelamkan dalam kalimat diatas buku yang kuulang-ulang walaupun hanya terdiri dari beberapa kata yang mudah dipahami.

Kemudian tawanya terlepas, membahana memenuhi ruangan.

Jawaban yang sama terjadi ketika menanyakan hal itu padamu, sekali lagi dalam suasana yang lebih serius.

Kemudian aku mendengar kata maaf darinya.

Penipuan yang dia lakukan belum berakhir.


Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung. Dalam balutan pakaian adat jawa tersenyum menatap setiap tamu undangan, ini hari bahagianya dengan seorang laki-laki yang mencintainya tapi aku yakin dia masih mencintaiku. Dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.

Aku menghampirinya, dia menghentikan obrolannya dengan seorang perempuan dan mengakhiri obrolan itu dengan senyuman lalu menghampiriku, lihatlah—bagaimana dia rela meninggalkan yang sudah ada didepannya demi berbincang-bincang denganku.

“Datang juga manusia satu ini—“ ucapnya sembari menemuiku, menepuk bahuku. “Sini aku kenalin sama suamiku.”
“Nggak perlu.”

Dia mengerutkan dahi.

“Aku mau ngeliat kamu aja hari ini dan nanya satu hal—“

Dia tampak menunggu, walaupun raut wajahnya sudah menunjukkan sebuah dugaan.

“Apa sedetikpun kamu pernah mencintaiku?”

Hening diantara kami berdua. Dia menatapku, sementara aku menatap segala hal yang terjadi dibelakangnya, termasuk seorang laki-laki berjas rapi yang berjalan menghampiri kami.
Aku mendengar helaan napasnya. Dia akan menjawab tapi aku tidak bisa menatap matanya.

“Pernah.”

Kemudian laki-laki berjas rapi aku yakini sebagai suaminya, menggandeng tangannya.

“Pinjam temennya sebentar ya mas,” ada senyum di antara ucapanya.

Aku membalas senyumnya dan menganggukkan kepala.

Dia tidak berbalik.

Aku pun tak melihat punggungnya.

Perempuan yang aku cintai adalah seorang penipu ulung.

Bertahun-tahun berlalu dan dia masih penipu ulung.



2 komentar :

KURNIA AFSARI at: 9 Maret 2013 pukul 20.14 mengatakan... Reply

kok sad ending sih nes? :(

Vanessa Praditasari at: 15 Maret 2013 pukul 17.55 mengatakan... Reply

Uuuu~ gmn ya? Itu yg paling pas soalnya :)

Posting Komentar

Beo Terbang