Hari itu hujan, kami berdua sudah mengikat janji di pukul 4
sore untuk mendiskusikan sebuah buku, atau lebih tepatnya aku memohon-mohon
untuk meminjam buku itu darinya. Buku berbahasa asing yang dibelinya sehabis
melancong selama beberapa hari ke luar negeri. Tepat disaat ia menyebutkan
judul buku itu aku segera memukul meja hingga tangan memerah dan mengundang
secangkir penuh perhatian dari seisi kantin dan menuntut ia untuk menyelesaikan
buku itu segera.
Kedua tanganku melingkari cangkir milk tea paling enak yang pernah kunikmati diantara milk tea lainnya. Hangat, walaupun isinya sudah
tandas cangkirnya masih menyimpan
sisa-sisa milk tea yang bisa aku
nikmati. Mataku memperhatikan jam dinding yang tergantung tepat diatas meja
kasir, beralih ke rak-rak buku berisi novel dan majalah-majalah yang sudah
pernah kusentuh dan kubolak-balik lembarannya.
Sudah pukul 4.30. Aku mulai menimbang-nimbang harus pulang
atau tidak, dia tidak biasanya terlambat selama ini, tapi tak biasa pula
baginya untuk tepat waktu.
Hujan diluar semakin deras, nada sambung di handphone tak
berganti menjadi jawaban. Kuhela napas, mungkin dia membatalkan pertemuan
karena hujan.
Aku sadar aku tersenyum, mengejek diri sendiri. Terjebak hujan
sendirian. Seharusnya aku menikmati ini.
Tepat disaat seorang pelayan datang dan mengisi cangkirku
dengan milk tea hangat. Seseorang
tampak berlari dengan jas hujan memasuki cafe
. Mungkin itu dia, mungkin juga tidak. Tebakan demi tebakan muncul dan
harapanpun kembali datang.
“Selamat datang!”
Aku berusaha tidak menjulurkan kepala mengintip pintu masuk,
tidak ada gunanya tahu lebih cepat atau lebih lambat. Toh kalau memang dia,
seharusnya aku akan menemukan senyum permintaan maaf, rambut yang basah karena
hujan, baju yang terkena percikan air dan keluhan cuaca yang semakin kacau dari
bibirnya.
“Sorry telat,” ia
duduk tepat dihadapanku, di kursi panjang perpaduan antara kerasnya kayu
sandaran dan empuknya bantalan berwarna cream.
Aku mengangguk hikmat, membiarkan dia menghela napas panjang
setelah berlari dan memasukkan jas hujannya yang sudah terlipat rapi ke dalam
kantung plastik, lalu masuk tas hitam miliknya.
“Parah banget! Alarmnya nggak mempan tadi.”
“Kamu habis tidur siang?” tanyaku tak percaya. “Setauku kamu
paling anti tidur siang.”
Dia merapikan rambutnya, lebih tepatnya menyisirnya ke
belakang dengan jari-jari panjangnya yang lentik. Kataku jari seorang penulis,
katanya jari pemain piano. “Ketiduran. Tapi udah aku alarm, soalnya emang
ngantuk parah tadi. Kadang kebutuhan yang berlawanan dengan kata anti itu kalau udah sampai puncaknya
nggak bisa dihalang-halangi.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti sedikit banyak.”Ngomong,
ngomong soal alarm—“
Dia mengalihkan perhatiannya dari isi tasnya kepadaku.
“Seharusnya perasaan juga punya alarm ya.”
Dahinya berkerut, senyumnya muncul. Senyum yang biasanya
muncul ketika aku mulai mengangkat topik pembicaraan yang mencuri-curi sesi
curhat. Tangan kanannya menopang dagu. “Oke, jadi—“
Aku tertawa. “Gimana kalau kamu pesen minuman hangat dulu,
ngeluarin buku pesenanku. Baru kita bahas topik soal alarm ini?” telapak tanganku
terbuka lebar, meminta buku yang sudah kuingatkan untuk dijaganya baik-baik,
jangan sampai dipinjam siapapun kecuali aku terlebih dahulu.
Terdengar suara mendecak dari bibirnya, tangannya merogoh
isi tas mengeluarkan novel bersampul transparan. Tanganku menerimanya dengan
senang hati sembari membalik-balik setiap halamannya, walaupun isinya
jelas-jelas bukan bahasa Indonesia tak apalah, aku sudah berjenggot menunggu
versi bahasa indonesianya yang tak pernah ada.
Seorang pelayan datang tepat disaat aku mengangkat kepala
dari halaman buku.
“Teh angetnya satu ya mas.”
Kemudian dia kembali menopang dagunya dengan senyum yang
sama seperti beberapa menit lalu. Tepat setelah pelayan membalikkan tubuh dan
menjauh.
“Apa?”
“Ngomong-ngomong soal alarm?”
“Oh itu,” aku meletakkan buku diatas meja. “Penasaran
banget?”
“Kamu sering curhat colongan pas kayak gini. Lumayanlah,
biar aku bisa dianggap sebagai sahabat yang baik, kan ya?”
Aku tertawa, menyeruput milk
tea hangat. “Kamu nggak perlu selalu dengar curhat colonganku buat jadi
sahabat yang baik. Cukup perbaharui terus stok buku-bukumu aja.”
Dia memajukan tubuhnya beberapa senti. “Maaf mbak saya
minjemin buku juga nggak gratis. Saya butuh temen diskusi,” dia mundur kembali
ke posisinya dengan tangan terlipat di depan dada. “Kalau minjemin buku ke
orang yang pas ditanya bukunya gimana dan cuma bilang bagus terus udah dan
ninggalin kita yang pengen ngoceh banyak soal isi bukunya kan nyebelin.”
Telunjukku menunjuk wajahnya. “Yah dia yang curhat!”
Aku tertawa, dia pun begitu. Kami baru berhenti ketika
pelayan yang sama membawakan segelas teh hangat. Setelah ucapan terimakasih, ia
membalik topik. “Alarm mbak—alarmnya kenapa?”
“Alarm ya—“ aku mengulur waktu hingga gesturnya yang
penasaran kembali muncul, ketika kerut di dahinya datang, mata cokelatnya yang
fokus, dagunya yang tertopang tangan kanan dan semua perhatian terpusat padaku,
sebagai pembicara. “Seharusnya setiap orang punya alarm tentang perasaannya
sendiri.”
Dia menganggukkan kepala. “Oke—maksudnya?”
Aku tersenyum. “Ya, kalau aja aku pas aku suka sama
seseorang, alarm itu bakal berbunyi di kepalaku sekeras-kerasnya. Sampai aku
benar-benar sadar, kalau aku lagi suka sama orang itu.”
“Terus manfaatnya?”
Aku mengerutkan dahi. “Kok manfaatnya?”
“Bukannya kayak gitu otomatis ya? Tanpa alarm pun kamu bakal
sadar kalau lagi suka sama seseorang?”
“Masak sih?” aku menyeruput kembali milk tea yang sudah tak hangat lagi. “Bukannya kadang kita nggak
sadar sampai orang itu pergi dari kita?”
Dia berpikir sejenak. “Bisa jadi sih.”
“Nah harusnya juga nih ya,” aku memajukan tubuhku. “Pas kita
lagi ngulur-ngulur perasaan ke seseorang karena ragu-ragu, ada alarm yang
ngasih tahu ke kita kalau orang itu orang yang tepat. Atau ketika orang itu
udah mau pergi dan menyerah, supaya kita nggak nyesel pas orang itu keburu
pergi duluan.”
“Bentar-bentar.” dia mengangkat kedua telapak tangannya di
depan dada, membuatku kembali mundur ke posisi semula. “Ini sesi curhatnya?”
Aku tertawa, selama beberapa menit. Dia sudah mengerti
jawabannya.
“Aku nggak tahu siapa orangnya.”
“Kamu nggak perlu tahu lah,” aku mengibaskan tangan. “Intinya
aku rasa perasaan pun butuh alarm. Sejenis pertanda dan penegas.”
“Sebenarnya—“ dia menyeruput teh hangatnya, aku mengalihkan
pandangan ke jendela kaca. Hujan sudah mereda. “perasaan itu alarm juga kan?”
Fokusku kembali terpusat padanya. “Masak?”
“Ya sekarang, kalau kamu bingung sama dua pilihan.
Orang-orang pasti bakal bilang. Percaya deh sama perasaanmu. Kalau kamu habis
ngelakuin sesuatu yang buruk, perasaan kamu bakal ngasih alarm yang nggak enak.
Kalau kamu lagi suka sama seseorang pun alarm kamu udah bunyi sebenarnya, tapi
mungkin aja—“ dia memberi jeda pada kalimatnya lalu tersenyum, seperti mengejek
sesuatu. “kamu aja yang hobinya bikin penyangkalan.”
Senyum di wajahku tak tertahankan. Dia hobi sekali membuatku
tertusuk hingga ke tulang kebelakang. “Jadi— menurut kamu alarm untuk perasaan
itu nggak perlu?”
“Ngapain?” dia mengangkat bahu. “Kalau perasaan itu alarm.
Ngapain ada alarm untuk alarm? Selain merepotkan bisa aja malah berantakkan.”
“Ya kan setiap fungsi butuh pelengkap.”
“Emang—“ dia mengetukkan jari-jarinya keatas meja. “Kamu
bilangngya pelengkap kan bukan pengganti disaat yang sama kan? Bahkan pengganti
pun tidak bisa disebut pengganti kalau ada disaat fungsi bendanya masih ada.
Kecuali perasaan kamu udah rusak.”
Aku terdiam, dia juga begitu. Hujan di luar sana sudah
benar-benar mereda. Dan mulai terdengar suara
sapaan selamat datang-selamat
datang lainnya.
“Jadi alarmnya udah bunyi?” tanyanya kemudian, pandanganku
teralih kembali padanya, pada senyumnya.
“Alarm apa?” aku tertawa, menyembunyikan rasa malu, baru
menyadari kalau selama dia pergi melancong aku sibuk menunggui timeline dan sms
darinya. Kenyataannya tak ada satu pun sms yang masuk, timelinennya pun hanya
berisi balasan mention yang meminta oleh-oleh.
“Aku baru sadar. Kamu nggak ngomongin aku kan?”
“Ngomongin apa?” aku terkekeh, berusaha menahan jawaban.
Kemudian aku diam. Dia pun begitu. Ketika mata kami bertemu
tak ada yang bisa menahan tawa.
Alarmku berbunyi keras sekali, kali ini.
0 komentar :
Posting Komentar