Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu
berhasil membuatku percaya bahwa dia tidak mencintaiku seperti kata-katanya
tapi tatapan mata, tawa dan senyumnya tak pernah berkata demikian. Dia mencintaiku,
aku yakin itu, seperti aku mencintainya.
“Aku belum baca buku ini nih,” ucapnya hari itu, disebuah
toko buku ketika kami pergi berdua saja, hanya berdua, dia yang mengajak secara
tiba-tiba setelah perbincangan panjang melalui chatting. Tangannya
membolak-balik buku tersebut, meneliti sinopsis di cover belakang. “Menurut
kamu bagus gak?” tangannya mengoper buku itu padaku.
“Bagus,” ucapku begitu saja, tanpa membaca sinopsis dibelakang
covernya, aku bisa melihat dari gerakan tangannya kalau ia menginginkan buku
itu, jika aku mengatakan buku itu jelek dia pasti tidak akan membelinya.
“Hmm—serius? Oke,” tangannya mengambil buku yang aku pegang,
memasukkannya ke dalam tas belanjaan. “Berarti kita satu tipe buku kesukaan ya,
bagus—bagus—“ ucapnya sembari bertepuk-tepuk tangan, tampak gembira sekali
seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah balon, bibirku tak bisa menahan
senyum melihat tingkahnya yang menarik ujung bajuku menuju rak lainnya.
Tangannya meraih sebuah buku yang masuk ke dalam jajaran
best seller. “Aku suka novel ini,”
“Udah pernah baca?”
Dia menatapku. “Ya iya lah, dari mana aku suka kalau belum
baca?” dia meletakkan novel itu kembali ke raknya. “Di cerita itu ada cowok
yang cool banget, tapi nyebelin, kayak kamu—“ ia mengambil jeda tawa dalam
kalimatnya sementara aku mencatat kalimat itu dalam hati. “Standar novel
teenlit lah, tapi ceritanya beda—“ dia melanjutkan kalimatnya lalu berlalu, aku
menatap cover novel itu dan mengambilnya dari rak, mungkin dia memberi tanda,
sebuah tanda padaku melalui novel ini.
Kemudian novel itu berada di meja kasir, bersama buku-buku
lain yang dibelinya.
“Kamu beli itu? Yakin? Nggak mau minjem aja?”
“Nggak lah, itu kan novel kesukaanmu, kalau nggak sengaja
aku hilangkan, gimana?”
“Putus pertemanan kita!” ujarnya di akhiri tawa.
…
Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu
berhasil membuatku yakin bahwa tak ada kata cinta dalam hubungan kami, seperti
yang pernah dinyatakannya di berbagai kesempatan, tapi tepukan tangannya,
caranya menarik ujung bajuku, caranya menepuk-nepuk punggungku tidak berkata
demikian. Dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.
Tangannya menarik ujung bajuku hari itu, di hari kami pergi
bersama teman-temannya dan teman-temanku, perhatianku teralihkan dari jalanan
yang ramai menuju jarinya yang menunjuk pada seorang tukang balon.
“Lucu ya—“ dia tersenyum. “Warna-warni,” lanjutnya lagi. “Kalau
aku beli, aneh nggak sih?”
Aku menggelengkan kepala. “Nggak lah, beli aja.”
Dia berpikir sejenak, tampak ragu. “Nggak ah,” ujarnya
kemudian lalu melanjutkan langkahnya memutari taman kota menyusul beberapa
temannya yang lain.
Aku menatap punggungnya lalu menatap balon-balon yang
dijual, menghampiri tukang balon menanyakan harga dan membelikan beberapa
untuknya.
“Ngapain beli balon?” tanya seorang temanku, yang baru saja
memesan jagung bakar bersama dengan anak-anak yang lain, aku bisa melihat
perhatiannya yang tertuju penuh padaku—pada balon berwarna-warni,
sembari
bertepuk-tepuk tangan. “Mau satu!”
Aku menyerahkan sebuah balon padanya yang disambut dengan
senyum dan terimakasih, aku bisa meihat matamu yang berbinar ketika balon itu
berpindah dari tanganku ke tanganmu, melayang di udara.
“Kamu beli karena aku tadi nggak mau beli?”
“Nggak lah—“ ujarku. “Aku mau kasihin sisanya ke mereka,”
ujarku sembari menunjuk beberapa anak jalanan yang sedang berkumpul di sisi
lain taman.
Dia melihat ke arah yang aku tunjuk lalu menganggukkan
kepala. “Cara baru beramal ya? Cerdas.”
Aku hanya tersenyum.
…
Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu
berhasil membuatku yakin bahwa tak ada tanda dalam setiap ucapannya, namun
caranya menatapku setelah mengucapkan sesuatu, menceritakan sesuatu, seperti
sebuah tanda yang mengatakan bahwa dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.
“Kamu lihat cowok itu deh—“
Aku menyeruput segelas es teh, sembari memperhatikan orang
yang ditunjuknya. Seorang laki-laki dengan potongan rambut berantakan,
mengenakan polo shirt, tas selempang, tampak supel bergabung dengan
teman-temannya.
“Cakep ya—“ ucapnya lagi, jeda disana, lalu matanya
menatapku dan tertawa.
“Karena polo shirtnya, rambutnya, wajahnya atau karena dia
sibuk ketawa dari tadi?”
Dia terdiam sejenak, berpikir. “Kalau wajah sih relatif,”
ada nada hmm panjang dalam
kalimatnya. “Karena penampilannya deh, aku suka cowok yang rambutnya
berantakan, pake polo shirt, keliatan asik gitu—“
“Gondrong?”
Dia menggeleng mantap. “No way!”
Aku
mengangguk-anggukkan kepala, mencatat ucapannya dalam kepalaku dan
mencatat senyumnya yang ia tunjukan padaku setelah mengucapkan kata-kata itu.
Setelah itu aku tak pernah gondrong, beberapa hari berlalu
dan aku mencoba mengenakan tampilan yang menjadi kriteria cowok cakepnya, polo
shirt, rambut berantakan. Dan dia memujiku saat itu juga.
“Serius. Hari ini kamu keliatan cakep lho,” dia tersenyum.
Dan aku membalas senyumnya.
…
Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung, dia selalu
berhasil membuatku yakin bahwa dia mencintai orang lain dan bukan aku, tapi
dari setiap mention-nya, candanya, pujiannya di media sosial, dia seperti
mengatakan dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.
“Heh—kalau diperhatiin timeline profilku isinya mention ke
kamu doang,” ucapnya ketika kami berdua berada di kantin.
Aku mengangkat kepala dari sebuah buku yang terbuka lebar di
atas meja. “Serius? Jangan-jangan orang-orang ngiranya kita pacaran.”
“Eeeh—“ ucapnya panjang, kemudian dia terdiam, mengigit
bibirnya. “Kalau gebetan aku kepo gimana? Kalau dia mikirnya kayak gini juga
gimana?”
Aku mengerutkan dahi. Terdiam sejenak. Mencerna kata gebetan
yang dia maksud, aku bisa melihat kecemasan di wajahnya. “Dia kepo kamu aja
belum tentu—“
“Hih—“ ucapnya geram. “Ya kalau orang-orang mikir kita
pacaran pun itu nurunin pasaranku kan?”
Aku terdiam kembali. Ada jeda dalam pembicaraan kami, tapi
kerut di dahinya, jarinya yang sibuk men-scroll layar tampak tak menyadarinya. “Ya
udah kita beneran pacaran aja.”
Kepalanya terangkat dari layar, menatapku, aku berusaha
tidak membalas tatapannya, menenggelamkan dalam kalimat diatas buku yang
kuulang-ulang walaupun hanya terdiri dari beberapa kata yang mudah dipahami.
Kemudian tawanya terlepas, membahana memenuhi ruangan.
Jawaban yang sama terjadi ketika menanyakan hal itu padamu,
sekali lagi dalam suasana yang lebih serius.
Kemudian aku mendengar kata maaf darinya.
Penipuan yang dia lakukan belum berakhir.
…
Perempuan yang aku cintai adalah penipu ulung. Dalam balutan
pakaian adat jawa tersenyum menatap setiap tamu undangan, ini hari bahagianya
dengan seorang laki-laki yang mencintainya tapi aku yakin dia masih
mencintaiku. Dia mencintaiku, seperti aku mencintainya.
Aku menghampirinya, dia menghentikan obrolannya dengan
seorang perempuan dan mengakhiri obrolan itu dengan senyuman lalu
menghampiriku, lihatlah—bagaimana dia rela meninggalkan yang sudah ada
didepannya demi berbincang-bincang denganku.
“Datang juga manusia satu ini—“ ucapnya sembari menemuiku,
menepuk bahuku. “Sini aku kenalin sama suamiku.”
“Nggak perlu.”
Dia mengerutkan dahi.
“Aku mau ngeliat kamu aja hari ini dan nanya satu hal—“
Dia tampak menunggu, walaupun raut wajahnya sudah
menunjukkan sebuah dugaan.
“Apa sedetikpun kamu pernah mencintaiku?”
Hening diantara kami berdua. Dia menatapku, sementara aku
menatap segala hal yang terjadi dibelakangnya, termasuk seorang laki-laki
berjas rapi yang berjalan menghampiri kami.
Aku mendengar helaan napasnya. Dia akan menjawab tapi aku
tidak bisa menatap matanya.
“Pernah.”
Kemudian laki-laki berjas rapi aku yakini sebagai suaminya,
menggandeng tangannya.
“Pinjam temennya sebentar ya mas,” ada senyum di antara
ucapanya.
Aku membalas senyumnya dan menganggukkan kepala.
Dia tidak berbalik.
Aku pun tak melihat punggungnya.
Perempuan yang aku cintai adalah seorang penipu ulung.
Bertahun-tahun berlalu dan dia masih penipu ulung.
2 komentar :
kok sad ending sih nes? :(
Uuuu~ gmn ya? Itu yg paling pas soalnya :)
Posting Komentar