“Apa yang terjadi?”
Otakku sibuk mengira-ngira apa jawabannya, sebelum seorang
laki-laki yang berdiri di sebelahku menjawab tanpa memalingkan pandangannya ke
langit, lebih tepatnya ke puncak gedung yang berfungsi sebagai mall, apartemen
sekaligus restoran berbintang dengan 7 lantai.
“Ada seseorang yang membawa sandera dan mengancam akan bunuh
diri.”
Aku ikut mendongakkan
kepala, menatap puncak gedung itu. Bergumam pelan, mempertanyakan bagaimana
kejadian seperti ini bisa terjadi disaat aku dibebas tugaskan karena luka
tembakan sekitar satu minggu lalu, dan disini, secara kebetulan atau memang
intuisi, aku berada dalam situasi yang membuatku tidak bisa pulang begitu saja
walaupun perutku sudah lapar dan seingatku tak ada persediaan makanan di dalam
lemari es.
“Astaga,” keluhku, tetap mendongakkan kepala, mengira-ngira
siapa yang di sandera dan siapa yang menyandera. Terdengar suara dari
megaphone, aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bodoh, bagaimana mereka bisa mendengarnya.
Langkah kakiku membawa masuk ke dalam garis polisi yang
memanjang membatasi antara jalanan yang mulai padat oleh orang-orang yang
menonton dengan halaman bangunan berlantai 7. Bisa kudengar suara klakson yang
mulai menambah kebisingan diantara bisik-bisik dan suara megaphone yang
benar-benar tidak berguna.
Aku menepuk bahu seorang anggota polisi yang kukenal dengan
baik, hingga ia berbalik dan menatap wajahku dengan tatapan terkejut. “Apa yang
kau lakukan disini?”
Aku tersenyum melihat ekspresinya. “Terkejut? Aku pun begitu,
seharusnya aku sedang berada di sebuah rumah makan dekat sini tapi keadaan
disini terlalu mengganggu untuk ditinggalkan.”
“Seharusnya kau beristirahat di rumah kan? Lukamu sudah
sembuh?” Ia bertanya dengan nada cemas, bukan hanya nadanya tapi ekspresi
wajahnya.
“Kau baru saja menjengukku, bukankah kau melihatku bermain
tenis kemarin? Apa yang perlu kau khawatirkan?” Aku tertawa kecil, dia tidak
menanggapinya dengan serius dan terus memasang ekspresi yang sama, aku
bertanya, mengalihkan perhatiannya. “Apa masalahnya?”
Dia menghela napas. “Seorang perempuan membawa sebuah colt phyton .357, meracau di restoran
yang tepat berada di lantai 7, membawa seorang sandera perempuan dan mengancam
akan bunuh diri. Aku rasa dia sudah menembakkan 5 peluru sejauh ini jika
perempuan itu tidak membawa peluru lain—“
“Astaga, masih ada orang yang mempunyai senjata itu di jaman
seperti ini?” aku mendongakkan kepala, menyipitkan mata, berusaha menangkap
apapun yang bisa dilihat oleh mata. “Berarti hanya tinggal 1 peluru maksudmu,
jelas cukup untuk menembak dirinya sendiri, menjatuhkan sanderanya atau
sebaliknya. Tetap saja berbahaya,” aku mengangkat bahu.
“Inspektur Sofie,” seorang anggota kesatuanku bergumam
pelan, tampak terkejut dengan kehadiranku.
“Aah—berikan itu padaku,” jariku menunjuk pada teropong yang
dipegangnya, segera setelah ia menyerahkannya, segera kuarahkan teropong itu
pada puncak gedung.
“Kau tidak perlu mengurusi ini, pulanglah,” Tyo mulai
berbicara lagi, aku memilih untuk pura-pura tidak mendengar, dia memang selalu
begitu—khawatir berlebihan. “Sofie!”
“Dimana perempuan itu, kenapa aku masih tidak bisa
melihatnya?” aku bertanya pada Arga—anggota kesatuan yang menyerahkan teropong
itu— dia tampak ragu untuk menjawabnya, jadi aku berbalik dan melihat Tyo yang
tampak sedang mengancam Arga dengan tatapannya. “Ada apa? Aku hanya bertanya.”
“Pulanglah, aku bisa mengatasinya,” dia tampak begitu
bersikeras menyuruhku pulang walaupun ia memasang nada suara terlembut yang ia
punya.
“Dengan apa? Dengan megaphone yang bahkan takkan terdengar
sampai lantai 2 itu. Jangan bercanda,” aku tersenyum sinis. “Siapa perempuan
itu? Kalian tahu?”
Terdengar teriakan yang membuatku
dan Tyo menghentikan perdebatan. Tanganku segera membidik lensa teropong,
tampak seorang perempuan dengan pistol yang teracung ke pelipis seorang
perempuan lain, sekilas bisa kulihat wajahnya yang tampak tak asing.
“Hei, Tyo—“ aku tidak melepaskan
mata dari teropong yang memperjelas wajah perempuan itu. “Apa aku mengenal
perempuan itu?”
Tyo tidak menjawab selama beberapa
detik. Sampai aku melepaskan teropong itu dan menatap wajahnya yang tampak
ragu. “Dia teman kita ketika SMA kan? Kenapa kau tidak naik ke atas dan
menenangkannya? Aku yakin dia masih mengingat wajahmu yang tampan itu,” aku
melipat tangan di depan dada dan memberikan kembali teropong kepada Arga.
“Aku harus mengawasi situasi disini, sudah kukirim seseorang
kesana.”
Kuhela napas. “Mungkin seharusnya aku yang naik,”
kulangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung, dua orang yang berjaga di depan
gedung tampak terkejut—seperti Arga dan Tyo— aku melewati mereka sembari
mengumbar senyum.
“Sofie!” teriakan Tyo terdengar sampai di pintu masuk gedung
tanpa membuatku berbalik sedikitpun, seperti yang kukatakan sebelumnya,
kecemasannya terlalu berlebihan.
Gedung sepertinya sudah dikosongkan, hanya ada beberapa
orang di lantai 1. Ketika langkah kakiku menuju ke dalam lift, seorang petugas
yang hendak mencegatku di depan pintu lift berhenti tepat disaat aku berbalik
melihat wajahnya, menatapku dengan tatapan heran lalu memberi hormat.
Kulangkahkan kaki masuk kedalam lift, dan sebelum pintu lift tertutup kuucapkan
sebuah pesan yang seharusnya disampaikan pada Tyo. “Siapkan segala hal yang
diperlukan di lantai dasar, hanya untuk
berjaga-jaga.”
Belum terdengar jawaban ketika pintu lift benar-benar
tertutup.
Angka pada penunjuk lantai silih berganti hingga menyentuh
angka 7 dan diperlukan sekali naik tangga untuk mencapai puncaknya. Ketika
pintu dibuka, tampak wajah-wajah yang menatapku heran, aku hanya tersenyum pada
dua orang polisi wanita yang tampak tak berhasil membujuk perempuan itu, bisa
dilihat dari jarak mereka yang masih cukup jauh dengan perempuan itu, lagipula
perempuan itu masih melingkarkan lengan pada leher sanderanya dan memegang
pistol, aku memperhatikan pistol yang dipegangnya, ternyata benar colt phyton
.357.
Aku melangkah mendekati perempuan itu yang menatapku dengan
tatapan ngeri, lalu perlahan-lahan otot-otot wajahnya yang menegang mulai
mengendur walaupun tangannya tetap mengacungkan pistolnya ke arahku. “Sudah
lama tidak bertemu, aku sering melihat wajahmu di SMA dulu, sayangnya aku lupa
namamu.”
Perempuan itu tak berbicara, kuberanikan diri untuk mengambil
selangkah lebih dekat lagi, senjatanya yang sempat turun mengikuti pergerakan
tangannya kembali teracung ke arahku. “Jangan mendekat! Sofie—“
Aku tersenyum, kembali mengangkat tangan. “Kau mengingat
namaku ternyata, maaf kalau begitu, aku tidak benar-benar mengingat namamu,
mungkin Tyo tahu, seharusnya aku bertanya padanya tadi.”
Perempuan itu kembali diam, tapi senjatanya tetap teracung.
Aku memandanginya, menatap matanya, menatap mata sanderanya yang dipenuhi
ketakutan, bisa kulihat tubuh sandera perempuan itu bergetar dan kilap keringat
menghiasi dahinya. Aku menatap langit, padahal cuaca sedang mendung seperti
ini.
“Mau menukar sandera?”
Dia tampak mendengarkan ucapanku. Untuk seseorang yang akan
bunuh diri dan membawa sandera perempuan ini terhitung cukup tenang.
“Denganku? Siapa tahu kita bisa mengobrol sementara kau
menjadikanku sandera, mungkin kau bisa membatalkan keinginanmu atau mungkin aku
bisa menemanimu lompat?”
Aku bisa mendengar suara salah satu polisi wanita menyebut
namaku, terdengar tidak setuju dengan keputusan yang kuambil, tapi melihat
kerut di dahi perempuan itu aku bisa menebak dia mempertimbangkan penawaranku.
“Santai saja, aku tidak membawa senjata hari ini, apalagi
aku masih terluka karena insiden beberapa hari lalu, kau membawa sandera yang
tepat jika itu aku. Lagipula lihatlah, tampaknya perempuan itu sebentar lagi
akan pingsan, bukankah itu akan menyulitkanmu?” aku menunjuk sandera yang masih gemetaran, aku tidak berbohong soal
sebentar lagi sandera perempuan itu akan
pingsan karena memang kenyatannya begitu, untuk berdiri saja tampaknya sandera perempuan
itu tak kuat, kakinya gemetar sejak tadi.
Perempuan itu tampak mempertimbangkan, menatapku selama
beberapa detik dan akhirnya menyuruhku maju dengan kode pergerakan pistolnya.
Kulangkahkan kaki sesuai arahannya sampai dimana titik dia menarikku secara
tiba-tiba dan mendorong perempuan yang menjadi sanderanya menjauh, sekarang
lengannya melingkar di leherku, pistol di tangan kanan. Sanderanya masih terduduk
lemas dan tampak tak akan segera berdiri karena masih shock, aku memberikan
kode kepada kedua polisi wanita itu untuk meninggalkan kami berdua dan mengurus
sandera perempuan itu.
“Jadi apa rencanamu setelah ini?”
Perempuan itu diam. “Kenapa kau merelakan diri menjadi
sandera?”
“Tidak ada tujuan khusus. Hanya ingin mengajakmu mempertimbangkan aksimu
ini. Mungkin kalau kau menyerahkan diri sekarang hukumanmu menyandera perempuan
tadi akan sedikit diringankan.”
“Apakah itu tawaran paling menarik yang kau punya?”
Aku terdiam selama beberapa detik. “Sebenarnya tidak. Aku
pun yakin itu tidak membuatmu tertarik. Sekarang mungkin bisa kau ceritakan
kenapa kau melakukan hal ini? Bukankah lebih mudah mati sendirian?”
“Aku—“ ada jeda dalam kalimatnya. “terlalu lama sendiri.”
“Itu yang membuatmu ingin mengajak seseorang untuk mati?”
Angin bertiup di puncak bangunan itu, dan aku sibuk
mendongakkan kepala menatap langit sembari menunggu jawabannya, tak terasa
tekanan apapun darinya dan tampaknya ia tidak melakukan tekanan apapun pada
sandera sebelumnya seperti yang dilakukannya saat ini padaku, tapi jelas saja
sandera itu ketakutan setengah mati walaupun perempuan ini tak menekannya.
“Mungkin.”
Aku terdiam sejenak, memikirkan cara agar perempuan ini mau
melepaskan pistolnya dan menyerah. Harus ada sebuah topik menarik yang
menggugah semangat hidupnya, mungkin dari alasannya untuk melakukan semua ini.
“Aku rasa bukan hanya kau yang merasa sendirian, aku juga.”
Aku bisa merasakan helaan napasnya di telingaku. “Kau sedang
melakukan drama?”
“Untuk apa melakukan drama disaat seperti ini? Memang aku
masih memiliki orangtua, seorang adik, beberapa teman tapi entahlah—“ seekor
burung terbang melewati kami membelah angkasa. “Tidak ada yang bisa dipercaya,
bukankah itu bisa dikatakan sendirian?”
Perempuan itu diam selama beberapa detik. “Benarkah?”
“Untuk apa aku berbohong. Tapi bukankah sendirian itu
menyenangkan? Atau karena kita sama-sama sendirian kita bisa bersama—“
Hening lagi.
“Kau tahu kan maksudku bersama, bukan menjadi pasangan
pastinya. Aku masih normal, hanya sekedar informasi.”
Bisa kudengar perempuan itu mendengus ditelingaku. “Kau
tahu, kau payah dalam membujuk, Sofie.”
Aku tersenyum. “Benarkah? Kalau begitu kita hentikan ini,
aku melepaskan diri dari lengannya, dia tidak mengancam, tidak pula
mengacungkan pistolnya, ia tampak lebih tenang daripada tadi.
“Serahkan pistol itu, lalu kita turun bersama-sama,” aku
mengulurkan tangan meminta pistol yang berada dalam genggamannya.
“Kau tidak mempercayai orang lain padahal banyak orang yang
kau kenal, dan kau masih memiliki keluarga?” ia bertanya padaku, menatapku
lurus-lurus.
“Begitulah, aku tidak terlalu sering bercerita pada mereka,”
aku mengeluarkan jari telunjuk, menghitung,“aku tidak terlalu dekat dengan
mereka, mereka juga tampaknya tidak mau berurusan denganku. Ada apa?”
Dia tersenyum, sinis. “Ternyata kau lebih menyedihkan dariku.”
Aku mengerutkan dahi. “Benarkah? Aku lebih menyedihkan
darimu yang mencoba bunuh diri dan membawa sandera,” aku melipat tangan di
depan dada. “Kalau begitu kenapa kita tidak terjun bersama-sama saja?”
“Boleh,” aku bisa melihat senyumnya, kali ini senyum yang
berbeda. Dia memegang teropong di tangannya. Mengarahkan ke jalanan yang
dipenuhi orang-orang, aku memperhatikan pistolnya sebelum ia berkata,
“Jangan
coba-coba merebut pistol ini,” ia mengalihkan pandangan dari lensa teropong
berbalik menghadapiku, “Aku akan terjun.”
Aku mengangkat bahu.”Kau tidak tampak seperti orang yang
kesepian, kau seperti menganggap ini sebagai permainan.”
“Kenapa?”
“Kau banyak tersenyum.”
Dia mendengus lagi, kali ini terdengar meremehkan. “Kau
benar-benar tidak mengerti.”
Aku mengangkat tangan, menyerah. “Baiklah, aku memang tidak
mengerti perasaanmu. Tapi aku tahu kau melakukan perbuatan yang sedikit
menyimpang jadi berikan pistol itu lalu kita turun kebawah bersama-sama,” aku
maju hingga mendekatinya, hingga kami berdua sama-sama berada di pinggir pagar
pembatas yang hanya setinggi mata kaki. “Bersama-sama, bukankah kau tak akan
sendirian?”
“Bagaimana bisa bersama-sama kalau kau tidak mempercayaiku
seperti mempercayai keluargamu, dan beberapa temanmu itu.”
Skakmat.
Hening selama beberapa menit. Mulutku terkunci untuk
membantah.
“Bagaimana kalau kita terjun.”
“Apa?”
Perempuan itu mendorongku. Tepat ketika tubuhku ditarik
gravitasi seperti sebuah gerakan lambat, aku masih bisa melihat ia menggerakan
bibirnya mengucapkan sesuatu, tersenyum, menempelkan pistol di pelipisnya
bersamaan dengan suara tembakan dan setelah beberapa detik tubuhnya limbung,
yang bisa kulakukan hanya membelalakan mata dan berharap satu hal—
Tubuhnya tidak jatuh diatas tubuhku. Aku benci mayat.
Aku tahu Tyo sudah menyiapkan pengaman dibawah berupa ‘matras’
berukuran jumbo. Dan aku jatuh diatasnya dengan seluruh tubuh terasa nyeri dan
tampaknya luka tembakan yang beberapa hari lalu sudah mulai menutup, terbuka
kembali.
Aku bisa melihat wajah Tyo, tepat di depan wajahku, dia
tampak khawatir. Sangat. “Kau baik-baik saja?”
“Tidak,” aku mengambil jeda dan menoleh, melihat tubuh
perempuan itu. “Tapi sepertinya dia—iya.”
Aku masih bisa melihat senyum di wajah perempuan itu.
2 komentar :
kamu pernah posting ini selain disini??
@Ilham Sasmita Kalau di Tumblr kayaknya pernah sih mas, kenapa ya? ._.
Posting Komentar