“Ini kenapa ya?”
Aku meliriknya, sementara layar laptop terbuka lebar dan headset terpasang di telinga. Manusia yang kukenal sejak kecil itu mondar-mandir seperti setrikaan. Aku berusaha tidak terlalu peduli, suara musik mengalahkan langkah kakinya dan artikel di depan layar tampak lebih menarik daripada ekspresi kebingungannya.
“Providerku bermasalah lagi, Nda. Udah ketiga
kalinya dalam 1 bulan terakhir,” ia mengangkat handphonenya ke udara
mengguncang-ngguncangnya seperti berharap providernya akan kembali normal
setelah ia melakukannya.
Aku masih tak terlalu peduli sampai kuperhatikan
wajahnya. Pipinya lebam. Kuhela napas. Seperti biasanya.
“Na.”
Ana berhenti memainkan handphonenya setelah
berjinjit-jinjit selama beberapa kali berusaha mencari sinyal. Aku memberi
isyarat, menunjuk pipi dan ditanggapi dengan bulatan sempurna di bola matanya.
“Lebam lagi?” ia menyentuh kedua pipinya dan segera
berlari ke kamar mandi yang tak jauh darinya. Setelah itu terdengar bunyi pintu
yang ditendang. Ana keluar dari sana sambil menghela napas, aku bisa melhat
raut wajahnya yang lebih cerah dan lebam di wajahnya yang menghilang.
“Sekarang?” ia menunjuk pipi kanannya, memastikan
bahwa perubahan yang sempat ia lihat dicermin tadi memang benar-benar terjadi.
Aku hanya memamerkan jempol dan senyum miliknya
muncul, menggantikan lebam yang sebelumnya datang.
“Makanya jangan nahan marah.”
Aku bisa mendengar tawa Ana. Musik sudah berhenti
sejak ia masuk kamar mandi tadi, mendengarnya meluapkan emosi dengan caranya
sendiri adalah hal yang menarik, menendang pintu, memukul meja, membanting
buku, bahkan kadang jika ia benar-benar dalam keadaan terdesak untuk meluapkan
kemarahannya Ana sanggup mencubit orang terdekatnya kuat-kuat dan tertawa
keras-keras. Terutama jika aku berada di dekatnya.
“Di kehidupan sosial kayak gini, marah secara
terang-terangan cuma ngurangin jumlah teman,” ia duduk tepat di sampingku,
sudah tidak memikirkan masalah provider sepertinya, kakinya di luruskan
menggantung di udara.
“Disini nggak ada orang Ana, cuma kita berdua. Kalau
kamu banting buku tebal yang kamu bawa tadi pas ngeluh soal providermu yang
bermasalah, nggak bakal ada lebam kan di wajahmu hari ini.”
Aku bisa mendengar kaki Ana yang beradu dengan
lantai dalam ketukan cepat, dia sudah tidak duduk di sampingku saat ini,
berputar-putar dengan langkah di tekan ke lantai. “Iya sih, tapi kan,” ada jeda
dalam kalimatnya. “Aku nggak enak marah di depan kamu.”
Mataku menatapnya, aku tahu dia tidak serius.
“Ngegombal nih ceritanya?”
Dan dia kembali tersenyum, duduk di sampingku,
mengintip layar laptopku.
“Sebenarnya lebamnya nggak baru muncul tadi aja sih,
sebelum aku ketemu kamu, tadi pagi, lebamnya muncul lagi dan kamu bayangin,
langsung di mata lebamnya ungu gitu. Anak-anak pada panik.”
Aku mendengar tawa Ana, tidak terlalu keras memang
tapi memecah kesunyian di tempat kami menunggu. Ana menunggu jemputannya dan
aku menunggu rapat beberapa menit lagi.
Ana dan aku teman sejak kecil, tetangga sejak kami
bayi dan ibu kami bersahabat sejak SMA. Rasanya sudah seperti di jodohkan sejak
dulu, satu sekolah dari TK sampai SMA bahkan saat ini mengambil jurusan yang
sama di bangku kuliah. Sudah menjadi hal yang biasa bagi kami berdua dikira
adik kakak atau sepasang kekasih sekalipun dan sudah biasa bagi kami berdua
menyangkal sambil tertawa-tawa.
“Nda, kayaknya udah waktunya kamu rapat deh,” Ana
berucap sembari menatap jam tangan birunya, reflek aku melihat jam tangan di
tanganku yang berwarna hitam, memang Ana yang membelikan jadi jenis nya sama
dengan yang dipakainya. “Oh ya, kamu gimana?”
“Aku numpang ikut rapat sampai jemputan datang ya.”
“Bisa,” aku menjawab dan berberes-beres dalam waktu
yang sama. Siap menuruni tangga lantai 2 bersama Ana yang sesekali melompati
beberapa anak tangga.
Kami berdua berjalan menuju ruangan rapat sebelum
melewati seekor kucing yang mengeong dibawah kaki Ana. Aku tahu Ana sangat
menyukai kucing, anjing, burung dan segala binatang yang ia sebut sebagai
binatang peliharaan terbaik, tapi ibunya tidak suka dan menganggap binatang itu
akan membuatnya lebih bermasalah lagi.
Mata Ana tidak bisa teralihkan dari kucing itu, anak
kucing yang berputar-putar di kakinya, dia berdiri seperti patung dan aku
memperhatikannya, melihat ia mengepalkan tangannya dan menggigit bibir. Mungkin
teringat kucing kecil yang pernah di pungutnya dulu.
“An—“ aku memanggilnya, menegurnya lebih tepatnya.
Menepuk pundaknya, menyadarkannya. Wajah Ana sudah seputih kertas, pucat
sekali, aku bisa melihat matanya bengkak padahal ia belum menangis.
“Eh,” Ana menatapku sejenak sebelum matanya teralihkan kembali pada kucing kecil
yang telah berlari meninggalkannya, menyusul induknya. Dia menyentuh kedua
pipinya. “Pucat ya?”
Aku menepuk pipinya, sekali, dua kali. Kebiasaan
yang kulakukan setiap kali wajahnya memucat dan membengkak, setelah beberapa
kali tepukan biasanya wajahnya akan kembali normal, matanya pun begitu.
Ketika aku berhenti menepuk-nepuk pipinya hingga
tampak sedikit memerah ia kembali menyentuh kedua pipinya, memastikan tak ada
yang terasa salah.
“Udah?”
Aku memamerkan jempolku.
“Aku nggak bisa bayangin kalau nggak ada kamu Nda.”
Aku tersenyum. “Kamu masih bisa nepuk pipimu sendiri
kok Na.”
Dia tidak menjawab tapi aku masih mendengar langkah
kaki di belakangku mengikuti sampai ke ruang rapat. Tanganku meraih gagang
pintu dan menemukan baru beberapa anggota yang datang dan duduk santai di
lantai, di dalam ruangan ber AC bahkan ada yang sedang berbaring di lantai
dengan buku menutupi wajah.
“Belum pada ngumpul?” tanyaku hanya untuk
berbasa-basi. Jelas-jelas anggota rapat yang berjumlah 12 orang belum datang
semua.
“Belum Nda. Eh Ana—“
Aku berbalik, Ana mengikutiku dari belakang, tanpa
ragu. Dia sudah biasa mengikuti rapat tanpa menjadi anggota, dan aku sudah
biasa menanggapi reaksi anak-anak begitu melihat Ana memasuki ruang rapat.
“Ya ampun Nda. Kok rapat ngajak-ngajak pacar sih?”
Anggara, manusia yang paling ribut setiap melihatku
bersama Ana, memulai celetukannya yang selalu dan selalu di ulang, persis
seperti kaset rusak. Aku pun terbiasa menanggapi dengan tidak menanggapinya.
Ana yang biasanya menjawab.
“Nanda takut pacarnya hilang soalnya.”
Aku mengerutkan dahi, menatap wajah Ana dan berusaha
mencerna jawabannya. Jawaban ini berbeda dari yang biasanya.
“Cie—udah beneran jadian kalian?”
Aku menunggu jawaban dari Ana, dia yang memulai dia
yang harus menjelaskannya.
“Angga, semua aja kamu anggap serius,” Ana menjawab
sambil tertawa, aku bisa merasakan perasaan lega dalam diriku.
Kami semua mengobrol dan aku bisa melihat Ana terus
tertawa setiap kali Anggara menggoda kami berdua, seperti biasanya dia yang
rajin menanggapi anak-anak ketika pertanyaan tentang apa hubungan kami berdua terlontar, kadang dia menjawab serius,
kadang bercanda dan jika jawaban seperti tadi yang keluar dari bibirnya aku
tidak akan meralat sampai dia yang melakukannya.
Ana baru memberitahuku bahwa ibunya tidak bisa
menjemput dan memintaku untuk pulang bersama. Aku tahu dia selalu membawa helm
karena ibunya pun menjemput dengan sepeda motor jadi bukan masalah bagi kami
berdua untuk pulang bersama, tapi risiko bagi Ana, dia harus menunggu sejam
atau dua jam lagi karena aku tidak bisa pulang di tengah rapat.
Tapi seperti biasa Ana tidak mengeluh dia hanya
mengangguk dan menunggu di dalam ruangan, tak bersuara tak mengganggu, duduk tak
jauh dariku bisa kulihat wajahnya kembali memucat, matanya sedikit memerah.
Dia
memang tidak bisa dibiarkan sendirian.
Sebuah pesan terkirim untuknya dan matanya menangkap mataku, senyum muncul di wajahnya dan matanya yang memerah
berubah kembali normal.
Rapat memakan waktu satu setengah jam. Dia meminta
untuk ditemani makan di sebuah rumah makan yang menyajikan steak dengan harga
murah. Aku bisa melihat kegembiraan di wajahnya, satu-satunya emosi yang tak
pernah di tahannya, jadi ia tidak perlu mengeluarkan efek bling bling seperti seluruh tubuhnya tertempel bubuk glitter.
“Aku suka steak disini karena—“
“Murah,” aku memotong pernyataannya, dia selalu
mengatakan hal itu berkali-kali, setiap kali kami berada di rumah makan yang
sama.
“Oh ya,” aku meminta perhatiannya dari steak yang
terhidang lezat diatas meja. “Tadi jawaban kamu ke Anggara?”
Ana terdiam sejenak. “Oh itu, aku bercanda Nda.
Tenang aja. Aku udah tau kok perasaanmu ke aku,” dia memasukkan garpu ke dalam
mulutnya lalu menusuk kembali sepotong daging sembari bersenandung pelan. Aku
perhatikan ekspresi wajahnya, warna matanya dan ukuran pipinya yang bisa saja
membengkak sewaktu-waktu.
Tidak ada perubahan.
Ana menangkap mataku dan tertawa. “Apa? Kamu kira
mataku bakal bengkak lagi? Santai aja Nda. Santai aja.”
Ana mempunyai keunikan, atau bisa disebut keanehan.
Ketika ia menyembunyikan sedikit saja emosi dalam dirinya entah itu marah,
sedih, senang, kecewa, gugup maka tubuhnya akan memberi reaksi yang berlebihan atas
emosi itu. Seperti saat ia mengeluhkan providernya beberapa jam lalu, wajahnya
tiba-tiba lebam, ia menyembunyikan amarahnya. Sekali waktu aku pernah melihat
wajahnya penuh lebam berwarna ungu, tangannya pun begitu, ibunya memanggil
ibuku yang seorang dokter dengan panik, aku dan dia berada di SMP yang sama
saat itu tapi di kelas yang berbeda, ibunya bercerita kalau Ana baru saja
dimarah-marahi kakak kelasnya dalam penerimaan anggota OSIS dan selama itu pula
lebam di wajah dan tubuhnya terus bertambah seperti kemarahan yang ditahannya
di dalam diri.
Di waktu lain kucing kecil yang dipungutnya
meninggal karena sakit, ibunya kembali datang ke ibuku dan bercerita sembari
membawa Ana yang wajahnya membengkak, matanya memerah, dan kulit pucat seputih
kertas. Saat itu Ana bersekolah di SD yang sama denganku, berbeda kelas, tapi
aku sering melihat perubahan di wajah dan tubuhnya setiap kali ia menahan
amarahnya, setiap kali ia berusaha tidak menangis ketika dijahili anak
laki-laki dan setiap kali dia berusaha untuk tidak tertawa di depan guru ketika
SD.
Sejak kami berada di SMA yang sama dan kelas yang
sama aku jadi lebih dan lebih memperhatikannya. Menegurnya setiap kali ia
tampak menahan amarah, setiap kali ia berusaha untuk tidak menangis ataupun
setiap kali ia gugup, dia harus selalu diingatkan karena perubahan yang terjadi
pada tubuhnya baru ia sadari setelah ia bercermin atau melihat lebam di tangan
atau kakinya dan setiap kali perubahan itu terjadi, kepanikan teman-temannya
hanya membuat ia semakin bingung untuk menjelaskan alasannya.
“Kamu tahu, setelah kamu nolak aku beberapa hari
lalu. Pas kamu ijin kuliah selama 3 hari. Selama 3 hari itu juga wajahku
bengkak dan mataku merah,” dia meneguk segelas air putih dingin, “Padahal mama
udah nepuk pipiku berkali-kali tapi nggak berubah juga.”
“Kamu udah cerita itu Na,” aku menjawab sekenanya,
walaupun rasanya mendengar Ana menceritakan hal itu lagi membuat perasaanku
tidak karuan.
“Kenapa?”
Aku mengangkat kepala, memperhatikan Ana yang
menusuk-nusuk daging dengan garpunya.
“Kamu nggak ngasih alasan waktu itu.”
Aku bisa melihat matanya yang mulai memerah. “Aku
nggak mau jadi salah satu faktor yang menyebabkan tubuhmu berbuat aneh setiap
harinya, sekarang aja mata kamu udah merah.”
Ana menusuk dagingnya dengan cepat. “Salahmu juga
kan.”
“Makanya—“
Aku memperhatikan Ana, matanya memerah, wajahnya
memucat. Tanganku menggapai pipinya dan menepuk-nepuknya. “Lagian, tanpa kita
pacaran aku bakal selalu merhatiin kamu Na, bukannya itu yang dibutuhkan dalam
sebuah hubungan yang mereka sebut pacaran?” tanganku terus menepuk pipinya
pelan hingga sedikit memerah. “Santai aja,” aku tersenyum menjauhkan tanganku
dari pipinya. “Lagian kalau aku punya pacar gimana kira-kira reaksi dia kalau
ngeliat aku nepuk-nepuk pipimu kayak gini?”
“Tadi kamu bilang aku bisa nepuk pipiku sendiri?”
“Kamu tadi bilang mama kamu aja nggak bisa bikin wajahmu nggak pucat lagi.”
“Jadi intinya?”
“Nggak tau,” aku tersenyum menatap wajahnya. Seperti
bermain tebak-tebakan dengan anak kecil matanya membulat meminta jawaban.
Ana tersenyum, membalas senyumku. Bersenandung pelan.
Aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang berubah,
sekarang tubuhnya seperti ditaburi bubuk glitter.
Siapapun yang setelah baca ini dan ngerasa judulnya aneh sekali. Memang iya. Saya mentok di judul setelah ngetik sejam lebih ._. Silahkan yang mau memberikan judul pengganti, bisa isi di kotak komen hahaha~
Judulnya baru saja diganti dari bubuk akrilik ke bubuk glitter, kenapa? Ternyata bubuk akrilik buat kuku glitter yang buat badan hahaha-- istilah teknis dan betapa cerobohnya diriku -_-
13 komentar :
bubuk akrilik? bubuk akrilik itu yang bikin bling-bling bukan sih? jadi....kalau dia seneng tubuhnya bakal kayak bubuk akrilik gitu ya?
nanda php! hahaha. tapi apa ya, cowok kayak gitu malah bikin gemes sih. #susah
aku selalu suka cara kamu memulai sebuah cerita deh. prolog sama deskripsinya pas. aku masih susah untuk bikin yg kayak gitu muaha
jujur aku malah tertarik sama judulnya. kalau ngga seaneh ini judulnya, aku mungkin akan favoritin dulu baru baca kemudian hari (karena belom belajar buat ujian #plak)
keep writing vanez! :)
This is one of my favourite! Nggak tau kenapa, I just love it! 'Glitter' menurutku lumayan keren sih, kalo 'akrilik' entah kenapa malah ngakak sendiri..hehehehe..
Btw, karena satu dan lain hal, aku jadi sedikit bisa ngerasain apa yang dirasain Nanda. Kadang2 cowok itu php begitu bukan karena dia mau, tapi bisa banyak sebabnya, entah itu dia lagi bingung, ragu2, atau mungkin dia emang udah nyaman dengan keadaan yang sekarang.
Dari penulisan sih, keren seperti biasa. Cuma akhir ceritanya agak nanggung..hehehe..
"If you become too close to someone, you risk destroying that relationship when you tell them how you really feel."
(Collage)
@chococyanide Aku juga suka gaya tulisanku disini hohoho~ *oke mulai narsis* dan aku juga suka bayangin hubungan Nanda sama Ana *tambah narsis*
Iya ya, kalau bubuk akrilik terlalu 'kaku' judulnya, kayak istilah bahan kimia berbahaya...
Cho, kamu nggak curhat kan? Hahahahah~ iya sih resiko cowok deket sama cewek kan disitu, perasaan cewek sensitif soalnya dan sering- sering sering ke GR an
Nanggung gimana cho? ._.
Makassssih banyak buat komennya :3
@Hilwy Al Hanin Iya nin bubuk akrilik tuh yang bikin bling bling kuku -_- makanya aku ganti jadi glitter hahahaha~ istilahnya juga lebih familiar :3
Iyaaa nanda emang php tapi mungkin itu juga salah satu faktor yang bikin dia menarik~ setuju nin bikin gemes jugaaaa
Aaaaa~tapi aku payah banget kalau bikin judul ._______.
Makassssih udah komen ya, kamu juga keep writing :3
Aku bilang 'karena satu dan lain hal' itu bukan tanpa arti lho ;)
Maksudku nanggung, cerita ini masih bisa dilanjutin, dan bisa ada banyak kemungkinan kelanjutannya gimana *mulaibayangin *stop
Sama2 :D tetep nulis yang keren2 yah~
@chococyanide hahaha karena satu dan lain hal apa hayo~
Nggakpapa co, kamu kasih ide siapa tahu jadi bisa aku terusin ceritanya :3
Maaf baru balas...walau ujian udah selesai, ternyata masih aja belum bisa nyantai..dan tiba2, udah di stasiun aja ini.. -_-
Hohoho...kalo aku jawab pertanyaan itu, malah jadi curhat beneran ntar :p
Ah..belum kepikiran apa2 sih nes..cuma entah kenapa pingin aku pisahin keduanya -_- #iri hahaha..pingin tau aja sih bakal gimana keadaannya kalo misalnya si nanda harus pergi jauh, ninggalin si ana sendiri...
@chococyanide Cieee yang liburan, disini UAS aja belum kakak -_-
Curhat nggakpapa kok co, sepi ini *ngeliatin kotak komen*
Kalau di novel-novel biasanya kayak gitu tuh pas puncak konflik ya, biar seru hahaha~
Ana bakal kacau mungkin tapi cuma sampe Nanda balik lagi :3
Libur cuma seminggu aja kok.. -_-
Hohoho..jangan lah, ntar cerpennya pindah ke kotak komentar :p
Hmm...mungkin ga sih kalo ketika ditinggal Nanda, trnyata Ana bisa nemuin orang lain yang bisa 'menetralkan' dirinya?
@chococyanide Mungkin, tapi tergantung Ana nya juga sih, dia mau di netralin orang lain apa nggak :)
ah, aku nemuin satu kelemahan kamu..
kamu sering bikin rancu mana cowok mana cewek..
di "pohon merah" , aku yakin karakter akunya itu cewek,,
dan disini, nanda aku kira cewek. sebelum kamu nerangin mereka kyk dijodohin ya..
dan hindari penggunaan nama yang multigender.. nanda, aulia, levi..
ah, bahkan aku kira devin alphonse itu cowok juga lho.. sebelum scene terakhir..
:)
@Ilham Sasmita Kalau tokohnya sering rancu antara cewek atau cowok berarti karakternya kurang kerasa cowok ya mas? Bukan karena nama doang? Ada saran nggak supaya keliatan karakter cowoknya?
Iya sih emang kurang disitu, aku masih belum mantep buat cross-gender .____.
Makasih buat komennyaaaaaa~ =3
setauku si yang paling penting nama..
klo buat cowok yg maskulin, buat cewek yg feminim..
jangan yg multigender..
selebihnya ya, banyak baca tulisan yg POVnya cowok..
Hehe.
Posting Komentar