Dia laki-laki yang menyebalkan. Aku baru
mengetahui keberadaannya saat menginjak kelas 2 SMA, di sebuah acara olahraga
yang diadakan setiap tahunnya. Dia pemain bulu tangkis dan percaya atau tidak aku
memperhatikannya bukan karena dia tampak seperti pemain profesional tapi karena
ekspresi wajah yang dibuatnya setiap kali ia berhasil memenangkan set. Sombong
sekali—pikirku. Tapi setelah itu, wajahnya menjadi begitu familiar bagiku.
Laki-laki menyebalkan itu keluar dari ruang
ujian dengan ekspresi datar. Ketika kami berada di kelas yang sama di kelas 3, aku semakin mengenalnya sebagai laki-laki yang semakin menyebalkan saja, segala
tingkah lakunya menjadi pusat perhatianku. Ekspresi wajah datarnya yang tak
banyak mengomentari soal sementara aku berusaha untuk tertawa-tawa karena tidak
mengerti apa yang sebenarnya baru saja kukerjakan. Astaga—ekspresi tenang
laki-laki itu, begitu menyebalkan.
“Udah, nggak usah diomongin lagi.”
Sikap tenangnya itu menyebalkan sekali. Kenapa
dia bisa setenang itu? Apa dia sanggup mengerjakannya dengan baik, mungkin iya—mungkin
dia hanya pura-pura tenang, tapi dia memang pintar. Baguslah. Sebentar—kenapa
aku harus bersyukur karena dia mampu mengerjakan soal sedangkan aku tidak.
Kemudian aku tertawa mengalihkan perdebatan hebat dalam pikiranku, bersama seorang teman
yang meremas-remas soalnya dan membuangnya ke tempat sampah dengan geram.
Kulipat soalku dengan rapi, untuk menertawakannya kembali di hari lain.
Dia laki-laki yang menyebalkan. Ketenangannya
membuatku tidak bisa berkata apa-apa, segala gerak-geriknya menarik
perhatianku, seperti magnet dan menyita hampir setiap indera yang kumiliki. Dan
sekarang dia duduk disebelahku. Kami berdua terdiam, aku tidak tahu harus
membangun topik apa dengannya. Cuaca hari ini, terlalu memaksa, gosip tentang
guru, sepertinya tidak pantas untuk seorang laki-laki seperti dia, tugas yang
menumpuk, pentingkah untuk dibahas, lalu apa—
Aku mengangkat kepala ketika dia melakukan hal
yang sama, mata kami bertemu dan entah reflek dari mana tawaku meluncur begitu saja,
tak sekeras biasanya tapi mampu terdengar olehnya. Tawa itu memberiku ide, dia
punya kemampuan lebih di bidang kimia, aku bisa minta laki-laki menyebalkan
ini mengajariku.
Ketika aku mengutarakan permintaanku, laki-laki menyebalkan itu menganggukkan
kepala, tanpa terpogram bibirku menyunggingkan senyum membalas anggukannya.
Betapa menyebalkannya kemampuan laki-laki itu untuk membuat senyumku muncul
begitu saja, tanpa aku sadari dan baru sempat aku rutuki beberapa menit
setelahnya.
Dia laki-laki yang menyebalkan, sehingga aku
takut berada di dekatnya. Walaupun segala gerak-geriknya menjadi perhatian
bagiku, obrolannya menjadi menarik untukku, tweetnya menjadi topik di kepalaku,
dan aku sibuk menebak-nebak seperti apa perempuan yang menarik perhatiannya. Berada
di dekatnya membuatku merasa tidak tenang, antara takut dia merasa tidak nyaman
karena berada di dekatku, atau takut dia pergi begitu saja.
Jadi aku memilih menghindar, sekedar
menitipkan buku yang kupinjam darinya kemarin. Dengan alasan pergi ke kantin
aku menitipkan buku itu ke seorang teman untuk dikembalikan, walaupun dia
mengangguk dengan eskpresi kebingungan aku merasa terselamatkan olehnya,
walaupun ketika kembali dari kantin aku bisa menangkap ekspresi kebingungan
dari laki-laki menyebalkan itu.
Tapi bisa saja lebih baik seperti ini. Aku tidak
ingin berada terlalu dekat dengannya. Karena jika terlalu dekat dengannya aku
merasa nyaman dan aku jelas tahu bagaimana laki-laki menyebalkan itu membuatku
terlalu tergantung pada keberadaannya.
Dia laki-laki yang menyebalkan. Semakin
menyebalkan saja ketika kami harus berperan sebagai sepasang kekasih dalam
drama kami—lebih tepatnya drama kelas kami. Aku tidak bisa mempraktekkan hobiku
bermain peran ketika SMP, kaku, seperti robot dan aku merutuki
kemampuannya untuk menarik lenganku begitu saja tanpa merasa canggung.
Laki-laki ini sungguh menyebalkan, apa dia tidak mengerti bahwa aku tidak bisa
memainkan peran secara maksimal bersamanya, bagaimana dia tidak menyadarinya.
“Kalian itu, kayak robot deh! Kaku banget.”
Aku mendengarnya mengucapkan kata maaf
sementara aku hanya sanggup memalingkan wajah, merutuki kelemahanku sendiri,
merutuki kebetulan menyebalkan yang memasangkanku dengannya.
Setelah lepas darinya aku bisa mempraktekkan
apa yang kupelajari ketika ikut ekstrakulikuler drama, walaupun sebenarnya
kemampuanku pun terhambat oleh tingkah lawan mainku yang begitu konyol,
terlebih lagi adegan yang harus kami lakukan adalah saling menampar, bertengkar
hebat. Bagaimana bisa, setiap aku akan berteriak dan menyentuh pipi lawan
mainku dengan ekspresi penuh kemarahan, lawan mainku akan tertawa terbahak-bahak.
Tawa itu menular kan, aku meliriknya, melirik
laki-laki menyebalkan itu. Yang menatap kami berdua dengan tatapan datar.
Bukannya seharusnya begitu?
Laki-laki yang menyebalkan itu, seperti
meminta jawaban dariku. Jawaban? Yang benar saja, bukankah dia jelas-jelas
lebih pintar dariku? Tipe soal kami memang sama dan aku sudah selesai
mengerjakan soal sekaligus mengecek jawaban sejak setengah jam yang lalu. Tapi
apa dia yakin meminta jawaban dariku.
Aku melirik lembar jawaban komputer milikku,
ketika mata kami bertemu aku segera memberi isyarat jari padanya, isyarat yang
dimengerti hampir seluruh pelajar di negeri ini. Ketika ia menganggukkan
kepala, aku kembali memperhatikan lembar jawabanku, lalu kertas soalku. Meragu,
ku kerjakan kembali soal yang jawabannya kuberikan padanya, pada laki-laki
menyebalkan itu. Hanya untuk memastikan.
Laki-laki itu masih tampak menyebalkan bagiku,
sekalipun itu hari perpisahan kelas kami. Aku, dia dan teman sekelas yang lain
memutuskan untuk bermain di sebuah tempat bermain yang dilengkapi sebuah kolam.
Aku tahu kolam itu memberikan tanda bahaya sejak tadi, terlebih-lebih hari
ulangtahunku baru saja berlalu. Seseorang menarik tubuhku dengan ganas, diikuti
oleh orang-orang lain, sekalipun aku meronta mereka malah tertawa dan sudahlah—tubuhku
basah terkena air kolam.
Seharusnya aku berjaga-jaga membawa jaket
tadi. Mataku mencari siapapun yang mengenakan jaket dan kira-kira mau
meminjamkan, tapi sejak tadi aku berputar-putar, jaket mereka sudah basah—karena
menjadi korban juga—dipinjamkan ke orang lain atau tidak membawa jaket. Aku
baru saja bertanya kepada seorang teman ketika laki-laki menyebalkan yang
memakai jaket biru itu kembali dari pelariannya agar tidak diceburkan bersama
teman yang lain.
Aku yakin dia mendengar pertanyaanku,
permintaanku kepada temannya—yang juga temanku—untuk meminjamkan jaket. Ketika
aku melewatinya dia hanya diam, tidak menawarkan jaket biru yang dikenakannya.
Astaga—betapa menyebalkan dirinya.
Dia laki-laki yang menyebalkan, karena sanggup
membuatku tersenyum ketika mengingatnya tapi merasa akan menangis jika bertemu
dengannya. Seperti dalam sebuah drama yang pernah aku tonton, betapa
dramatisnya air mata perempuan yang setelah sekian lama bertemu dengan orang
yang dirindukannya. Tapi aku tidak merindukannya—aku tertawa—tidak, aku tidak
sedang merindukannya, sudah satu bulan berlalu tanpa menjadi stalker mencari tahu apakah dia masih sama menyebalkan seperti yang aku pikirkan, dan satu bulan berusaha melupakan kenyataan bahwa aku
tak pernah bertemu dengannya secara langsung setelah 3 tahun berlalu.
Yah—siapa tahu dengan semua kenyataan itu aku bisa menangis
karena bertemu dengannya seperti dalam drama yang pernah kutonton. Tapi tidak mungkin kan aku bertemu denganya,
walaupun laki-laki yang baru saja masuk cafe memiliki perawakan yang mirip
dengannya, wajah yang mirip dengannya—tunggu.
Aku memperhatikan laki-laki itu, laki-laki yang
tampak mencari seseorang. Aku rasa mataku sudah membulat sempurna ketika dia
berbalik dan menatapku, mengenaliku, rasanya dadaku sesak ketika dia memanggil
namaku. Dia masih menyebalkan, masih bisa membuatku kacau balau.
Ketika dia menghampiri tempat dudukku, duduk
dihadapanku dan berkata,
“Numpang dulu ya, aku masih nungguin teman.”
Sudah 3 tahun tidak bertemu dan hanya itu yang
dia katakan. Astaga—betapa menyebalkannya dirinya.
Aku merasa air mataku meluncur ketika ia
mengalihkan pandangan ke jam tangannya, segera kuhapus cepat sebelum ia
melihatnya. Akan sangat memalukan tampak lemah di depan laki-laki menyebalkan
ini.
“Kenapa kau muncul lagi?”
Aku tahu kata itu meluncur tanpa ditahan. Dan
ekspresi kebingungannya adalah ekspresi yang wajar. Dan aku benar-benar
mengerti. Kenapa laki-laki ini begitu menyebalkan di mataku.
Cerpen ini, nyambung dengan cerpen yang berjudul Perempuan yang Aneh. Lebih tepatnya 1 cerita dari dua sudut pandang yang berbeda :))
6 komentar :
siapakah "laki-laki menyebalkan"-mu? wkwkwkwkwk, sebut ning kene seru hawane
@Heri I. Wibowo heeeeh rag sah macem-macem her -_-
Pingin ketawa pas baca cerita ini..sumpah, ga nyangka banget kalo ternyata cerita dari sisi ceweknya kayak gitu..
Tapi kasian banget ya ceweknya..dia sebenernya suka sama si cowok ya? :')
Emang sih, kita harus ngelihat dari segala sisi...otherwise, semua keliatan negatif..
Good story, as always! :')
@chococyanide Ketawa kenapa? Karena kamu ngiranya si cewek ketakutan ngeliat cowoknya yang di Perempuan yang Menyebalkan? hahahah~
Iya kasian ceweknya, mungkin banyak cewek yg merasakan perasaan yang sama :')
Makasih udah dibaca, makasih udah di komen co :3
Engga..ya karena tadi itu.. -.- ga nyangka sama sekali kalo ternyata si cewek dan cowoknya kayak gitu..
He? Banyak cewek yg ngerasa kayak gitu? Maksudnya, semacam php gitu? -_-a
@chococyanide Nggaak bukan php, gimana ya jelasinnya ya. Hahahaha~
Posting Komentar