Minggu, 19 Mei 2013

Laki- laki yang Menyebalkan



Dia laki-laki yang menyebalkan. Aku baru mengetahui keberadaannya saat menginjak kelas 2 SMA, di sebuah acara olahraga yang diadakan setiap tahunnya. Dia pemain bulu tangkis dan percaya atau tidak aku memperhatikannya bukan karena dia tampak seperti pemain profesional tapi karena ekspresi wajah yang dibuatnya setiap kali ia berhasil memenangkan set. Sombong sekali—pikirku. Tapi setelah itu, wajahnya menjadi begitu familiar bagiku.

Laki-laki menyebalkan itu keluar dari ruang ujian dengan ekspresi datar. Ketika kami berada di kelas yang sama di kelas 3, aku semakin mengenalnya sebagai laki-laki yang semakin menyebalkan saja, segala tingkah lakunya menjadi pusat perhatianku. Ekspresi wajah datarnya yang tak banyak mengomentari soal sementara aku berusaha untuk tertawa-tawa karena tidak mengerti apa yang sebenarnya baru saja kukerjakan. Astaga—ekspresi tenang laki-laki itu, begitu menyebalkan.

“Udah, nggak usah diomongin lagi.”

Sikap tenangnya itu menyebalkan sekali. Kenapa dia bisa setenang itu? Apa dia sanggup mengerjakannya dengan baik, mungkin iya—mungkin dia hanya pura-pura tenang, tapi dia memang pintar. Baguslah. Sebentar—kenapa aku harus bersyukur karena dia mampu mengerjakan soal sedangkan aku tidak.

Kemudian aku tertawa mengalihkan perdebatan hebat dalam pikiranku, bersama seorang teman yang meremas-remas soalnya dan membuangnya ke tempat sampah dengan geram. Kulipat soalku dengan rapi, untuk menertawakannya kembali di hari lain.

Dia laki-laki yang menyebalkan. Ketenangannya membuatku tidak bisa berkata apa-apa, segala gerak-geriknya menarik perhatianku, seperti magnet dan menyita hampir setiap indera yang kumiliki. Dan sekarang dia duduk disebelahku. Kami berdua terdiam, aku tidak tahu harus membangun topik apa dengannya. Cuaca hari ini, terlalu memaksa, gosip tentang guru, sepertinya tidak pantas untuk seorang laki-laki seperti dia, tugas yang menumpuk, pentingkah untuk dibahas, lalu apa—

Aku mengangkat kepala ketika dia melakukan hal yang sama, mata kami bertemu dan entah reflek dari mana tawaku meluncur begitu saja, tak sekeras biasanya tapi mampu terdengar olehnya. Tawa itu memberiku ide, dia punya kemampuan lebih di bidang kimia, aku bisa minta laki-laki menyebalkan ini mengajariku.

Ketika aku mengutarakan permintaanku, laki-laki menyebalkan itu menganggukkan kepala, tanpa terpogram bibirku menyunggingkan senyum membalas anggukannya. Betapa menyebalkannya kemampuan laki-laki itu untuk membuat senyumku muncul begitu saja, tanpa aku sadari dan baru sempat aku rutuki beberapa menit setelahnya.

Dia laki-laki yang menyebalkan, sehingga aku takut berada di dekatnya. Walaupun segala gerak-geriknya menjadi perhatian bagiku, obrolannya menjadi menarik untukku, tweetnya menjadi topik di kepalaku, dan aku sibuk menebak-nebak seperti apa perempuan yang menarik perhatiannya. Berada di dekatnya membuatku merasa tidak tenang, antara takut dia merasa tidak nyaman karena berada di dekatku, atau takut dia pergi begitu saja.

Jadi aku memilih menghindar, sekedar menitipkan buku yang kupinjam darinya kemarin. Dengan alasan pergi ke kantin aku menitipkan buku itu ke seorang teman untuk dikembalikan, walaupun dia mengangguk dengan eskpresi kebingungan aku merasa terselamatkan olehnya, walaupun ketika kembali dari kantin aku bisa menangkap ekspresi kebingungan dari laki-laki menyebalkan itu.

Tapi bisa saja lebih baik seperti ini. Aku tidak ingin berada terlalu dekat dengannya. Karena jika terlalu dekat dengannya aku merasa nyaman dan aku jelas tahu bagaimana laki-laki menyebalkan itu membuatku terlalu tergantung pada keberadaannya.

Dia laki-laki yang menyebalkan. Semakin menyebalkan saja ketika kami harus berperan sebagai sepasang kekasih dalam drama kami—lebih tepatnya drama kelas kami. Aku tidak bisa mempraktekkan hobiku bermain peran ketika  SMP, kaku, seperti robot dan aku merutuki kemampuannya untuk menarik lenganku begitu saja tanpa merasa canggung. Laki-laki ini sungguh menyebalkan, apa dia tidak mengerti bahwa aku tidak bisa memainkan peran secara maksimal bersamanya, bagaimana dia tidak menyadarinya.

“Kalian itu, kayak robot deh! Kaku banget.”

Aku mendengarnya mengucapkan kata maaf sementara aku hanya sanggup memalingkan wajah, merutuki kelemahanku sendiri, merutuki kebetulan menyebalkan yang memasangkanku dengannya.

Setelah lepas darinya aku bisa mempraktekkan apa yang kupelajari ketika ikut ekstrakulikuler drama, walaupun sebenarnya kemampuanku pun terhambat oleh tingkah lawan mainku yang begitu konyol, terlebih lagi adegan yang harus kami lakukan adalah saling menampar, bertengkar hebat. Bagaimana bisa, setiap aku akan berteriak dan menyentuh pipi lawan mainku dengan ekspresi penuh kemarahan, lawan mainku akan tertawa terbahak-bahak.

Tawa itu menular kan, aku meliriknya, melirik laki-laki menyebalkan itu. Yang menatap kami berdua dengan tatapan datar. Bukannya seharusnya begitu?

Laki-laki yang menyebalkan itu, seperti meminta jawaban dariku. Jawaban? Yang benar saja, bukankah dia jelas-jelas lebih pintar dariku? Tipe soal kami memang sama dan aku sudah selesai mengerjakan soal sekaligus mengecek jawaban sejak setengah jam yang lalu. Tapi apa dia yakin meminta jawaban dariku.

Aku melirik lembar jawaban komputer milikku, ketika mata kami bertemu aku segera memberi isyarat jari padanya, isyarat yang dimengerti hampir seluruh pelajar di negeri ini. Ketika ia menganggukkan kepala, aku kembali memperhatikan lembar jawabanku, lalu kertas soalku. Meragu, ku kerjakan kembali soal yang jawabannya kuberikan padanya, pada laki-laki menyebalkan itu. Hanya untuk memastikan.

Laki-laki itu masih tampak menyebalkan bagiku, sekalipun itu hari perpisahan kelas kami. Aku, dia dan teman sekelas yang lain memutuskan untuk bermain di sebuah tempat bermain yang dilengkapi sebuah kolam. Aku tahu kolam itu memberikan tanda bahaya sejak tadi, terlebih-lebih hari ulangtahunku baru saja berlalu. Seseorang menarik tubuhku dengan ganas, diikuti oleh orang-orang lain, sekalipun aku meronta mereka malah tertawa dan sudahlah—tubuhku basah terkena air kolam.

Seharusnya aku berjaga-jaga membawa jaket tadi. Mataku mencari siapapun yang mengenakan jaket dan kira-kira mau meminjamkan, tapi sejak tadi aku berputar-putar, jaket mereka sudah basah—karena menjadi korban juga—dipinjamkan ke orang lain atau tidak membawa jaket. Aku baru saja bertanya kepada seorang teman ketika laki-laki menyebalkan yang memakai jaket biru itu kembali dari pelariannya agar tidak diceburkan bersama teman yang lain.

Aku yakin dia mendengar pertanyaanku, permintaanku kepada temannya—yang juga temanku—untuk meminjamkan jaket. Ketika aku melewatinya dia hanya diam, tidak menawarkan jaket biru yang dikenakannya. Astaga—betapa menyebalkan dirinya.

Dia laki-laki yang menyebalkan, karena sanggup membuatku tersenyum ketika mengingatnya tapi merasa akan menangis jika bertemu dengannya. Seperti dalam sebuah drama yang pernah aku tonton, betapa dramatisnya air mata perempuan yang setelah sekian lama bertemu dengan orang yang dirindukannya. Tapi aku tidak merindukannya—aku tertawa—tidak, aku tidak sedang merindukannya, sudah satu bulan berlalu tanpa menjadi stalker mencari tahu apakah dia masih sama menyebalkan seperti yang aku pikirkan, dan satu bulan berusaha melupakan kenyataan bahwa aku tak pernah bertemu dengannya secara langsung setelah 3 tahun berlalu.

Yah—siapa tahu dengan semua kenyataan itu aku bisa menangis karena bertemu dengannya seperti dalam drama yang pernah kutonton. Tapi tidak mungkin kan aku bertemu denganya, walaupun laki-laki yang baru saja masuk cafe memiliki perawakan yang mirip dengannya, wajah yang mirip dengannya—tunggu.

Aku memperhatikan laki-laki itu, laki-laki yang tampak mencari seseorang. Aku rasa mataku sudah membulat sempurna ketika dia berbalik dan menatapku, mengenaliku, rasanya dadaku sesak ketika dia memanggil namaku. Dia masih menyebalkan, masih bisa membuatku kacau balau.

Ketika dia menghampiri tempat dudukku, duduk dihadapanku dan berkata,

“Numpang dulu ya, aku masih nungguin teman.”

Sudah 3 tahun tidak bertemu dan hanya itu yang dia katakan. Astaga—betapa menyebalkannya dirinya.
Aku merasa air mataku meluncur ketika ia mengalihkan pandangan ke jam tangannya, segera kuhapus cepat sebelum ia melihatnya. Akan sangat memalukan tampak lemah di depan laki-laki menyebalkan ini.

“Kenapa kau muncul lagi?”

Aku tahu kata itu meluncur tanpa ditahan. Dan ekspresi kebingungannya adalah ekspresi yang wajar. Dan aku benar-benar mengerti. Kenapa laki-laki ini begitu menyebalkan di mataku.

Cerpen ini, nyambung dengan cerpen yang berjudul Perempuan yang Aneh. Lebih tepatnya 1 cerita dari dua sudut pandang yang berbeda :))

6 komentar :

Heri I. Wibowo at: 19 Mei 2013 pukul 23.05 mengatakan... Reply

siapakah "laki-laki menyebalkan"-mu? wkwkwkwkwk, sebut ning kene seru hawane

Vanessa Praditasari at: 20 Mei 2013 pukul 20.12 mengatakan... Reply

@Heri I. Wibowo heeeeh rag sah macem-macem her -_-

chococyanide at: 25 Mei 2013 pukul 18.31 mengatakan... Reply

Pingin ketawa pas baca cerita ini..sumpah, ga nyangka banget kalo ternyata cerita dari sisi ceweknya kayak gitu..

Tapi kasian banget ya ceweknya..dia sebenernya suka sama si cowok ya? :')

Emang sih, kita harus ngelihat dari segala sisi...otherwise, semua keliatan negatif..

Good story, as always! :')

Vanessa Praditasari at: 25 Mei 2013 pukul 20.02 mengatakan... Reply

@chococyanide Ketawa kenapa? Karena kamu ngiranya si cewek ketakutan ngeliat cowoknya yang di Perempuan yang Menyebalkan? hahahah~

Iya kasian ceweknya, mungkin banyak cewek yg merasakan perasaan yang sama :')

Makasih udah dibaca, makasih udah di komen co :3

chococyanide at: 26 Mei 2013 pukul 08.27 mengatakan... Reply

Engga..ya karena tadi itu.. -.- ga nyangka sama sekali kalo ternyata si cewek dan cowoknya kayak gitu..

He? Banyak cewek yg ngerasa kayak gitu? Maksudnya, semacam php gitu? -_-a

Vanessa Praditasari at: 26 Mei 2013 pukul 15.51 mengatakan... Reply

@chococyanide Nggaak bukan php, gimana ya jelasinnya ya. Hahahaha~

Posting Komentar

Beo Terbang