Kamis, 11 Juli 2013

Batas


Seseorang harusnya selalu menyadari batas wilayahnya sendiri. Seperti mengetahui batas tanah rumahnya, dimana mereka harus membangun pagar berderet-deret, dimana seharusnya mereka menanam bunga-bunga, pohon yang bisa jadi dahannya melewati batas tanah hingga tetangga sebelah. Lalu menimbulkan perdebatan ketika buahnya jatuh di sana, melewati batas tanah di lahan tetangga sebelah.

Seseorang seharusnya mudah saja menyadari di mana seharusnya ia menempatkan diri, seperti antrian tiket bioskop, mereka sadar dimana seharusnya mereka berbaris, dibatasi pita tipis yang lentur, yang sesekali dipindahkan oleh petugas untuk membuat garis antrian yang lebih panjang, lebih rumit, serupa labirin.

Seseorang harusnya tahu bagaimana ia harus bersikap kepada seorang perempuan yang terlalu lama sendiri, di dalam ilusi dan dunia buatannya, kepada laki-laki tua yang telah lama ditinggalkan isteri tercintanya, kepada seorang anak kecil yang tak sanggup menggerakkan tubuh walaupun sekedar kepalanya saja, kepada seorang pengemis yang tampak sehat dan mampu menjadi pekerja yang lebih baik daripada menengadahkan tangan di pinggir jalan, kepada seorang laki-laki berlengan besar yang mengenakan pakaian wanita dan tampak begitu aduhai dari belakang.

Bukan hanya memberikan uang, bukan pula hanya melambaikan tangan dari balik kaca, bukan hanya menangis dan bukan hanya mengucapkan duka cita walau itu telah lama berlalu, bukan juga bersikap terlalu baik atau mengabaikannya terlalu lama.

Perempuan itu tahu, tahu caranya membuat garis lingkaran yang mencegah orang lain untuk masuk dan keluar seenak  kakinya melangkah. Ia tahu cara menyambut orang di luar garis dengan ramah tanpa membuat mereka tersinggung tak mengijinkan masuk. Perempuan itu, tahu caranya hidup di dalam lingkaran buatannya sendiri dan mulai membangun batu-bata demi batu bata, sebuah lingkaran kecil yang menyediakan pintu dan jendela untuk sekedar mengintip dan keluar menyapa orang lain.

Perempuan itu tahu caranya. Tapi tak semua orang tahu kalau perempuan itu memiliki batasnya sendiri. Beberapa orang terkadang datang mengetuk pintu dan meminta ijin masuk. Perempuan itu tidak pernah mengatakan tidak. Tapi tak pernah pula mengatakan iya. Dengan berbagai kata ia memutarbalikkan keinginan orang itu, dengan kemampuannya mengalihkan perhatian dia sanggup membuat orang itu tak tertarik lagi untuk masuk, berbalik lalu pergi.

Tak semua orang memiliki batasnya, tapi perempuan itu tahu setiap batas dalam hidupnya, dalam setiap hubungan yang dibinanya, pertemanan, permusuhan, persahabatan, percintaan, dan hubungannya antara anak dan orangtua yang dimilikinya. Ia tahu batas setiap lingkarannya.

Orangtuanya tak perlu masuk meringsek ke dalam lingkaran inti karena cukup berada di lingkaran pertama, perempuan itu tahu, mereka tak akan protes. Musuhnya kadang mengendam-ngendap menuju lingkaran inti, berusaha mengintip dari jendela berkorden biru tua dengan aksen bunga melati, dan suatu ketika perempuan itu membuka jendela, mengenakan topengnya yang mengerikan dan membuat musuhnya lari terbirit-birit meninggalkan lingkaran inti sementara tawa perempuan itu membahana di dalam bangunana batu-bata sederhana buatannya.

Sesekali sahabatnya mengetuk pintu, hanya sekedar memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja, dan dia sungguh baik, walaupun matanya bengkak, rambutnya kusut dan tampak tak menyenangkan, ketika sahabatnya meminta ijin untuk masuk perempuan itu akan tersenyum, meminta sahabatnya untuk pulang, tak mencemaskannya dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sangat baik malahan. Hanya sesiung bawang merah yang membuatnya menangis dan dia memang belum mandi sejak pagi, lalu ia tertawa sembari melambaikan tangan, memberi ucapan terimakasih dan membiarkan punggung sahabatnya menjauh dalam keraguan.

Sedangkan seorang teman hanya berada di lingkaran ketiga dari hidupnya dan seseorang yang dicintainya tak pernah mengetuk pintu lingkaran inti, lagipula dia pun ragu akan mengijinkan laki-laki yang sejak awal berada di lingkaran terluar itu untuk masuk, jika dia memang mengetuk pintu.

Sesekali perempuan itu keluar dan menyapa orangtuanya yang tepat berada di lingkaran pertama, kemudian mendengar cerita sahabatnya di lingkaran kedua, selanjutnya bercanda hingga rahangnya tak kuat lagi melebar untuk tertawa dengan teman-temannya di lingkar ketiga, lalu memperhatikan laki-laki yang dia cintai di lingkar terluar.

Perempuan itu bahagia dengan caranya mengatur setiap hubungan, membatasi mereka dan mencegah mereka untuk masuk lebih dalam, ke dalam inti.

Sampai suatu ketika seseorang datang, asing sekali orang ini. Tapi ia sanggup menembus batas terluar ke lingkaran ketiga dalam waktu sehari. Ketika perempuan itu mengunjungi lingkaran ketiga laki-laki asing itu sudah ada di sana, bercanda tawa dengan teman-temannya, sanggup membuatnya tertawa-tawa dan tak ingin berpindah dari lingkaran ketiga secepat biasanya. Terus dan terus membuatnya tertawa dan sesekali membuatnya bercerita banyak, terlalu banyak sampai akhirnya perempuan itu menyadari, keesokan harinya laki-laki asing itu telah berada di lingkaran kedua bersama sahabatnya.

Perempuan itu bisa melihat sahabatnya tersenyum-senyum sepanjang obrolan mereka bertiga, bahkan sesekali sahabatnya menyenggol bahu perempuan itu dan tertawa kecil. Seolah-olah menggoda, perempuan itu mengerti isyarat sahabatnya tapi ia tak menangkap maksud laki-laki asing itu datang dan menembus dua lingkaran sekaligus dalam waktu singkat.

Beberapa hari kemudian ketika mengintip dari jendela, perempuan itu menemukan laki-laki asing itu telah berada di lingkaran pertama, bersama kedua orangtuanya. Tertawa-tawa. Menikmati kue kesukannya dan menanggapi komentar ayahnya mengenai pemerintahan negeri saat itu dan sempat berbincang asik. Laki-laki asing itu menyadari ketika perempuan itu mengintip dan melambaikan tangan kepadanya, memintanya untuk bergabung, dengan senang hati perempuan itu menyanggupinya. Ia memang akan bergabung, hanya saja rasa terkejutnya masih membuatnya berdiri di depan jendela beberapa saat sebelum berpindah ke depan pintu dan memutar gagangnya. Bagaimana bisa laki-laki asing itu telah berada di lingkaran pertama, begitu dekat dengan lingkaran intinya, begitu akrab dengan kedua orangtuanya.

Beberapa hari berlalu, dan berhari-hari laki-laki asing itu berada di lingkaran pertama, bersama keluarganya, bersenda gurau. Perempuan itu merasa nyaman dan semakin bahagia saja dengan kehadiran laki-laki itu di lingkaran pertama, bersama keluarganya terlebih lagi. Ia mulai mempertimbangkan, mungkin laki-laki itu pantas untuk masuk ke lingkaran inti, hanya untuk melihat tak untuk tinggal. Karena sungguh, ia tak akan mengijinkan siapapun tinggal disana. Cukup dia sendiri di lingkaran inti dan berbahagia karena selalu mampu menyimpan segala hal di sana tanpa takut seseorang akan mengobrak-ngabrik dan meninggalkan remah-remah sisa kehancuran.

Tapi laki-laki asing itu tak pernah mengetuk, ataupun meminta untuk masuk. Maka perempuan itu pun memilih untuk tak menawarkan, ia tak akan pernah memaksa.

Suatu pagi perempuan itu mengintip, dari jendelanya. Tak menemukan laki-laki itu di lingkaran pertama. Hanya kedua orangtuanya sedang menikmati teh di pagi hari mereka. Maka perempuan itu memutari lingkaran pertama yang memang sempit dan tak menemukannya juga. Ketika ia melangkah melewati lingkaran kedua, sahabatnya pun tak mengerti di mana laki-laki asing itu. Di saat ia berada di lingkaran ketiga ia tak menemukan pula laki-laki asing itu. Di manapun, laki-laki asing itu telah menghilang. Seperti kabut yang menghalangi pandangan perempuan itu ketika melewati lingkaran kedua, ketika berjalan ke lingkaran ketiga dan berganti dengan sinar terik matahari ketika ia kembali ke lingkaran inti.

Laki-laki asing itu tak pernah kembali setiap dia mengintip jendela, setiap ia melewati setiap lingkaran kemudian bertanya. Laki-laki itu tak pernah kembali. Dan perempuan itu baru menyadari, bahwa laki-laki asing itu telah membuat lubang di setiap lingkaran. Dalam tawanya, sekarang perempuan itu mengerti kenapa laki-laki asing itu bisa masuk dan keluar lingkaran seenak langkah kakinya.

Keesokan harinya hingga sore menjelang, bersama mentari berwarna oranye menggelap, perempuan itu 
masih berada di luar lingkaran inti  membangun setiap batu-bata untuk batas lingkarannya dan sebuah pintu kecil dengan bel yang bergemerincing setiap kali terbuka. Setiap kali itu dia akan tahu, siapa yang pantas melanjutkan langkah ke lingkaran selanjutnya dan siapa yang harus ia dorong kembali ke lingkaran awal, atau ia buang ke lingkaran terluar.

Setelah itu kebahagiannya akan sama lagi. Perempuan itu mengusap peluh di dahi, ketika matahari tenggelam meninggalkannya di lingkaran pertama bersama bangunan batu-bata buatannya. Seharusnya begitu.

Seharusnya setiap orang mengerti batas wilayahnya. Seperti batas tanah yang dimilikinya. Seharusnya mereka sedikit sopan ketika mengambil buah dari tanaman milik tetangganya. Seharusnya seseorang mengerti bahwa tak ada yang pantas menyerobot antrian tiket bioskop, seharusnya setiap orang sadar bagaimana sebaiknya memperlakukan orang lain. Tapi kata seharusnya terlalu menuntut, dan tak ada orang yang senang dituntut, maka perempuan itu memilih untuk membuat orang-orang itu mengerti, bahwa ada batas yang tak bisa dilewati sesuka hati.


0 komentar :

Posting Komentar

Beo Terbang