Seseorang harusnya selalu menyadari batas
wilayahnya sendiri. Seperti mengetahui batas tanah rumahnya, dimana mereka
harus membangun pagar berderet-deret, dimana seharusnya mereka menanam
bunga-bunga, pohon yang bisa jadi dahannya melewati batas tanah hingga tetangga
sebelah. Lalu menimbulkan perdebatan ketika buahnya jatuh di sana, melewati
batas tanah di lahan tetangga sebelah.
Seseorang seharusnya mudah saja menyadari di mana
seharusnya ia menempatkan diri, seperti antrian tiket bioskop, mereka sadar
dimana seharusnya mereka berbaris, dibatasi pita tipis yang lentur, yang
sesekali dipindahkan oleh petugas untuk membuat garis antrian yang lebih
panjang, lebih rumit, serupa labirin.
Seseorang harusnya tahu bagaimana ia harus
bersikap kepada seorang perempuan yang terlalu lama sendiri, di dalam ilusi dan
dunia buatannya, kepada laki-laki tua yang telah lama ditinggalkan isteri
tercintanya, kepada seorang anak kecil yang tak sanggup menggerakkan tubuh
walaupun sekedar kepalanya saja, kepada seorang pengemis yang tampak sehat dan
mampu menjadi pekerja yang lebih baik daripada menengadahkan tangan di pinggir
jalan, kepada seorang laki-laki berlengan besar yang mengenakan pakaian wanita
dan tampak begitu aduhai dari belakang.
Bukan hanya memberikan uang, bukan pula hanya
melambaikan tangan dari balik kaca, bukan hanya menangis dan bukan hanya
mengucapkan duka cita walau itu telah lama berlalu, bukan juga bersikap terlalu
baik atau mengabaikannya terlalu lama.
Perempuan itu tahu, tahu caranya membuat garis
lingkaran yang mencegah orang lain untuk masuk dan keluar seenak kakinya melangkah. Ia tahu cara menyambut
orang di luar garis dengan ramah tanpa membuat mereka tersinggung tak mengijinkan
masuk. Perempuan itu, tahu caranya hidup di dalam lingkaran buatannya sendiri
dan mulai membangun batu-bata demi batu bata, sebuah lingkaran kecil yang
menyediakan pintu dan jendela untuk sekedar mengintip dan keluar menyapa orang
lain.
Perempuan itu tahu caranya. Tapi tak semua
orang tahu kalau perempuan itu memiliki batasnya sendiri. Beberapa orang
terkadang datang mengetuk pintu dan meminta ijin masuk. Perempuan itu tidak
pernah mengatakan tidak. Tapi tak pernah pula mengatakan iya. Dengan berbagai
kata ia memutarbalikkan keinginan orang itu, dengan kemampuannya mengalihkan
perhatian dia sanggup membuat orang itu tak tertarik lagi untuk masuk, berbalik
lalu pergi.
Tak semua orang memiliki batasnya, tapi perempuan
itu tahu setiap batas dalam hidupnya, dalam setiap hubungan yang dibinanya,
pertemanan, permusuhan, persahabatan, percintaan, dan hubungannya antara anak dan
orangtua yang dimilikinya. Ia tahu batas setiap lingkarannya.
Orangtuanya tak perlu masuk meringsek ke dalam
lingkaran inti karena cukup berada di lingkaran pertama, perempuan itu tahu,
mereka tak akan protes. Musuhnya kadang mengendam-ngendap menuju lingkaran
inti, berusaha mengintip dari jendela berkorden biru tua dengan aksen bunga
melati, dan suatu ketika perempuan itu membuka jendela, mengenakan topengnya
yang mengerikan dan membuat musuhnya lari terbirit-birit meninggalkan lingkaran
inti sementara tawa perempuan itu membahana di dalam bangunana batu-bata
sederhana buatannya.
Sesekali sahabatnya mengetuk pintu, hanya
sekedar memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja, dan dia sungguh baik,
walaupun matanya bengkak, rambutnya kusut dan tampak tak menyenangkan, ketika
sahabatnya meminta ijin untuk masuk perempuan itu akan tersenyum, meminta
sahabatnya untuk pulang, tak mencemaskannya dan berkata bahwa semuanya
baik-baik saja. Sangat baik malahan. Hanya sesiung bawang merah yang membuatnya
menangis dan dia memang belum mandi sejak pagi, lalu ia tertawa sembari
melambaikan tangan, memberi ucapan terimakasih dan membiarkan punggung sahabatnya
menjauh dalam keraguan.
Sedangkan seorang teman hanya berada di lingkaran
ketiga dari hidupnya dan seseorang yang dicintainya tak pernah mengetuk pintu
lingkaran inti, lagipula dia pun ragu akan mengijinkan laki-laki yang sejak
awal berada di lingkaran terluar itu untuk masuk, jika dia memang mengetuk
pintu.
Sesekali perempuan itu keluar dan menyapa
orangtuanya yang tepat berada di lingkaran pertama, kemudian mendengar cerita
sahabatnya di lingkaran kedua, selanjutnya bercanda hingga rahangnya tak kuat
lagi melebar untuk tertawa dengan teman-temannya di lingkar ketiga, lalu
memperhatikan laki-laki yang dia cintai di lingkar terluar.
Perempuan itu bahagia dengan caranya mengatur
setiap hubungan, membatasi mereka dan mencegah mereka untuk masuk lebih dalam,
ke dalam inti.
Sampai suatu ketika seseorang datang, asing
sekali orang ini. Tapi ia sanggup menembus batas terluar ke lingkaran ketiga
dalam waktu sehari. Ketika perempuan itu mengunjungi lingkaran ketiga laki-laki
asing itu sudah ada di sana, bercanda tawa dengan teman-temannya, sanggup membuatnya
tertawa-tawa dan tak ingin berpindah dari lingkaran ketiga secepat biasanya. Terus
dan terus membuatnya tertawa dan sesekali membuatnya bercerita banyak, terlalu
banyak sampai akhirnya perempuan itu menyadari, keesokan harinya laki-laki
asing itu telah berada di lingkaran kedua bersama sahabatnya.
Perempuan itu bisa melihat sahabatnya
tersenyum-senyum sepanjang obrolan mereka bertiga, bahkan sesekali sahabatnya
menyenggol bahu perempuan itu dan tertawa kecil. Seolah-olah menggoda,
perempuan itu mengerti isyarat sahabatnya tapi ia tak menangkap maksud
laki-laki asing itu datang dan menembus dua lingkaran sekaligus dalam waktu
singkat.
Beberapa hari kemudian ketika mengintip dari
jendela, perempuan itu menemukan laki-laki asing itu telah berada di lingkaran
pertama, bersama kedua orangtuanya. Tertawa-tawa. Menikmati kue kesukannya dan
menanggapi komentar ayahnya mengenai pemerintahan negeri saat itu dan sempat
berbincang asik. Laki-laki asing itu menyadari ketika perempuan itu mengintip dan
melambaikan tangan kepadanya, memintanya untuk bergabung, dengan senang hati
perempuan itu menyanggupinya. Ia memang akan bergabung, hanya saja rasa
terkejutnya masih membuatnya berdiri di depan jendela beberapa saat sebelum
berpindah ke depan pintu dan memutar gagangnya. Bagaimana bisa laki-laki asing
itu telah berada di lingkaran pertama, begitu dekat dengan lingkaran intinya,
begitu akrab dengan kedua orangtuanya.
Beberapa hari berlalu, dan berhari-hari
laki-laki asing itu berada di lingkaran pertama, bersama keluarganya, bersenda
gurau. Perempuan itu merasa nyaman dan semakin bahagia saja dengan kehadiran
laki-laki itu di lingkaran pertama, bersama keluarganya terlebih lagi. Ia mulai
mempertimbangkan, mungkin laki-laki itu pantas untuk masuk ke lingkaran inti,
hanya untuk melihat tak untuk tinggal. Karena sungguh, ia tak akan mengijinkan
siapapun tinggal disana. Cukup dia sendiri di lingkaran inti dan berbahagia
karena selalu mampu menyimpan segala hal di sana tanpa takut seseorang akan
mengobrak-ngabrik dan meninggalkan remah-remah sisa kehancuran.
Tapi laki-laki asing itu tak pernah mengetuk,
ataupun meminta untuk masuk. Maka perempuan itu pun memilih untuk tak
menawarkan, ia tak akan pernah memaksa.
Suatu pagi perempuan itu mengintip, dari
jendelanya. Tak menemukan laki-laki itu di lingkaran pertama. Hanya kedua
orangtuanya sedang menikmati teh di pagi hari mereka. Maka perempuan itu
memutari lingkaran pertama yang memang sempit dan tak menemukannya juga. Ketika
ia melangkah melewati lingkaran kedua, sahabatnya pun tak mengerti di mana
laki-laki asing itu. Di saat ia berada di lingkaran ketiga ia tak menemukan
pula laki-laki asing itu. Di manapun, laki-laki asing itu telah menghilang. Seperti
kabut yang menghalangi pandangan perempuan itu ketika melewati lingkaran kedua,
ketika berjalan ke lingkaran ketiga dan berganti dengan sinar terik matahari
ketika ia kembali ke lingkaran inti.
Laki-laki asing itu tak pernah kembali setiap
dia mengintip jendela, setiap ia melewati setiap lingkaran kemudian bertanya. Laki-laki
itu tak pernah kembali. Dan perempuan itu baru menyadari, bahwa laki-laki asing
itu telah membuat lubang di setiap lingkaran. Dalam tawanya, sekarang perempuan
itu mengerti kenapa laki-laki asing itu bisa masuk dan keluar lingkaran seenak
langkah kakinya.
Keesokan harinya hingga sore menjelang,
bersama mentari berwarna oranye menggelap, perempuan itu
masih berada di luar
lingkaran inti membangun setiap
batu-bata untuk batas lingkarannya dan sebuah pintu kecil dengan bel yang
bergemerincing setiap kali terbuka. Setiap kali itu dia akan tahu, siapa yang
pantas melanjutkan langkah ke lingkaran selanjutnya dan siapa yang harus ia
dorong kembali ke lingkaran awal, atau ia buang ke lingkaran terluar.
Setelah itu kebahagiannya akan sama lagi.
Perempuan itu mengusap peluh di dahi, ketika matahari tenggelam meninggalkannya
di lingkaran pertama bersama bangunan batu-bata buatannya. Seharusnya begitu.
Seharusnya setiap orang mengerti batas
wilayahnya. Seperti batas tanah yang dimilikinya. Seharusnya mereka sedikit
sopan ketika mengambil buah dari tanaman milik tetangganya. Seharusnya seseorang
mengerti bahwa tak ada yang pantas menyerobot antrian tiket bioskop, seharusnya
setiap orang sadar bagaimana sebaiknya memperlakukan orang lain. Tapi kata
seharusnya terlalu menuntut, dan tak ada orang yang senang dituntut, maka
perempuan itu memilih untuk membuat orang-orang itu mengerti, bahwa ada batas
yang tak bisa dilewati sesuka hati.
0 komentar :
Posting Komentar