Matahari menjalankan tugasnya seperti biasa, mengawasi tata suryanya yang berjalan seperti biasa pula, memastikan ia tidak memberikan cahaya yang berlebihan, panas yang terlalu membara ataupun terbatuk-batuk dahsyat —matahari memang sudah terlalu tua— Dia pun selalu mencegah dirinya untuk terlelap, barang semenit saja, walaupun matanya hendak menutup, walaupun rasanya mengantuk sekali. Terakhir kali ia mengantuk dan mengedipkan matanya setengah tertidur, setiap planet yang berpatokan pada petunjuknya berpencar kacau, beberapa asteroid kecil saling bertabrakan, bulan sibuk membangunkannya dan suara suara manusia di bumi yang panik membuatnya terjaga.
Setelah semua kekacauan singkat itu matahari berjanji tak akan terlelap barang semenit pun, sedetik pun tak akan, di tengah saat jaganya. Dia akan tertidur nanti, saat bulan dan bintang berjaga. Ah— tapi matahari merasa sudah terlalu tua untuk tugas sepanjang ini, tidak seperti bulan dan bintang yang bisa bergantian giliran jaga ia hanya ditemani keluarga besar awan—yang tak bisa sepenuhnya menggantikannya— yang kadang- kadang mengerjainya, mondar-mandir di hadapannya seperti benda langit yang tidak memiliki kerjaan.
Hari ini jadwalnya untuk bersinar terik, sedikit lebih panas dari sebelum-sebelumnya. Sesuai kesepakatan benda-benda langit, manusia butuh sedikit dikerjai, bumi yang mengusulkannya dalam rapat terakhir, karena bumi yang sudah renta—bumi sendiri tak lebih tua dari matahari—merasa dikerjai manusia dengan gaya hidup mereka yang menyebalkan.
“Lihat! Aku menyukai warna hijau dan mereka menghilangkan warna itu dariku.”
“Lihat! Aku mengenakan jaket yang bolong-bolong karena mereka. Dan sepertinya mereka tak berniat memberikan jaket yang baru padaku.”
“Lihat! Astaga—apalagi yang bisa kukeluhkan lagi. Aku tampak semakin tua saja.”
Bumi banyak mengeluh, membuat seluruh benda-benda langit memilih untuk menuruti usulnya daripada harus mendengar keluhan bumi setiap kali rapat diadakan, terlebih lagi mereka merasa kasihan pada bumi yang terus menerus tampak lebih tua daripada umur yang sebenarnya.
Kembali ke matahari dan teriknya, panasnya, menyusul suara samar-samar manusia yang mengeluhkan cuaca. Matahari mengabaikannya, dia sudah terbiasa dengan hal itu, hingga masa jaganya berakhir ia pun memancarkan terik dan panas yang hanya dikurangi sedikit—jauh lebih sedikit daripada sebelumnya—saatnya berganti giliran jaga dengan bulan dan bintang. Saatnya untuk istirahat singkat bagi matahari.
Bulan dan bintang telah menunggu di tempat pergantian, bintang berangkat lebih dulu menuju langit, sementara bulan masih berada di tempatnya seolah menunggu matahari dan memang begitu adanya.
“Apa kau lelah?”
“Tentu saja, ada apa denganmu? Apa ini giliran bagi bintang untuk berjaga penuh?” tanya matahari pada bulan, yang tampak akan mengatakan sesuatu yang penting. Lubangnya bertambah banyak saja, pikir matahari.
“Bukan. Aku ingin merundingkan sesuatu denganmu.”
Matahari memperhatikan keadaan. Ia lelah, tapi bulan mengajaknya mengobrol dan sebenarnya jarang sekali bulan dan matahari berbincang banyak-banyak kecuali dalam rapat rutin benda-benda langit, mungkin sesekali tak apa. Semoga saja hanya sebentar, pikir matahari.
“Ada apa?”
“Bagaimana kalau aku menggantikanmu sehari saja.”
Matahari meletup—terkejut, hingga membuat bulan harus mengambil jarak banyak-banyak—lalu kembali bertanya. “Kau ini aneh sekali. Aku memang ingin beristirahat lebih banyak, tapi tak mungkin kau menggantikan giliran jagaku. Manusia bisa panik tak karuan nanti.”
Bulan tak menjelaskan alasannya. Hanya diam, lubang-lubang di permukannya mengecil lalu membesar, seperti lubang hidung yang kembang kepis karena gugup.
“Kenapa kau ingin menggantikan giliranku?”
“Seorang anak manusia memohon dalam doanya. Memintaku datang lebih lama dari biasanya.”
“Hei—hei, sejak kapan kau mendengarkan omongan seorang manusia?” Matahari berputar sekali. “Aku terbiasa mengabaikan omongan mereka, keluhan-keluhan mereka dan memang seharusnya begitu.”
“Tapi, ini seorang anak manusia. Yang masih kecil.”
“Bukankah kau bercerita banyak anak manusia yang meminta ibunya mengambilmu dari langit?”
“Iya.”
“Kau mau diturunkan dari langit untuk mereka?”
“Tentu saja tidak.”
“Lalu kenapa sekarang kau ingin menuruti permintaan mereka?”
Bulan diam lagi. Matahari mengenal perilaku bulan ketika meragu—seperti ketika untuk pertamakalinya matahari meminta bulan untuk menemaninya berjaga — dan sifatnya yang begitu lembut membuatnya tampak lemah dihadapan manusia, berkebalikan sekali dengan matahari yang keras dan tegas, dengan sifatnya yang seperti itu lah matahari bisa mempertahankan berjalannya tata surya yang dibangga-banggakannya.
“Kau tidak bisa menuruti permintaan seorang anak manusia begitu saja. Jelas kau ingat kan, pertama kalinya kau menemaniku berjaga, itu pun hanya beberapa detik. Manusia panik sekali, seperti bumi akan membuang mereka begitu saja. Padahal bumi gembira sekali waktu itu, katanya semakin banyak yang berjaga semakin menyenangkan. Bahkan dia sempat bilang kalau dia bosan melihatku sendirian.”
“Tapi ini seorang anak manusia—“
“Kenapa kalau seorang anak manusia? Manusia memang selalu begitu, minta A lalu berganti B, minta B lalu berganti A. Mereka tak akan pernah puas dengan permintaan mereka sendiri. Kau lihat saja bumi, dia sudah tua dan manusia sibuk meminta banyak hal darinya tanpa memberikan jaket baru untuknya atau menambah warna hijau yang disukainya. Manusia tak selalu sadar dengan apa yang mereka minta, apalagi seorang anak manusia, mereka masih belum mengerti bagaimana sebenarnya kehidupan yang besar ini berjalan.”
Bulan kembali terdiam, tampak kusut di permukaannya. Matahari selalu bertanya-tanya bagaimana manusia memuji-muji kecantikan bulan tanpa melihatnya dari dekat, bulan selalu kusut dan berlubang-lubang.
“Tak bisakah?”
Tanpa matahari sadari—bulan sempat menjauh sedikit ketika melihatnya—sebuah bintik muncul di permukaannya, tanda-tanda kekesalan dan kelelahannya. “Kau tanyakan dulu pendapat bintang. Mereka yang paling bijak diantara kita, tanyakan saja padanya, aku mau tidur,” matahari segera meninggalkan bulan yang sempat terdiam sejenak lalu memasuki langit, memainkan giliran jaganya yang hanya tinggal sedikit. Tampaknya obrolannya dengan matahari memotong banyak waktu jaganya dan mengurangi waktu tidur matahari, ia sedikit merasa bersalah.
Bintang bukan benda langit yang cerewet, hanya sibuk menyenangkan dirinya sendiri sebelum lenyap sekaligus menyenangkan manusia dengan berpindah sesekali atau bersembunyi muncul dari balik langit untuk memberikan sedikit harapan pada mereka. Bintang pun bukan benda langit yang akan mencerca bulan ketika dia terlambat memasuki langit, tapi bulan bukan benda langit yang tak tahu diri dan memilih untuk mengabaikan bintang.
“Tadi aku berbicara dengan matahari tentang menggantikan giliran jaganya.”
“Kau mau menggantikan giliran jaga matahari? Ada apa?”
Bintang berkumpul dalam satu titik, mendekati bulan. Beberapa yang jauh menjatuhkan diri dan beberapa yang lain menetap dan bermain sembunyi di belakang langit lalu muncul tiba-tiba, berkali-kali.
“Seorang anak manusia memintaku muncul lebih lama.”
“Aku rasa anak manusia itu pun akan ketakutan kalau kau muncul ketika seharusnya matahari yang muncul.”
“Tapi mungkin dia akan senang.”
“Bagaimana kau yakin?”
“Karena impian mereka terkabul.”
“Kau seperti belum mengerti manusia saja,” beberapa bintang berkumpul mendekati bintang yang lain mengucapkan selamat tinggal, lalu membiarkan bintang itu menghilang, mereka terbiasa atas hal itu. “Aku sering mendengar manusia ketika mereka memohon pada salah satu dari kami yang sedang berpindah tempat, Tuhan mengabulkan permintannya, tapi setelah itu kudengar dari awan, manusia itu malah menghujat Tuhan.”
“Manusia tak selalu senang ketika impian mereka terkabul. Mereka biasanya akan meminta lagi, atau jika impian itu terkabul dengan pengorbanan yang besar mereka akan sibuk mengeluh atau menghujat Tuhan. Manusia tak terlalu pandai bersyukur,” lanjut bintang. “Bisa jadi setelah kau menggantikan jadwal jaga matahari, anak manusia itu malah memintamu menghilang, atau bisa jadi dia malah meminta semua kembali seperti semula, dia bisa takut padamu, karena kau muncul di saat yang tidak seharusnya, aku rasa dia tak akan terlalu mengerti usahamu untuk mengabulkan keinginannya, kau pun tak bisa memberitahu hal itu kepadanya.”
Bulan kembali diam. Bintang kembali sibuk dengan aktivitasnya, menyapa bintang baru yang muncul mengucapkan selamat tinggal pada bintang yang pergi. “Kalau kau memang ingin muncul lebih lama tak masalah jika aku menyerahkan jatah jagaku beberapa saat ke depan kepadamu, tapi diskusikan hal itu juga pada awan, kau tahu kan dia begitu usil dan suka mengerjaimu.”
“Ya—“ bulan berputar sekali, mencari keberadaan awan. “Dia suka sekali mondar-mandir dihadapanku, dengan gerakannya yang dibuat lambat-lambat, membuat manusia mencariku kemana-mana.”
“Bicaralah dengannya, aku rasa dia akan menghampirimu sebentar lagi, minta dia tak mengganggumu untuk sementara waktu, kau ingin muncul lebih lama.”
Baru saja bintang mengakhiri kalimatnya, awan berarak-arak datang bersama keluarga besarnya—mereka selalu datang beramai-ramai—mendekati bintang dan bulan.
“Sungguh kau seperti mendengar obrolan kami saja. Kau datang di waktu yang tepat, bulan ingin mendiskusikan sesuatu denganmu.”
“Benarkah?” awan mendekati bulan—kembali menutupi pandangan bulan ke bumi—“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Bisakah kau tidak menutupi keberadaanku untuk sementara waktu?”
“Kenapa?”
“Aku ingin muncul lebih lama.”
“Kenapa?”
“Seorang anak manusia memintaku.”
Keluarga awan mendekati bulan, hingga membuatnya benar-benar tak bisa melihat bumi lagi. “Aku bukan menutupi keberadaanmu. Aku tak ingin membuatmu malu.”
“Bagaimana bisa?” tanya bulan terkejut, lubang-lubang di permukannya melebar.
“Kau sering tertidur di tengah tugas jagamu? Kau lupa?”
Bintang tergelak, beberapa dari mereka memilih bersembunyi di balik langit menahan tawa.
“Ketika kau tertidur, kau tampak jelek sekali. Lubang-lubang di permukaan itu semakin lebar dan kau tampak seperti ban yang mengempis, bentukmu tak sebagus saat ini, kacau benar kau saat tidur. Aku rasa manusia akan kebingungan melihatmu seperti itu.”
Bulan menanyakan hal itu pada bintang yang hanya mengucap kata setuju dalam kata singkat.
“Baiklah kalau begitu,” bulan merasa benar-benar malu sekarang. Dia memang sering tertidur di tengah tugas jaganya tapi dia tak pernah tahu kalau keadaannya seburuk itu ketika tertidur. “Kau cukup membangunkanku, jangan menutupiku.”
“Yakinkah kau?”
“Maksudmu?”
“Aku tahu kau lelah ketika tertidur, jadi aku tak tega membangunkanmu, berbeda dengan bintang yang jumlahnya banyak sekali dan selalu muncul lalu hilang, kau hanya satu, sama seperti matahari, walaupun kuakui tugas matahari jauh lebih berat darimu.”
“Tak apa,” bulan menjawab mantap.
“Seingin itukah kau menyenangkan anak manusia yang satu ini?”
“Begitulah.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menjagamu dari—“ awan memperhatikan sisi langit yang kosong dan tak jauh dari bulan. “Dari sana, ketika kau tertidur aku akan membangunkanmu. Bagaimana denganmu bintang?”
“Kami akan berhenti berjaga lebih cepat. Tolong jelaskan pada bumi,” jawab bintang singkat lalu beramai-
ramai hendak meninggalkan langit.
“Tenang saja aku rasa bumi akan mengerti.”
“Bumi selalu mengerti, dia jelas tak mau menghabiskan tenaganya untuk mengeluhkan benda langit, dia sudah lelah mengeluhkan manusia,” keluarga awan berpindah posisi. “Kau bulan, sebaiknya jangan tertidur seperti biasanya.”
“Tenang saja.”
Bulan berjaga sendirian kali ini dan lebih lama dari biasanya, begitupun di saat selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya, sesekali awan membangunkannya ketika tak sengaja bulan terlelap, tapi ketika bulan tampak semakin terbiasa—tak sering tertidur lagi— keluarga awan mulai meninggalkannya dan bertualang di sisi langit yang lain. Bulan benar-benar berjaga sendirian, memperhatikan anak manusia yang pernah meminta kemunculannya menjadi lebih lama.
Sampai kemudian ia mendengar anak manusia yang dimaksud. Memohon dalam doanya.
“Aku kasihan pada bulan, Tuhan. Berikan dia waktu beristirahat lebih banyak.”
Setelah itu bulan terlelap, terlalu lelah. Keluarga awan berarak menutupinya dan bintang menggantikan posisinya.
“Aku meminta agar bulan muncul lebih lama, aku menyukainya.”
“Bukankah tak adil bagi bulan. Dia sibuk menjagamu dan terbangun lebih lama sementara kau tertidur lebih lama pula.”
2 komentar :
ending ending ending..
ayo bikin ending yang lebih keren lagi..
bikin twist yang lebih oke..
@Ilham Sasmita Niatnya emang bukan twist sih buat cerpen ini, tapi untuk cerpen yang lainnya. Siaaaaap~!!
Makasih buat komennya :3
Posting Komentar