Rabu, 04 September 2013

Benang Merah


Namanya Akako, baginya nama hanya sebuah nama ketika orang-orang bertanya apa arti dari namanya selain kata merah. Dirinya bukan dilahirkan di Jepang pula, orangtuanya tak memiliki darah Jepang sedikitpun hanya saja ibunya sangat menyukai budaya Jepang sejak dulu dan ingin sekali menamakan satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya dengan nama yang berbau-bau Jepang dan ayahnya sangat menyukai warna merah.

Maka nama Akako dipilih.

Akako tak terlalu peduli pada namanya atau kemampuan aneh yang dimilikinya untuk melihat benang merah yang terikat di jari kelingking setiap orang, yang menjuntai kemana-mana, atau terhubung dengan jari kelingking lainnya.

Akako tahu legenda itu, benang merah takdir. Benang merah itu akan menghubungkan seseorang dengan orang lain yang tak lain adalah jodohnya, belahan jiwanya, pasangan takdirnya atau apalah sebutannya itu. Bagi Akako kemampuannya melihat kemana benang itu berakhir, di kelingking siapa benang itu terhubung bukanlah hal yang penting.

Akako tak terlalu tertarik pada kemampuannya, memanfaatkannya pun tidak, karena pada kenyataannya ia pun tak bisa melihat benang merahnya sendiri. Di jari kelingkingnya, tak ada benang merah yang sama yang ia lihat ketika berada di kantin kampus, tersebar dimana-mana, di lantai, melewati pintu, terinjak-injak, melewati meja yang di tempati Akako, masuk ke dalam piring berisi makanan, melewati jendela, seolah akan membuat tersandung seorang perempuan—tapi tak ada yang tersandung walaupun benang itu menghubungkan satu kelingking dengan kelingking yang lain di meja yang bersebrangan. Benang merah itu mendominasi mata Akako dan ia terbiasa dengan itu.

Mata Akako memperhatikan kelingking Kem yang sejak tadi duduk dihadapannya dan menceritakan seseorang yang disukainya sejak 2 tahun lalu, laki-laki itu baru saja jadian dengan seseorang tak dikenal Kem maupun Akako.

“Sedih banget Ka,” Kem memutar-mutar sendok berisi jus jeruk. “Dua tahun nunggu dengan hasil yang sia-sia.”

Akako hanya mengangguk hikmad, berusaha menghormati sahabatnya yang sudah mengulang kata-kata itu entah untuk ke berapa kalinya. Sampai kemudian matanya menangkap, benang merah di jari kelingking Kem—yang awalnya menjuntai ke arahnya—bergerak ke arah sebaliknya, seolah ditarik seseorang. Dan memang benar, seorang laki-laki yang tak tampak familiar—membuat Akako yakin bahwa laki-laki itu tidak seangkatan dengannya— berjalan menjauhi tempat duduk Akako dan Kem dengan benang merah di jari kelingking kanan yang terhubung dengan jari kelingking Kem.

“Gimana kalau kamu coba cari gebetan lain,” Akako menopang dagunya, memperhatikan punggung laki-laki pasangan takdir Kem. “Angkatan atas misalnya.”

Selama ini Akako tak pernah ikut campur lebih dari itu, hanya memberi sedikit petunjuk—itupun hanya kepada orang yang dikenal dan dekat dengannya, membiarkan pemilik benang merah mencari pasangan mereka masing-masing.

Sekali waktu mata Akako menangkap benang merah yang tak terhubung di jari kelingking sepasang suami isteri, benang merah masing-masing dari mereka menjuntai ke arah yang berbeda, padahal saat itu pasangan itu tampak begitu bahagia, mengajari anak laki-laki mereka mengendarai sepeda. Akako pun tak akan menjadi terlalu peduli, walaupun ia melihat seorang laki-laki di kantin memiliki benang merah yang terhubung dengan seorang perempuan di tempat yang sama dan mereka berdua duduk bersebrangan tertawa-tawa bersama teman masing-masing dan tampak tak saling mengenal.

Akako tak pernah peduli. Sampai hari itu datang, ketika sepupu yang sudah serupa sahabatnya itu mengadakan lamaran dan Akako diundang dalam acara itu sebagai keluarga dan sahabat baik yang sering mendengar curhatan demi curhatan mengenai sang calon suami.

Tak pernah bertemu secara langsung Akako memutuskan untuk memberi perhatian penuh pada calon suami sepupunya, kali ini ia tak bisa tak peduli jika ternyata sepupunya memilih laki-laki yang salah.

Tebakan Akako benar, laki-laki itu bukan pasangan takdir sepupunya, benang merah mereka tak terhubung satu sama lain. Menjuntai ke arah yang berbeda, tapi lamaran telah di lakukan dan tak mungkin Akako tiba-tiba menjelaskan kemampuan anehnya—yang pada awalnya dianggap tidak berguna—kepada sepupunya dan mengatakan bahwa laki-laki yang membuatya tertawa dan tersenyum seharian sepanjang acara bukanlah jodohnya.

Bibir Akako terkulum sepanjang acara, ia sibuk menggigitnya, bingung.
Ide itu tiba-tiba muncul ketika sepupunya yang lain—yang tak pernah menjadi perhatiannya—mengeluhkan jahitan kebayanya yang tak rapi dan benang yang terjulur merusak keindahan kebayanya.

“Potong aja benangnya.”

“Potong aja benangnya,” ulang Akako, memacu keinginannya untuk sedikit ikut campur, membuat matanya berputar kemana-mana mencari gunting yang tak ditemukannya. Matanya menangkap pisau yang di rasa cukup untuk memotong benang merah milik sepupunya dan pasangannya lalu menghubungkan kedua benang merah itu.

Seharusnya ini mudah.

Tapi tak semudah yang dibayangkan Akako. Pisau itu melewati benang merah tanpa memotongnya, diantara keramaian, gerakan kaku Akako tampak seperti hendak menebas angin. Berkali-kali Akako mencoba, berkali-kali pisau itu melewati benang tanpa memutusnya dan Akako mulai putus asa.

Sampai kemudian ia memilih untuk meletakkan pisau di atas meja dan menggigit benang merah milik sepupunya seperti yang biasa ia lakukan ketika tak menemukan gunting di rumah ataupun malas berpindah dari sofa sementara benang pakaiannya terjulur mengganggu pandangan.

Berhasil. Dalam satu gigitan dan tarikan Akako berhasil memutus benang merah itu dan memutus benang merah yang lain untuk diikat satu sama lain dan terhubung.

Senyum Akako mengembang, ketika ia menghampiri sepupunya dan melihat calon pasangan suami isteri itu saling mengaitkan lengan dan tersenyum.

“Makasih udah datang Ka. Aku kira kamu nggak bisa datang karena kuliah.”

“Apa sih yang nggak buat mbak Fa,” mata Akako berpindah ke calon suami sepupunya. “Dan mas Arga.”

Acara yang membuat Akako memilih untuk membolos kuliah itu berlangsung dalam kegembiraan, sepupunya banyak tertawa dan tersenyum begitupun calon suaminya, orang-orang terdekat mereka pun banyak memuji keserasian mereka berdua. Bagi Akako tak ada yang salah dengan langkah yang diambilnya dan baginya perbuatannya memutus benang merah satu dan menghubungkannya dengan benang merah lain hanyalah ikut campur yang terhitung sedikit.

Sedikit.

Toh, dia sudah membahagiakan sepupunya.

Terlebih lagi setelah acara yang menguras tenaganya itu berakhir Akako yang terlelap di kamarnya terbangun dan menyadari bahwa di jari kelingking kirinya ada sebuah benang merah yang terikat dengan sisa benang lain yang terjuntai seolah terputus, hanya beberapa sentimeter panjangnya tergantung.

Ia tidak pernah bisa melihat benang itu di jari kelingkingnya, lalu benang itu tiba-tiba muncul setelah malam lamaran sepupunya. Setelah ia mengubah pasangan takdir sepupunya.

Akako mendapatkan kesimpulan yang dibuatnya sendiri hari itu, bahwa benang merah di kelingkingnya muncul ketika ia sedikit ikut campur dengan benang merah orang lain. Hari itu ia merasa bahwa kemampuannya membawa keuntungannya bagi dirinya. Dan di hari itu juga sebuah pertemuan aneh dengan seorang laki-laki misterius terjadi dalam hidupnya , di sebuah rumah sakit ketika ia menjenguk seorang teman.  

Seorang laki-laki yang bersandar pada dinding dan tersenyum padanya.

Laki-laki itu tak tampak tua dan tampaknya bukan anak kecil pula, remaja menjelang dewasa seperti Akako. Kulitnya sawo matang dengan senyum yang tak seimbang, rambutnya pendek ikal, struktur wajahnya tegas tapi senyum yang dipamerkan kepada Akako membut ketegasan di wajahnya melembut, jaket abu-abu yang dikenakan laki-laki itu memiliki tudung, celana jeans yang dikenakannya sobek di bagian lutut, kaos cokelat yang dikenakannya tak memiliki gambar apapun. Tak terlalu buruk secara fisik tapi pakaiannya membuat Akako menyipitkan mata, mengerutkan dahi dan mengacuhkannya.

“Akako.”

Panggilan itu membuat Akako berbalik. Laki-laki itu yang memanggilnya, mata Akako menangkap senyuman sebelum kalimat lain meluncur. “Bisa bicara sebentar?”

Seperti kata ibunya, bagi Akako orang asing –setampan apapun mereka—tetap saja berbahaya, dan laki-laki itu adalah orang asing baginya.

Akako melanjutkan langkahnya sebelum laki-laki itu secara tiba-tiba—seolah melayang karena tak sedikitpun Akako mendengar langkah kakinya—sudah berdiri di hadapannya, hanya berjarak beberapa senti dan membuat Akako menjerit histeris.

Untungnya tak ada orang lain di lorong itu.

“Siapa kau!”

Laki-laki itu memamerkan jari kelingking kanannya. “Bisakah kau melihat ini?”

Dahi Akako mengerut. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna, bahwa laki-laki misterius itu tahu sesuatu tentang dirinya.

“Benang merah itu?”

“Sama dengan milikmu kan? Seolah terputus tak terhubung kemanapun.”

Akako mengangkat kelingking kirinya. Memperhatikan kaki laki-laki misterius di hadapannya. Tak melayang, tapi gerakan laki-laki itu tak tampak seperti seorang manusia yang melangkah mengejarnya.

“Siapa kau?” tangan Akako terasa licin ketika ia mengusap keduanya. Pikirannya sibuk bertanya kenapa tak ada yang melewati lorong ini selain dirinya.

“Lebih tepatnya apa aku.”

Akako menyembunyikan kedua tangannya ke belakang punggung, ia sempat mundur selangkah sebelum laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. “Wajahmu pucat. Kau tahu itu? Tenang saja, aku bukan hantu, bukan pula manusia yang bisa menyakitimu.”

“Apa kau?”

“Entahlah—“ laki-laki itu mendekati Akako selangkah. “Tapi hanya orang sepertimu yang bisa melihatku.”

“Hanya orang sepertiku?”

“Yang bisa melihat benang merah seperti ini,” laki-laki itu kembali memamerkan kelingkingnya. Lalu tersenyum, senyum itu tampak lembut ketika laki-laki itu memiringkan kepalanya, menatap langsung ke mata Akako. “Aku sudah menunggumu sejak lama.”

Sedetik Akako merasa tersihir, ia berdiri seperti patung dan tak ingin berpindah, sampai suara seorang suster menyadarkannya kembali dan laki-laki misterius telah menghilang entah kemana.

“Mbak—mbak.”

Akako menatap suster yang mengguncang-guncang kedua bahunya.

“Mbak, sakit? Wajah mbak pucat sekali.”

Mata Akako membulat. Dengan senyum yang dipaksakan ia memilih untuk mengatakan bahwa ia baik-baik saja, hanya melupakan sarapan yang biasa dinikmatinya, lalu melangkah meninggalkan suster yang memilih untuk tidak terlalu ikut campur.

Tapi Akako berbohong. Baginya melupakan sarapan tak akan membuat wajahnya memucat, seperti melupakan pertemuan aneh di rumah sakit, baginya pertemuan itu tak akan mempengaruhi hidupnya banyak-banyak. Hanya ketika ia memutus benang merah lalu menghubungkannya dengan benang merah lain hidupnya tampak begitu banyak berubah, dengan segera ia akan tahu kemana jari kelingkingnya terhubung dan siapa laki-laki pasangan takdirnya.

Dua hari lalu ia memutus benang merah di jari kelingking sepasang suami isteri—yang pernah di temuinya di taman—dan menghubungkan benang merah mereka satu sama lain, kemarin ia memutus benang merah di jari kelingking seorang dosen—yang masih sendiri di usia senja—, setelah mencari-cari kemana benang merah itu berakhir dan menghubungkannya dengan seorang dosen lain yang memiliki nasib yang sama—semula benang mereka masing-masing terhubung dengan orang lain yang telah menikah— dan hari ini Akako sempat ingin menghubungkan benang Kem dengan laki-laki yang dikejarnya selama dua tahun, tapi laki-laki itu berada di luar kota dan Akako tak berniat untuk menghabiskan uangnya untuk memutus benang itu dengan giginya lalu menghubungkan benang merah milik Kem dengan laki-laki itu, selain itu Akako tak yakin benang merah milik Kem sepanjang itu, maka ia memilih untuk menghubungkan benang merah milik seorang temannya yang diam-diam menyukai temannya yang lain.

Resmilah ia jadi mak comblang dengan cara yang efektif.

Tanpa menyadari bahwa dirinya sedang mengubah-ngubah takdir yang dulu tak pernah menjadi perhatiannya.

“Menyenangkankah?”

Akako memalingkan wajahnya, laki-laki misterius itu telah duduk disebelahnya dan membuatnya nyaris menjerit sebelum tangan laki-laki itu membungkam mulutnya.

Laki-laki itu menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri dan mendesis. “Kau bisa dikira orang gila jika berteriak tanpa sebab.”

Akako melepaskan tangan laki-laki itu dari bibirnya. Tanpa memandang kearah laki-laki misterius itu ia bertanya,”Apa maumu?”

“Tak ada. Hanya ingin mengunjungimu, dan bertanya. Menyenangkankah mengubah-ngubah takdir orang lain?”

Akako menahan diri agar tak berpaling walaupun pertanyaan itu saja membuat wajahnya memanas. “Walaupun kuubah takdir mereka, mereka tampak bahagia dengan itu.”

“Ah—“laki-laki itu berpindah, kali ini ia berdiri di depan Akako. Sempat Akako melirik jari kelingking laki-laki itu, benang merahnya lebih panjang daripada pertemuan pertama mereka, jika di kira-kira panjangnya sama dengan milik Akako sendiri.

Jangan-jangan—

“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” laki-laki itu berlutut di hadapannya, hingga tinggi mereka tak begitu jauh, senyum yang tak seimbang itu menghiasi wajahnya membuat Akako memilih berpaling menahan rasa panas yang menjalar di wajahnya. “Kau lucu sekali. Tapi perbuatanmu mempersulit tugasku, tahukah kau?”

“Jelas tidak.” Akako tak menatap lawan bicaranya, walaupun laki-laki misterius itu berlutut dihadapannya.  “Bagaimana perbuatanku mempersulit tugasmu? Apa tugasmu membuat mereka tidak bahagia? Aku melihat mereka bahagia ketika aku menghubungkan benang-benang merah itu.”

“Dan memutusnya—“ laki-laki itu melanjutkan, membuat Akako menatapnya dengan mata yang membulat seolah terkejut. “Lupakah kau pada pasangan benang yang kau putus begitu saja?”

Akako terdiam, bibirnya terkulum. Tepat ketika laki-laki misterius itu tertawa Akako hendak membela diri.

“Tak apa,” laki-laki itu memotongnya, menarik tangan kiri Akako memamerkan jari  kelingking milik Akako, benang merah yang pada awalnya hanya pendek saja sudah mulai memanjang bahkan menjuntai menyentuh tanah. “Kau penasaran sekali ya?” laki-laki itu memiringkan kepalanya. “Aku pun begitu.”

Kemudian suara lain menyadarkan Akako, tangan kirinya yang terangkat kembali terjatuh lunglai. Kem telah berdiri di hadapannya sambil mengguncang-ngguncang bahunya dengan dahi mengkerut. “Aka? Ka? Akako?”

Ketika Akako menyadari keberadaan Kem laki-laki misterius itu sudah tak ada lagi dihadapannya.

“Kenapa sih Ka? Dari tadi aku panggil-panggil nggak jawab,” sejenak mata Kem menelusuri wajah Akako.“Dan wajah kamu pucat. Kamu sakit?”

Akako menggelengkan kepala, cepat. “Cuma lupa—“

“Sarapan.”

Akako menoleh ketika suara laki-laki misterius itu memotong kalimatnya, kali ini keberadaan laki-laki itu tak membuatnya terkejut, ketidakpeduliannya memilih untuk mendominasi dibandingkan rasa takut, dengan gerakan cepat Akako berdiri dan menarik tangan Kem, menjauh dari bawah pohon, kursi panjang dan keramaian di tengah kampus.

Ketidakpedulian Akako pula yang membuatnya tetap memutus benang merah dan menghubungkannya lagi. Seiring waktu benang di jari kelingkingnya yang semula tak tampak, telah memanjang dan terus memanjang, entah sudah keberapa kalinya ia memutus dan menghubungkan pasangan takdir seseorang untuk melihat benang merah miliknya sendiri.

Setelah ia bisa melihat siapa pasangan takdirnya, Akako berjanji tak akan memutus, menyambung benang merah lagi, ia tak akan peduli lagi pada benang merah milik orang lain. Ia hanya penasaran dengan benang merah miliknya hanya penasaran kemana benang itu berujung, kepada siapa, pasangan takdirnya.

Di pagi hari di hari minggu, Akako memilih untuk meninggalkan sarapan, melangkah dengan jaket abu-abu bertudungnya mengikuti benang merah miliknya, tampak panjang dan jauh melewati pedestrian, dua sampai tiga lampu lalu lintas, sebuah cafe langganannya dan berhenti di tempat yang tak asing baginya.

Tepat di depan gedung tempat lamaran sepupunya ia melihat laki-laki berambut ikal berkulit sawo matang yang hari itu mengenakan kemeja panjang berwarna merah yang dilinting hingga siku dan celana jeans berwarna hitam.

Akako sempat merasakan jantungnya berdegup kencang, ia tak ingin melihat benang merahnya terhubung dengan benang laki-laki itu.

Keinginannya terkabul.

Benang itu tak terhubung dengan jari kelingking laki-laki itu, tapi benang itu terhubung ke atas. Ke langit, hingga tak tergapai pandangan Akako yang mendongakkan kepala.

Akako menoleh, menatap laki-laki misterius itu, yang memamerkan jari kelingkingnya, benang merah milik laki-laki itu bernasib sama dengan miliknya, terhubung ke atas, ke langit, tak tergapai oleh matanya.

“Selamat datang, partner! Kita akan mulai bekerja bersama mulai hari ini.”

Laki-laki itu tersenyum. Mata Akako membulat, laki-laki itu bukan manusia dan bukan hantu, hanya dirinya yang bisa melihat laki-laki itu, laki-laki itu telah menunggunya sejak lama, dan perbuatannya selama ini telah mengganggu tugas laki-laki itu.

“Jangan bercanda,” Akako berusaha tersenyum walaupun bibirnya kaku, baru saja ia menghubungkan semua kemungkinan yang ada dan berusaha menyangkal ketakutannya sendiri dengan ketidakpedulian yang biasa dipeliharanya. Ketidakpeduliannya kalah, tubuh Akako limbung sebelum laki-laki itu mencengkram lengan Akako erat.

Ketika mata mereka berdua bertemu senyum laki-laki itu menghilang. “Apa yang bisa ditertawakan dari hukuman kita berdua—Akako.”
  



9 komentar :

indra el mendo chemeng at: 15 September 2013 pukul 09.04 mengatakan... Reply

bagus kok ceritanya mba bro, kenapa nga dibikin novelet atau malah novel sekalian.
suka sama tere lije juga yah??

Vanessa Praditasari at: 15 September 2013 pukul 19.25 mengatakan... Reply

@indra el mendo chemeng wah,kalau novel... hahahaha~ belum ada ide untuk dibikin sepanjang itu. Makasih yaaaaa buat komennya :D

Ilham Sasmita at: 20 September 2013 pukul 15.57 mengatakan... Reply

woooooooohhh... ini bagus...
Kamu lebih cocok bikin cerita imajinasi gini. dan bener tu kata komentar pertama. bbrapa cerpen kamu emang novelable.. ini aku aja udah berimajinasi baca cerita ini dalam bentuk novel.
tapi sumpah imajinasinya keren banget..
maklum ya fangirl.. :p
klo dari tehnik, masih belum bikin cut yang pas untuk dari scene satu ke scene lainnya. perpotongannya masih kurang jelas. jadi bikin plot waktunya berantankan. bikin pembaca harus ngulang lagi.. contoh: pas dia lagi di kantin ngobrol sama temennya, tiba-tiba setelah ada narasi lain, kamu langsung lompat ke scene lain dengan waktu yang berbeda. itu yang bikin rancu.
yang paling aku suka di bbrp cerpen kamu, diksinya bisa nutupin twist di endingnya. bisa bikin pembacanya deg-degan..

ah, kapan-kapan kita ketemu lah.. siapa tau bisa nulis bareng.. :D

Vanessa Praditasari at: 20 September 2013 pukul 17.01 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita hohoho~ makasih mas, makasih~

itu novelable tapi yang nulis bingung gimana cara bikin ceritanya lebih kompleks supaya jadi novel ._.

Siapa yang fangirl? Aku apa kamu, mas? buahahahahahah~

Sebenarnya, aku nggak terlalu suka motong scene pake tanda potong *sejenis *** atau simbol lainnya* jadi aku nyoba perpindahan scene antara satu dan lainnya tanpa simbol itu, tapi ternyata masih kurang halus ya perpindahannya, makasih mas koreksinya :D

Hahahaha makasih buat komennya, koreksinya~ makasssssih~

Bisa mas bisa banget buat nulis bareng :DD

indra el mendo chemeng at: 27 September 2013 pukul 17.46 mengatakan... Reply

tes tess...

indra el mendo chemeng at: 27 September 2013 pukul 17.48 mengatakan... Reply

buahahaha..... ini jadi yah,
berarti akunya yang bego,

dimana nih bisa share???

indra el mendo chemeng at: 28 September 2013 pukul 00.58 mengatakan... Reply

https://www.facebook.com/notes/indra-el-mendo-chemeng/judulnya-nga-tau/439496999493021
apa kya gini maksudnya.

Unknown at: 4 Februari 2016 pukul 20.42 mengatakan... Reply

Izin Share ya :)

ShiningRyuu at: 31 Mei 2017 pukul 21.17 mengatakan... Reply
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Beo Terbang