Aku mengenalnya sejak
lama. Sebagai seorang sahabat aku tahu kalau dia suka sekali tertawa,
menertawakan apapun, bahkan kadang disaat yang tak tepat hingga aku harus
menginjak kakinya atau menyuruhnya menutup mulut. Dan walaupun ia sudah menutup
mulutnya tetap saja terdengar suara tawa yang malah terasa mengerikan, seperti
tawa yang dibalik dinding yang terdengar melalui lubang kecil.
Selain
suka sekali tertawa, tawanya pun lebar sekali. Seorang teman pernah iseng
mengambil potretnya ketika dia tertawa dan dengan
segala keisengan, teman itu memperbesar foto itu,
mengukur lebar mulutnya ketika tertawa dengan penggaris, lalu menjadikan hal
itu sebagai bahan tertawaan lagi, kemudian dia tertawa lagi lebar sekali hingga
aku yakin sebuah koloni lebah mampu masuk kedalamnya dan membuat sarang dan membuat tawanya
berbuah madu.
Dia
suka tertawa, tawanya lebar dan keras. Hingga seorang dosen pernah menyuruhnya
keluar dari kelas, dalam sebuah rapat dengan kakak angkatan semua mata tertuju
padanya, suara sst panjang pun membahana di perpustakaan, ketika dia
menertawakan sebuah cover buku dan ketika kami berdua sedang berada di sebuah pusat
perbelanjaan, aku memuji seorang laki-laki yang bertampang lumayan yang duduk
tak jauh dari kami dan dia tertawa keras sekali hingga laki-laki itu melirik ke
arah kami dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu aku menepuk keras
bahunya, membuat dia meringis kesakitan.
Sudah
berkali-kali kukatakan padanya, sebagai seorang sahabat. Kalau laki-laki pun
merasa risih jika perempuan tertawa seperti dirinya. Dia tidak terlalu peduli,
dia hanya peduli ketika kusebut sebuah nama dan berkata bahwa pemilik nama itu
tak akan menyukainya jika tawanya masih se bar-bar itu. Aku masih mengingat
ekspresinya yang langsung berubah dan bertanya, “Masak? Dia nggak suka kalau
aku ketawa kayak biasanya?”
“Kalau dia cowok normal
sih menurutku, iya,” jawabku mantap saat itu.
Kemudian dia berjanji akan belajar tertawa lebih sopan, awalnya kaku sekali
hingga aku malah menertawakannya, hingga teman-teman kami yang lain bertanya
apa giginya sakit. Niatnya hanya bertahan
seminggu. Setelah itu tawanya kembali lagi, yang sering, yang lebar dan yang
keras.
Aku
menyerah menghadapi tawanya yang kadang menyebalkan itu—mungkin karena aku terlalu
sering bersamanya, tapi teman-teman yang lain menganggap bahwa tawanya menyenangkan dan menular, seperti wabah penyakit, mengundang tawa yang
lain yang tak tertahankan. Dan tanpa tawa itu mereka mencarinya.
Suatu hari dia tak ke
kampus, mengurus pemakaman neneknya. Dia tak pernah bercerita soal neneknya
yang sakit, yang aku tahu hanya dia dan neneknya dekat sekali, aku pun tak tahu
kalau neneknya meninggal, aku baru tahu setelah dia memintaku untuk mengijinkan
di setiap mata kuliah di hari itu.
Hari
itu teman-teman lain menanyakannya. Ketika kujawab alasannya mereka bergumam
sebentar lalu berkata, “Pantesan aku nggak denger ketawanya yang cetar
membahana itu seharian ini.” Aku hanya tertawa hambar menanggapinya.
Di hari itu pun aku baru sadar kalau dia jarang sekali tampak sedih,
perhatianku selalu terpusat pada tawanya yang tampak terlalu sering. Dan hari
itu aku baru sadar kalau dia tak pernah menunjukkan emosi lain selain tawanya,
mungkin besok aku bisa berkunjung ke rumahnya atau melihat ekspresi sedihnya,
mengucapkan duka cita padanya, melihatnya bercerita tentang neneknya dengan
mata berkaca-kaca, mungkin besok dia tak akan banyak tertawa seperti biasanya. Sebagai
sahabat aku siap dengan telinga untuk mendengarkan segala keluh kesahnya,
tawanya yang keras membahana itu saja bisa kutahan apalagi kesedihannya.
Tapi ternyata kesedihannya hanya dianggap sebagai angin lalu oleh yang
lain—aku pun
berpikir, olehnya juga. Tak ada ucapan duka
cita setelah dia datang ke kampus keesokan harinya karena dia sudah
tertawa-tawa seperti biasanya. Sempat kukira dia tak menyayangi neneknya
seperti yang kubayangkan, karena itu tak kutanyakan lagi kesedihannya, aku menggulung peran
sahabat yang kusiapkan untuknya dan turut senang kalau dia bisa bangkit lebih
cepat dari yang kubayangkan, walaupun aku harus kembali menahan diri untuk
tidak memasukkan kaos kaki ke dalam mulutnya ketika tertawa lebar sekali.
Namun dugaan hanyalah dugaan.
Pertanyaan yang berkecamuk dipikiranku terjawab di hari lain. Dia bukan tak
memiliki kesedihan tapi menyembunyikan hal itu.
Ketika mata kuliah terakhir selesai, kelas bubar dan hanya tinggal aku dengan
dia yang sedang mengutak-atik handphonenya dengan dahi berkerut aku memberi
kabar padanya, kabar yang kupikir hanya akan menjadi bahan
tertawaan lain baginya.
"Si
itu udah jadian lho."
Dia terdiam, aku melihat sesuatu yang aneh dimatanya, sebelum teralihkan dengan tawanya yang lebar dan keras dan selama beberapa detik dia memegangi perutnya tak peduli dengan dahiku berkerut-kerut seperti kain sifon yang tak disetrika.
“Serius?” dia mengusap matanya. “Astaga, pas
banget.”
"Pas?"
"Aku
baru dapat kabar Keti baru aja meninggal," dia mengusap matanya yang
tampak berair, "dia udah sakit sejak dua minggu lalu," kulihat dia
susah payah menelan sesuatu, ludahnya sendiri mungkin, matanya berair dan ia
masih tertawa-tawa kecil. “Kabar jelek dalam waktu yang sama, biar nggak terlalu kaget—“
ucapnya santai sambil memasukkan alat tulis kedalam tas.
Aku
tahu Keti adalah peliharaannya sejak masih SD. Dia sendiri yang bercerita
bagaimana kucing itu sudah tampak begitu tua dan sering di ajak mengobrol seperti orang gila. Aku tahu kalau laki-laki
yang baru saja kusebut jadian pun adalah salah satu topik yang sering dibahas
dia ditengah-tengah obrolan kami. Neneknya yang terdengar penyayang pun sering
terselip diantaranya.
Neneknya,
Keti dan laki-laki yang sudah ditaksirnya sejak semester satu.
Dia sudah berhenti
tertawa dan menyampirkan tasnya di bahu ketika aku tertawa seperti biasanya dia, lebar dan keras. Cukup
lama, dan tak tampak seperti biasanya hingga dia memukul-mukul bahuku dan
menanyakan apa aku kesurupan sesuatu atau bagaimana. Setelah kuhentikan tawa yang membuatku terbatuk-batuk--membuatku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tertawa seperti itu setiap hari--kuberitahukan apa maksud tawaku padanya. "Sekarang.
Kamu bisa nangis sepuasnya. Nangisin nenek kamu, Keti, si gebetan. Kamu bisa
cemberut sepuasnya. Aku yang bakal gantiin kamu buat ketawa kayak
biasanya."
Rasanya
malu ketika mengatakan hal itu. Tapi rasa malu itu tak menjadi masalah selama
dia bisa menangis. Dan ketika melihatnya menangis, sambil tertawa-tawa kecil
aku menertawainya yang mengucapkan terimakasih dengan terbata-bata.
1 komentar :
ahahahaha. namanya keti ahahahaha...
yah, mati ketinya.. :(
Posting Komentar