Selasa, 17 September 2013

Tawa


Aku mengenalnya sejak lama. Sebagai seorang sahabat aku tahu kalau dia suka sekali tertawa, menertawakan apapun, bahkan kadang disaat yang tak tepat hingga aku harus menginjak kakinya atau menyuruhnya menutup mulut. Dan walaupun ia sudah menutup mulutnya tetap saja terdengar suara tawa yang malah terasa mengerikan, seperti tawa yang dibalik dinding yang terdengar melalui lubang kecil.

Selain suka sekali tertawa, tawanya pun lebar sekali. Seorang teman pernah iseng mengambil potretnya ketika dia tertawa dan dengan segala keisengan, teman itu memperbesar foto itu, mengukur lebar mulutnya ketika tertawa dengan penggaris, lalu menjadikan hal itu sebagai bahan tertawaan lagi, kemudian dia tertawa lagi lebar sekali hingga aku yakin sebuah koloni lebah mampu masuk kedalamnya dan membuat sarang dan membuat tawanya berbuah madu.

Dia suka tertawa, tawanya lebar dan keras. Hingga seorang dosen pernah menyuruhnya keluar dari kelas, dalam sebuah rapat dengan kakak angkatan semua mata tertuju padanya, suara sst panjang pun membahana di perpustakaan, ketika dia menertawakan sebuah cover buku dan ketika kami berdua sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan, aku memuji seorang laki-laki yang bertampang lumayan yang duduk tak jauh dari kami dan dia tertawa keras sekali hingga laki-laki itu melirik ke arah kami dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu aku menepuk keras bahunya, membuat dia meringis kesakitan.

Sudah berkali-kali kukatakan padanya, sebagai seorang sahabat. Kalau laki-laki pun merasa risih jika perempuan tertawa seperti dirinya. Dia tidak terlalu peduli, dia hanya peduli ketika kusebut sebuah nama dan berkata bahwa pemilik nama itu tak akan menyukainya jika tawanya masih se bar-bar itu. Aku masih mengingat ekspresinya yang langsung berubah dan bertanya, “Masak? Dia nggak suka kalau aku ketawa kayak biasanya?”

“Kalau dia cowok normal sih menurutku, iya, jawabku mantap saat itu.

Kemudian dia berjanji akan belajar tertawa lebih sopan, awalnya kaku sekali hingga aku malah menertawakannya, hingga teman-teman kami yang lain bertanya apa giginya sakit. Niatnya hanya bertahan seminggu. Setelah itu tawanya kembali lagi, yang sering, yang lebar dan yang keras.

Aku menyerah menghadapi tawanya yang kadang menyebalkan itu—mungkin karena aku terlalu sering bersamanya, tapi teman-teman yang lain menganggap bahwa tawanya menyenangkan dan menular, seperti wabah penyakit, mengundang tawa yang lain yang tak tertahankan. Dan tanpa tawa itu mereka mencarinya.

Suatu hari dia tak ke kampus, mengurus pemakaman neneknya. Dia tak pernah bercerita soal neneknya yang sakit, yang aku tahu hanya dia dan neneknya dekat sekali, aku pun tak tahu kalau neneknya meninggal, aku baru tahu setelah dia memintaku untuk mengijinkan di setiap mata kuliah di hari itu.

Hari itu teman-teman lain menanyakannya. Ketika kujawab alasannya mereka bergumam sebentar lalu berkata, “Pantesan aku nggak denger ketawanya yang cetar membahana itu seharian ini.” Aku hanya tertawa hambar menanggapinya.

Di hari itu pun aku baru sadar kalau dia jarang sekali tampak sedih, perhatianku selalu terpusat pada tawanya yang tampak terlalu sering. Dan hari itu aku baru sadar kalau dia tak pernah menunjukkan emosi lain selain tawanya, mungkin besok aku bisa berkunjung ke rumahnya atau melihat ekspresi sedihnya, mengucapkan duka cita padanya, melihatnya bercerita tentang neneknya dengan mata berkaca-kaca, mungkin besok dia tak akan banyak tertawa seperti biasanya. Sebagai sahabat aku siap dengan telinga untuk mendengarkan segala keluh kesahnya, tawanya yang keras membahana itu saja bisa kutahan apalagi kesedihannya.

Tapi ternyata kesedihannya hanya dianggap sebagai angin lalu oleh yang lain—aku pun berpikir, olehnya juga. Tak ada ucapan duka cita setelah dia datang ke kampus keesokan harinya karena dia sudah tertawa-tawa seperti biasanya. Sempat kukira dia tak menyayangi neneknya seperti yang kubayangkan, karena itu tak kutanyakan lagi kesedihannya, aku menggulung peran sahabat yang kusiapkan untuknya dan turut senang kalau dia bisa bangkit lebih cepat dari yang kubayangkan, walaupun aku harus kembali menahan diri untuk tidak memasukkan kaos kaki ke dalam mulutnya ketika tertawa lebar sekali.

Namun dugaan hanyalah dugaan. Pertanyaan yang berkecamuk dipikiranku terjawab di hari lain. Dia bukan tak memiliki kesedihan tapi menyembunyikan hal itu.

Ketika mata kuliah terakhir selesai, kelas bubar dan hanya tinggal aku dengan dia yang sedang mengutak-atik handphonenya dengan dahi berkerut aku memberi kabar padanya,  kabar yang kupikir hanya akan menjadi bahan tertawaan lain baginya.

"Si itu udah jadian lho."

Dia terdiam, aku melihat sesuatu yang aneh dimatanya, sebelum teralihkan dengan tawanya yang lebar dan keras dan selama beberapa detik dia memegangi perutnya tak peduli dengan dahiku berkerut-kerut seperti kain sifon yang tak disetrika.

“Serius?” dia mengusap matanya. “Astaga, pas banget.”

"Pas?"

"Aku baru dapat kabar Keti baru aja meninggal," dia mengusap matanya yang tampak berair, "dia udah sakit sejak dua minggu lalu," kulihat dia susah payah menelan sesuatu, ludahnya sendiri mungkin, matanya berair dan ia masih tertawa-tawa kecil. “Kabar jelek dalam waktu yang sama, biar nggak terlalu kaget—“ ucapnya santai sambil memasukkan alat tulis kedalam tas.

Aku tahu Keti adalah peliharaannya sejak masih SD. Dia sendiri yang bercerita bagaimana kucing itu sudah tampak begitu tua dan sering di ajak mengobrol seperti orang gila. Aku tahu kalau laki-laki yang baru saja kusebut jadian pun adalah salah satu topik yang sering dibahas dia ditengah-tengah obrolan kami. Neneknya yang terdengar penyayang pun sering terselip diantaranya.

Neneknya, Keti dan laki-laki yang sudah ditaksirnya sejak semester satu.

Dia sudah berhenti tertawa dan menyampirkan tasnya di bahu ketika aku tertawa seperti biasanya dia, lebar dan keras. Cukup lama, dan tak tampak seperti biasanya hingga dia memukul-mukul bahuku dan menanyakan apa aku kesurupan sesuatu atau bagaimana. Setelah kuhentikan tawa yang membuatku terbatuk-batuk--membuatku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tertawa seperti itu setiap hari--kuberitahukan apa maksud tawaku padanya. "Sekarang. Kamu bisa nangis sepuasnya. Nangisin nenek kamu, Keti, si gebetan. Kamu bisa cemberut sepuasnya. Aku yang bakal gantiin kamu buat ketawa kayak biasanya."

Rasanya malu ketika mengatakan hal itu. Tapi rasa malu itu tak menjadi masalah selama dia bisa menangis. Dan ketika melihatnya menangis, sambil tertawa-tawa kecil aku menertawainya yang mengucapkan terimakasih dengan terbata-bata. 


1 komentar :

Ilham Sasmita at: 30 September 2013 pukul 13.54 mengatakan... Reply

ahahahaha. namanya keti ahahahaha...
yah, mati ketinya.. :(

Posting Komentar

Beo Terbang