Kamis, 24 Oktober 2013

Pagi: Kotak Surat


Ketika siang keluar dari kotak bekal, matahari akan menyimpan pagi di sebuah kotak surat usang di depan rumah tak berpenghuni, berjaga-jaga agar tidak ada yang mengambil pagi dari dalam kotak surat, matahari membungkus pagi yang dingin, lembab bercampur embun, redup bercampur bulan dan matahari dengan kabut yang tebal. Kabut hanya akan menghilang ketika matahari menyinarinya, membantu pagi terbangun dari tidur singkat, menemani matahari di panggung, menggantikan malam yang telah terlelap.

Pagi selalu berada di kotak surat ketika siang keluar dari kotak bekal, pagi meringkuk di selimuti kabut lalu terlelap sejenak, selalu begitu. Di temani sarang laba-laba yang terkadang rusak tertiup angin, dedaunan yang terselip diantara lubang di kotak surat, bersama derit kayu kotak surat ketika angin menggoda, meminta pagi terbangun lebih cepat, atau sekedar membalas menyapanya, tapi pagi tak pernah terbangun walaupun derit-derit kotak surat kayu semakin kencang, walaupun angin memainkan sarang laba-laba hingga menempel pada kabut, pagi selalu terlelap begitu nyenyak hingga membuat angin menyerah dan bermain di tempat lain.

Pagi hanya bangun ketika matahari membuka kotak surat, menyapa dengan sinarnya, menyingkirkan kabut yang selama ini menjadi selimutnya, bersama kokok ayam, suara burung, panggung langit yang mulai berganti warna, awan yang berarak-arak mempersiapkan piknik mereka, pintu yang berderit, suara kendaraan yang berbunyi bising diantara keheningan. Pagi dan matahari menemani bumi hingga siang mengetuk dari dalam kotak bekal.

Terkadang matahari terlalu asik bersama pagi hingga lupa bahwa siang masih berada di dalam kotak bekal dan terus mengetuk sejak tadi, membuat manusia kebingungan harus mengucapkan apa di kala matahari sudah begitu tinggi tapi pagi masih berada disisinya. Awan yang sering menegur matahari ketika matahari melupakan siang dan siang selalu membuang amarahnya ke bumi ketika matahari melupakannya, membuat bumi mengeluh sepanjang hari karena teriknya siang dan bau matahari yang menyengat.

Hari itu pagi kembali memasuki kotak surat usang, setelah mengucapkan terimakasih pada matahari, pagi terlelap dibalik kabut. Belum sempat pagi benar-benar terlelap, kotak surat terbuka, berderit-derit, membuat pagi terbangun bersembunyi dibalik kabut. Seorang manusia menemukannya.

Matahari selalu berkata pada pagi, jangan biarkan manusia menemukannya, manusia sangat menyukai pagi karena itu mereka menyampaikan selamat kepada orang-orang yang mereka sayangi ketika pagi  datang, kalau manusia menemukan pagi, pagi bisa saja diambil oleh manusia jahat yang ingin memiliki pagi sepenuhnya agar tak ada selamat pagi bagi orang lain, hanya bagi dirinya sendiri.

Pagi ketakutan, embun berjatuhan, rasa dingin menyelimuti kabut dan angin berputar-putar di sekitar kotak surat usang dengan panik, pagi semakin menyembunyikan diri di dalam kabut berharap manusia tak menemukannya, berharap manusia hanya sekedar melihat lalu pergi, berharap manusia tak pernah tertarik pada apa yang tersembunyi dalam kabut.

Tapi apa yang diharapkan pagi tak terwujud, tangan manusia merogoh ke dalam kabut, menarik pagi yang tak mampu berbuat apapun, hanya berdoa dalam hati agar manusia mau mengembalikannya kembali ke dalam kotak surat.

Bagi manusia, pagi di dalam genggaman terasa seperti memegang es krim di dalam bungkusan, dingin dan lembab.

“Apa ini?”

Pagi berdoa semakin kencang ketika manusia membuka genggaman telapak tangannya dan memperhatikan dirinya lekat-lekat, seperti memperhatikan tanggal kadaluarsa pada bungkus makanan, meneliti lamat-lamat lalu bergumam keheranan.

“Apa ini pagi? Tapi ini sudah siang.”

Pagi tak akan menjawab, pagi tak bisa menjawab, matahari memperhatikannya dari panggung langit dengan rasa cemas yang sangat, awan terus berputar-putar di sekitar pagi dan manusia setinggi 100 senti yang masih tampak kebingungan menatap pagi, mendongakkan kepala ke langit, mengeja jarum jam pada jam tangan, kado dari bundanya.

“Mungkin bunda bisa menjelaskan.”

Pagi digenggam erat oleh manusia, bersama langkah kaki kecil menjauhi kotak surat, bersama matahari yang terkejut di panggung langit, bersama awan yang berkumpul di dekat kotak surat dan bersama angin yang berputar-putar di sekitar manusia itu seolah memberi isyarat pada matahari, tenang saja akan kujaga pagi, akan kuberikan kabar padamu.

Setelah itu matahari tak pernah melihat pagi, hingga membuatnya cemas dan kebingungan, siang dan malam berdiskusi, mereka memilih untuk memperpanjang waktu jaga mereka, bulan pun memutuskan untuk menenangkan matahari yang tak stabil sejak kepergian pagi. Matahari memancarkan emosinya melalui panas, membuat siang panik dan memilih mengawasi bumi melalui kotak bekal, bumi bertambah protes saja, matahari mengabaikannya. Bulan berjaga lebih lama, malam menemaninya, malam mengambil waktu jaga yang lebih lama pula, menggantikan sebagian pagi yang dilanjutkan dengan siang.

Manusia kebingungan, tak ada lagi kata selamat di pagi hari karena ketika mereka ingin mengucapkannya bulan masih berjaga di panggung langit atau matahari sudah tinggi sekali ditemani siang.

Tak ada manusia yang tahu kalau pagi terjebak di dalam toples kaca, setelah seorang manusia setinggi 100 senti membawanya untuk ditanyakan pada bundanya, tapi bundanya pergi dan tak pernah kembali, manusia yang membawa pagi bingung harus bertanya pada siapa maka ia memilih untuk menyimpan pagi terlebih dahulu karena kata ayahnya dia akan memiliki bunda baru.

Seharusnya bunda yang baru bisa menjelaskan kenapa pagi bisa ada di dalam toples kaca sementara siang sudah datang sejak tadi, bagaimana bisa pagi dan siang berada di waktu yang sama dan terasa dekat sekali dalam genggaman tangan atau dalam toples kaca.

Pagi di dalam toples kaca ketakutan, bingung, khawatir, pada matahari yang pasti mencemaskannya, pada kehidupan panggung langit yang pasti kacau tanpa keberadaannya, pada manusia yang selalu memberi selamat padanya, mengecup orang tersayangnya, mengirimkan ucapan penuh cinta, pada hewan yang menjadikan dirinya sebagai pertanda dimulainya hari, pada burung-burung yang risau karena kehilangan waktu untuk bernyanyi.

Ah—pagi lelah, tak ada kabut yang menyelimutinya dan toples kaca terasa begitu dingin, dia ingin tidur tapi takut tak bisa bangun lagi, matahari yang biasa membangunkannya tak akan datang selama dia masih berada di dalam toples kaca.

Angin mengawasi pagi setiap saat, pagi berterimakasih untuk itu, pagi meminta angin menyampaikan bahwa dirinya baik-baik saja, matahari tak perlu mencemaskannya. Ketika angin menyampaikan pesan itu kepada matahari, matahari merasa lebih tenang, walaupun kerinduannya pada pagi masih ada tapi ia selalu berharap bahwa pagi akan selalu baik-baik saja dan segera kembali ke kotak surat.

Waktunya tiba, bunda baru datang, manusia setinggi 100 senti itu menunjukkan pagi pada bunda baru, membuat pagi menjadi bahan perhatian lagi yang diperhatikan lamat-lamat, dekat-dekat, hingga membuat pagi menyentuh sisi toples kaca yang lain menjauh dari wajah manusia yang begitu dekat dengan batas kaca. Pagi berdoa kepada Tuhan berharap manusia yang memperhatikannya tak menyukainya membuangnya atau mengembalikannya ke dalam kotak surat lagi.

“Apa ini?”

“Itu pagi.”

“Pagi?”

“Iya, aku menemukannya dari dalam kota surat, bunda.”

“Bukankah ini sudah siang?”

“Iya bunda tapi—“

“Untuk apa menyimpan pagi ketika hari sudah siang, buang saja.”

Setelah itu pagi keluar dari toples kaca, masuk ke dalam genggaman manusia, genggaman yang erat dan semakin erat ketika angin melewatinya dengan cepat, menggelitik dari sela-sela jari manusia mengabarkan bahwa matahari merindukannya.

Pagi pun merindukan matahari, panggung langit, angin, awan, kokok ayam, nyanyian burung semua yang ia lihat dan dengar dulu, ketika keluar dari kotak surat dan menemani matahari.

Tak lama, ketika genggaman manusia yang menyelimutinya mengendur, pagi merasa bahwa sudah saatnya ia kembali, doanya terkabul, seharusnya ia masih bisa menemukan kabut yang menemaninya selama ini di dalam kotak surat, lalu bertemu dengan matahari, bermain di panggung langit, menyapa bumi, pagi begitu gembira hingga tak merasakan ketakutan yang bersamanya sejak tadi.

Tapi bukan kotak kayu yang pagi tempati ketika manusia melepaskannya dari genggaman, melainkan kotak bekal yang diisi oleh siang. Siang menyambutnya begitu heboh seperti siang yang biasanya, kemudian pagi dengan segala kebingungannya mendengar cerita dari siang bahwa manusia yang mengambilnya juga mengambil siang dari kotak bekal dan menyimpannya ke kotak bekal lain.

Siang berterimakasih atas kehadiran pagi tapi pagi tak menganggap hal itu menjadi sesuatu yang baik. Pagi memang tak sendiri, ia tak perlu ketakutan sendirian, tapi panggung langit akan semakin kacau jika siang bersamanya, terjebak di dalam kotak bekal.

Lalu di panggung langit, hanya malam yang tersisa. Bersama bulan, malam mengunjungi bumi tanpa istirahat sementara matahari semakin melemah, kehilangan siang dan pagi membuatnya tak ingin memasuki panggung langit lagi.

Sejak manusia membawa pagi dari kotak surat, tak ada ucapan selamat pagi penuh cinta, tak ada kokok ayam, tak ada nyanyian burung, tak ada embun, tak ada angin lembut yang bertiup menggelitik tengkuk, tak ada warna yang bercampur antara bulan dan matahari, tak pernah ada lagi pagi di dalam kotak surat.


2 komentar :

Ilham Sasmita at: 28 Oktober 2013 pukul 08.47 mengatakan... Reply

pasti gegara baca capuccino sama senja..
;p

Vanessa Praditasari at: 30 Oktober 2013 pukul 16.58 mengatakan... Reply

@Ilham Sasmita ndaaaaak~ ini emang lanjutan dari projek pagi. Idenya udah dari lama kok :3

Posting Komentar

Beo Terbang